Dreams and Visions: Is Jesus Awakening the Muslim World?/Afghanistan - Pintu Gerbang Neraka yang Tak Langgeng

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Orang Penuh Damai di Kota "Bom!"[sunting]

Kebanyakan orang Amerika yang tak bekerja di badan militer AS tidak akan menganggap tahun 2009 sebagai tahun yang baik untuk pergi ke Afghanistan. Tapi JoAnn dan aku tetap saja pergi ke sana. Kami menolong seorang teman yang bertugas di sana.

Bagi kami, Afghanistan tidaklah asing karena pernah beberapa kali ke sana, tapi Joel Rosenberg tidak pernah ke sana sebelumnya. Di saat itu, dia sedang melakukan riset untuk bukunya yang hebat yang berjudul Inside the Revolution,[1] dan aku tengah menyelesaikan bukuku yang berjudul Breakthrough: The Return of Hope to the Middle East.[2] Setiap kunjungan pertama ke negara Timur Tengah adalah pengalaman yang mencengangkan bagi orang Amerika, tapi perjalanan kami bersama Joel dan asistennya yang bernama Jeremy, merupakan suatu catatan rekord tersendiri. Apa yang kami alami dalam perjalanan ini merupakan pengalaman yang merubah hidup, dan terlebih lagi, kami bertemu seorang pria yang pertemuannya dengan Yesus merupakan salah satu kejadian yang paling berkesan yang pernah aku dengar. Kami sangat terperangah saat mengetahuinya.

Permintaan Sarang Candu[sunting]

Riset Joel termasuk mewawancarai para pemimpin suku yang merupakan bagian dari penyuplai bahan mentah bagi perdagangan ganja yang sangat besar di Timur Tengah. Ladang tanaman opium yang sangat menguntungkan terletak tersembunyi diantara bukit² di sekeliling Afghanistan. Semuanya ini menjadikan Afghanistan sebagai negara nomer satu penghasil opium di dunia. Negara ini merupakan bagian dari segitiga emas di mana sudut² lain adalah negara Burma dan Laos. Ironisnya, produksi opium semakin meningkat setelah Amerika Serikat menyerang negara ini di tahun 2001.

Eropa terutama merupakan pembeli utama dari hasil panen opium Afghanistan. Warga Afghan merupakan suplair terbesar heroin di Eropa. Pertanyaan favorit Joel adalah: "Dengan begitu besarnya usaha militer Amerika di negara ini mencegah pananaman dan penjualan opium, mengapa sekarang justru perdagangan opium diluar kontrol?"

Para pemimpin suku mengajukan berbagai versi atas jawaban yang sama: Presiden Hamid Karzai dan saudara lakinya, Ahmed, membuat semua perdagangan opium berlangsung lancar. Joel seringkali mengutip artikel dari New York Times yang diterbitkan pada tanggal 4 Oktober, 2008, yang menulis klaim bahwa Ahmed Wali Karzai adalah "pelaku utama" dalam perdagangan obat bius ilegal ini. Setiap kali Joel menyinggung hal itu, orang² Afghan hanya tersenyum saja. Ahmed Karzai bukan hanya pelaku utama saja. Dia adalah raja dan penguasa perdagangan obat bius seharga miliaran dollar di Afghanistan.

Hubungan pelik antara pemerintahan Karzai, para kepala suku, dan Taliban, yang silih berganti mendukung dan menentang kelompok militer AS dan Eropa, menciptakan potensi besar terjadinya kekerasan yang senantiasa siap meledak, baik di dalam atau pun luar kota.

Kehidupan di Jalur Siap Ledak[sunting]

Di suatu tempat di Kabul pada malam hari sebelum istriku Joan dan Betsie, seorang wanita missionaris yang tinggal di Afghanistan, bergerak melaju ke kota dengan naik mobil van, seorang teroris sedang sibuk menyusun bom dalam sebuah mobil. Di Kabul seringkali terjadi peledakkan bom mobil di pagi dan petang hari, saat lalu lintas terpadat agar jumlah korban semakin banyak. Pihak Taliban memasang bom² mobil ini untuk memperingatkan militer Amerika bahwa Taliban masih merupakan kekuatan yang patut diperhitungkan, meskipun telah diperangi tentara Amerika selama sepuluh tahun. Warga lokal yang menentang Taliban mengerti bahwa pesan bom ini juga disampaikan bagi mereka.

