Ayah Penjahit Pakaian Usang

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis[sunting]

Ayahmu sungguh mulia, dia rela membenahi pakaian usang miliki temannya itu bukan suatu hal yang percuma

Lakon[sunting]

Aku

Lokasi[sunting]

Rumah Desa

Ayah Penjahit Pakaian Usang[sunting]

Pria itu selalu saja begitu, kerjaannya begadang sampai larut malam dan hanya memperbaiki sarung, celana, baju sobek yang bukan miliknya. Mendengar suara mesin jahit saja sudah bikin tidak tenang banyak orang, entah bagaimana, yang jelas suaranya cukup nyaring di dengar dari dalam rumah. “Pak sudah malam ini, gaduh sekali gak enak sama tetangga.” kata ibuku.

Rumahku berada di pinggir jalan gang tidak terlalu lebar. Dalam rumah kami, tidak ada tempat buat menyimpan semua barang milik ayahku, tepatnya barang milik  temannya. Ibuku sering marah kepada ayah karena perbuatannya yang sering sekali tidak tidur. Tak jarang juga pada pagi hari terdengar celoteh yang kurang enak untuk didengar anaknya sepertiku. Tapi apa boleh buat, begitulah kebiasaan ayahku.

Dia memperbaiki pakaian milik teman-temannya. Bukan hanya satu-dua, melainkan belasan pakaian yang berserakan di depan rumah kami. Dan kenapa aku bilang itu adalah pakaian usang, karena beberapa hari lagi pasti pakaian itu akan datang kerumah kami memohon untuk diperbaiki. Aku tidak begitu mengerti dan memperhatikannya, cuman setiap hari aku lihat pakaian-pakaian itu, setidaknya aku tau mana yang sudah pernah datang dan mana yang belum.

Sering dari pakaian yang diperbaiki ayahku adalah pakaian yang sama, dan itu-itu saja. Aku pun hafal, bahkan siapa yang datang juga aku tau dia pemilik pakaian usang yang mana. Kebiasaannya  yang sering dilakukan itu membuat tubuhnya lemah. Dia sering sekali sakit-sakitan. Batuknya yang tak henti dalam satu dua minggu, nafas yang sedikit ngos-ngosan, asma sih enggak, mungkin saking kecapeannya. Oh iya ayahku adalah seorang yang lumpuh kedua kakinya dan tidak dapat berjalan.

Untuk menghidupi anaknya, ibuku membantu perekonomian keluarga dengan jualan sayuran dengan berkeliling kampung setiap harinya. Ayahku sendiri hanya tukang jahit dan lumpuh. Jadi setelah dia begadang atau hanya tidur dalam waktu 1-2 jam, lalu melaksanakan salat tahajud setiap malamnya. Lalu paginya membuka kios kecil depan rumah untuk menunggu pelanggan jahitan.

Waktu itu  tak ada pelanggan yang mau menjahitkan bajunya ke ayahku. Memang aku akui dan juga ibu pun begitu, bahwa mesin jahit milik ayahku sudah tak layak lagi. Mungkin jelek dan rusaknya karena dibuat untuk menjahit terus tanpa perawatan yang memadai lagipula hanya diderakkan secara manual diputar dengan tangan.

Ya, ayahku seorang penjahit. Itu pun cuma jika setiap ada orang yang datang, biasa 3 hari sekali untuk dibuatkan celana kolor yang biasa digunakan untuk ke sawah. Dari situlah ayahku benar-benar mendapat upah untuk menghidupi keluarga.

Lantas bagaimana dengan pakaian usang yang selalu dikerjakannya setiap malam, yang susah payah dia bela-bela tidak tidur hanya untuk memperbaiki pakaian tersebut?

Kalau kalian tau, semua yang dia kerjakan untuk pakaian usang itu tidah dibayar alias gratis.

Ketika aku mendengar kabar tersebut dari ibuku, aku juga ikut jengkel, marah, kesal apa sajalah. Kenapa coba dia rela bela-belain memperbaiki pakaian usang milik temannya yang pada ujung-ujungnya tidak mendapat apa-apa?

Kenapa juga sih dia merelakan kesehatanya hanya untuk orang yang tidak memikirkannya. Pernah aku menjumpai dia benar-benar sakit. Tubuhnya sangat lemas, batuknya sudah gak karuan nada dan iramanya, menyakitkan dada orang tersebut. Dia hanya bisa berbaring lemas untuk jangka waktu beberapa hari. Sejenak aku berfikir, mungkin dia lebih baik diberi sakit dari Sang Kuasa, dengan begitu dia bisa istirahat. Mungkin juga dari sakit itu dia sadar, kalau yang dia lakukan itu tidak baik untuk kesehatannya. Toh juga apa yang ia lakukan tidak mendapat apa-apa.

