Dreams and Visions: Is Jesus Awakening the Muslim World?/Arab Saudi - Negara Terlarang

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Perkumpulan Para Kafir[sunting]

Abu Badr memiliki pekerjaan yang tak lazim. Dia memotong-motong badan orang sebagai caranya mencari nafkah. Yang terlebih aneh lagi, pekerjaannya merupakan bisnis keluarga. Bapaknya Abu adalah seorang penjagal orang, dan mereka berdua tidak perlu mengajukan resume untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Pemerintah Saudi Arabia telah menunjuk bapaknya dahulu dan dia sendiri sekarang sebagai ketua penjagal orang di kota Mekah. Apakah Badr akan mewariskan pekerjaannya itu pada anaknya masih harus dilihat kelak, tapi sekarang karier Abu masih terus berayun kencang.

"Setiap orang agak was² ketika aku mulai pekerjaannya yang baru dan khawatir aku akan gagal," kata Badr menjelaskan di wawancara TV. "Tapi aku dengan cepat terbiasa akan pekerjaan ini. Selain melakukan ratusan pemancungan, aku juga potong tangan para pencuri, dan juga potong lengan, kaki di arah yang berlawanan, seperti perintah Qur'an itulah. Aku juga telah memancung banyak orang yang sebenarnya teman²ku pula, tapi siapaun yang melakukan pelanggaran membawa pemancungan itu pada diri mereka sendiri."

Pewawancara bertanya apakah Badr pernah membunuh lebih dari seorang setiap kali acara pemancungan dilakukan. Badr menjawab dengan tenang, "Terpujilah Allah, semua ini gak jadi masalah. Tiga, empat, lima, atau enam - tak jadi masalah. Normal² saja. Pemancungan ya pemancungan." Badr cekikikan. "Selama orang itu berdiri tegak, tugasku jadi lebih mudah."

Di Saudi Arabia, pemancung orang bagaikan seorang selebriti. Hanya ada enam pemancung saja di negera itu. Dan diantara mereka semua, yang paling terkenal adalah Abu Badr. Dia melaksanakan hukum keadilan berdasarkan Qur'an di tempat tersuci Islam, yakni di alun² Mekah.

Teman Berbagi Keluhan[sunting]

Beberapa juta umat Muslim datang ke Saudi Arabia untuk melakukan ibadah haji dengan berziarah ke Mekah selama sebulan. Bagi Amir Issak, mereka semua tampaknya berbaris berdesakkan di antrian pemeriksaan passport di hadapannya. Seperti bagaimanakah kerumunan orang² di Ka'bah nantinya? Dia membayangkan orang² berkmpul di tempat tersuci di Mekkah dan memanjatkan doa², dan dalam hati dia bersyukur bahwasanya dia tidak akan berada diantara orang² itu. Setelah melampaui antrian panjang pemeriksaan passport, Amir tidak akan pergi ke daerah manapun dekat Mekah. Selain mengetahui bahwa sebagai kafir, dia akan dibunuh jika berusaha masuk ke sana, dia juga tak berminat sama sekali beribadah haji. Kedatangannya ke kota asal Muhammad hanyalah untuk kegiatan bisnis saja.

Tiadakah yang tersenyum di negara ini? Amir mengamati wajah² suram di sekelilingnya, orang² yang akan mengalami ibadah haji istimewa yang mungkin hanya sekali saja dalam hidup mereka. Dia tertawa dalam hatinya dan ingin berteriak, "Airport ini bagaikan lelucon saja, sama seperti ibadah hajimu!"

"Agama menghilangkan kemampuan berpikir manusia," demikian bisiknya, sambil mengganti menopang gantungan tasnya ke bahunya yang sebelah kanan. Orang² ini bagaikan robot tak bernyawa - mereka hanya dipenuhi obsesi kewajiban mereka pada Allah saja. Hanya karena uang upahan yang besar saja dia bersedia melakukan perjalanan ke Saudi Arabia dan rela menjalani apa yang dikatakannya pada temannya sebagai "kesintingan agama."

Amir dijuluki teman² kantornya sebagai "suka pesta." Lahir sebagai orang Kristen - jika bukan Muslim di Yordania, tentu engkau adalah Kristen - itu sedikit lebih baik daripada jadi Muslim, demikian pendapat Amir. Tapi setidaknya keluarganya tidak terdorong untuk melakukan ibadah haji. Agamanya tidak berarti banyak baginya, dan dia melakukan apapun yang menyenangkannya, dan mengumpulkan uang sebanyak mungkin adalah hal yang menyenangkan Amir. Mengapa perusahaannya, Jordanian Office of Tourism, menugaskannya pergi ke daerah selatan dari perbatasan minggu ini masihlah belum jelas baginya, tapi dia akan melakukan berbagai rapat dengan para petugas Pemerintah Saudi. Dia sekarang cukup toleran untuk menerima persetujuan bisnis yang korup dengan para Muslim agar bisnisnya bisa jalan lancar. Meskipun begitu hal ini membuatnya semakin muak akan mereka.

Sewaktu barisan antrian para pengunjung mendekati pos pemeriksaan passport, Amir memandang dengan heran orang yang berdiri dekat pintu keluar. Orang itu mengingatkannya akan Jamal Hussein. Dia dan Jamal sering bercakap-cakap selama berjam-jam sewaktu mereka bersahabat bertahun-tahun membahas hal yang mereka berdua tak sukai akan Islam. Dia mengingat kembali percakapan mereka minggu lalu di Via Seven, yang merupakan bar favoritnya di Amman.

"Aku merasa seperti orang bodoh karena tetap tinggal di sini." Amir mencicipi minuman Amstel Light-nya yang kedua. Dia menangkupkan kedua tangannya di sekeliling gelas dingin dan menyentuhkan bibirnya di pinggir gelas. "Jika aku ingin bebas dari apapun tentang Islam, maka aku seharusnya pindah saja ke AS atau setidaknya Eropa."

"Jika nanti engkau menengok saudaramu di San Jose, mintalah sebuah kamar untuk tinggal di situ," kata Jamal tertawa mendengar komentarnya, karena dia tahu Amir tidak akan mau mengorbankan kebebasannya dengan hidup di rumah orang lain.

Amir meliriknya dan menganggukkan kepala pada temannya. "Kau pikir aku tak akan bahagia di California? Aku tahu aku mengomel tentang terlalu banyak Muslim pergi ke Amerika, tapi setidaknya para wanita mereka belum dibalut karung. Aku lebih suka yang perawan yang hanya bisa dibayangkan di angan² kebanyakan orang saja." Amir berhenti sebentar, menikmati khayalannya sebelum melanjutkan, "Jika aku tak usah mendengar suara adhan lagi, aku tentu akan bahagia."

Jamal tersenyum. "Kau pikir meninggalkan Timur Tengah akan menjadi upahmu yang terbesar bagi kerja kerasmu? Tidak juga lah, karena engkau ini terlalu senang mengejek Islam. Selain itu, engkau tak akan tahu musti bicara apa lagi karena tak bisa lagi mengomel tentang mesjid, adhan, burka, imam mengajak jihad. Kurasa engkau senang mengetahui pendapatmu bisa membuatmu dihukum mati."

"Setidaknya Muslim yang akan membunuhku itu tak kenal diriku. Kamu sih akan jadi korban dari keluargamu sendiri jika mereka tahu keadaanmu sekarang. Saudara sepupumu yang ningrat akan menyuruh singa peliharaannya menerkammu," kata Amir mengingatkan Jamal yang telah murtad meninggalkan Islam.

Jamal berasa dari keluarga Muslim yang taat beribadah, sangat terlibat dalam sejarah berdirinya negara Yordania dan berhubungan keluarga dengan Raja Yordania. Pemerintahan, bisnis, agama, pendidikan, dan segala kegiatan mewah merupakan bagian dari keluarga Hussein, tapi Jamal tidak peduli akan Islam. Lulusan pendidikan agama terbaik di Timur Tengah, Jamal telah belajar Qur'an sejak dia mulai membaca. Malah sebenarnya Qur'an adalah yang harus pertama kali dibacanya saat dia diperbolehkan belajar membaca. Tapi Jamal kehilangan imannya saat ibadah haji dulu.

Di suatu petang, Amir dan Jamal menonton wawancara Al-Jazira dengan pemimpin jagal Abu Badr tanpa bergerak dan bersuara apapun. Akhirnya Amir berbicara. "Orang itu sakit jiwa! Lihat tuh, Jamal. Itulah masalahnya dengan Islam. Islam itu tetap gak maju² selama 14 abad. Islam itu tetap saja berdiri di tempat. Bagaimana mungkin tukang jagal ini memotong kepala orang tiap hari dan lalu pulang untuk makan malam dengan keluarganya? Apakah hati nuraninya sudah hilang? Meskipun begitu, dia malahan dihormati dan terkenal di Mekah. Pedang Islamnya yang diayunkannya tiap hari tertera di bendera Saudi. Ini semua sesuai dengan Islam."

"Tahu gak, Amir, engkau gak perlu meyakinkan aku lagi. Ketika aku naik haji dulu di Mekah, aku melihat Abu Bakr sedang bekerja di alun². Saat itulah aku meninggalkan Islam."

Selain penjagalan tak berperi kemanusiaan itu, Jamal bisa melihat melalui obsesi spiritual apa yang sebenarnya menggerakkan kota suci Muslim, dan hal itu ternyata tak berbeda dengan hal terjelek dari humanitas sekuler. Uang dan kekuasaanlah yang menggerakkan Mekah. Harga² hotel naik pesat saat ibadah haji, tak lama sebelum para peziarah datang. Di luar hotel² mahal, keadaan jauh lebih buruk daripada jutaan orang yang berdesakkan di kota. Dan meskipun dia tidak pernah menyampaikan pendapatnya yang sebenarnya tentang Islam pada keluarganya, Jamal yakin bahwa dia pun bisa melihat adanya rasa tak percaya pada diri kedua orangtuanya. Mereka telah berusaha sebaik mungkin untuk membuatnya bangga sebagai keturunan Hashim, tapi fakta yang tak dapat disangkal bisa dilihatnya di lingkungannya - dan juga pengaruh dari sahabatnya si Amir - dan itu lebih berpengaruh dibandingkan didikan keluarganya. Rasa benci akan Islam yang sama itulah yang menyatukan persahabatan antara Jamal dan Amir.

"Tapi surat²ku lengkap kok!" teriakan marah seseorang membuyarkan pikiran Amir. Petugas pemeriksa passport, yang hanya berjarak empat orang di muka Amir sekarang, tidak memberi izin masuk bagi seorang pria tua Iran. "Kau mempermasalahkan aku hanya karena aku Syiah," bentaknya. Orang itu memandang orang² sekelilingnya seakan meminta mereka menjadi saksi.

"Engkau tidak punya identifikasi yang benar, dan dengan begitu engkau harus pulang kembali ke Tehran dengan pesawat berikut!"

