Edelweis

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

EDELWEIS

Namaku Emma, tapi kadang orang memanggilku Erma, Erna bahkan Emmy , entah lah apa mungkin terlalu sulit melafalkan ejaan namaku. Ah tapi  itu tidaklah terlalu penting  karena aku tak sedang berkisah tentang namaku.   Hobi ku membaca, membaca apa saja  tapi  yang  paling aku suka sih cerita. Menurut pendapatku membaca cerita itu seru , kita berasa seolah menjadi bagian di dalam kisahnya. Apa lagi cerita dongeng seorang puteri dan sang pangeran yang menjadi favoritku dimasa kecil, sungguh mampu menciptakan fantasi-fantasi masa kanak-kanak yang menggelikan. He he he rasanya malu dan pengen ketawa bila ingat itu semua. Aku yang masa remajaku di era 90an, masa dimana masih media cetak  majalah dan novel yang menjadi tempatku melampiaskan hobiku. Tak  jarang  aku memanfaatkan perpustakaan sekolah atau persewaan novel yang laris manis pada masa itu. Teknologi komunikasi belumlah sesemarak sekarang, belum ada gadget apalagi internet yang memungkinkan kita bisa leluasa berselancar ke dunia cyber menjelajah kemana saja yang kita suka. He he he tapi sebenarnya aku juga tidak   sedang     ingin menceritakan tentang sejarah hobi membacaku dimasa lalu. Sengaja aku mengulasnya karena kisah ini bermula dari sana.

               *****

Aku masih siswa menengah  pertama waktu itu, waktu dimana aku dan para belia seumuranku sangat menggandrungi majalah dan novel remaja, apa lagi kalau bukan  cerita yang menarik perhatianku. Aku lebih suka membaca majalah dibanding novel selain harganya lebih terjangkau ceritanya juga lebih beragam. Banyak sekali majalah-majalah remaja yang diterbitkan pada masa itu, dan pilihanku jatuh pada satu majalah yang hampir sebagian isinya karya-karya fiksi yang sangat memanjakan hobi membacaku. Salah satu majalah yang cukup familiar dikalangan remaja era 90an. Sengaja aku tak menyebut merk  dan jika kalian adalah orang-orang era 90an kalian pasti tahu. Majalah yang memuat banyak kisah dari para penulis yang sangat piawai merangkai kalimat membentuk cerita  yang tertuang dari ide-ide brilian yang disajikan dengan penuh greget. Kisah-kisah yang tak ingin sedikitpun terlewatkan hingga nyaris majalah menjadi kebutuhan primer  yang  tak boleh tertunda. Meski aku tak selalu punya cukup uang untuk membelinya. Ha ha ha tapi sekali lagi aku tak sedang membagi kisah tentang bagaimana cara aku mendapatkan majalah favoritku, karena bukan itu  yang menjadi inti ceritaku, sekali lagi maaf jika aku terlalu bertele-tele.

                *****

Oke sebenarnya aku ingin bercerita     tentang  kekagumanku pada sebuah kata "Edelweis" . Kata yang seringnya menghiasi di banyak kisah yang aku baca pada waktu itu. Kata yang begitu menarik perhatianku . Kata yang mampu menyihirku serasa berada pada keindahan  yang sulit aku ungkapkan. Kata yang membuat para pembacanya sanggup  menciptakan imajinasi-imajinasi yang luar biasa. Kata yang banyak digunakan  sebagai simbol keabadian cinta, dan kata yang ternyata  nama sebuah bunga, iya bunga, bunga yang sangat membuatku penasaran.

"Hei serius amat!" tegur Sandra teman sebangkuku yang kala itu tengah mendapatiku  begitu serius mencermati salah satu cerita di majalah favoritku.

" Hmm , Edelweis " sahutku sekenanya, aku memang sedang membayangkan kembang itu.

