Lompat ke isi

BIBIR EMEK-EMAK TETANGGA

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

BIBIR EMEK-EMAK TETANGGA

Tung Widut


      “Bagaimana kabar   mbak Wawa?” tanya bu Is,
      “Ya dibawa ke Malang sesuai rujukanya kemarin,” jawab Bu Hastuti. 
      Bu Is dengan semangat menyampaikan pendapatnya tentang  Yoyok. Anak tertua bu Wawa yang dianggap tega tak mengantarkan ibunya ke rumah sakit. Menurutnya anak yang tak tahu balas budi terhadap orang tuanya. Hanya mementingkan mencari uang. hanya mementingkan dunianya tanpa mementingkan akhirat.  Masih banyak lagi argumen yang disampaikan menurutnya itu. 
      Bu Hastuti pun menceritakan   menurut  yang dia ketahui. Yoyok anak pertama bu Wawa memang sengaja tidak ikut. Dia yang bekerja sebagai penjual sayur matang bersama istrinya. Hasil jualan itu digunakan untuk membiayai pengobatan  bu Wawa. Hanya dia yang bekerja, dua adiknya Huda dan Nike   belum bekerja.  Jadi bagi-bagi tugas. Apalagi Suami Bu Wawa juga sedang sakit di rumah. Yang masih bisa jalan tapi untuk makan tak bisa masak sendiri.  Harus disiapkan semuanya. 
     “Tapi masak sih ditinggal separo hari saja nggak mau. istrinya kan ada,” kat Bu Is. 
     “Lah nggak tahu lah bu. Mungkin sungkan kalau harus  ini itu sama mertua,” jawab Bu Hastuti.
     Seakan tak puas dengan jawaban bu Hastuti, Bu Is kmbali mengutarakan pendapatnya dengan tegas. 
     Pembicaraan berhenti  saat sholat magrib berjamaah dimulai malam itu.  Bu Hastuti pun segera pulang selepasnya. Tapi tidak dengan ibu-ibu lain. Untuk menunggu jamaah sholat Isya mereka berkerumun.  Tema yang dibahas masih saja sama. Tentang tetangga mereka bu Wawa yang sedang sakit kanker. 
      “Lo kok buyar? Apa sudah selesai rapat pentingnya?” tanya Pak Imam sambil tertawa. 
        Pak Imam  samar mendengar pembicaraan mereka tentang kakak iparnya itu. Tentang rujukan dan jalan keluar dari pendapat masing-masing. Tapi pembicaraan  itu tiba-tiba berhenti saat pak Imam lewat. 
      “Ma tadi ibu-ibu itu membicarakan kak Wawa. Eh, aku lewat buyar semua,” kata pak Dodo.
       “Aku tadi juga ditanya,” kata Bu Hastuti.
       “Tanya apa?” kata pak Imam.
      Tanya kenapa Yoyok nggak mengantar ibunya. Ya saya jawab kalau dia bagian mencari uang. Ngurusi anaknya masih ujian dan ngurus pak Yako  yang juga sedang sakit,” jawab bu Hastuti.
     “Kamu itu jangan gitu jawabnya. Itu namanya kau tak bisa menutupi aib keluarga. Harusnya jawabnya  nggak gitu,” kata pak Imam menyalahkan istrinya.
     “Lo kan memang kenyataan seperti itu. lah sebenarnya aku kan juga nggak tahu pertimbangan Yoyok berbuat itu,” kata bu Hastuti.
     “Iya tapi kata-kata kamu itu salah. Nggak bisa menutup aib keluarga,” kata Pak Imam menyalahkan.
      “Ya kalau ada pertanyaan lagi kamu jawab aja yang betul,’ kata Bu Hastuti. 
      Pak Imam semakin marah ketika sang istri menjawab tak sesuai keinginan nya. Menurutnya Istri  harus menjawab sesuai keinginan. Sang istri  tentu tak bisa,  karena pikiran tiap orang tak sama. 
       Hari berganti, matahari semalam telah lelap. Ditimang hawa dingin dan keindahan rembulan.  dan keesokan kembali memancar sepanjang siang. ketika sore tiba bu Hastuti menyapu halaman rumah. 
      “Bagaimana keadaan  bu Wawa,” tanya bu Is.
      “Diarenya belum sembuh,” jawab Bu Hastuti. 
      “Saya itu tidak menanyakan diare. Menanyakan kelanjutan  rujukan dari rumah sakit Tulungagung. Setelah dibawa ke rumah sakit Saiful Anwar  Malang itu terus bagaimana?” tanya Bu Is.
       “Lah ya itu, kata anaknya diarenya belum sembuh. Masih diperiksa lagi oleh dokter sana,” jawab bu Hastuti.
       Bu Is tak terima dengan jawaban bu Hastuti. Dia menjelaskan bahwasanya dia setiap pagi  menjenguk bu Wawa. Mendapatkan informasi dari bu Wawa akan pergi ke  Saiful Anwar  Malang. Minta doanya agar  proses mencari obat bisa berhasil.
       Informasi inilah yang menjadi landasan bu Is  menolah apa yang dikatakan bu Hastuti. 
     “Ya kabar terakhir yang ku terima itu. Tentang yang lain saya nggak mengerti,” jawab Bu Hastuti. 
     Sebenarnya apa yang diceritakan bu Is dimengerti oleh bu Hastuti. Hanya  menghindari pembicaraan yang simpar siur, anggapan pribadi dan cerita yang digoreng oleh bibir emak-emak para tetangga lebih baik  memberi  keterangan sedikit saja. 
      Tangan kanan bu Hastuti sengaja mengambil sapu. Diayunkan tangannya  membersihkan  altar yang tak kotor. Di hatinya berharap pembicaraan tak ngelantur  ke opini-opini tetangga.