Amir mengira akan terjadi adu jotos seperti yang telah disaksikannya tahun lalu. Itu juga dulu dengan orang Iran, begitu ingatnya, dan pikirannya kembali ke komentar² sinis Jamal tentang ibadah hajid dan kota Mekah juga.

"Selain Muslim, siapa sih yang rela pergi ke Mekah? Isinya cuma tumpukan pasir dengan batu hitam tak berarti di tengah²nya. Sungguh tak bisa dipercaya begitu banyak orang menghabiskan semua tabungannya hanya untuk sholat di situ." Jamal menatap Amir, seakan mengejek perkataannya sendiri. "Mungkin itulah perbedaan terbesar antara orang Muslim dan Kristen. Orang Kristen punya selera lebih baik untuk tujuan² tamasya."

"Wah, ahli agama hebat nih engkau." Amir tersenyum mendengar ocehan temannya. "Jika memang ada perbedaannya, maka hanya ada satu. Kedua agama itu datang dan pergi. Pergi ke mesjid. Pergi ke gereja. Di kedua tempat, tak ada apapun kecuali orang² tua yang berkumpul di dalam. Orang² yang menaruh perhatian pada dunia nyata punya kegiatan yang lebih daripada menghabiskan waktu di gereja atau mesjid. Aku kan begitu tuh."

Sebuah tangan dengan gerakan jengkel meminta passport Amir. Dia tak menyadari betapa cepatnya orang Syria di depannya bergerak melewati pos pemeriksaan. Teriakan² orang Syiah Iran yang dipaksa keluar dari terminal masih terdengar sayup² melalui gerombolan manusia sewaktu petugas imigrasi mengamati dokumen perjalanan Amir. Dia lalu mencapkan stempel di atas kertas sebagai ijin masuk dan menandakan missi Amir bagi Tuhan yang dibencinya akan segera dimulai.

Kebetulan Saja Naik Haji[sunting]

Kekacauan di terminal telah tumpah ke jalanan di Riyadh dan mengikuti Amir ke manapun sampai ke Intercontinental Hotel. Berenang selama tiga jam di kolam renang hotel bintang lima telah mengahalau kelelahan yang dirasakan Amir di airport dan juga rasa tegang yang dirasakannya di taksi ketika sang supir menyetir mobil dengan serampangan masuk kota. Percakapannya di taksi dengan seorang bisnisman bernama Ziad dari Yordania membuat perjalanan terasa lebih menyenangkan. Amir senang saat mengetahui bahwa Ziad adalah kenalan dari sepupu Amir di Yaman. Kedua pria itu mengeluh akan saat yang buruk ketika harus mengunjungi jazirah Saudi, tapi keduanya bertukar kartu bisnis dengan harapan bisa berjumpa lagi kelak.

Sewaktu Amir keluar dari kolam renang dan menuju kamarnya, HP-nya berdering dengan panggilan telpon dari sepupunya yang bernama Sahar.

"Salam, sepupuku." "Salam juga bagimu, saudaraku yang senantiasa berkelana. Engkau meninggalkan pesan bagiku."

Amir merasa senang karena dia punya alasan menelpon Sahar. Keduanya selalu senang berbicara bersama, tapi mereka hampir tak punya waktu menelpon tanpa alasan yang jelas. Sekarang alasan Amir menelpon Sahar adalah karena Ziad. "Ada dua juta orang datang ke Riyahd, dan aku kebetulan saja berada di taksi yang sama dengan orang yang kau kenal."

Sahar tertawa mendengarnya. "Ziad apa gitu. Aku tak ingat lagi nama belakangnya." "Oh, iya. Dia itu juga bisnis pariwisata seperti dirimu. Aku tak kenal dia dengan akrab, meskipun dia tampaknya baik. Dan tahu gak? Aku pun tak tahu nama belakangnya juga. Wah aku jadi malu kalau ketemu dia lagi nanti."

"Ah tak perlu begitu, karena aku punya kartu bisnisnya. Aku akan periksa kartu itu kalau aku sudah kembali ke kamarku, dan aku akan beritahu kamu."

Sahar adalah orang Kristen KTP sama seperti Amir dan dia pun bersimpati atas kerepotan yang dialami Amir karena datang ke ibukota Saudi saat ibadah haji. Mereka setuju untuk bertemu bersama sambil minum bir begitu mereka punya waktu luang. Amir mematikan HP-nya dan menekan tombol lift untuk naik ke kamarnya.

Begitu tiba di kamar, Amir mengosongkan semua isi kantong MacBook Pro miliknya untuk mencari kartu bisnis Ziad. Passport Amir terjatuh di ranjang. Lalu dia ingat. Dia telah mengeluarkan passportnya dari balik kantong jaketnya, memasukkan kartu bisnis Ziad diantara halaman passport, dan memasukkan passport itu kembali ke saku komputernya.

Amir mengamati kartu bisnis itu untuk mencari nama belakang Ziad, tapi sebelum dia sempat melakukan itu, suatu cap di halaman 22 passportnya menangkap perhatiannya. Kata "Muslim" dicap di sepanjang identitasnya di halaman itu. Kesalahan petugas imigrasi sungguh tak terduga. Hanya Muslim saja yang diperbolehkan masuk ke kota² suci, dan kesalahan memberi identitas pengunjung saat ibadah haji akan menghasilkan hukuman keji bagi petugas yang melakukan kesalahan jika diketahui. Amir juga merasa muak dengan pikiran bahwa sekarang dia dianggap sebagai Muslim.

"Muslim!" teriak Amir di kamar hotelnya. "Gimana bisa mereka mengira aku ini Muslim?"

Tapi jawabannya sudah jelas. Petugas Pemerintah yang bergaji rendah yang baru saja dimaki-maki orang Iran itu, menjadi terganggu perhatiannya dan dia mungkin mengira semua orang Timur Tengah di Saudi Arabia saat ibadah haji kemungkinan besar adalah Muslim. Meskipun begitu, di seluruh perjalanan bisnisnya, Amir belum pernah mengalami hal ini. Dari sudut pandang pemerintah, "sekali Muslim tetap Muslim." Dibutuhkan keputusan dari Parlemen Yordania untuk menyingkirkan cap Muslim dari passportnya. Bagi tujuan perjalanan internasional, Amir sekarang adalah seorang Muslim.

Makan malam di hotel internasional ternyata sesuai dengan harapan Amir. Makanan yang enak dan juga nonton film melalui pay-per-view di kamarnya membuatnya lupa akan masalah passportnya. Amir mematikan lampu kamar dan jatuh tertidur di atas ranjang yang ditutupi selimut bersulam.

Beberapa menit atau jam kemudian, Amir tak ingat lagi, dia terjaga dengan rasa terkejut, dan nafasnya seakan berhenti. Dia mendengar sebuah suara dalam kegelapan. Amir berbaring ketakutan, berusaha mendengarkan suara yang ada di kamarnya.

"Berdoalah bagi mereka." Suara itu terdengar lagi, penuh dengan kekuatan dan kekuasaan.

Amir bangkit dari ranjangnya dengan cepat dan langsung berdiri di lantai kamarnya. Urat nadinya berdenyut-denyut dengan cepatnya saat dia menenggak tiga cangkir kopi Turki, tapi di saat itu juga, rasa takutnya hilang. Rasa tenang yang luar biasa melanda dirinya.

"Berdoalah bagi mereka." Setelah kalimat itu diucapkan, kamar hotel Amir menjadi seketika terang benderang luar biasa. Sesosok pria yang tampak sangat agung berwibawa entah datang dari mana masuk ke ruangan itu. Sang malaikat berdiri dengan tenang di ujung ranjang, dengan tujuan yang jelas.

"Engkau punya sebuah misi, Amir."

Amir ternganga, tapi tidak merasa takut, hanya penuh rasa pesona akan kekuatan dan kedamaian yang terpancar dari suara malaikat itu.

"Pergilah, dan berdoalah bagi mereka di Mekah. Bersikaplah setia, Amir."

Kedua mata malaikat itu menatap mata Amir itu sesaat, dan lalu dia menghilang, bersama terangnya pula. Kejadian itu berlangsung beberapa detik saja, tapi perubahan yang Amir rasakan dalam hatinya bagaikan hikmat yang hanya didapat dari belajar selama puluhan tahun. Dia duduk sendirian di ranjangnya dan menatap kegelapan kamarnya.

Keesokan harinya, Amir melalukan kegiatan bisnisnya, tapi pikirannya terus mengenang kunjungan sang malaikat di malam hari sebelumnya. Dia makan sedikit saja di siang hari dan menghabiskan sepanjang hari ... berdoa. Pernahkah dia melakukan itu sebelumnya? Dia tidak yakin harus bicara apa dalam doanya, tapi bahkan doa² hafalan yang dulu pernah dikenangnya sekarang terasa sangat nyata kebenarannya dan itu tak pernah dia sadari sebelumnya. Kesukaannya akan industri pariwisata yang kemaren masih dirasakannya telah hilang diganti dengan hasratnya melaksanakan misi (tugas) yang disampaikan malaikat itu.

Dari Sarkasme Menjadi Kasih Sayang[sunting]

Ketika tugas bisinis memaksanya menghadiri berbagai rapat kerja, Amir hampir tak mengatakan apapun. Beberapa kali, orang bertanya padanya apakah yang dia lihat sewaktu Amir menatap kosong ke jendela. Dia tidak menatap gedung² di Riyadh. Pandangannya mengarah melampaui itu, pikirannya tertuju pada para Muslim yang berkerumun di Mekah. Semakin lama dia memikirkan itu, semakin besar pula rasa kasihnya bagi orang² yang beberapa hari yang lalu masih dia benci. Dia berusaha mencerna perubahan perasaannya. Perlahan-lahan dia merasakan hatinya menjadi semakin lembut. Kelembutan hati yang dirasakannya bagi Muslim yang seringkali bersikap kasar ini sungguh tak dimengerti olehnya. Meskipun begitu, perasaan kasih sayang itu melanda dirinya bagi mereka.

Tugas kerjanya di Riyadh akhirnya selesai dengan sebuah seminar yang dilaksanakan oleh Arab World Travel. Begitu pembawa acara mengucapkan terima kasih pada para pengunjung, Amir langsung membuka laptopnya, mencari website airline, dan mengubah jadwal perjalanan pulang ke rumah menjadi lima hari kemudian.

Di malam itu, Amir mencari Alkitab Arab di internet dan mulai membaca Perjanjian Baru. Ketika dia selesai membaca kitab Matius, dia menutup komputernya dan mematikan lampu.

"Ikutlah Aku, Amir." Sebuah suara terdengar dan terang benderang yang sama membangunkan Amir lagi. Kali ini yang muncul bukanlah sosok malaikat. Seketika setelah Amir membuka kedua matanya, dia langsung tahu bahwa Orang yang berdiri di kamarnya adalah Yesus. "Ikutlah Aku dan terimalah pemberianKu."