"Iya kenapa?" timpal Sandra, aku cuma nyengir , percuma aku jelaskan dia pasti tidak paham dengan apa yang sedang aku pikirkan. Aku sangat penasaran dengan wujud kembang itu, tapi rasa penasaran itu tak pernah mendapatkan jawaban. Begitulah akhirnya hingga rasa   penasaran   itu

berlanjut ku bawa hingga aku SMA bahkan sampai aku masuk universitas. Ha ha ha barang kali aku nya yang kurang up to date atau mungkin tak pernah ada yang tertarik menerbitkan artikel atau ulasan tentang Edelweis. Atau barangkali pernah ada tapi terlewat dari perhatianku karena aku lebih  tertarik rubrik cerita bukan yang lain, tapi ah aku sebenarnya juga tak yakin bisa jadi Edelweis hanyalah bunga fiktif yang sengaja dikarang oleh  seorang penulis agar ceritanya terkesan indah,  dan waktu itu belum ada google yang dengan pintar serta merta mampu menampilkan apa yang kita ingin tahu hanya dengan memasukkan kata kunci.

                 *****

Seingatku aku tengah menjalani PPL (praktek pengenalan lapangan) disalah satu SMA di Surabaya kala itu, ya aku memilih masuk ke institut kependikan selepas SMA, tapi maaf bukan pula riwayat pendidikanku  yang ingin aku ceritakan.

"Akhirnya, week end juga" ujar Bayu teman PPL ku sekaligus satu kampus dan satu jurusan pula denganku disela-sela waktu istirahat kami siang itu.

"Seneng banget nampaknya, emang mau liburan ?" aku menimpali sembari mengoreksi lembar jawaban murid-murid ku.

" Iya dong, kenapa mau nitip sesuatu" sahut nya sambil nyengir, membuat ku ingin tertawa melihat mimik mukanya yang lucu.

" Emang liburan kemana? yakin nih boleh nitip?" tanyaku becanda.

" Ke Bromo dong , mau nitip apa?"

" Edelweis!" sahutku spontan

" Yakin?" kini gantian Bayu balik bertanya

"Iyalah, emang kenapa? Jangan khawatir ntar aku ganti deh ya? Please!" Jawabku seraya memohon. Tidak yakin sih Bayu bakal mengiyakan, karena aku tak yakin kembang itu nyata.

"Oke, ada yang lain" diluar dugaan Bayu setuju. " Emang ada ya bunga Edelweis?" Tanyaku antusias  "Gimana sih , katanya tadi nitip , kok malah nanya ada atau enggak, ya adalah. Aku biasa mencari nya kalau ke Bromo" jawab Bayu meyakinkan aku. " Kamu belum pernah lihat bunga Edelweis ya?" Aku menggeleng. "Hmm kasihan, ntar aku carikan yang banyak" .  Edelweis memang sangat familiar bagi para pendaki gunung atau mereka-mereka yang suka liburan ke gunung. Waktu itu siapa saja masih bisa leluasa mengambilnya tapi sekarang sudah tidak bisa lagi karena Edelweis sudah menjadi tanaman langka yang dilindungi.

                *****

Aku melongo ketika Bayu menyodorkan segebok kembang padaku waktu itu. Kembang yang menurutku lebih mirip ilalang yang biasa aku mainkan dengan teman-teman sebayaku di masa kecil. " Itu pesanan kamu, penuh perjuangan loh itu nyarinya" ucap Bayu dengan bangga. " Ini Edelweis? " mataku terbeliak,  aku tak mampu menutupi keterkejutanku. " Iya , kenapa? kok kaget?" Ada raut kekecewaan di wajah Bayu mungkin karena aku seolah tak menghargai perjuangannya demi mendapatkan bunga itu untuk memenuhi pesananku atau ucapanku  yang mungkin terkesan meremehkan.  Sementara aku, aku seperti terhempas dari imajinasi-imajinasiku sendiri tentang bunga itu. Gambaranku tentang bunga itu yang kupikir  lebih indah dari  mawar bahkan anggrek serta merta menguap begitu saja seperti debu yang tertiup angin. Kecewa sudah pasti , aku seperti terjerembab dalam fatamorgana, fatamorgana yang sengaja aku ciptakan sendiri,  tercipta  dari sebuah angan yang terlalu tinggi dalam melukiskan pesona  keindahan sebuah kata "Edelweis".