Kabul terkenal akan kemacetan lalu lintasnya yang luar biasa, dan JoAnn dan Betsi terperangkap di dalamnya. Enam baris mobil dan truk berdempetan memadati jalan berjalur empat dengan tanda jalan ke setiap arah. Ketika lalu lintas Kabul bergerak, keadaannya sama seperti lalu lintas di Kairo, di mana berbagai mobil bergerak ke berbagai arah dengan suara² klakson yang bising.

JoAnn dan Betsie mencoba untuk tidak merasa frustasi dengan keadaan lalu lintas itu dan membahas bagaimana mereka mengatur pertemuan malam itu begitu mereka kembali dari desa Taliban di daerah luar kota. Agar bisa mendengar perkataan orang lain di tengah² lalu lintas yang pekak dengan suara klakson terus-menerus, mereka harus berteriak keras. Keduanya meringis saat mendengar suara ledakan keras yang mengatasi segala kebisingan lainnya.

JoAnn memberitahu aku apa yang terjadi selanjutnya: "Supir kami berteriak, 'Bom mobil, bom mobil!' Dia tidak bisa menggerakkan mobil van itu barang satu senti pun, bahkan ketika mobil sedan abu² yang persis terletak di sebelah mobil kami baru saja meledak. Mobil itu terpelanting ke selokan setelah bom diledakkan.

"Kami tak percaya apa yang kami lihat. Supir kami dengan tenang menjelaskan bahwa orang² tahu bagaimana bom² ini bisa meledak - orang² lain berlarian dari mobil mereka karena takut akan ada bom² lain yang bisa segera meledak pula - tapi dia pikir kami lebih aman untuk tetap tinggal di dalam van. Jika ada bom lain yang akan meledak, mobil van itu bisa memberi kami perlindungan, atau para teroris mungkin menunggu sampai bisa menembaki oarng² yang berlarian di jalanan.

"Betsie dan aku merasa begitu putus asa. Bagaimana orang bisa hidup seperti ini?"

Joel, Betsie, JoAnn, dan aku tak lama kemudian menyadari bagaimana hebatnya Tuhan dalam melindungi nyawa JoAnn dan Betsie. Ketika bom rakitan sendiri itu diledakkan, hanya sebagian bom yang meledak. Jika bom itu bekerja dengan sempurna, maka bom itu jelas akan meledakkan mobil sedan abu², mobil van kami, dan juga mobil² lain di sekeliling kami, dan semua orang yang ada di dalamnya.

Kami menyadari bahwa Tuhan telah mendorong kami begitu kuat untuk berdoa di malam hari sebelum JoAnn dan Betsie pergi. Kami mengira hal ini berhubungan dengan Taliban di desa yang akam kami kunjungi, tapi ternyata ini adalah tentang Taliban di Kabul yang ingin membunuh orang² yang sedang dalam perjalanan pulang dari tempat kerja.

Kami berterima kasih pada Tuhan yang Maha Kuasa karena menyelamatkan nyawa JoAnn, Betsie, dan supir kami Abdul. Kami juga berdoa bahwa orang yang menjadi target sasaran Taliban pada suatu hari akan menerima Yesus. Aku memeluk JoAnn seerat mungkin, dan kami menangis saat mengingat apa yang bisa terjadi jika saja bom itu bekerja dengan baik. Aku tahu dia tidak terlalu tergunang, begitu aku mendengar perkataan pertamanya setelah kami menyeka airmata: "Nah, setelah sekarang sudah selesai, ada yang punya permen coklat, gak?"

Tak lama kemudian kami bertemu seorang pria di Kabul yang kehidupannya telah diubah karena pertemuan lainnya yang sangat berbeda yang terjadi di luar kota ini.

Ingin Tahu Tapi Tetap Tak Yakin[sunting]

Perjalanan rohani Mateen sehingga akhirnya bertemu Yesus dimulai di jalanan di Kabul. Hubungannya dengan berbagai teman yang cinta damai akhirnya membawanya pada orang² Kristen. Dia senang mendengar mereka berbicara bagaimana Yesus telah datang membawa perdamaian dengan Tuhan dan akhirnya akan menegakkan kembali perdamaian di seluruh dunia. Rasa ingin tahunya akan Yesus semakin bertambah ketika dia mulai bekerja secara rutin dengan David.

