Gajah Kecil Mengunjungi Peternakan


Ditulis oleh Heluiz Washburne
Ilustrasi oleh Jean McConnell
Penulis dan illustrator dari Little Elephant Catches Cold, Little Elephant's Christmas dan Little Elephant's Picnic

GAJAH Kecil sangat bahagia musim panas telah tiba. Ia sangat menyukai musim panas, agar bisa bermain diluar seharian.
Suatu hari Ibu Gajah berkata, "Gajah Kecil, besok kita mengunjungi Paman Gajah Oliver di peternakan, ya."
Gajah Kecil meloncat kegirangan dengan keempat kakinya, dan mengangkat belalainya sambil berseru, "Humpha! Humpha! Humpha!" yang berarti, "Hore..hore..!"
Di pagi hari berikutnya, Ayah Gajah naik ke loteng dan menurunkan koper-koper besar. Ibu Gajah mulai mengemasi barang-barang.
Saat semuanya sudah dikemas, koper-koper itu sudah sangat penuh sehingga tidak bisa ditutup. Gajah Kecil duduk di atas koper yang paling besar dan melompat-lompat diatasnya, tapi tetap saja tidak tertutup. Akhirnya mereka memanggil Ayah Gajah. “Gampang itu,” katanya, dan menghentakkan satu kakinya yang besar ke tutup koper. BAM! Akhirnya tertutup.
Sore itu mereka berangkat dengan kereta. Gajah Kecil sangat senang karena dia belum pernah naik kereta. “Ding-dong, ding-dong, ding-dong!” bunyi bel. Dan peluit menjerit, “Tuu-uu-uut, tuu-uu-uut!" Ayah Gajah berdiri di atas peron sambil melambaikan tangan.
Awalnya Gajah Kecil duduk dengan tenang di kursinya, dan melihat pepohonan, rumah-rumah, dan tiang-tiang telegraf yang melintas melewati jendela. Kemudian ia mulai gelisah. Hal ini mengganggu Ibu Gajah, yang sedang mencoba untuk tidur siang.
“Duduklah dengan tenang, Gajah Kecil,” ujar Ibu Gajah, ”dan berhentilah bergoyang-goyang.”
Itu adalah perjalanan kereta yang panjang dan Gajah Kecil sangat lelah. Awalnya, dia membaca buku bergambar yang dibawa Ibu Gajah. Kemudian ia berlari-lari di lorong kereta dan melihat ke luar jendela. Akhirnya, tidak ada lagi yang bisa dilakukannya, kecuali terus bertanya.
“Ini stasiunnya, bukan?” tanya Gajah Kecil, setiap kali kereta berhenti.
Tapi Ibu Gajah selalu menjawab, “Bukan,” dan ia tidak bisa tertidur.
Gajah Kecil tidak tahu apakah dia bisa menunggu lebih

lama lagi. Kemudian Ibu Gajah berkata, "Gajah Kecil, kenapa kamu bisa kotor begini? Nanti Paman Oliver dan Bibi Amy lihat bilang apa coba? Ke kamar kecil yang ada di ujung lorong, gih, cuci muka dan belalaimu. Sama jangan lupa bersihin telingamu juga, ya!"
Gajah kecil tidak suka membersihkan telinganya, karena mereka sangat besar! Ketika dia sudah sampai di kamar kecil, Gajah Kecil mengambil sebaskom air dan mulai bebersih. Namun, kereta terus bergoyang hingga air di baskom terguncang ke kiri dan kanan dengan kuat.
Gajah Kecil juga tidak bisa berdiri tegap di dalam kereta yang terus bergoyang. Dia mencoba mencuci wajahnya tapi sabun mengenai mata si Gajah Kecil. Ia mencari-cari handuk. Tapi dimana handuknya?
Akhirnya Gajah Kecil membuka salah satu matanya dan melihat tumpukan handuk diatas kepalanya. Ia mencoba meraih salah satu handuk dengan belalainya. Namun, kereta api bersiul panjang "Tuu-uu-uu-uut!" dan berbelok tajam.
GEDEBUK! Gajah Kecil baru menyadari dia terduduk diatas lantai dan tertimbun tumpukan handuk.
Saat kereta kembali melaju di jalur lurus, Gajah Kecil membersihkan matanya dan kembali ke tempat duduknya. Ibu Gajah memakai kacamatanya. Kemudian dia mengangkat