Sama seperti sebelumnya, ruangan kamar itu lalu jadi gelap lagi. Sendirian lagi, Amir menyalakan lampu kamarnya dan mengambil laptopnya. Dia membuka Alkitab yang telah didownloadnya tadi sore dan mencari kata "Ikutlah Aku." Dia memilih ayat terkenal Matius 9:9.

Ternyata aku adalah Matius di kisah ini, begitu pengamatan Amir. Sebagai petugas pemungut pajak yang dibenci orang banyak, Matius telah menerima kemurahan illahi dan meninggalkan apapun demi mengikut Yesus. Dia tidak pernah kembali ke kehidupan lamanya, tapi dia tahu dia telah diampuni. Amir menyadari bahwa Yesus telah menjangkau dirinya meskipun dia penuh dengan dosa, dan sarkasme yang kosong saja.

Kisah Yesus yang dulu pernah didengarnya saat masih kecil terkenang lagi dalam benaknya. Dia ingat bahwa dulu sewaktu dia masih kecil, dia mencintai Yesus. KeKristenan yang formal akhirnya menghapuskan semua rasa cintanya akan Yesus, tapi sekarang perasaan itu berbalik menerpa dengan sangat kuatnya dalam jiwanya.

Amir meletakkan laptopnya di atas bantal dan membuka selimutnya sampai lututnya, dan berdoa: "Tuhan Yesus, aku telah jauh sekali daripadaMu selama ini. Aku bahkan telah membenciMu. Mohon ampuni aku. Ampuni kehidupanku yang penuh dosa. Engkau telah mati bagiku, sama seperti Engkau telah mati bagi Matius. Aku bertobat. Aku adalah milikmu, ya Tuhan. Aku akan mengikutiMu ke manapun."

Janji Bertemu dengan Pedang[sunting]

Ya, pikir Amir, jika orang melihatku, merek tentu percaya bahwa aku seorang Muslim. Amir terkekeh pelan sewaktu melihat dirinya di cermin toko pakaian Haddad Brothers. Dia sebelumnya belum pernah mengenakan baju tradisional Muslim. Hanya sepatunya yang muncul di balik keliman dishdasha (baju longdress Muslim) yang berwarna putih semuanya itu. Kafiyeh (kain penutup kepala seperti yang dikenakan Yasser Arafat) berwarna merah putih yang tersulam rumit menutup melingkari wajahnya.

Setelah selesai belanja, Amir naik taksi ke stasiun bus di Riyadh dan tiba tepat waktu untuk naik bus jam 10 pagi ke Mekah. Dia heran campur lega melihat masih ada tempat duduk tersisa baginya dalam bus.

Perjalanan sejauh 400 mil dilampaui dengan cepat. Amir tenggelam dalam perasaan damai dalam hati yang merupakan pengalamannya yang baru. Dia tidak pernah merasakan sedekat itu dengan Yesus. Sewaktu jarak bermil-mil berlalu di hadapan jendela bus, Amir berdoa. Dia berdoa dengan segala tekadnya untuk setia seperti yang diperintahkan malaikat dan Yesus padanya. Dia berdoa bagi keluarganya, bagi Jamal - bagaimana bisa dia menjelaskan hal ini padanya? - dan bagi sepupunya Sahar. Dia berdoa bagi umat Muslim sekitarnya. Dia berdoa bagi Mekah.

Melalui lampu jalanan yang buram di malam hari, sebuah tanda yang diterangi lampu depan bus menarik perhatian Amir dari doanya: "Non-Muslim yang masuk kota ini akan dibunuh." Ini adalah peringatan terakhir bagi tamu² yang tak diundang.

Aku tak akan pernah bisa keluar dari tempat ini hidup². Begitulah pikirannya, dan ini bukan doanya. Ada banyak sekali polisi moral yang mengamati penyelunduk yang mencoba masuk atau pelanggar agama di setiap sudut. Hukum di sini adalah syariah. Amir ingat tawa maniak Abu Badr tentang tugasnya memancungi beberapa orang dalam satu pelaksanaan hukum pancung. Dia mengingat kembali penjelasan Jamal tentang pemancungan² yang disaksikannya saat itu: "Satu per satu dinyatakan telah murtad. Dalam beberapa detik saja - tanpa ada harapan untuk protes atau minta ampun - Badr memisahkan kepala korba dari tubuhnya, dan beberapa pembantu membuang dua bagian tubuh tak bernyawa itu ke sebuah tumpukan." Jamal berkata bahwa dia muntah² setelah melihat pemenggalan yang ketiga.

Dengan ingatan akan hal itu, Amir mencengkeram dadanya. Sewaktu tangannya hanya merasakan kain dishdasha-nya, dia menghela nafas lega. Syukurlah, dia telah ingat untuk menanggalkan kalung salibnya di hotel di Riyadh. Sungguh akan sangat ironis jika dia harus dipancung hanya karena mengenakan kalung itu yang telah melingkar selama bertahun-tahun tanpa arti apapun di sekeliling lehernya.

Bus berhenti tak jauh dari Masjid Suci, dan dengan ketenangan yang mengagumkan, Amir berpikir, Jadi kayaknya di sinilah aku akan mati.

Pengamat yang Penuh Belas Kasihan[sunting]

Setelah beristirahat dari perjalanan naik bus sehari sebelumnya, Amir bergabung bersama umat Muslim mengelilingi Ka'bah. Sewaktu jumlah besar orang berdesakkan dan bergerak berlawanan dengan arah jarum jam di sekitar Ka'bah, Amir sungguh tak percaya bahwa dirinya ada di tengah² mereka.

Amir, orang Arab Kristen, berada di tengah² Muslim yang mengitari Ka'bah demi menjalankan tugas dari Tuhan Yesus.

Apa yang minggu lalu Amir kecam sebagai ibadah haji yang gila sekarang malahan membuatnya penuh belas kasihan. Yesus menghadapi orang banyak, ingat Amir pada bacaannya di kitab Matius, dan Dia merasakan hal ini pula. Pikiran²nya terasa asing baginya, tapi dia ingin menyentuh setiap orang yang bergerak di sekitar Mesjid Suci. Aku tak lagi benci pada mereka. Sebaliknya, rasa cinta dalam yang dirasakannya dari Yesus sekarang tumpah keluar ke perilakunya terhadap para peziarah haji tersebut. Kisah² Alkitab yang dulu pernah didengarnya sewaktu masih kecil sekarang muncul kembali ke pikirannya dengan makna baru. Tuhan mengirim nabi Yunus dengan sebuah misi. Apakah Yonah membenci orang² itu seperti aku dulu benci Muslim, atau apakah Tuhan telah merubah hatinya pula?

Suhu udara padang pasir yang panas dan kumpulan orang banyak menimbukan rasa panas yang membakar. Amir terengah-engah mencoba bernafas, tapi tak mungkin baginya untuk keluar dari kerumunan massa itu. Dia tidak bisa pergi sampai mereka semua selesai berputar tujuh kali mengitari Ka'bah.

Untuk mengalihkan pikirannya dari penderitaannya, Amir mengalihkan pandangan kepala orang² banyak yang saling berdesakkan di sekelilingnya. Sebagian menangis. Sebagian lagi tanpa emosi, seperti robot yang telah diprogram. Tak heran mengapa orang bisa saling injak di sini, begitu pikir Amir. Gelombang massa ini tidak bisa berhenti bahkan jikalau ada seseorang yang tersandung dan jatuh. Meskipun begitu, wajah² putus asa terus meneriakkan doa² mereka sewaktu tubuh² saling bersenderan satu sama lain dalam barisan hidup atau mati ini. Hati Amir terasa hancur melihat begitu banyak jiwa yang berniat baik tapi sekarang malahan menyiksa diri mereka untuk mendapat berkat dari dewa palsu. Semua orang ini mencari berkat dari Allah, dan semuanya pulang tapi tak mendapatkan apapun.

Kunjungan yang Membahayakan[sunting]

Amir mencium bau rokok sewaktu dia membuka pintu kamar hotelnya. Dia mengintip ke kamarnya dan melihat pakaian²nya berserakan di ranjang dan kopornya terbuka dalam keadaan terbalik di atas lantai. Laptopnya tidak lagi terletak di atas kursi seperti saat dia meninggalkan kamar, tapi sudah berada di atas meja.

"Polisi rahasia." Amir berkata dengan suara keras di ruangan yang berantakan itu. Dia mengibaskan tangannya pada asap rokok yang masih berada di kamarnya. Tentunya polisi itu baru saja berlalu. Amir memejamkan matanya dan mengusap dahinya dengan tangan kanannya. "Aku ternyata diawasi," gumamnya. "Kok bisa ketahuan sih? Apakah kamar ini disadap?"

Baru sekitar setengah jam saja sejak dia meninggalkan Mesjid Suci. Taksi yang ditumpanginya juga memberi tumpangan pada sepasang suami istri yang bertengkar terus. Pasutri ini diturunkan terlebih dulu di tempat Air Zamzam dan lalu menuju ke hotel Amir, yakni Nawazi Aziziah. Perut Amir terasa mual sewaktu dia mengingat lalu lintas yang semrawut dan satu fakta penting yang tak disadarinya saat itu: dia tidak pernah memberitahu pengemudi taksi ke mana dia mau pergi!

Supir itu tentu salah seorang dari polisi rahasia. Amir hampir tak percaya pada kesimpulannya sendiri. Bagaimana perintah memeriksa dirinya bisa disampaikan ke polisi lain dengan cepatnya sungguh tak bisa dipahaminya, taip sudah jelas bahwa dia tidak boleh memberitahu siapapun alasan sebenarnya dia berada di Mekah.

Amir mengeluarkan kartu SIM dari iPhone-nya, menyimpannya ke dalam kaos kaki kotor, dan memasukkan keterangan yang paling membahayakan di dalam kantong rahasia di kopornya. Dia memasukkan baterei HP ke dalam tempat kacamata dan memasukkannya ke dalam tas jinjingnya. Mulai sekarang, dia tak akan memakai HP atau komputer lagi. Dia tidak punya teman manapun.

Menjadi Muslim yang Memenangkan Muslim[sunting]

Keesokan paginya, Amir terbangun dengan rasa berani yang baru bagi misinya. Rasa takut akibat kedatangan polisi rahasia kemaren telah meninggalkannya. Rasa percaya dirinya kembali, dan dia bahkan tersenyum sewaktu dia bertanya pada dirinya sendiri: Mengapa musti kaget? Aku kan ada di Mekah sekarang.