David, si orang Amerika, bekerja bagi proyek organisasi non-pemerintah, mengajarkan kaum wanita Afghan untuk mencari nafkah dengan cara menjahit pakaian² yang sederhana. Dia butuh penerjemah, dan organisasi itu menyewa Mateen untuk menerjemahkan. Mateen bersyukur karena dulu telah belajar bahasa Inggris sedemikian baik sehingga dia bisa menolong orang Amerika baik hati dalam pekerjaannya dan berbicara cukup akrab sehingga mereka bisa berteman, selain juga berhubungan sebagai kolega.

Bebarapa hari setelah bertemu Mateen, David mengetahui rasa tertarik pria Afghan ini terhadap masalah² spiritual. David lalu mulai menggunakan Alkitab untuk menunjukkan contoh bagaimana Tuhan sangat peduli akan manusia. Perkataan Yesus dan Paulus tentang hidup dalam damai menjadi subyek favorit pembicaraan Mateen. Meskipun dia sangat kagum pada kedua sosok di Alkitab ini, minat untuk meninggalkan Islam dan menjadi orang Kristen sangat jauh dari pikirannya. Bagaimanapun juga, Muslim yang menjadi pengikut Yesus di negara Islam keras seperti Afghanistan, tentu akan dijahati atau bahkan juga bisa dibunuh. Bersikap setuju pada pandangan Yesus akan dunia damai saja sudahlah cukup. Muhammad kan juga begitu; dia bicara tentang Isa dalam Qur'an.

Maka Mateen bisa menikmati dua dunia, Islam dan Kristen, dan yang lebih penting, dia tetap bisa diterima oleh teman² dan keluarga Muslimnya. Ini adalah rencana yang ideal. Tapi lalu Mateen bertemu Yesus.

Menuju Pertemuan[sunting]

Mateen telah memberitahu David tentang rencananya berlibur dengan berjalan-jalan di hutan. David berjanji untuk berdoa agar saat Mateen sendirian di lembah, maka keadaan itu akan mendekatkan dirinya pada Tuhan. Untuk mempersiapkan hari² liburan ini, kedua pria itu bekerja lembur di malam sebelumnya. Tapi keesokan harinya ternyata Mateen merasa begitu kuat untuk berjalan di hari itu. Dia bangun pagi² dan berjalan seperti biasa ke tempat tujuan rekreasinya.

Udara bersih membuat Mateen merasa segar saat berjalan mendaki bukit. Dia bisa merasakan kebugaran jiwanya, dan sewaktu dia tiba di kumpulan pohon² juniper yang disukainya, dia berhenti dan mengangkat kedua lengannya untuk berterima kasih pada Allah bagi kehidupannya. Mateen menutup kedua matanya, tapi ada rasa aneh yang mengganggu konsentrasinya sebelum dia bisa mengucapkan rasa syukur apapun. Dia menyadari itu sebelum dia membuka matanya: dia tidak sendirian saja di situ.

Seorang Pria dengan jubah putih berdiri di tengah lingkaran yang dibentuk oleh enam pohon juniper. Bertemu orang di tengah² daerah sepi yang jauh dari jalan raya mungkin bukanlah hal yang baik, tapi bukannya rasa takut, Mateen malahan merasakan damai sejahtera membanjiri tubuhnya. Dia segera mengenal perasaan itu yang disebut di sebuah ayat Alkitab yang David pernah bacakan baginya. Sebelum Pria itu bicara, Mateen sudah tahu bahwa dia sedang berhadapan dengan Yesus.

Pada awalnya, cahaya dari jubah Pria itulah yang paling mempesona Mateen. Jubah itu tampak sangat terang, tapi tidak silau menyakitkan; dia bisa melihat tanpa harus mengerjapkan matanya. Lalu begitu dia menatap kedua mata Yesus, Mateen tidak bisa mengalihkan pandangannya ke arah lain. Untuk beberapa menit, kedua pria itu berbicara bagaikan sahabat akrab. Mateen merasa bahwa Orang ini telah mengenalnya seumur hidupnya - dan tentu memang Dia begitu. Rasanya tak ada apapun yang tersembunyi, dan tiada apapun yang perlu disembunyikan. Bahkan orang sebaik Mateen juga telah melakukan berbagai hal yang memalukan, tapi semuanya terasa tak jadi masalah. Yang penting hanyalah keberadaan Yesus di situ saja.

