Lompat ke isi

Dampak Pembangunan Kereta Api di Bidang Ekonomi

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Pembangunan jaringan transportasi kereta api membawa dampak signifikan terhadap ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di sepanjang jalurnya. Salah satu perubahan yang mencolok adalah meningkatnya aktivitas di sekitar jalur kereta api, seiring dengan berkembangnya perkebunan tebu dan bertambahnya jumlah penduduk di wilayah tersebut. Perubahan ini ditandai dengan semakin padatnya lalu lintas di sekitar jalur kereta serta munculnya pusat-pusat perdagangan baru. Kehadiran jaringan transportasi yang lebih efisien mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, mempercepat distribusi barang dan jasa, serta membuka lebih banyak peluang usaha bagi masyarakat setempat.

Munculnya Pusat Perdagangan Rakyat

[sunting]
Pasar Peterongan di Semarang yang bersebelahan dengan rel kereta api.

Keberadaan transportasi kereta api telah menjadi pendorong utama dalam berkembangnya aktivitas perdagangan di berbagai wilayah, baik di pedesaan maupun perkotaan. Kehadiran jalur kereta api menciptakan daya tarik bagi masyarakat untuk bertransaksi, sehingga mendorong pertumbuhan pasar tradisional di sekitar stasiun dan jalur kereta.[1]

Di berbagai stasiun kecil yang terletak di daerah terpencil, terdapat tradisi hari pasar yang berlangsung pada waktu-waktu tertentu. Pada hari-hari pasar ini, para pedagang kecil berbondong-bondong datang ke stasiun dengan membawa berbagai barang dagangan yang mereka peroleh dari kota-kota besar. Biasanya, pedagang pria membawa barang dagangan dengan cara dipikul di bahu, sementara pedagang wanita menggunakan berbagai metode, seperti menggendong barang dagangan di punggung atau menyeimbangkannya di atas kepala. Kehadiran pasar di sekitar stasiun-stasiun terpencil ini tidak hanya memudahkan distribusi barang dari kota ke desa, tetapi juga memperkuat roda perekonomian masyarakat setempat.[2]

Penyerapan Tenaga Kerja

[sunting]
Pembangunan jalur kereta api oleh pekerja Tionghoa dari Perusahaan Kereta Api Deli di Medan.

Beroperasinya kereta api memberikan banyak kesempatan kerja bagi masyarakat pribumi. Dalam perusahaan kereta api milik pemerintah, Staatsspoorwegen Maatschappij, tercatat terdapat 30.100 pegawai yang bekerja. Dari jumlah tersebut, sebanyak 100 orang merupakan insinyur dari golongan atas dan 2.500 orang lainnya berasal dari golongan menengah, yang mayoritas adalah warga Belanda. Sementara itu, sebagian besar tenaga kerja, yakni 27.500 orang, berasal dari kalangan pribumi.[3]

Tenaga kerja yang direkrut dalam pembangunan jalur kereta api memiliki tugas yang beragam sesuai dengan tingkat keahlian mereka. Pekerjaan dasar seperti mengangkut tanah, menggali, serta membangun kubu-kubu dan pondasi jalur kereta api umumnya dilakukan oleh tenaga kerja tidak terlatih. Mereka bertanggung jawab atas pembuatan pematang serta persiapan bahan pondasi dan beton. Sementara itu, pekerjaan yang lebih teknis seperti pembuatan bantalan rel dan pemasangan rel membutuhkan tenaga kerja terlatih, terutama para tukang kayu dan pandai besi. Sebagian besar tenaga ahli ini berasal dari daerah setempat. Mereka bekerja di bawah pengawasan Kepala Tukang serta para ahli teknik dari Barat dalam membangun berbagai infrastruktur pendukung seperti jembatan, saluran air, lengkungan jalur kereta api, terowongan, pagar, dan rambu-rambu jalur.[1]

Dari segi penghasilan, upah harian para pandai besi cukup bervariasi tergantung pada keahlian mereka. Pandai besi berkualitas tinggi dapat memperoleh bayaran antara f0,80 hingga f1,5 per hari, sedangkan pandai besi dengan keterampilan biasa menerima upah berkisar antara f0,60 hingga f1,00 per hari. Hal ini mencerminkan pentingnya tenaga kerja terampil dalam pembangunan infrastruktur perkeretaapian.[4]

Munculnya Pekerja Nonformal

[sunting]
Kereta kuda di depan Stasiun Bogor.

Munculnya berbagai lapangan pekerjaan baru akibat pembangunan jaringan kereta api menyebabkan perubahan dalam sektor tenaga kerja. Para pekerja yang sebelumnya bergantung pada pekerjaan di sawah mulai beralih ke berbagai bidang, seperti buruh perkebunan, pekerja pabrik, serta kuli gendong di stasiun-stasiun kereta api. Kuli gendong yang banyak beroperasi di stasiun umumnya berasal dari golongan kuli indung atau tlosor, yaitu pekerja kasar yang bertugas mengangkut barang bawaan penumpang.[5] Selain itu, keberadaan stasiun-stasiun kereta api juga menciptakan peluang usaha baru dalam sektor transportasi, seperti jasa penarik gerobak dan kereta kuda.Pada masa itu, kereta kuda menjadi sarana transportasi utama untuk perjalanan jarak dekat, terutama mengantarkan penumpang dari stasiun ke penginapan atau tempat tujuan lainnya di sekitar kota. Hal ini terjadi karena pada saat itu transportasi dalam kota dengan jarak pendek masih sangat terbatas.[1]

Daftar Referensi

[sunting]
  1. 1,0 1,1 1,2 Darini, R., Hartono, M., Miftahuddin, E. A., & Sulistyo, Y. B. (2014). Laporan Penelitian: Kereta Api di Jawa Tengah dan Yogyakarta Tahun 1864-1930. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta.
  2. Ratnawati, Y. (2014). Perkembangan perkeretaapian pada masa kolonial di Semarang Tahun 1867-1901. Journal of Indonesian History, 3(2). https://journal.unnes.ac.id/sju/jih/article/view/7329
  3. Tim, Telaga Bakti Nusantara.(1997). Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid I. Bandung : CV. Angkasa.
  4. Suryo, Djoko. (1989). Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Studi Sosial UGM.
  5. Soemarjan, Selo. (1981). Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: UGM Press.