Kali ini, Amir bergabung bersama para peziarah di kota kecil Mina, yang terletak di luar Mekah untuk melakukan jumroh atau melempar batu pada setan. Para Muslim berkumpul di tembok² Jamarat untuk melempari Setan dan pembantu²nya. Ibadah haji yang ini mewajibkan para budak Allah untuk melemparkan batu dengan cukup tepat agar menghantam tembok² empatpuluh sembilan kali dalam waktu tiga hari. (Sampai tahun 2004, tiga pilar Jamarat dijadikan target, tapi melemparkan batu² melalui orang banyak dengan sasaran yang sukar dicapai bisa mengakibatkan batu melayang ke orang sekitar dan mengakibatkan kecelakaan.)

Amir mengawasi diam² dengan rasa heran melihat begitu banyak orang yang menunjukkan rasa marah. Para wanita dan pria berteriak-teriak saat mereka melemparkan batu² pada setan dalam khayalan mereka. Tidak seperti upacara ibadah apapun yang telah dilihatnya, kebencian yang tampak seperti tak terkendalikan, seakan kumpulan orang itu siap meledak dan menghancurkan apapun dalam nama membasmi setan. Hal ini mengingatkan Amir akan protes massa di Amman yang akhirnya meledak menjadi kekacauan yang memakan korban jiwa di tahun sebelumnya.

Sewaktu asyiknya menonton, Amir melihat ada dua pria yang terus memperhatikannya. Mereka berdiri di tepi kumpulan orang, dan mata mereka terus menatap Amir. Keduanya mengenakan dishdasha dengan kafiyeh warna merah dan putih. Wajah pria yang lebih tinggi berjenggot sekitar 30 cm, dan tampak seperti imam, sedangkan temannya bertubuh pendek dan gemuk.

Amir dengan cepat menyelinap diantara banyak orang dan lalu ikut mengambil batu². Tak lama kemudian dia bercampur dengan banyak orang, melemparkan batu² dan berteriak pada tembok². Pikirannya terus berputar, Apakah yang kulakukan sehingga mereka jadi curiga? Apakah mereka tahu akan passportku? Apakah karena caraku berdoa? Dia tidak mendapatkan jawaban apapun, tapi setengah jam kemudian saat dia keluar dari kumpulan orang banyak, kedua pria itu sudah tak ada di sana.

Di hari terakhir ibadah haji, saat Idhul Adha, yang merupakan upacara hewan korban untuk menghormati kesediaan Abraham mengorbankan Ishmael (bukan Ishak, menurut tradisi Islam), hati Amir menangis melihat begitu banyaknya hewan yang dipotong. Dia menangis pada Tuhannya Abraham yang sejati dan memohon agar orang² ini dilepaskan dari kesesatan mereka yang sedemikian membelenggu.

Di hari inilah dia melihat penjagal itu - Abu Badr. Dia bergidik saat melihat Abu Badr mengangkat Jowharnya dan memotong kepala orang di Pintu Gerbang Raja Abdul Aziz. Melihat satu pemancungan sudah cukup baginya, dan Amir berlalu, tanpa rasa takut. Sekarang setelah menjadi pengikut Kristus yang berbakti dan penuh tekad, Amir tidak memikirkan hal yang lain selain mengasihi para Muslim.

Amir berterima kasih pada Yesus karena memenuhi hatinya dengan cinta kasih bagi orang² ini dan memanggilnya untuk melakukan misi strategis ini. Tugas doanya menggerakkan dia dari kumpulan massa di sekeliling Ka'bah timur ke Gunung Arafat milik Muhammad. Di atas gunung itu, dia berdoa bagi para peziarah dan bagi penindas mereka yang berada di alam maya. Amir tidak ingat dari mana dia mendengar istilahnya, tapi dia ingat bahwa yang dilakukannya adalah perang rohani.

Setelah beberapa jam, rasa ketegangan tinggal di Mekah selama 5 hari dan juga karena berdoa sangat khusuk, dia merasa sangat lelah. Sewaktu dia hendak turun dan kembali ke hotelnya untuk beristirahat sebelum pulang, dia mendengar dua kalimat percakapan yang membuatnya kaget.

"Ini adalah mimpiku yang ketiga tentang Yesus sejak aku berada di sini." Kedua pria itu berjalan melewati Amir, dan sudah jelas mereka kenal akrab satu sama lain. Orang yang berbicara menatap tanah dan terus bicara tanpa melihat temannya. "Tapi apakah maknanya ini?"

Amir ingin berteriak menceritakan pengalamannya sendiri pada kedua pria itu sebelum mereka bergabung dengan orang banyak, tapi dia sadar bahwa bukan untuk tujuan itu dia berada di situ. Perkataan orang itu sangat membangkitkan semangatnya lagi sehingga dia kembali berdoa di sekitar gunung keramat itu sampai sore hari.

Ketika dia akhirnya merasa pekerjaannya selesai untuk hari itu, Amir berjalan kembali ke hotelnya. Berjalan melewati plaza di bawah bukit berkarang, seorang pria berjalan di sebelahnya. Orang itu tak berkata apapun dan terus menatap ke depan. Karena merasa tak nyaman dengannya, Amir mengambil jalur lain. Tapi sudahlah jelas bahwa pria itu mengikutinya dari jarak yang cukup jauh. Amir merasa khawatir bahwa pria itu adalah polisi rahasia yang akan menciduknya. Wah, Abu Badr sedang menungguku, nih. Begitu pikirnya.

Meskipun nalurinya melarangnya, tapi Amir tetap melirik menengok dari bahu kanannya. Dia terkejut saat mengetahui orang itu hanya tiga langkah saja di belakangnya. Setelah Amir berbelok, orang itu menunggu cukup lama agar tak terlihat Amir, sebelum dia lalu mengikutinya lagi. Amir merasa tercekat saat pria itu tersenyum - atau menyeringai? Keduanya lalu berhenti dan untuk beberapa detik mereka saling tatap, lalu pria itu tersenyum pada Amir.

"Aku ini temanmu," Katanya. "Namaku adalah Muhammad." Muhammad lalu berbalik dan bergabung dengan kumpulan para peziarah.

Ketahuan?[sunting]

Di sepanjang malam itu, Amir terus saja mengingat pertemuannya dengan Muhammad. "Teman" seperti apakah dia sebenarnya? Amir ingin percaya bahwa orang itu berniat baik, tapi rasa ragu tetap ada saat dia check out dari hotel di pagi harinya. Setelah menandatangan rekening pembayaran, dia kembali ke meja depan hotel dan memandangi wajah di ruangan itu. Apakah dia akan melihat dua pria yang mengamatinya kemaren di Mina? Atau apakah Muhammad akan berada di sana dengan para polisi rahasia? Dia tidak melihat satu pun orang yang mencurigakan, sehingga pikirannya agak tenang sedikit. Mereka mungkin menungguku meninggalkan hotel sebelum akhirnya menangkapku. Asap rokok tercium sangat kuat kemaren malam saat dia masuk kamar hotelnya, sehingga dia tahu bahwa mereka terus mengamatinya.

Di saat itulah dia mulai merasa aneh bahwasanya dia selamat selama lima hari menegangkan di kegiatan ibadah haji di kota yang paling berbahaya bagi kafir. Beberapa jam lagi saja dia akan bisa keluar dari Mekah. Tuhan telah melindunginya selama ini, dan tiada alasan untuk mengira Dia akan meninggalkan Amir sekarang.

Dia berjalan beberapa blok ke stasiun bus Mekah, membayar karcis bus ke Riyadh, dan duduk di barisan belakang bus. Dia lalu membaca koran yang diambilnya dari lantai stasiun bus.

Sewaktu bus tiba di perhentian pertama, Amir menurunkan korannya sampai batas matanya agar dia bisa melihat keributan apa yang terjadi di bagian depan bus. Dua polisi rahasia berteriak pada supir dan menunjukkan sebuah foto di hadapan wajah supir. Supir itu menggelengkan kepala dan polisi itu mengisyaratkan agar bus terus berjalan. Sewaktu bus mulai maju, dua polisi itu mulai berjalan di jalur antara kursi² penumpang, sambil memeriksa passport setiap penumpang dan membandingkan wajah mereka dengan foto yang dibawa mereka.

Amir mengamati perkembangan yang dengan jelas mengarah padanya dalam selusin menit yang menegangkan. Polisi yang tadi berteriak pada supir sudah mencapai separuh barisan ketika bus tiba di perhentian berikutnya. Ketika rem diinjak, bus terhentak ke depan sedikit dan mengakibatkan polisi itu jatuh ke belakang. Setelah bisa berdiri lagi, dia membalikkan tubuh dan berteriak pada supir untuk menutup pintu belakang, tapi sudah terlambat karena supir telah terlebih dulu membukanya karena sudah terlatih demikian.

Sewaktu pintu belakang terbuka, Amir lari keluar melewati dua barisan diantara tempat duduknya dan celah pintu. Sebelum supir sempat bereaksi atas perintah polisi, Amir sudah turun tangga dan mendarat di atas lantai trotoar dengan keras. Rasa sakit atas hentakan itu belum juga disadarinya sewaktu pintu belakang bus tertutup kembali dan bus kembali melaju. Amir menundukkan diri di pinggir jalan dekat sebuah mobil yang sedang diparkir dan berdoa agar bisa mendapatkan taksi. Jantungnya terasa berhenti berdetak sewaktu melihat bus berhenti setelah melaju sekitar 10 meter, dan pintu depan bus lalu terbuka. Dua polisi itu meloncat keluar bus dan mulai mengamati sekitarnya.

Karena terus mengamati kedua polisi yang mencarinya itu, Amir tidak mendengar sebuah mobil berhenti dekat dirinya. Lalu terdengarlah sebuah suara yang dikenalnya.

"Hai, teman, ini aku Muhammad. Apakah engkau butuh tumpangan?"

Dia memandang ke arah sumber suara, dan sewaktu pintu belakang mobil terbuka, dia melihat senyum sama yang telah dikenalnya kemaren. Amir lari masuk ke dalam taksi dan merunduk di lantai mobil dekat tempat duduk belakang sewaktu taksi berlalu melewati bus itu.

"Apakah semuanya baik² saja, saudaraku?"

Amir berusaha bersikap tenang dan memandang Muhammad, yang telah mendorong kursi depan untuk memberi lebih banyak ruang bagi Amir.

"Saudaraku?" Amir berbisik sambil bertanya.

Suara adhan berkumandang dari radio taksi itu dan mengaburkan jawaban Muhammad.

"Ya, saudaraku. Engkau tidak sendirian saja di sini. Ketika aku tiba di Mekah saat ibadah haji beberapa tahun yang lalu, Yesus muncul di hadapanku." Dia membiarkan keterangan itu mengendap sebentar dalam benak Amir. "Aku lalu mulai mencariNya, dan sekarang aku adalah pengikutNya. Aku tak menyangka aku akan kembali ke Mekah. Tapi Dia memanggilku - kita semua ini. Ada beberapa orang lain lagi. Banyak yang disuruhNya datang ke sini, sama seperti dirimu." Muhammad menatap kedua mata Amir. "'Berdoalah bagi mereka' dan hanya itulah perintahNya pada kita."