Tapi pikiranku salah besar, apa yang telah terjadi kepadanya tidak membuatnya berubah sama sekali. Saat dia sudah sedikit bugar, cuma sedikit saja, dia melakukan aktifitas itu lagi dan lagi. Sampai kapan dia akan melakukan hal itu? Aku kesal dengan perbuatannya, aku bukan benci, cuma kalau melihat salah seorang yang kusayang seperti itu, lantas aku harus bagaimana? aku juga bingung, ibu saja tidak bisa menasehatinya, apa lagi aku?

Di suatu pagi yang seisi rumah ribut oleh ocehan ayah-ibuku, aku mendengar ucapan mereka yang lantang dengan suara saling meninggi,

“pak bagaimana nasib anak kita, kalau bapak begini terus, penghasilan pas-pasan. Masih saja mengurus pakaian usang orang yang tidak mendapakan upah. Sedangkan anak kita sudah masuk kelas 3 SMA, habis ini butuh dana banyak untuk ujianya” kata ibuku berusa halus. “Ya udah lah, kalau sudah tidak bisa membiayai sekolah, ya gak usah sekolah” katanya keras.

Raut muka ibuku menjadi mengkerut. “Jangan begitulah pak,” kata ibuku sedikit meninggi.

“Lah mau kerja apa, reski sudah ada yang ngatur, iya itu dapatnya.”

“Tapi tidak begitu juga pak, bapak menyiksa diri kalau setiapa malam begitu.”

“Udah lah udah, kalau mau sekolah suruh anakmu cari uang sendiri”

Mendengar kata-kata itu hatiku langsung sakit, sungguh sangat menusuk, apa jadinya kalau aku tidak sekolah? Kata-kata itu terlontar dari mulutnya. Jujur, aku memang tidak akrab dengan ayahku. Ngobrol? itu tidak ada dalam kamus keluargaku, lebih tepatnya aku sama ayahku. Serumah saja jarang saling sapa, perhatiannya kepadaku hampir tidak pernah ada. Sekali doang ketika ibu pergi kepasar dan saat aku sakit gigi, dia pernah berkata : “Sakit gigi ta, di kasih puyer sana beli di toko sebelah”. Itu kata-kata yang tak pernah terlupakan dalam hidupku. Perhatiannya mungkin terlalu mahal untuk anak-anaknya. Aku tidak tau kenapa. Mungkin sepele, tapi buat aku itu berharga sekali. Sampai suatu hari, ayahku membuka kios, dan aku sekolah. Sore hari dia buru-buru menutup kios, begitu juga denganku baru pulang sekolah. Tapi aku lebih dulu satu jam dari pada dia saat menutup kiosnya. Ibu datang jam lima sore. Memang jika ibuku usai menjual sayuran keliling, jika badannya masih bisa bergerak, dia akan ikut membantu ayahku menutup kiosnya.

Sore itu tidak ada berita buruk sedikitpun. Ayahku juga sehat pada hari itu, begitu pula ibuku. Pada malam harinya, aku yang pulang dari rumah temanku yang agak larut, tepatnya jam 11 malam, aku mendapati ayahku sudah tidur. Tumben banget kataku.

Ayahku belum sholat isa’. Lalu dari luar kamar aku dengar ibuku yang baru selesai dari pekerjaannya, membangunkan ayah agar dia laksanakan kewajibannya.

Aku juga saat itu masih bangun dan menonton tv, mencari-cari kantuk dengan  tiduran di kasur depan ruang keluarga. Usai sholat, ayahku makan. Entah kenapa dia malah makan, buka langsung beranjak tidur untuk meneruskan istirahatnya. Setelah itu aku tidak tau kabarnya, aku sudah terlelap.

Sekitar jam satu malam, aku merasa tidak enak dengan tidurku. Aku setengah terbangun. Lalu aku mendengar ibuku memanggil-manggil ayahku dalam kamarnya. Cukup lama aku mendengarnya, mungkin sekitar 15 menitan. Dan saat itu juga ibuku menghampiriku lalu membangunkanku dan bilang : “Ko.. Bapakmu gak ono ..” (ayahmu gak ada) Aku yang sudah sadar sejak tadi langsung bangun. Melihat raut muka ibuku yang kebingungan dan berusaha mencerna. Aku langsung mendatangi ayahku yang terbaring di kamar. Sekilas, aku juga tidak tau harus berbuat apa. Aku tidak pernah melihat kematian, aku takut. Melihat wajah ayahku dengan mata terpejam dan mulut mengatup rapat. Aku pegang kakinya, dingin, dingin sekali. Aku taruh tanganku di dadanya, mencoba merasakan denyutan jantungnya. Tapi tak ada detakan sedikitpun, ayahku telah meninggal.