Sewaktu dia berjalan pulang ke rumahnya di sore harinya, Mateen merasa kakinya tidak berpijak pada tanah. Apakah itu semua benar² terjadi? begitu dia bertanya pada dirinya sendiri lusinan kali, dan setiap kali, jiwanya meyakinkan dirinya bahwa itu memang terjadi. Dia tidak memberitahu siapapun di rumahnya akan penampakan itu. Dia khawatir orang² akan menyangkanya gila atau mempertanyakan keteguhan iman Islamnya. Selain itu, karena dia agak percaya takhayul, dia khawatir Yesus tidak akan pernah muncul lagi jika dia menyebarkan rahasia itu. Di malam harinya, Mateen berbaring tanpa bisa tidur karena mengingat setiap saat pertemuan itu. Dia merenungkan apakah dia perlu memberitahu David akan hal itu.

Keesokan paginya, Mateen pergi ke hutan lagi. Dia mencoba tidak begitu berharap Yesus akan muncul lagi untuk kedua kalinya. Dia tidak ingin kenangan indah mempesona kemaren berakhir dengan kekecewaan hari ini, tapi ternyata teman baru Mateen tidak mengecewakan hatinya. Sewaktu dia melangkah ke daerah pepohonan juniper, dia bisa melihat bahwa Yesus sudah menunggunya di situ. Sama seperti kemaren, mereka lalu berbicara, firman Pria berjubah itu masuk tertanam ke dalam jiwa Mateen.

Di hari ketiga mereka bertemu di hutan, Yesus dan Mateen mulai mendiskusikan hal yang pertama kali membawa Mateen ke hutan itu sekitar setahun yang lalu. Yesus meyakinkan Mateen akan cinta kasihNya dan lalu berbicara tiga kalimat yang mengubah kehidupan pria Afghan itu selamanya: "Mateen, engkau mendambakan perdamaian. Tapi damai di bumi hanya sesaat saja. Engkau tidak bisa mendapatkan kedamaian yang langgeng sampai engkau mencintai sang Raja Damai."

Selama tiga bulan, Yesus bertemu dengan Mateen setiap kali dia mendaki bukit itu. Sama seperti yang dilakukan Pria dari surga di Alkitab pada orang² di Alkitab, Dia meminta pria Afghan yang cinta damai itu untuk mengikutiNya. Dan sama seperti para pahlawan di Alkitab, Mateen pun menyatakan kesediaannya.

Masih di Jalur yang Sama[sunting]

Di tahun 2011, Operation World melaporkan bahwa Iran dan Afghanistan memiliki jumlah pertumbuhan gereja per kapita yang tercepat di dunia![3] Bagi kedua negara itu, statistik ini benar² mencengangkan.

Para ahli riset memperkirakan bahwa ketika Syah Iran digulingkan di tahun 1979 dan Republik Islam Iran berdiri, hanya ada lima ratus umat Kristen saja di seluruh negeri itu. Ayatollah Khomeini bersumpah untuk menyingkirkan gereja sehingga Iran hanya "punya satu agama saja." Tapi rencananya malah berbalik menyerangnya. Sekarang di Iran terdapat lebih dari sejuta umat Kristen.

Kisah di Afghanistan juga serupa. Para imam seringkali membual, "Terdapat empatpuluh delapan ribu mesjid di Afghanistan dan tiada satu pun gereja." Bahkan para pengamat Kristen juga setuju akan hal ini. Heather Mercer dan Dayna Curry, para missionaris Amerika di Afghanistan dan penulis Prisoners of Hope,[4] diculik oleh Taliban di Afghanistan dan lalu diselamatkan oleh pasukan Amerika di tahun 2001. Heather pernah memberitahuku bahwa dia ingat saat itu hanya ada delapan orang Kristen di Afghanistan. Sekarang Mateen adalah salah satu dari tiga puluh ribu pengikut Yesus di sana.

