Seratus Hari/Malam di Tengah Hutan

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

"Guru... di mana engkau..," panggil Arme perlahan saat ia telah tiba di tempat ia biasanya berlatih. Tempat di mana kemarin ia menemukan gurunya dalam keadaan terluka.

Hening tak ada jawaban. Angin malam membelai pelan membuat daun-daun saling berbisik.

Tiba-tiba terdengar lirih suara gurunya, "Masuk lebih jauh sedikit sampai ada sungai kecil.. ikuti sampai ke hulu.."

Bergegas Arme mengikuti petunjuk suara gurunya. Rupanya guru Pambuka telah berpindah tempat sejak kemarin mereka bertemu. Mungkin dengan alasan makin ke dalam hutan akan semakin baik dan tidak diganggu orang.

Arme pun berbegas mengikuti sungai kecil, jauh lebih kecil dari sungai di pinggir hutan. Terus ia berjalan menyusuri ke arah hulu. Di kiri kanannya tampak semak-semak melebar tinggi. Bila tidak tahu posisi tepatnya sungai tersebut, akan sulit menemuinya dalam hutan ini. Tersembunyi di balik daun-daun yang melebat.

Tak berapa lama sampailah Arme di suatu lapangan kecil yang berada tak jauh dari sungai kecil tersebut, yang masih jauh menghilang di dalam kegelapan malam. Cahaya apilah yang menariknya ke arah lapangan kecil tersebut. Suatu lapangan yang tampak baru dibuat. Gurunya, Pambuka tampak duduk di tepi sebuah api kecil yang hendak ia besarkan.

"Di sini kurasa sudah cukup jauh ke dalam hutan. Semoga tak ada yang melihat api ini dari arah desa," ucapnya pelan seperti kepada dirinya sendiri.

Arme hanya mengangguk dan meletakkan barang-barang pesanan gurunya di pinggir api tersebut. Ia pun kemudian duduk dan menunggu hal apa yang akan dilakukan gurunya sehingga memerlukan dirinya untuk beberapa hari menemaninya di tempat itu. Di tengah hutan di pinggir desa.

"Ada kejadian aneh di desa atau di tempat lain," tanya gurunya, "yang engkau dengar?"

Arme menggeleng saja. Ya, ia tidak mendengar berita apa-apa yang dianggapnya aneh.

"Atau ada berita apa yang disampaikan orang-orang..? Atau ceritakan saja apa yang engkau alami dan dengar.." pintanya kemudian

Arme tampak bingung, lalu dengan perlahan ia menceritakan apa yang diminta.

Gurunya tampak mendengarkan sambil sesekali menyela untuk menanyakan sesuatu. Jika orang bercerita, kadang berbeda penekanannya dengan yang mendengar. Setiap orang boleh jadi secara sadar akan memilih sendiri titik berat dari ceritanya. Demikian pula dengan Arme.

"Menarik bahwa ada yang terlambat pulang dari mengembalakan kambing-kambingnya," ucap gurunya kemudian setelah semua cerita selesai ditumpahkan.

"Itu berita aneh?" tanya Arme ingin tahu.

"Tidak, bila dalam keadaan biasa," jawab gurunya.

"Maksud guru?" tanya Arme dengan semakin bingung.

"Sebelum aku jawab, kelihatannya engkau sekarang sudah terbiasa memanggilku 'guru', ya?" katanya sambil tertawa, "Apa sebabnya?"

"Eh... itu kebiasaan dari sekolah, orang yang mengajar dipanggil guru," ucapnya perlahan.

"Tak apa-apa," jawab Pambuka, "tapi ingat pesanku, akuilah aku guru jika bermanfaat bagimu di luar sana. Akan tetapi jika malah membahayakan dirimu, ingkari saja. Bagiku sebutan itu tak penting."

Arme mengangguk mengiyakan.

"Baiklah, aku berhutang banyak cerita kepadamu," ujarnya. Lalu ia pun mulai bercerita setelah ia meminum ramuan obat yang telah dibuatnya dengan bahan-bahan yang baru saja dibawakan oleh Arme.

Angin pun berhenti berhembus. Jengkerik terdiam sunyai. Awan pun menipis. Semua seakan-akan bersiap mendengarkan cerita yang mengalir perlahan dari mulut Pambuka.


Bila anda tidak berkenan dengan jalan cerita Seratus Hari yang dituliskan di sini, silakan anda mengubahnya!