Dalam benakku, aku kebingungan, apa yang harus aku lakukan, dia sudah tidak ada. Apa aku harus senang? mungkin dengan begitu sudah tidak ada omelan lagi di pagi hari jika dia tidak ada. Aku harus bangga, dengan begitu tidak ada lagi tetangga yang akan terganngu di setiap malam. Toh juga ada tidak adanya dia, aku tak pernah bicara. Tapi dia ayahku, ayahku satu-satunya. Saat itu juga aku meneteskan air mata. Ibuku juga mulai menggeru-geru, menangis dengan sangatnya, saat mengetahui ayah sudah tidak ada. Aku tidak punya hp, aku tidak bisa menghubungi keluarga yang lain untuk memberitahukan kejadian ini. Ada kakakku yang tinggal beda rumah di tengah desa, butuh waktu untuk pergi kesana. Aku pun pergi ke rumah kakak perempuanku, dan mengabarkan kematian ayahku. Lalu kakakku juga mengabarkan ke seluruh sodara yang ada di luar kota. Beginikah rasanya kehilangan seorang ayah? Sakit, tapi dalam hidupnya juga tidak membuatku senang sama sekali. Rasa ini bercampur aduk. Ibuku yang paling terpukul dengan kejadian ini. Sesosok ibu yang sangat tangguh dan penyabar pun tak kuasa bila dihadapkan dengan kematian. Tiga hari tiga malam ibuku terus saja menangis. Dia masih tidak terima, tidak ada sakit apa-apa yang menjangkitnya. Pagi juga masih bekerja di kebun, malam juga masih makan. Secepat itukah kematian menghampiri?

Hari demi hari berlalu. Kami mengenang semua jasa yang pernah dilakukan oleh ayakku dulu ketika masih hidup. Semua keluarga juga berkumpul di rumah ibu, dari kakak yang pergi merantau ke Jakarta dan Surabaya. Ibuku mencertikan semua dibalik apa yang ayahku lakukan, dia berkata : “Ayahmu sungguh mulia, dia rela membenahi pakaian usang miliki temannya itu bukan suatu hal yang percuma. Dia punya prinsip yang baik. Pernah bilang sebelum kematiannya, ibu tanya kenapa terus-terusan melakukan pekerjaan yang tidak di bayar itu. Dia berkata : ‘kalau pakaian-pakaian ini tidak diperbaiki, maka mereka tidak bisa memakai baju. Sedangkan mereka butuh baju ini sekedar menutup aurat mereka.

Dari situ aku baru mengerti, sungguh tulus perbuatan yang dia lakukan, Ayah tau keluarga kami dari golongan yang tidak punya, tapi dia melihat temannya lebih membutuhkan sehingga rela mengorbakan dirinya sendiri untuk orang lain, walaupun dengan banyak keterbatasan fisiknya. Dia juga tau kalau pemilik pakaian usang itu tidak akan sanggup membayar uang, dari sana juga ayahku tak pernah memberikan tarif bagi mereka.

Pernah sekali,-mungkin saking gak enaknya mereka yang terus-terusan datang dan tak pernah memberi upah, salah satu dari mereka memberikan upah kepada ayahku sebesar 2 ribu perak.

Bayangin, sebandingkah 2 ribu dengan kerja lembur begadang?

Aku kaget bercampur kagum, semua yang diceritakan ibuku itu nyata. Dibalik sosok diamnya, ternyata dia sebetulnya begitu baik. Kematiannya juga tidak dipersulit, dalam jasadnya juga terahir aku melihat ada senyum dan keringat dingin yang membasahi wajahnya. Aku dengar-dengar dari pengajian bahwa salah satu tanda-tanda kematian husnul khotimah adalah kematian yang tiba-tiba, keringat keluar dari tubuhnya, dan lain sebagainya. Kuharap ayahku dapat dari salah satunya. Dari peziarah juga cukup banyak, sampai-sampai temanku bertanya “apakah ayahmu seorang tokoh di desa?” Tentu aku jawab tidak. Ayahku orang yang biasa yang cacat fisiknya. Tidak terkenal dan jarang dikenal oleh orang banyak. Satu yang dibisikan ibu ketelingaku, sebuah keikhlasan menghasilkan buah yang tak pernah bisa dirasakan oleh orang lain. Itulah ayahku.

Ohh ayah, andaikan sedikit saja kita bisa bicara, aku ingin sekali menanyakan bagaimana kabarmu hari ini? Apa kau sehat-sehat saja? sudahkah kau makan pagi ini? Tapi waktu kini sudah memisahkan kita.

Ohh ayah, mungkin jasamu tak akan bisa aku lupakan, aku hanya bisa mengucapkan terimakasih sudah membesarkanku sampai seperti ini, aku hanya bisa berterimakasih. Sampai jumpa ayah. Doaku selalu menyertaimu. Aku akan berusaha menjadi anak yang sholeh, aku berjanji untuk selalu menjaga ibu. TAMAT