Afghanistan tetaplah tempat yang sangat berbahaya bagi umat Kristen dan menduduki rangking pertama dari 10 Negara² yang Paling Berbahaya bagi Orang Kristen. Di tahun 2012, Open Doors menempatkan Afghanistan di urutan kedua sebagai negara yang paling berbahaya bagi umat Kristen untuk hidup di sana.[5] Di satu masa, penindasan begitu parah sehingga umat Kristen berlarian meninggalkan Afghanistan dan memanjat pagar perbatasan untuk melarikan diri ke Iran. Engkau tahu bahwa keadaan tentu sangat jelek jika Iran menjadi tempat berlindung! Meskipun begitu, pengalaman Mateen dengan Yesus dan mempelajari Alkitab telah meyakinkan dirinya untuk tetap tinggal diantara umat Kristen yang telah dia doakan untuk waktu yang sangat lama.

"Keadaan sekarang membaik sedikit di negaraku," dia berkata padaku, "tapi kami masih dalam keadaan perang. Di tengah² keadaan yang serba tak pasti ini, aku tahu bahwa Yesus senantiasa bersamaku. JanjiNya yang agung tak pernah meninggalkan kita. Aku melihat banyak tempat di Perjanjian Baru. Sekarang aku telah menikah dan punya dua anak, dan istriku juga mencintai Yesus.

"Aku membaca Alkitab setiap hari, dan Yesus membimbingku pada orang² Afghan yang membutuhkan Dia. Aku ingin melayani Dia untuk selamanya. Bahkan jika aku dianiaya, aku tak akan berhenti membawa Yesus kepada masyarakatku."

Tekad Mateen untuk tetap bertahan dalam menghadapi segala tekanan bukanlah omong kosong belaka. Meskipun jiwanya yang penuh kerendahan hati menahan dia untuk membagi detail pengalaman jelek yang telah dialaminya, aku tahu dia telah diarah para pejabat Islam dan telah begitu banyak menderita. Dia seringkali ditanyai, dipenjara, dipukuli, dan diancam mati oleh pemerintah yang anti-Kristen. Dia menghitung setiap hari sebagai pemberian illahi karena dia tidak tahu berapa lama lagi dia bisa terus hidup.

Satu dari perbincangan² kami berakhir dengan perkataan Mateen yang serius: "Aku diberitahu bahwa karena cintaku pada Yesus yang begitu nyata, suatu hari aku akan mati bagi imanku padaNya. Aku tahu hal ini mungkin akan terjadi pada diriku. Tapi aku tidak takut dan aku punya kedamaian Tuhan. Begitu Dia berikan itu padaku, aku punya segalanya. Yesus adalah segalanya yang kubutuhkan. Di Mazmur 73:26, Raja Daud berkata Tuhan adalah bagianku. Ini berarti Dia saja sudah cukup untuk menopang diriku. Perkataan Yesus di Yohanes 14:15 memberiku kekuatan: "Jika engkau mencintai aku, kamu akan menuruti segala perintahKu."

"Mengapa Kau Ada di Negaraku?"[sunting]

Pengalaman dihukum penjara di Afghanistan biasanya akan merampas harga diri dan harapan kebanyakan narapidana. Kecuali jika yang mengalami adalah Josh Knight. Dia sudah menduga bahwa suatu hari nanti dia akan masuk ke situ. Dan memang begitulah yang terjadi.

Bertahan menjalani keadaan² yang tak manusiawi dengan penuh sukacita dan senyuman di wajah hanyalah kepanjangan dari kehidupan Josh di dunia luar. Kotoran pada seluruh permukaan semen, piring² berisi makanan basi, dan lubang di lantai untuk buang air tampaknya malah membuat orang Amerika itu lebih bersemangat. Sebagai seorang missionaris, dia telah membayangkan bahwa akhirnya dia akan mengalami hal seperti itu sewaktu melayani Kristus.

Penderitaannya sewaktu dipenjara terasa berkurang karena dia tidak menerima pemukulan seperti yang biasanya terjadi dan karena dia tidak "dibiarkan membusuk di sana." Masa penjaranya relatif singkat dibandingkan masa penjara di Kabul lainnya.

Tatapan yang Tak Dikehendaki[sunting]

Tampaknya pembebasan Josh terjadi setidaknya karena NGO tempat dia bekerja telah mendapat keringanan dari pemerintah Hamid Karzai. Dia kembali bekerja seperti biasa dan menganggap dirinya cukup aman hidup di desa yang berjarak satu jam menyetir dari ibukota. Tapi perasaan aman itu terguncang saat dia mengetahui bahwa Halik, seorang pemuda Afghan yang ganteng, menatap tajam ke arahnya.