Pandangan Amir beralih dari wajah Muhammad. Kepalanya tertunduk di atas kursi, dan matanya menutup dan dia mengucapkan doa penuh syukur saat mobil berlalu meninggalkan Mekah.

Penglihatan-Penglihatan Akan Yesus di Mekkah[sunting]

Di seluruh dunia, umat Kristen dibunuh sebagai martir dalam jumlah yang lebih besar saat ini daripada saat manapun di duapuluh abad terakhir keKristenan, dan negara² Muslim biasanya menduduki tempat yang paling berbahaya bagi umat Kristen menurut Voice of the Martyrs.[1] Negara² ini seringkali mengeluarkan klaim bahwa setiap orang boleh beribadah sesuai agama mereka sendiri di negara mereka. Tapi ada hukum lain yang tak diucapkan yakni kebebasan beragama bukan berarti Muslim boleh beralih iman mengikuti Yesus. Muslim murtad dan beralih iman menghapus semua sikap pura² menunjang kebebasan beragama.

Karena 1,5 milyar Muslim memandang Saudi Arabia sebagai rumah dasar iman mereka, Saudi Arabia merupakan tempat yang menerapkan "nol teloransi" terhadap agama lain. Rumah Saud telah menetapkan hukuman bunuh bagi siapapun yang berusaha memisahkan diri dari "agama pedang." Meskipun ada banyak penafsiran Qur'an, sekte² Islam suka perang, dan perang agama internasional, kerajaan Muslim ini merupakan kekuatan yang menyatukan dalam Islam. Dan seperti kota berbenteng yang kuno, kota tempat kelahiran Muhammad dan ibukota Mekah bagi Muslim tetaplah menjadi tempat yang tersuci dan terkontrol di seluruh planet bumi. Selama berabad-abad, Mekah telah jadi 100% Muslim. Medina, kota di mana Muhammad mati di usia 62 tahun, juga mendapat kehormatan yang serupa dan juga memusuhi kafir, sama seperti Mekah. Meskipun demikian, Yesus tetap bekerja di kedua kota ini.

Peziarah haji seperti Amir dan Muhammad terus saja menerima laporan tentang fenomena baru. Seorang ketua kelompok di Yordania melaporkan bahwa seorang pria mencarinya setelah ibadah haji. Temannya berkata padanya, "Aku pergi naik haji untuk bisa menjadi dekat dengan Allah, tapi aku terus saja bermimpi tentang Yesus. Setiap malam Dia mengunjungiku. Dia menyuruhku untuk mengikutiNya."

Bekas Presiden organisasi Voice of the Martyrs (Suara Kaum Martir) menulis di bulan Juli, 2011, " Seorang yang beriman memberitahuku, 'Aku pergi ke ibadah haji setiap tahun di Mekah dan aku telah mengitari Ka'bah ratusan ribu kali. Aku akan bertanya pada orang laki yang berjalan di sebelahku, 'Apakah ada yang sakit di keluargamu? Bolehkah aku berdoa bagi mereka?' Sewaktu kami mengitari Ka'bah, mereka memberitahu aku penyakit² dan berbagai masalah yang mereka hadapi. Aku lalu berkata, 'Aku akan berdoa dalam nama Al Masih (Yesus, sang Messiah).' Aku berdoa sewaktu kami berjalan. Mereka berterima kasih padaku karena telah mendoakan mereka."[2]

Karena Pemerintah² Muslim tidak memperbolehkan mengganti agama yang sudah tertera di KTP mereka, maka para ex-Muslim yang berubah iman ke Kristen itu tetap bisa pergi ke lokasi ibadah haji di Mekah. KTP dari Pemeirntah itu dianggap banyak orang sebagai anugerah Tuhan karena ini berarti mereka bisa terus masuk ke kota suci kapanpun mereka inginkan - atau kapanpun Tuhan mengirim mereka.

"Bisakah Aku Memuji Yesus di Kamar Mandi?"[sunting]

"Hapus benda yang dipilih."

Nasreen memijit perintah hapus semua sejarah di web browsernya. Dia melihat jam di mejanya dan menghela nafas. Suaminya akan datang pulang dari kantor dalam waktu 20 menit lagi. Dia selalu tepat waktu - dan ini menolongnya untuk mengatur waktunya menjelajahi internet tanpa ketahuan. Jika suaminya menemukan lahan² di internet yang "terlarang" yang dikunjunginya selama berjam-jam, iman suaminya pada Allah akan menghalalkan hukuman apapun baginya. Dia bahkan mungkin sudah mati di waktu berikutnya suaminya pulang kantor.

Punya tujuh anak dan menikah selama sembilan tahun, sejak berusia enambelas tahun, Nasreen sungguh merasa hidupnya tak banyak berarti. Setiap hari dia harus mengurus anak tanpa henti, dan diperlakukan dengan kejam oleh suaminya yang suka mendominasi. Nasreen adalah ibu muda di Mekah dan menjalani gaya hidup yang lumrah bagi wanita Saudi Arabia manapun, tapi dia mencari cara untuk keluar dari kejenuhannya. Tiga mobil Jerman nan mewah milik suaminya tidak menawarkan apapun baginya. Muslimah tidak diperbolehkan menyetir mobil karena aturan syariah.

Meskipun begitu Nasreen yakin keinginannya untuk pergi akan hilang seketika jika saja Ahmad memperlakukannya dengan cinta yang sama seperti cintanya pada pekerjaannya. Mungkin agama bisa menenangkan jiwanya. Dia mencoba sebaik mungkin untuk menjadi Muslim yang taat, tapi semakin banyak dia membaca Qur'an, semakin banyak pula dia mempertanyakan akar agamanya di tanah airnya. Kekosongan hatinya mengakibatkan dia mencari hiburan lain di internet.

Semuanya dimulai dua tahun yang lalu ketika seorang teman memberitahu dia tentang wisata ke London. Mungkin perjalanan liburan keluarga - bagi Ahmad, uang tak jadi masalah - akan memuaskan dirinya sehingga bisa menyegarkan kembali kehidupannya. Atau malah lebih baik lagi, orangtuanya bisa menjaga anak²nya sewaktu dia dan Ahmad bertamasya mesra berdua jauh di luar Mekah.

Dia lalu mencari halaman² travel, mengangankan tempat² liburan yang bisa membuat Ahmad bersedia berhenti kerja sebentar untuk tamasya. Ahmad mengijinkan istrinya melakukan itu meskipun tidak menunjukkan niat untuk pergi bersama. Karena itu impian Nasreen untuk berjalan-jalan ke luar negeri tidak terlalu menarik baginya. Tapi meninggalkan jejak berkunjung ke berbagai website travel di bagian sejarah browser bisa menjadi sedikit pelindung baginya karena fantasi internetnya sudah mulai berbelok pada hal yang lebih berbahaya. Apa yang dia paling takutkan - dan harapkan - adalah apa yang dibacanya di internet selama berjam-jam suatu hari akan menjadi kenyataan baginya.

Awal dia masuk dunia yang terpisah dari kehidupannya yang membosankan terjadi tiga bulan yang lalu ketika tanpa sengaja dia menemukan website yang menawarkan "Tur Alkitabiah ke Tanah Suci." Dengan beberapa kali klik mouse saja dia telah menemukan keKristenan, dan sejak saat itu dimulailah obsesi internetnya.

Nasreen membaca dan mempelajari Alkitab di berbagai website Kristen. Dia membaca berbagai komenter di situ dan melahap berbagai khotbah yang ditayangkan oleh para pendeta Amerika. Meskipun banjirnya keterangan baru itu membuatnya kadang² bingung, dia berhasil menemukan ruang ngobrol dan bertemu orang² yang tampaknya dengan senang hati menjawab pertanyaan²nya dan bukannya mengusirnya pergi. Satu jawaban ke jawaban berikutnya memuaskan hatinya dan mendorong keberanian untuk mengajukan pertanyaan lain. Muslimah muda ini kaget ketika untuk pertama kalinya dia ngobrol dengan seorang pria. Setelah beberapa kali berinteraksi dengan pria² Kristen, dia lebih terkejut lagi karena dia tidak pernah merasa takut atau terintimidasi oleh mereka. Apa yang tak pernah dia sampaikan pada mereka adalah impian²nya - sampai dia berkenalan dengan Rima.

"Aku dulu juga seorang Muslimah."

Nasreen menatap kalimat di ruang ngobrol itu lama saat pertama kali Rima menjelaskan mengapa dia tahu betul pergumulan yang dirasakan Nasreen. Dari lantai bawah tanah pusat penginjilan di Amman, Yordania, Rima bercakap-cakap dengan Nasreen kadangkala sampai berjam-jam. Percakapan mereka membahas segalanya dari Alkitab sampai pernikahan.

"Bagaimana sih sebenarnya pernikahan Kristen itu?" tanya Nasreen ingin tahu. "Apakah para suami masih boleh memukuli istri² kalau mereka sudah mengikut Yesus?" Tak ada batasan pembicaraan mereka sehari-hari.

Rima memberitahu Nasreen segalanya tentang masa lalunya. Suaminya umumnya bersikap baik padanya. Di saat pernikahan mereka menginjak usia limabelas tahun, suaminya hanyalah Muslim KTP saja, tapi begitu Rima menemukan Yesus sebagai Juru Selamatnya, segalanya jadi berubah.

"Ismail dulu hanyalah Muslim yang tak pernah beribadah," kata Rima di satu obrolan di internet. "Dia tidak pernah peduli akan agama. Akulah yang sebenarnya taat beribadah Islam di keluarga kami. Dia hanya pergi sholat Jum'at saja jika keluarganya datang berkunjung. Di saat lainnya dia malas pergi ke mesjid.

"Tapi ketika dia tahu aku menghabiskan banyak waktu dengan temanku yang adalah pengikut Yesus, wah dia jadi berubah sekali. Dalam waktu semalam saja dia jadi sangat fanatik. Dia mulai membaca Qur'an dan memaksa anak² menghafal berbagai surah. Dia bahkan mulai sholat subuh, sesuatu yang tadinya tak pernah kubayangkan bisa kusaksikan sepanjang hidupku. Dia jadi benci sekali padaku dan imanku pada Yesus semakin bertumbuh saja, sampai akhirnya dia mengusirku. Aku rindu akan anak²ku, tapi aku sekarang memiliki Yesus."

Setelah itu Rima dan Nasreen mulai mengobrol via Skype.

