Dampak Pembangunan Kereta Api di Bidang Sosial
Munculnya Tenaga Ahli
[sunting]
Perusahaan kereta api Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) juga merekrut pekerja pribumi untuk berkontribusi dalam operasional perkeretaapian. Beberapa penduduk lokal tercatat bekerja sebagai masinis dan petugas pemindah jalur di berbagai stasiun, seperti Srandakan, Mangiran, dan Pekodjo. Para pekerja pribumi yang direkrut oleh perusahaan ini umumnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah, namun diutamakan bagi mereka yang memiliki kemampuan membaca dan berhitung. Selain itu, untuk meningkatkan aksesibilitas layanan kereta api bagi masyarakat, NISM sering kali menempatkan pekerja pribumi sebagai penjual karcis. Dengan adanya tenaga kerja lokal di bagian pelayanan ini, penduduk pribumi yang hendak menggunakan kereta api dapat lebih mudah memahami prosedur pembelian tiket dan perjalanan. Pada tahun 1914, sebagian besar posisi operasional seperti masinis, kepala stasiun, juru tulis, dan kondektur telah diisi oleh orang Indonesia. Sementara itu, jabatan pengawas tetap dipegang oleh orang-orang Eropa, mencerminkan struktur hierarki kolonial dalam sistem ketenagakerjaan perkeretaapian di Hindia Belanda.[1]
Meningkatnya Mobilisasi Masyarakat
[sunting]
Keberadaan transportasi modern berupa kereta api membawa dampak signifikan terhadap mobilitas penduduk. Menurut Houben, salah satu perubahan sosial yang mencolok di wilayah Vorstenlanden adalah meningkatnya mobilitas geografis. Dengan beroperasinya jalur kereta api di Jawa Tengah dan Yogyakarta, masyarakat semakin mudah untuk berpindah tempat dan memanfaatkan layanan transportasi tersebut. Kereta api menjadi pilihan utama bagi berbagai kalangan, termasuk para pedagang, kaum priyayi, serta buruh pabrik, karena menawarkan perjalanan yang lebih cepat dan biaya yang lebih terjangkau dibandingkan moda transportasi lainnya. Selain mempercepat distribusi barang dan jasa, keberadaan kereta api juga memperlancar sirkulasi penduduk serta mempermudah migrasi antara desa dan kota, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial di berbagai wilayah.[2]
Modernisasi Kota
[sunting]
Perkembangan transportasi kereta api membawa dampak besar terhadap pertumbuhan kota-kota persinggahan, terutama yang memiliki stasiun besar. Seiring dengan meningkatnya arus kedatangan penduduk ke pusat-pusat kota, kebutuhan akan lahan untuk permukiman dan usaha pun semakin bertambah. Akibatnya, kota-kota yang menjadi pusat aktivitas ekonomi dan perdagangan mengalami perluasan yang pesat. Untuk mengakomodasi perkembangan ini, diperlukan perencanaan pemekaran kota yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, baik dalam hal infrastruktur, permukiman, maupun fasilitas umum lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan kereta api tidak hanya berfungsi sebagai sarana transportasi, tetapi juga sebagai pemicu utama dalam pertumbuhan dan transformasi perkotaan.[1]

Di Surakarta, untuk mendukung mobilitas masyarakat dan modernisasi kota dibangun pembangkit listrik, hasil kesepakatan pemerintah kolonial, Kasunanan Surakarta, Pura Mangkunegaran, dan masyarakat Tionghoa yang diwakili oleh Babah Mayor. Pada tahun 1902, pemerintah kolonial Belanda memberikan kewenangan kepada perusahaan Soloche Electricitiet Maatschappij (SEM) untuk membangun pembangkit listrik. Lokasi pembangunan fasilitas ini dipilih berdekatan dengan Stasiun Purwosari. Keberadaan pembangkit listrik ini diharapkan dapat mendukung operasional transportasi kereta api serta memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakat dan industri di sekitarnya. Langkah ini mencerminkan upaya pemerintah kolonial dalam mengembangkan infrastruktur modern yang berkaitan dengan sistem transportasi dan elektrifikasi di wilayah tersebut.
Daftar Pustaka
[sunting]- ↑ 1,0 1,1 Darini, R., Hartono, M., Miftahuddin, E. A., & Sulistyo, Y. B. (2014). Laporan Penelitian: Kereta Api di Jawa Tengah dan Yogyakarta Tahun 1864-1930. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta.
- ↑ Houben, Vincen.J.H. (2002). Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870. Yogyakarta: Bentang Budaya.