dan memeriksa kedua telinga Gajah Kecil. "Kamu sudah bersihin telinga kamu, Gajah Kecil?" tanya Ibu Gajah dengan ketus.
Gajah Kecil berdiri dengan satu kaki kemudian dengan kaki lainnya. Dia tidak tahu harus menjawab apa. “Sedikit,” jawabnya singkat, sambil melihat ke bawah belalainya.
“Huh! Sudah kuduga!” omel Ibu Gajah. “Sekarang kembalilah dan cuci sampai bersih. Gajah Kecil yang sebesar kamu seharusnya bisa mencuci telinganya sendiri.”
Saat Gajah Kecil kembali untuk kedua kalinya, kereta api sedang berhenti di sebuah stasiun.
“Kita sudah sampai!” seru Ibu Gajah. “Cepat!”
Ada Paman Gajah Oliver yang ceria, berdiri di peron. Gajah Kecil tahu bahwa itu adalah Paman Oliver karena dia mengenakan baju terusan merah longgar dan topi jerami yang besar, dan dia sedang mengunyah gumpalan jerami. “Terr-ber-kaa-a-ti-laa-ah jiwaku! Kalau bukan Gajah Kecil!” teriak Paman Oliver, sambil menuruni peron untuk menemui mereka. “Apakah kamu datang untuk membantuku di peternakan, anak muda?”
Mobil dengan atap terbuka yang lucu dan mungil milik Paman Oliver terparkir di samping peron. “Ayo masuk!” ajaknya.
Gajah Kecil tidak tahu di mana mereka bisa menaruh koper-kopernya, karena Ibu Gajah memenuhi seluruh

kursi belakang. Paman Oliver akhirnya mengikat dua koper dibelakang dan satu di bagian depan fender mobil. Gajah Kecil melompat ke kursi depan mobil. Kemudian Paman Oliver menyalakan mesin mobil.
Seketika seluruh mobil mulai berguncang. "Krek..tekk..tekk..vrr..vroom!" deru mesin mobil.
"Nah..!" seru Paman Oliver sambil melompat dan meraih kemudi mobil. Mereka pun melaju di jalan yang penuh debu.
"Bunyikan klaksonnya," pinta Paman Oliver.
Gajah Kecil mengulurkan tangan dan meraihnya. "Tin! Tin!" Ayam-ayam berlarian sambil berkokok-kokok ke tepian jalan. Gajah Kecil merasa bahagia. "Tin! Tin! Tin! Tin!" Semua orang segera menyingkir. Gajah Kecil melihat sekelilingnya ke ladang dan lumbung-lumbung besar berwarna merah. Dia melihat kuda dan sapi di padang rumput, bebek di kolam, dan babi serta ayam di kandang. Gajah Kecil sangat senang ia berada di sebuah desa.
Tak lama kemudian mereka tiba di peternakan. Di teras ada Bibi Gajah Amy dengan celemek besar yang diikatkan di pinggangnya. “Wah, wah, Gajah Kecil,” katanya. “Gajah Kecil sudah besar sekali!”
Gajah Kecil berdiri di sana sambil mengayunkan belalainya dari satu sisi ke sisi yang lain dengan wajah yang cemberut. Ia benci ketika orang dewasa mengatakan bahwa ia adalah Gajah Kecil yang besar. Sesaat kemudian,

Paman Oliver berkata, "Sini Gajah Kecil, bantu aku membawa koper-koper ini." Gajah Kecil teralihkan dan merasa lebih baik.
Bibi Amy dan Ibu Gajah yang sudah lama tidak berjumpa, saling bergandengan dengan belalai mereka dan memasuki rumah, sambil mengobrol sepuasnya.
Setelah selesai mengemasi koper-koper, Gajah Kecil langsung mengenakan baju terusan berwarna merah seperti punya Paman Oliver, hanya saja lebih kecil. Ketika sampai di lantai bawah, Paman Oliver mengambil topi jerami tua dari gantungan di dinding dapur dan memakaikannya ke atas kepala Gajah Kecil. Paman Oliver berkata, “Kamu terlihat seperti petani sungguhan.” Dan dia tertawa terbahak-bahak hingga seluruh tubuhnya bergetar.
“Aku sudah membuat kebun untukmu, Gajah Kecil,” katanya, “Ayo, kita lihat.”
Di kebun itu ada dua baris wortel, satu baris buah bit, tiga baris lobak, dua baris buncis, dan empat baris bawang, untuk Gajah Kecil yang suka sekali dengan daun bawang. Setiap sisi kebunnya dihiasi dengan bunga matahari. Gajah Kecil sangat senang dengan kebunnya hingga Paman Oliver mengingatkan, “Kamu harus menjaga kebunmu dari gulma. Mulai lakukan dari hari ini, ya.”
Gajah Kecil melihat ke bawah belalainya, dan mengepakkan kedua telinganya yang besar. Ia yakin ia tidak akan suka merawat kebun itu.
“Ini seru kok,” kata Paman Oliver. “Coba lihat, kamu bisa melakukannya