"Aku beritahu engkau hal yang aku tak pernah katakan sebelumnya pada siapapun - tidak pula pada ibuku atau saudara² perempuanku dan sudah tentu tidak pula pada suamiku," aku Nasreen pada Rima. Akhirnya, dia bisa mengumpulkan keberanian untuk memberitahu teman internetnya tentang mimpi²nya. Di saat yang sama dia menemukan ruang² ngobrol Kristen, Nasreen telah mengalami mimpinya yang pertama tentang Yesus (yang disebut Isa di Qur'an). Dia datang padanya berkali-kali untuk beberapa saat. Pertemuan² mereka dalam mimpi sungguh memikat sehingga setelah itu dia setiap kali berdoa pada satu²nya Tuhan yang dikenalnya: "Oh Allah, kirimlah nabimu Isa padaku untuk mengajarku lagi malam ini." Tapi sewaktu dia semakin akrab dengan Rima, mimpi² itu berhenti. Nasreen senang sekali dengan teman Yordanianya itu, tapi dia merindukan sang nabi yang misterius.

Waktu Bertemu[sunting]

Ahmad tiba di rumah tepat seperti yang Nasreen perkirakan, dan malam hari itu berlangsung tanpa masalah apapun. Pria itu kebanyakan tak memperhatikan istrinya - dan juga anak²nya - seperti biasa. Setelah pelayan pulang, Nasreen menyibukkan diri dengan mempersiapkan anak²nya untuk tidur di malam hari. Dengan memusatkan perhatian pada mereka, dia jadi tidak merasa terlalu tegang karena takut Ahmad mungkin menemukan website yang dia lupa hapus. Ahmad menggunakan komputer itu tanpa kejadian apapun, dan sekarang dia tertidur lelap di sebelahnya.

Nasreen masih mencoba bernafas dengan tenang. Anehnya, Ahmad tetap tidur tenang tanpa terganggu sama sekali.

Nasreen baru saja terjaga dari tidurnya sambil menjerit, "Yesus!" Pria yang penuh kuasa dan baik hati itu telah muncul lagi dalam mimpinya yang singkat, tapi setidaknya Dia kembali lagi. Kasih sayangnya telah melanda diri Nasreen sekali lagi. Dia menengok jam di sebelah tempat tidurnya - jam 3:13 pagi. Aku harus bertanya pada Rima tentang hal ini nanti, begitu kata Nasreen dalam hati.

Nasreen begitu terpesona dengan rasa damai yang dirasakannya dari mimpi itu sehingga dia tak ingin kembali tidur. Dia masih berbaring hampir sejam lamanya dan mengenang kembali ingatan² indah yang telah bertumpuk dari beberapa pertemuannya dengan Isa.

"Nasreen, aku telah berdoa bagimu agar engkau mulai bermimpi bertemu Yesus lagi." Foto wajah Rima tampak bekerjap di Skype saat dia berbicara. Keduanya berhasil berhubungan di siang harinya. "Setiap malam aku pasang alarm agar aku bisa bangun dan berdoa agar Yesus mengunjungimu lagi."

Nasreen menatap layar komputer sambil berpikir. "Jam berapa alarmnya berbunyi tadi malam, Rima?"

"Itulah anehnya. Biasanya, aku alarmku berbunyi sekitar jam 3 atau 4 pagi, tapi tadi malam entah mengapa aku pasang alarm jam 3:13 pagi." Rima berhenti sebentar, menatap layar komputer lebih dekat lagi sambil merasa heran melihat airmata bercucuran dari kedua mata Nasreen. "Apakah kau baik² saja?"

Nasreen mencoba bernafas dengan tenang. "Di saat itulah aku melihat Yesus tadi malam."

Rima memandang keyboardnya, lalu menatap tajam pada kamera dan menunjuk pada Nasreen. "Diberkatilah orang yang menjadi bijaksana dan mendapat pengertian."

"Apa?"

"'Diberkatilah orang yang menjadi bijaksana dan mendapat pengertian.' Ini adalah amsal yang kuingat minggu lalu." "Dari Alkitab?"

"Iya, Nasreen. Ayat itu untukmu."

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Nomer ayatnya. Itu adalah Amsal 3:13. Yesus telah datang untuk memberkatimu dengan kebijaksanaan dariNya dan pengetahuan akan tujuanNya bagi hidupmu."

Nasreen menutup kedua matanya. Dia menundukkan kepalanya dan menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Bahunya bergetar hampir tak kentara. Rima melihat airmata jatuh dari wajah Nasreen sewaktu kedua wanita itu duduk diam selama beberapa menit. Pentingnya terjadinya lagi mimpi²tentang Yesus yang dialami Nasreen dan juga ayat Amsal sudah sangat jelas bagi Rima. Kunjungan² dalam mimpi temannya itu tidak selalu membawa berkat, dan mungkin kembalinya Yesus dalam mimpinya berarti kebaikan akhirnya menang. Yesus bukanlah sosok satu²nya yang menemui Nasreen di malam hari.

Kunjungan Jinn - dan Yesus

Di Arabia, jinn juga disebut sebagai "makhluk² kecil." Mereka ditampakkan sebagai sosok yang lucu di berbagai film seperti Aladdin dan Ali Baba dan 40 Penyamun, tapi gambaran di film Hollywood akan jinn dari dimensi lain ini hanyalah lelucon saja dibandingkan jinn atau setan sesungguhnya yang sering mengganggu Nasreen dan banyak orang Arab lainnya.

"Sejak aku masih kecil," Nasreen memberitahu Rima, "aku menggigil setiap kali mereka datang. Mimpi²ku bertemu jinn selalu saja sangat gila dan keji. Jinn itu seringkali mencemoohku, tertawa dan tertawa mengejekku seakan aku ini makhluk yang paling tak berarti di seluruh dunia. Aku bahkan telah melihat mereka di Ka'bah juga. Tampaknya mereka itu ada di mana². Sekarang mereka mengejar-ngejar diriku, lebih sering daripada sebelumnya. Mereka bahkan juga menyiksa keluargaku. Kedua putriku pernah lari ketakutan ke dalam kamarku, tak bisa bersuara sangking takutnya. Rima, apakah ini ada hubungannya dengan pembicaraan kita tentang Yesus?"

Rima khawatir bahwa memang itulah masalahnya, dan dia cemas akan kemungkinan jinn itu membuat Nasreen takut pada Tuhan yang sebenarnya. Tak lama setelah mimpi² bertemu Yesus berhenti, Nasreen memberitahu RIma tentang pertemuan dengan jinn yang paling mengerikan.

"Tadi malam itu yang paling seram, Rima. Aku kira aku akan mati. Makhluk mengerikan itu membangunkanku. Ini bukan mimpi. Dia benar² ada di kamarku! Aku mencium bau api, dan dia ada di situ ... duduk di atas dadaku! Aku tidak bisa bernafas, dan aku tak bisa mengatakan apapun. Aku tidak bisa mengalihkan pikiranku dari rambut merahnya yang menjijikan dan kekejian jahat dari kedua matanya."

"Ada peperangan atas jiwamu, Nasreen," kata Rima padanya. "Si jinn itu hanyalah prajurit rendahan saja dari biang setan yang mengirim mereka. Setan ingin mengintimidasi dirimu. Jangan biarkan dia melakukan itu."

Nasreem menjawab, "Aku tahu makna keberanian itu. Aku harus berpura-pura bahwa pernikahanku itu memuaskan dan hidupku baik² saja selama bertahun-tahun. Hidup di Mekah berarti kita harus pandai berpura-pura. Rima, engkau dan aku telah saling berhubungan selama hampir setahun sekarang. Aku bertanya apapun padamu tentang berbagai hal yang tersirat dalam pikiranku. Engkau itu lebih akrab denganku daripada kelima saudara perempuanku. Kau tahu segala rahasiaku."

Kerjapan di gambar wajah di Skype mengalihkan perhatian Rima dari pikirannya. Sewaktu Nasreen menyeka airmata dari kedua matanya, Rima melihat kembali keberanian yang sama sewaktu temannya berbicara tentang jinn. Dia bisa merasakan temannya akan menyampaikan sesuatu yang penting.

"Rima, apakah kau ingat ketika aku berkata padamu tentang semua rahasia²ku?"

"Ya, Nasreen. Aku ingat. Aku merasa terhormat mendengar kau berkata begitu."

"Aku punya satu rahasia lagi. Yang ini belum pernah kukatakan padamu."

Rima memandang wajah temannya di layar komputer dengan diam. "Rima, sekarang aku mengikut Yesus. Aku mencintaiNya seketika itu juga, tapi aku tak yakin harus berbuat apa tentang hal ini. Setelah Dia datang padaku dalam berbagai mimpi, engkau menjelaskan padaku setiap pesan yang disampaikanNya padaku. Aku sudah jelas tak bisa lagi menolakNya setelah Dia menunjukkan cinta kasihNya yang begitu besar. Aku masih punya satu pertanyaan lagi."

Rima merasa lega mendengar temannya tidak meninggalkan tekad untuk mencari kebenaran sejati akan Tuhan. "Apakah pertanyaanmu, Nasreen?"

"Engkau bukan satu²nya orang yang memberitahu aku tentang Yesus. Selama berminggu-minggu terakhir, aku telah mendengarkan Trans World Radio hampir setiap malam. Siaran radio ini mencapai Mekah dengan ajaran² mempesona tentang Yesus. Aku merasa kurang cukup mengetahui tentang Dia di internet di siang hari, sehingga setelah makan malam aku pergi ke kamar mandi. Aku menyembunyikan sebuah radio kecil di situ yang ditutupi sebuah bantal sehingga aku bisa mendengar siaran radio tentang Yesusku. Aku belajar banyak sekali tentang Dia, tapi ..."

"Tapi apa, Nasreen?"

"Rima." Temannya berhenti sebentar dan tampak malu² di layar komputer. "Apakah boleh untuk menyembah Yesus di kamar mandi?"

Rima tersenyum. "Ya, Nasreen. Itu sangat boleh. Dia tentu mengerti kok."

Penutup

Nasreen telah ingin keluar dari Islam - dan juga dari pernikahannya. Di kota yang paling memusuhi keKristenan, keinginan² seperti itu bisa membuatnya kehilangan nyawa. Tapi setelah dia mengenal Yesus, dia ingin mempertahankan pernikahannya. Dia berdoa agar suaminya juga mengalami mimpi berjumpa Yesus pula. Jika hal ini terjadi, dia mungkin bisa hidup menyaksikan suami dan pernikahannya diubah oleh Kristus.

Syair Terakhir Seorang Martir[sunting]

Berapa besarkah bahayanya mengikut Yesus di Saudi Arabia? Fatima al-Mutairi mengetahuinya. Dia hidup di Buraydah, sebuah kota yang terkenal dengan kefanatikannya akan Islam yang bahkan melampaui kebanyakan tempat² lain di Saudi Arabia. Di usia 26 tahun, Fatima telah meninggal dunia, sebagai martir bagi Kristus. Abangnya sendirilah yang membunuhnya, tapi kisah mengerikan ini berakhir dengan harapan yang membangkitkan semangat.