"Oh, tidak, jangan lagi," demikan Josh mengomel. Dia membalikkan tubuhnya agar tidak melihat pemuda itu lagi dari seberang pasar di jalan. Mengapa homosexualitas begitu menyebar di Afghanistan? Dan mereka mereka selalu mencari target pria² Amerika?

Selamat tinggal beberapa tahun di negara ini, Josh telah menerima sejumlah besar "penawaran" memuakkan - kebanyakan dari pria² Afghan yang telah menikah tapi tampaknya terpesona dengan rambutnya yang pirang dan matanya yang biru. Istrinya, Sunny, senang menggodanya karena daya tarik bak magnet dirinya terhadap pria² Afghan.

Senyuman² mereka membuatku mual pengen muntah. Aku tak mau berada di pasar ini lagi. Pria itu membuat bulu kudukku berdiri.

Pria yang memperhatikan Josh mengenakan pakaian khas Afghan yang disebut Payraan Tumbaan, dan dari bajunya yang panjang berwarna sawo muda, dia tampak seperti kepala suku. Dia mengawasi targetnya berjalan menjauhinya dan lalu beranjak pergi melalui banyak orang untuk mengikuti Josh.

Kata² Halik yang pertama sewaktu menemui missionaris Amerika itu tanpa sengaja membuat Josh semakin curiga. "Maaf, Pak, tapi saya ingin bertemu berduaan saja denganmu."

"Apa?" Josh memalingkan muka ke arah suara itu dengan rasa khawatir.

"Maksudku, aku harus menemuimu sekarang juga. Apakah engkau bersedia berkunjung ke rumahku?"

Josh merasa ragu saat mencari cara untuk menjawabnya. Permintaan ini lebih terus terang daripada yang biasanya.

"Wah, gak tahu ya. Kurasa itu bukan gagasan yang baik."

Orang itu lalu memandang ke tanah, menyadari bahwa pendekatannya terasa canggung pada orang yang sangat dia ingin temui. "Ini sangat penting." Dia menatap Josh, berharap bisa menyakinkan bahwa tujuannya tulus. "Namaku adalah Halik. Aku yakin engkau punya keterangan yang kubutuhkan. Aku tahu bahwa Tuhan mengirim engkau."

"Tuhan?" Josh tidak mengira akan mendengar kata itu dari pria ini. "Tuhan mengirim aku?"

"Ya! Tolonglah, Pak; aku akan memberitahu hal ini di rumaku. Istriku dan anak²ku berada di situ juga, dan mereka semua ingin bertemu denganmu."

Apakah perkataan itu terdengar tulus atau hanyalah jebakan semata, Josh tidak begitu tahu bedanya, tapi dia mulai percaya akan pria bernama Halik ini. Dia mengucapkan doa minta perlindungan dalam hati dan memutuskan untuk menjenguk keluarga pria ini.

Halik mengejutkan Josh ketika dia memanggil sebuah taksi. Dia kira mereka akan berjalan ke rumahnya. Sebuah mobil Fiat tahun 1980-an dengan tiga warna berbeda di tubuh mobil - yang penuh dengan berbagai penyok² yang menandakan sejarahnya yang penuh kecelakaan - membawa Halik dan temannya sambil sibuk membunyikan klakson meninggalkan pasar menuju ke sebuah perumahan Afghan. Sepuluh menit kemudian, mereka berjalan masuk ke dalam sebuah apartemen yang lantainya berdebu. Di dalamnya terdapat sebuah meja untuk tempat berkumpul bagi Josh dengan Halik, istrinya, dan ketiga anak²nya yang masih kecil.

Perbincangan Selanjutnya[sunting]

Istri Halik yang bernama Leena menyuguhkan secangkir teh. Lalu Halik membuka percakapan.

"Mengapa engkau berada di negara kami?"

Josh merasa kaget mendengar pertanyaan itu, dan dia mulai merasa khawatir. Apakah pria ini sebenarnya mata² imam lokal? Dia telah dilatih untuk bersikap netral dan mengaku sebagai tenaga kemanusiaan sosial berkali-kali, sehingga jawabannya diucapkannya dengan lancar. "Aku hanya ingin membantu orang² di masa perang. Aku tahu hidup itu sukar di sini, dan aku berharap bisa memberi sedikit cahaya dalam keadaan yang gelap."