seperti ini.” Dia memegang batang kecil berwarna hijau dengan belalainya, memutarnya, menariknya, dan tercabut. Gajah Kecil mencoba menarik satu batang. Dengan mudah, ia mencabutnya lagi dan lagi.
“Sudah kubilang, ini seru, kan?” ujar Paman Oliver. “Sebentar lagi juga tercabut semuanya.” Lalu Paman Oliver pergi untuk memotong kayu dan memompa air.
Gajah Kecil terus mencabut, dan membuang gulma itu menjadi tumpukan yang rapi. “Aku akan mencabut semuanya,” pikirnya, ”dan mengejutkan Paman Oliver.” Tumpukan itu semakin lama semakin besar.
Ketika Paman Oliver kembali dengan membawa seember air, dia berhenti untuk memeriksa Gajah Kecil. Lantas ia menjatuhkan seember air itu dengan cipratan air yang besar. “Ya Tuhan!” teriaknya. Paman Oliver selalu mengatakan hal itu ketika dia merasa terkejut. “Ya Tuhan! Kamu sudah memetik semua bawangmu!”
Gajah Kecil merasa ingin menangis saat melihat apa yang telah ia lakukan. Semua daun bawangnya yang indah! Dia mengerjapkan

matanya dengan kuat, tapi tetap saja air matanya berlinang dan jatuh ke tanah.
“Sudah, sudah,” hibur Paman Oliver. Dia mengeluarkan sapu tangan bandana merah besar dan menyeka air mata Gajah Kecil. “Kamu masih punya banyak tanaman lain, kok. Kamu pasti akan menjadi petani yang baik karena kamu bekerja keras.” Lalu ia pergi lagi untuk memompa air.
Setiap hari di peternakan adalah hari yang membahagiakan bagi Gajah Kecil. Banyak sekali yang bisa dilakukan. Ketika Bibi Amy sedang membuat mentega, Gajah Kecil membawakan ember-ember berisi susu mentega ke kandang babi. Di sana tinggal seekor induk babi tua yang gemuk dan tiga bayi babi kecil berwarna merah muda. “Ngok! Ngok! Ngok!” dengus induk babi tua sambil mengais-ngais makanan yang tercampur dengan susu mentega. “Oink! Oink! Oink!” pekik ketiga bayi babi itu saat mereka menikmati susu mentega yang lezat.
Gajah Kecil juga terkadang membantu di kandang. “Ambilkan jerami,” ucap Paman Oliver. Kemudian Gajah Kecil akan menaiki tangga ke loteng jerami yang wangi. Di sana ia akan mengambil seikat jerami dan melemparkannya ke bawah melalui pintu loteng. Dia akan mengambil lagi dan lagi, sampai Paman Oliver berkata, “Sudah!”
Pada hari-hari yang panas, Gajah Kecil pergi ke sungai di padang rumput. Dia suka

bermain di air yang sejuk. Terkadang ia melepas baju terusannya dan berendam di dalam lumpur. Suatu hari dia duduk di tepi sungai dengan bungkusan permen karet rasa peppermint yang diberikan Paman Oliver. Gajah Kecil sangat menyukai permen karet. Tapi Ibu Gajah jarang mengizinkannya memakan permen karet.
Satu per satu batang permen karet itu ia buka dan ia masukkan ke dalam mulutnya. Sepuluh batang permen karet telah menjadi gumpalan besar. Ia terus mengunyah dan mengunyah. Dengan ujung belalainya, ia menariknya menjadi satu tarikan panjang. Lalu, dia memasukkannya kembali dan menariknya lagi.
Saat Gajah Kecil sedang menikmati waktu santainya, tiba-tiba ia mendengar suara yang lucu di belakangnya. “Ssssss! Ssssss! Sssss!” Dia berbalik dan di sana berdiri seekor burung abu-abu besar, mengepakkan sayapnya dan mendesis ke arahnya. Burung itu terlihat sangat galak. Gajah Kecil sangat ketakutan sehingga ia menelan permen karetnya dengan lahap sepuluh batang!
“Sssss! Sssss!” desis burung itu lagi, sambil terbang ke arahnya. Gajah Kecil terkejut dan berlarian menuju rumah. Namun, burung tua itu masih mengejarnya, sambil mematuk-matuk tumitnya. “Ow-ow-ow!” tangis Gajah Kecil.
Dia menerobos masuk ke dapur dan membanting pintu pagar. Tapi burung itu masih berdiri di luar, sambil mengepakkan sayapnya dan mendesis.
“Kenapa, Gajah Kecil? Kamu tidak takut pada Sally,