Bagi Sebuah Nama[sunting]

Nabi Muhammad menamakan anak perempuannya yang keempat Fatima. Dalam peperangan dan kesukaran yang dihadapi Muhammad dalam hidupnya, wanita yang berani ini tetap setia mendampingi ayahnya. Dia begitu menghormati ayahnya, sehingga kematiannya mengguncangkan jiwa Fatima, dan dia mati beberapa bulan saja setelah sang Nabi mati. Karena itulah, dia tetap dihormati sebagai contoh kekuatan dan keberanian bagi semua Muslim, dan namanya seringkali dipilih banyak orangtua Muslim bagi nama anak perempuan mereka. Fatima seringkali dibandingkan dengan Maria ibu Yesus. Punya nama Fatima merupakan kehormatan bagi anak perempuan Muslim manapun - terutama jika anak perempuan itu hidup di Saudi Arabia dan mewarisi garis keturunan ningrat.

Fatima al-Muatiri merupakan anggota dari suku terkenal Bedouin yang telah berakar selama berabad-abad di Saudi Arabia. Pengaruh keluarga al-Mutairi tersebar dari seluruh Kerajaan Saud dan menyebar sampai ke negara tetangga Kuwait pula. Sudahlah wajar jika anak perempuan al-Mutairi dari propinsi timur Saudi Arabia diberi nama Fatima. Semua anggota keluarganya adalah Muslim yang taat, termasuk abangnya yang merupakan seorang ulama dan anggota dari Komisi Penegak Keluhuran dan Pencegah Maksiat (tak perlu dijelaskan lebih lanjut untuk mengetahui organisasi apa ini). Karena latar belakang keluarganya, dan juga karena dibesarkan di lingkungan Islam yang fanatik, keluarga al-Mutairi berharap banyak dari Fatima. Akan tetapi menjadi pengikut Yesus bukanlah salah satu dari harapan² itu.

Mimpi² - Lagi[sunting]

Berapa banyak orang yang telah ditemui Fatima di internet yang mengaku bermimpi bertemu Yesus? Dan kebanyakan dari mereka adalah Muslim! Awalnya, dia mencoba menerangkan pada mereka, tapi kisah² mimpi itu membuatnya jadi ingin tahu tentang dunia spiritual di luar Islam. Dia mulai membaca segalanya yang bisa dia temukan tentang Yesus, dan teman² internetnya - dia benar² menganggap mereka sebagai teman²nya - suka berdiskusi tentang berbagai pertanyaan yang diajukannya tentang kepercayaan mereka. Dan tampaknya setiap hari dia selalu saja bertemu orang baru yang bermimpi tentang Yesus. Setiap orang yang bermimpi membagi kisah bertemu dengan Orang yang penuh kekuasaan, lemah lembut, yang begitu mempesonanya, tidak memalukan seperti kebanyakan para pemimpin Muslim, tapi dengan cinta kasih nan tulus yang menyentuh lubuk hati. Mengetahui bahwa ada Tuhan yang begitu penuh kasih sungguh mencengangkan mereka. Seorang teman menggambarkan Dia sebagai gembala yang mengawasi dan mengurus dombaNya. Hati Fatima menginginkan pengalaman diterima dan dimiliki seperti itu.

Selama berbulan-bulan, wanita muda ini membaca Perjanjian Baru di internet dan melihat sendiri cinta kasih Yesus yang agung bagi para muridNya. Dia sungguh menarik hati, dan di suatu malam dia menunduk dengan khidmat untuk menerima panggilanNya. Dia setuju untuk mengikut Dia, apapun konsekuensi yang mungkin dihadapinya - ataupun yang sudah pasti. Meskipun Fatima tidak pernah pergi ke gereja, dia berdoa hampir setiap hari di internet dengan umat Kristen lainnya di seluruh dunia yang mendukungnya dengan kisah² mereka menghadapi keluarga dan teman² dalam perjalanan bersama Kristus.

Fatima memang bersikap berani persis seperti makna namanya, bahkan sewaktu dia menjadi "kafir" sekalipun. Imannya pada Kristus dengan cepat semakin dalam, dan rasa cintanya pada Tuhan menjadi dikenal diantara umat Kristen Arab di internet. Dia bergabung dengan Gulf Christian Forum, sebuah grup yang awalnya hanya berjumlah 10 orang Kristen yang membanjiri internet dengan e-mail dan blog² yang mewartakan Kristus pada setiap Muslim yang memperhatikan. Setiap malam Fatima mengajukan pertanyaan² dari Muslim untuk mencari kebenaran tentang Tuhan, dan blog demi blog, dengan nama penanya yakni "Rania" yang menjadi terkenal karena syair²nya tentang Yesus.

Kata² yang Memberatkan[sunting]

Fatima sedang berada di tempat kerjanya di hari abangnya menemukan jurnal²nya. Meskipun keputusan murtadnya sudah jelas, dia membongkar semua kemungkinan tempat yang bisa dipakai untuk menyembunyikan di kamar Fatima untuk mencari bukti² lain. Dia lalu menemukan hubungan² dengan umat Kristen di komputer Fatima, catatan² pemahaman Alkitab yang ditulis Fatima sendiri, dan akhirnya puisi² tentang Yesus. Sikap ini sungguh merupakan penolakan akan Islam yang tak terbayangkan. Hanya ada satu saja jalan keluar agar seluruh keluarganya tidak dipermalukan dan agar sikap murtad Fatima tidak menyebar ke generasi² al-Mutairi selanjutnya.

Ketika Fatima pulang ke rumah, abangnya mengumumkan pada seluruh keluarga bahwa Fatima telah berbakti pada iman kafir, iman yang bisa mengakibatkan dia dibunuh. Untuk mendapatkan ketegasan lebih lanjut, ulama yang meradang itu bertanya pada Fatima, "Apakah engkau adalah pengikut Yesus?"

Jawabannya singkat saja, "Ya. Aku memang begitu."

Abangnya lalu mengambil HP-nya, sehingga dia tak bisa menelpon siapapun untuk minta tolong - ini bukan berarti ada orang di Buraydah yang mau menolongnya - dan mengunci Fatimah di kamarnya. Selama empat jam Fatimah menunggu hukuman matinya, komputer yang telah membawanya mengenal Kristus sekarang menayangkan kata² terakhir Rania di dunia. Kepada gereja internet dan jemaatnya, dia mengirim puisi terakhirnya:

Semoga Tuhan Yesus membimbingmu, O Muslim, dan mencerahkan hatimu sehingga engkau bisa mencintai sesamamu. Kami tak menyembah salib, dan kami juga tidak gila. Kami menyembah Tuhan Yesus, cahaya dunia. Kami meninggalkan Muhammad, dan kami tidak lagi berjalan di jalurnya. Kami mengikuti Yesus sang Messiah, sang kebenaran sejati. Dan kamipun dengan tulus mencintai tanah air kami, dan kami bukan pengkhianat. Kami bangga menjadi warga Saudi. Bagaimana mungkin kami bisa mengkhianati tanah air kami dan masyarakat yang kami cintai?? Bagaimana mungkin kami, yang rela mati bagi Saudi, bisa melakukan itu??? Tanah air kakek moyam kami dan kemegahannya yang pada mereka aku menulis penghormatan ini. Dan kami berkata, "Bangga, bangga, kami bangga menjadi warga Saudi." Kami memilih jalan kami, jalan yang benar. Dan setiap orang bebas boleh memeluk agama apapun. Biarkan kami menjadi pengikut Yesus. Biarkan kami hidup dengan tenang sampai waktu kami tiba. Airmataku mengalir di pipiku dan oh! Hati ini sedih bagi mereka yang menjadi Kristen, betapa kejamnya kau! Dan sang Messiah berkata: "Diberkatilah mereka yang tertindas." Dan kami demi mengikut Kristus harus menanggung semuanya. Kenapa engkau marah karena kami jadi kafir? Cukup - kata² tidak menakutkanku lagi, tidak juga kejahatan, tidak juga penghinaan. Ancaman²mu tidak membuatku khawatir, dan kami tidak takut. Dan demi Tuhan, sampai mati aku tetap Kristen - malah aku menangis karena masa laluku berlalu penuh kesedihan. Aku jauh dari Tuhan Yesus selama bertahun-tahun. Oh Sejarah, catat dan saksikan, Oh para saksi! Kami, umat Kristen - di jalur Kristus kami berjalan. Ambil dunia ini dariku, dan catat baik² ya? Kau lihat Yesus adalah Tuhanku, dan Dia adalah Pelindung yang Terbaik. Aku nasehatkan kau untuk mengasihani dirimu sendiri, untuk bertepuk tangan dalam berkabung. Lihat kebencianmu yang tampak buruk itu. Di manakah belas kasihanmu, cinta kasihmu, dimana semua itu? Sebagai kata²ku yang terakhir, aku berdoa pada Tuhan seluruh jagad raya. Yesus adalah sang Messiah, Cahaya Pembimbing yang jelas. Dia merubah pengertian, dan menetapkan timbangan keadilan yang benar. Dan Dia juga menyebarkan Cinta dinatara kalian, wahai Muslim.

Beberapa menit setelah dia menekan tombol Kirim untuk terakhir kalinya, abang Fatima masuk kamarnya. Dia memukuli adiknya dengan kejam, mematahkan tulang² dan menyobek kulit. Akhirnya, dia memotong lidah Fatima dan menyeretnya keluar untuk membakarnya hidup².

Renungan atas Kematian sebagai Martir[sunting]

Aku bisa bayangkan Fatima mengalami penyambutan sebagai pahlawan di surga. Cintanya pada Yesus sepadan dengan semangatnya mencari Dia dahulu. Meskipun dia dulu larut lebih dalam pada Islam daripada kebanyakan Muslim lainnya, kehidupan dan kematiannya meneriakkan fakta tentang seorang Juru Selamat yang kekuatan kasihnya mengatasi jauh lebih hebat penipuan terlicik setan. Fatima, wanita muda pemberani, memang sesuai dengan namanya yang berarti "keberanian dan kekuatan" bahkan sampai mati sekalipun.

Suatu hari di surga, aku berharap Yesus akan memberi kita semua kehormatan untuk bertemu dengan Fatima - sang martir bagi Kristus dari Saudi Arabia.

Pemahaman Alkitab di Mekah[sunting]

Haji adalah satu dari Lima Pilar Islam. Setiap pilar adalah kewajiban ibadah, dan ini berarti melakukan ibadah haji ke Mekah merupakan pernyataan iman bagi Muslim.

Setiap Muslim diharapkan melakukan ibadah haji sekali dalam hidupnya atau setidaknya mengirim seorang anggota keluarganya sebagai wakilnya. Kira² dua juta Muslim melakukan ibadah haji ke kota tersuci Islam setiap tahun. Ini bukan saja impian terbesar tapi juga tujuan utama hidupnya. Umat Muslim benar² hidup untuk melakukan ibadah haji. Ketika berada di sana, ribuan akan tidur di tenda² yang terletak di seluruh kota. Pemandangan jadi tampak seperti Pesta Pondok Daun (Tabernakel) versi Arab.

