Tafsir Simbol-Simbol/Daun Hijau tak Berpohon

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
<< Lampu Menyala tanpa Sumbu Daun Hijau tak Berpohon - Tafsir Simbol-Simbol Muazzin tanpa Bedug >>

Bait Godhong ijo ingkang tanpa wreksa (daun hijau tak berpohon) dijelaskan Ki Ageng Selo sebagai berikut:

Godhong ijo tanpa wreksa iki,//Semunira ing masalah ing rat,//Lah iya urip jatine.//Dudu napas puniku,//Dudu swara lan dudu osik,//Dudu paningalira,//Dudu rasa perlu,//Dudu cahya kantha warna,//Urip jati iku, nampani sakalir,//Langgeng tan kena owah.

(Daun hijau yang tak berpohon,//Itu lambang masalah alam.//Yaitu hidup sejatinya.//Bukan nafas itu,//Bukan suara dan bukan gerak batin,//Bukan pemandangan,//Dan bukan rasa syahwat,//Bukan cahaya, bangun atau warna.//Itulah hidup sejati, yang menerima segala persaksian,//Kekal tak ada ubahnya.)

Ki Ageng menggunakan tumbuhan untuk menjelaskan ajaran esoterisnya. Daun, menurut ilmu biologi, terjadi karena evolusi pertumbuhan sebuah biji. Biji menumbuhkan akar, akar lalu menumbuhkan batang. Batang pohon kemudian menumbuhkan cabang, lalu cabang menumbuhkan ranting, dan ranting akhirnya menumbuhkan buah serta daun. Secara biologis, sebuah daun tidak akan tumbuh tanpa adanya sebuah ‘pohon’ (sebutan untuk keseluruhan organis dari biji, akar, batang, cabang, ranting, buah, dan daun). Tapi jika ada ‘daun yang hidup tanpa pohon’, maka itu sangat ajaib. Ki Ageng menggunakan analogi ‘daun hijau tak berpohon’ ini untuk mengutarakan ajaran ‘hidup esoteris’ (urip jati). Seperti ‘daun hijau yang tak berpohon’, kehidupan yang dijalani oleh seorang ‘esoteris’ tidak lagi dipahaminya sebagai kehidupan orang banyak, yang masih dipenuhi oleh persepsi fisikal seperti ‘nafas’ (jika tidak bernafas, maka orang awam menyebutnya ‘tidak hidup’ alias ‘mati), ‘suara’ (jika tidak bersuara, maka orang awam menyebutnya ‘tidak hidup’ alias ‘mati’), ‘gerak batin’ (jika tidak berperasaan, maka orang awam menyebutnya ‘tidak hidup’ alias ‘mati’), ‘pemandangan’ (jika daya nalar tidak berfungsi, maka orang awam menyebutnya ‘mati’), ‘rasa syahwat’ (jika tidak memiliki daya nafsu, maka disebut ‘mati’), ‘cahaya’, ‘bangun’ serta ‘warna’ (jika indra penglihatan dan indra sentuhan tidak berfungsi, maka orang menyebutnya ‘mati’).

Kehidupan yang hendak dijalani, dinikmati, dan diselesaikan oleh seorang ‘mistikus’ adalah kehidupan yang mengatasi persepsi fisikal yang disebutkan itu semua, dan itu sengaja dilakukannya agar ia mencapai pengetahuan esoteris, yang merupakan dambaannya sendiri.

Seorang mistikus sejati, yang telah menjadi ‘daun hijau tanpa pohon’, memahami kehidupan dunia dengan pemahaman yang lebih tinggi dari yang dimiliki banyak orang. Ia memahami ‘Kehidupan Esensial’, yakni ‘kehidupan asaliah’—kehidupan asli yang belum dihiasi oleh bentuk-bentuk fisik. Kehidupan yang masih berupa esensi. Masih berupa ‘ruh’, belum menjadi ‘badan’. Kehidupan yang ‘belum memerlukan pohon’. Kehidupan yang masih dalam ‘dekapan Tuhan’. Kehidupan itu belum dapat disifati dengan sifat-sifat formal-fisikal seperti ‘mati’, ‘hidup’, ‘asal’, ‘akhir’, ‘bahagia’, atau ‘sengsara’. Kehidupan tanpa ‘ajektif’, dan karenanya ia kekal, tak berubah-ubah. Sebab, perubahan adalah tanda fisikal, sedangkan kehidupan ini ‘belum berbadan’ alias rohaniah. Dalam tradisi Sufisme, kehidupan itu disebut al-hayyu. Bahkan, kata al-hayyu, dalam Sufisme, merupakan salah satu representasi Tuhan, sebagaimana terdapat dalam formula ’99 Nama-Nama Tuhan yang Indah’ (Asmâul-husnâ).