kan?" tanya BIbi Amy terkekeh-kekeh. “Gajah kecil yang besar sepertimu. Dia hanya angsa peliharaanku yang sedang lapar.”
Tapi Gajah Kecil belum pernah melihat angsa sebelumnya. Selain itu, ia tidak bisa memaafkan Sally karena telah membuatnya menelan permen karetnya.
Hal yang paling disukai Gajah Kecil di peternakan itu adalah meluncur dari atap gudang. Atap di atas loteng jerami lebih tinggi dari atap lainnya, jadi dia akan mulai dari sana, meluncur ke bawah, meluncur lagi melewati bagian kedua, terbang menyusuri atap itu, turun ke atap kandang ayam, meluncur lagi dan melompat ke tanah. Sangat menyenangkan karena kandangnya tinggi dan dia meluncur dengan cepat. Jika Gajah Kecil tidak melompat dengan cukup cepat saat menabrak kandang ayam, ia akan jatuh ke tumpukan kotoran di bawahnya.
Ibu Gajah khawatir ketika melihat dia meluncur dari atap. “Lehermu bisa patah, Gajah Kecil,” katanya. “Ibu tidak mau kamu melakukannya lagi.”
Gajah Kecil berkata ia akan mengingatnya.
Lalu suatu hari ia melihat payung hitam besar milik Bibi Amy di aula belakang. Itu adalah payung kesayangannya. Gajah Kecil punya ide cemerlang, ide yang luar biasa. Dengan payung itu ia bisa melompat dari atap gudang seperti orang yang melompat dari pesawat. Tapi itu adalah payung kesayangan Bibi Amy. Dia

tahu seharusnya dia tidak mengambilnya. Tapi dia berjalan ke luar dan membanting pintu dengan keras.
Ia melihat ke atas atap gudang. Angin sepoi-sepoi bertiup. Dia bisa melihat dirinya meluncur dengan payung itu. Satu kali luncuran tidak ada masalah, pikirnya. Dan dia tidak akan melakukannya lagi.
Gajah Kecil masuk ke dalam dan mengambil payung itu. Dia memegang payung itu dengan belalainya, dan memanjat ke atas atap kemudian meluncur. Ia meluncur dengan cepat dan semakin cepat. Bagian bawah baju terusannya berasap. Inilah saatnya! Dengan cepat dia membuka payung besar itu.
Yang ia sadari hanyalah meluncur dari atap. Oh, ini sangat luar biasa! Tiba-tiba “Puf!” payungnya terbuka, dan terbalik. Gajah Kecil pun terjatuh. Ia mendarat dengan keras, tepat di atas tumpukan kotoran. Tapi dia masih memegang gagang payung yang terbalik.
Ibu Gajah berlari keluar dari rumah, kali ini dia benar-benar marah. “Ya ampun...!” teriaknya. “Bukankah aku sudah bilang padamu untuk tidak meluncur di atap gudang, Gajah Kecil? Sekarang lihatlah dirimu! Dan lihatlah apa yang terjadi pada payung kesayangan Bibi Amy!” Kemudian Ibu Gajah menariknya menuju ke pompa air.
“Aku tidak bermaksud merusak payung Bibi Amy, sama sekali tidak,” terisak Gajah Kecil. Air mata mengalir deras di pipinya dan ia merasa sangat sedih.