Seorang Pengunjung ke Mekah - baik di saat haji atau bukan - terus saja keluar masuk kota tanpa surat² identitas. Yesus telah sering berkunjung ke tempat itu selama berabad-abad, dan akhir² ini Dia tampaknya tinggal di situ. Pesan pengampunanNya muncul tanpa menimbulkan suara di sana. Memang seharusnya begitu. Tapi seperti pohon palem yang berbuah lebat di gurun pasir dan menghasilkan banyak buah kurma meskipun kondisinya panas dan gersang, FirmanNya telah berakar dan semakin bertumbuh. Meskipun "secara resmi" hanya ada Muslim di Mekah, para pengikut Yesus melakukan pemahaman Alkitab setiap hari di sana - banyak dari mereka berterima kasih atas seorang wanita yang rela mengambil resiko apapun demi menyebarkan FirmanNya.

Iman Sejati diantara Umat yang Setia[sunting]

Aisha berbaring diam, mendengarkan. Kain kanvas tenda di sekitarnya menawarkan kesunyian di dalam tenda yang sungguh berbeda dengan keadaan di luar tenda di mana ratusan ribu peziarah berlalu-lalang di jalanan. Kumpulan tenda itu begitu berdesakan sehingga hampir tak ada ruang cukup untuk berjalan diantara tenda, sehingga suara² dari tenda sebelah - kebanyakan suara dengkuran dan suara nafas berat orang yang tidur - terpisah dari suara orang bercakap-cakap di latar belakang. Dua tenda berikutnya, dia mendengar sayup² repetisi doa yang diucapkan berulang kali.

Aisha memalingkan kepalanya ke sebelah dan melihat pada kakak perempuannya dan menghela nafas. Biasanya, kakaknyalah yang ingin tetap terjaga di larut malam, andaikat kedua orangtua mereka tidak memaksa anak² mereka untuk tidur lebih awal. Tapi di malam ini kedua mata Aisha tetap saja terjaga. Mengapa, pikirnya heran, dia tidak juga tertidur? Hari ini dia melakukan kegiatan melelahkan mengelilingi Ka'bah tujuh kali. Kedua tapak kakinya masih berdenyut, mengingatkannya akan pengalaman tak menyenangkan saat kaki dan jari²nya dipijak kaki² peziarah lain. Dan di pagi hari, keluarganya akan bangun di saat subuh dengan harapan dapat tumpangan umum ke Mina untuk melakukan ibadah haji yang kedua. Tentu saja dia sangat membutuhkan istirahat yang cukup di malam ini.

Entah dari arah mana yang tak jauh dari tendanya, sebuah suara anak kecil terdengar berteriak, "Aku tak mau, Mama!" Aisha tertawa geli membayangkan anak itu bermimpi apa, tapi suatu suara lain, yang jauh lebih dekat, menarik perhatiannya. Dia lalu duduk tegak, sambil mengira akan melihat sepotong pisau menyobek kanvas dekat kakinya. Apa yang dilihatnya ternyata justru lebih mengejutkan lagi.

Seorang Pria dengan gaun putih - bukan dishdasha - yang bersinar cemerlang berdiri di hadapannya. Dia melihat tenda di belakang Orang itu dan Dia tak memotong apapun untuk masuk ke dalam tenda. Dia mengangkat tanganNya, seakan memberi salam dan juga untuk menenangkan. Tiada orang lain yang terbangun.

Cahaya dari baju Pria itu tampaknya memancar ke dalam tubuh Aisha. Hal pertama yang dipikirkannya adalah seorang ulama datang mencari keluarganya - atau lebih menyeramkan lagi, mencari dirinya seorang. Akan tetapi kehangatan di luar dunia memancar dari Pria ini. Seketika Aisha tahu bahwa Dia sangat mencintainya. Dan seketika itu juga dia tahu siapakah Dia. Yesus sedang berdiri dalam tendanya.

Dia lalu melangkah mundur dan menundukkan kepala seakan hendak keluar dari pintu masuk tenda yang lebih rendah. Sewaktu Dia menghilang menembus sisi tenda, gadis itu sempat melihat kedua mataNya. Ikutlah Aku, begitulah pesan pandanganNya.

Aisha duduk menatap dengan mulut ternganga pada dinding tenda. Mungkin suara² lain terus terdengar di malam hari sekitarnya, tapi Aisha tidak mendengar semuanya. Selama sejam, dia tidak bergerak atau berkata sepatah katapun. Apa yang lebih berbahaya daripada mendapat penglihatan akan Yesus di Mekah saat ibadah haji?

Sebulan kemudian, Aisha dan keluarganya melakukan perjalanan mereka yang berikut, kali ini keluar negeri. Perjalanan ini tidak begitu penting tapi jauh lebih menyenangkan daripada naik haji ke Mekah: mereka mengunjungi sanak keluarga favorit Aisha di Yordania.

Suatu malam di rumah sepupunya sewaktu sedang menelusuri berbagai siaran TV sebelum pergi tidur, Aisha terpaku pada kata² dari stasiun TV Kristen di Mesir.

"Sebagian dari kalian telah mendapat penglihatan akan Yesus," kata pendeta Mesir pada - dirinya? "Berterimakasihlah Dia telah memilihmu untuk mengikut Dia. Dia punya tujuan bagi hidupmu."

Aisha sekali lagi ternganga tanpa sepatah kata pun karena Yesus. Dan sekali lagi, dia tak memberitahu siapapun. Setelah dia kembali ke Saudi Arabia, dia menyadari betapa besar tekad Pria dari surga ini dengan missiNya baginya.

Penglihatan² yang baru ini berbeda dengan yang dialaminya di Mekah. Dia tidak hanya memanggilnya di malam hari. Yesus bahkan menemuinya di siang hari bolong. Kadangkala dia hanya melihat wajahNya, dan Dia tidak pernah bicara. Tapi setiap kali, pesan yang dia lihat dari kedua mataNya selalu sama: Ikutlah Aku.

Berbagi Pengalaman Rahasia[sunting]

Tiga bulan telah berlalu sejak keluarganya terakhir kali mengunjungi sanak keluarga di Yordania, dan kali ini, Aisha merasa keberaniannya bertambah dalam hatinya untuk mengungkapkan pengalamannya yang aneh dan di luar dunia. Dia juga merasakan sesuatu yang berbeda pada sepupunya, Reem. Malahan Reem lah yang pertama kali mengutarakan tentang "pertemuan² spiritual." Maka di suatu sore ketika mereka sedang berdua saja di kamar Reem, Aisha memakai kesempatan ini untuk bertanya.

"Apakah engkau mengalami mimpi² bertemu Muhammad?" Aisha mencoba-coba dengan pertanyaannya.

Kedua mata Reem menatap lantai kamarnya, berusaha berhati-hati dalam menjawab. "Tidak, Aisha. Sebenarnya yang kujumpai bukan si Mamad." Kepalanya masih tertunduk ke lantai, dia hanya melirik pada Aisha. "Yang kujumpai adalah Yesus." Dia mengamati reaksi sepupunya dan melanjutkan. "Aku beberapa kali mimpi tentang itu. Aku tak dapat menjabarkan kedamaian luar biasa yang kualami ketika Dia bicara padaku." Reem menahan nafas, berharap dia tidak diserang karena keterangan ini.

Aisha memandang Reem dengan tenang. "Aku tahu persis apa maksudmu."

Dengan sedikit senyuman di wajahnya, dia melanjutkan, "Aku juga mengalaminya."

Reem mendongakkan kepalanya dan menatap Aisha.

"Wow," hanya itu yang dikatakannya.

Aisha menyampaikan pada sepupunya semua detail tentang pertemuan²nya dengan Yesus. Reem juga telah bertemu dengan Yesus dan setiap kali mereka menangkap adanya suatu tujuan - sebuah missi - dari Juru Selamat mereka yang baru.

Untuk mempelajari pertanyaan² yang mengisi benak mereka, maka mereka menghabiskan sisa hari itu untuk membahasnya di tempat tersembunyi agar tidak menimbulkan rasa curiga dari keluarga mereka. Ini yang dibahas:

Mengapa Yesus muncul pada mereka?

Apa sebabnya di setiap pertemuan mereka merasa begitu damai dan aman?

Mengapa Yesus melakukan kunjungan yang serupa pada mereka berdua?

Satu pertanyaan tampaknya lebih penting daripada yang lain: Bagaimana perbedaan Injil - Perjanjian Baru - yang disembunyikan di laci pakaian Reem itu berbeda dengan buku² lainnya? Pertanyaan tentang asal-usul keilahian Injil menolong kedua gadis muda ini mengetahui jawabannya dalam hati mereka. Jawaban itu mendorong mereka untuk melakukan missi yang ditawarkan kepada mereka berdua.

Meskipun literatur Kristen apapun dilarang di Saudi Arabia, Alkitab tetap bisa dibeli di Yordania. Kitab Perjanjian Baru milik Reem tidaklah sukar ditemukan di Yordania. Tapi mereka harus mencari cara untuk menyelundupkannya ke Saudi Arabia!

Keakraban antara keluarga Reem dan keluarga Aisha menjadi landasan penginjilan mereka. Pada kunjungan keluarga di tahun berikutnya, kedua saudara sepupu ini menyusun rencana, dan meskipun resikonya sangat besar - terutama bagi Aisha - mereka tetap melaksanakannya.

Kitab Perjanjian Baru milik Reem yang kecil tidak hanya bisa disimpan di laci kaos kaki milik Reem, tapi mereka juga menyadari bahwa, karena keahlian menjahit Reem, buku itu juga bisa dijahitkan pada keliman hijab. Dengan begitu, missi mereka bisa mulai dilaksanakan.

Resiko/Berkat - Keterangan Aishah Sendiri[sunting]

Ketika Aisha memberitahu aku tentang kisahnya di salah satu kunjungan²ku ke Yordania, dia meninggalkanku dengan tulisan tentang visi dan keberanian tentang apa yang missinya di Mekah telah capai:

Alkitab² yang dijahitkan di dalam jilbabku membuatku tidak merasa nyaman. Tapi aku berhasil membawa duapuluh Alkitab setiap pulang dari Yordania. Reem adalah penjahit kami, dan aku membawa kitab² Injil itu langsung ke rumahku di Mekah. Sejauh ini, petugas pemerintah tidak pernah bertanya padaku sekalipun. Aku tahu mereka akan membunuhku jika mengetahui apa yang kulakukan. Dan bahkan meskipun aku tak pernah memberitahu siapapun tentang buku² itu, tapi buku² itu habis semua dibagikan ke banyak orang bahkan sebelum aku tiba di rumah. Firman Tuhan adalah barang milik yang paling berharga di Mekah.

Referensi[sunting]

  1. Keterangan tentang Voice of the Martyrs bisa dilihat di www.persecution.com
  2. Tom White, The Voice of the Martyrs Newsletter (July 2011):1