Kedua mata Halik tampak tak percaya pada jawaban Josh. "Bukan begitu. Apa sih yang sebenarnya engkau benar² lakukan di sini?"

Karena merasa kaget karena jawaban Halik yang ketus, Josh bertanya balik: "Emangnya apa masalahmu dengan apa yang kulakukan di sini?"

Wajah Halik melembut. "Karena engkau muncul terus di mimpi²ku selama tujuh malam terakhir berturut-turut. Ketika aku melihat dirimu datang di pasar itu, aku tak dapat mengalihkan pandangan dari dirimu. Seorang bernama Yesus memberitahu aku tadi malam bahwa engkau memiliki sebuah pesan bagiku. Dia berkata padaku bahwa istriku dan anak²ku harus mendengar pesan darimu juga." Sekarang kedua mata dan perkataannya menunjukkan penuh harapan, "Pak! Apa sih pesan yang kau miliki dari Yesus?"

Kunjungan minum teh Josh ke keluarga Halik berlanjut menjadi kunjungan yang berlangsung selama tiga hari. Di hari pertama, Josh mengirim SMS pada Sunny untuk meyakinkan istrinya bahwa dia tidak sedang diculik Taliban. Pertemuannya itu membuat Sunny merasa gembira dan dia berjanji untuk terus mendoakan suaminya selama dia berada bersama keluarga Halik dalam waktu beberapa hari. Halik menjelaskan setiap mimpinya pada istrinya dan anak²nya. Mereka semua heran apakah makna mimpi² itu.

Karena Halik tidak cukup mahir membaca Qur'an, maka tugas Josh terasa lebih mudah untuk menyampaikan keterangan²nya. Pengetahuan Halik akan Islam terutama berasal dari apa yang dia dengar dari imam di mesjid. Kebanyakan dari sistem kepercayaannya terdiri dari berbagai hal yang takhayul.

Rasa tertarik Leena sama kadarnya seperti suaminya. Begitu Josh bertanya apakah Leena punya pertanyaan, dia berbicara selama sejam, menjelaskan pendapatnya atas pengalaman Halik. Perkataannya membuat Josh kagum. Setelah jam kedua Leena membagi pemikiran dan pertanyaannya, Josh menyadari bahwa ketiga anak² mereka masih duduk di situ dengan tenangnya, mendengarkan setiap kata yang disampaikan. Dia lalu tahu bahwa keluarga ini sedang berada di jalan untuk menjadi keluarga yang mencintai Yesus.

Hari-Hari Selanjutnya[sunting]

Halik dan Leena menerima Kristus dalam kehidupan mereka, dan dengan Josh dan Sunny sebagai pembimbingnya, mereka bertumbuh dengan cepat menjadi orang² yang paling beriman diantara masyarakat mereka. Sekarang mereka memimpin sebuah gereja rumah di mana dua puluh orang berdesakan di dalam apartemen mereka untuk beribadah secara rahasia di malam hari.

Halik sekarang mengerti apa yang sebenarnya paling dibutuhkan masyarakat Afghan. Dia berkata, "Pesan Yesus itulah yang akan membawa perdamaian yang begitu didambakan masyarakat Afghan selama puluhan tahun. Inilah harapan kami. Kami telah mencari perdamaian itu di seluruh agama, politik, peperangan. Tapi semuanya berujung pada jalan buntu, dan tiada satu pun dari pilihan² itu yang membawa perdamaian. Aku adalah orang yang merdeka. Dan Yesus itulah yang memerdekakan diriku."

Referensi[sunting]

  1. Joel C. Rosenberg, Inside the Revolution: How the Followers of Jihad, Jefferson, and Jesus Are Battling to Dominate the Middle East and Transform the World (Wheaton, IL: Tyndale, 2009).
  2. Tom Doyle, Breakthrough: The Return of Hope to the Middle East (Downers Grove, IL: InterVarsity, 2009)
  3. Jason Mandryk, Operation World, 7th ed. (Biblica Publishing, 2010), 916.
  4. Heather Mercer and Dayna Curry, Prisoners of Hope: The Story of Our Captivity and Freedom in Afghanistan (Colorado Springs: WaterBrook, 2003).
  5. “World Watch List Countries,” accessed May 21, 2012, http://www.worldwatchlist.us/world-watch-list-countries.