“Nah, apa yang kamu lakukan dengan payungnya?” tanya Ibu Gajah sambil menjewer telinganya. Karena dia benar-benar sangat kesal. Selain itu, ia tidak tahu apa yang akan dikatakan Bibi Amy saat melihat apa yang terjadi pada payung kesayangannya.
“Itu tadi para..para..parasut..ku,” jawab Gajah Kecil terbata-bata.
“Apa?” kata Ibu Gajah.
“Parasutku!”
“Parasutmu!” sahut Ibu Gajah. Ya Tuhan! Apa yang dipikirkan Gajah Kecil nantinya?
Ketika mereka sampai di pompa, Ibu Gajah memasukkan belalainya ke dalam palung dan mengambil banyak air. Gajah Kecil tahu apa yang akan terjadi. Swi-i-i-i-ish, air dingin membasahi seluruh tubuhnya. Kemudian Ibu Gajah mengambil air lagi dengan belalainya dan menyemprotkannya ke Gajah Kecil lagi. Gajah Kecil berdiri di sana dan menggigil sampai Ibu Gajah selesai membersihkannya. “Ini adalah baju terusan terakhirmu,” katanya, “dan sekarang kamu harus tetap di tempat tidurmu sampai bajumu kering.”
Ibu Gajah menuntunnya masuk ke dapur yang hangat di mana Bibi Amy sedang menggoreng donat. Ada setumpuk besar donat di atas meja, semuanya berwarna putih dengan gula. Gajah Kecil pun tergiur, dan ia meraih satu donat saat

ia lewat. Tapi Ibu Gajah berkata, “Tidak, kamu tidak boleh makan donat. Hanya Gajah Kecil yang baik yang boleh makan donat.”
Ibu Gajah menidurkannya di tempat tidur dan pergi meninggalkan Gajah Kecil dengan baju terusannya yang masih basah. Gajah Kecil berbaring di sana sambil memikirkan donat-donat itu. Kemudian ia mendengar seseorang melangkah menaiki tangga. Pintu terbuka pelan dan ada Bibi Amy dengan sepiring besar donat bergula.
Gajah Kecil melompat-lompat di atas tempat tidur. “Sh-sh!” sahut Bibi Amy. “Aku tahu kamu tidak bermaksud nakal. Mungkin donat ini bisa membantumu mengingat untuk tidak meluncur di atap gudang lagi.”
“Ummmmm!” seru Gajah Kecil sambil mengambil satu donat dengan belalainya dan meraih dua donat lagi. Sekarang ia merasa sangat menyesal dengan payung kesayangan Bibi Amy, dan ia penasaran apakah Bibi Amy tahu apa yang telah terjadi dengan payung kesayangannya.
Bibi Amy meletakkan sepiring donat dan pergi. Gajah Kecil memakan satu donat dan kemudian donat yang lain dan donat yang lain lagi. Dia merasa sangat kekenyangan. Masih ada donat di piring itu. Donat-donat itu sangat enak. Jadi dia makan sampai semuanya habis. Lalu Gajah Kecil menyembunyikan piring itu di bawah kolong tempat tidur.
Ibu Gajah menyadari bahwa Gajah Kecil tidak makan banyak malam itu. Dia khawatir jika Gajah Kecil

merasa tidak enak badan. Mungkin dia kedinginan karena basah kuyup. Ibu Gajah merasa gelisah. Di tengah malam ia mendengar Gajah Kecil menangis.
Ia segera beranjak dari tempat tidur dan berlari ke kamar Gajah Kecil. Gajah Kecil terbangun, “Ow-ow-ow! Perutku, perutku!” rengeknya.
“Ada apa dengan perutmu?” tanya sang ibu. Sekarang dia yakin Gajah Kecil sakit. Itu semua adalah kesalahannya karena telah membuat Gajah Kecil basah kuyup dan kedinginan.
“Perutku sakit sekali. Ow-ow-ow.”
“Sekarang kamu tiduran dulu, Gajah Kecil, Ibu akan mengambilkan sesuatu untuk menghilangkan rasa sakitnya.” Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan membawa botol air panas besar dan secangkir teh jahe panas. Sebelum Gajah Kecil sempat mengucapkan sepatah kata pun, Ibu Gajah menepuk-nepukkan botol air panas itu ke perutnya. Gajah Kecil terkejut, tapi ia merasa nyaman. Kemudian Ibu Gajah menyuapinya sesendok demi sesendok teh jahe panas. Sepanjang waktu sang ibu mencemaskan apa yang membuat Gajah Kecil sakit.
Tak lama kemudian, Gajah Kecil tertidur dan botol air panasnya terjatuh ke lantai. Ketika Ibu Gajah membungkuk untuk mengambilnya, ia melihat piring di bawah tempat tidur Gajah Kecil. Ia menariknya dan melihat remah-remah gula. “Huh! Donat!” ia mendengus pelan. “Bibi Amy lagi-lagi melakukannya. Selalu memanjakan

anak orang lain!” Tapi dia tersenyum sambil keluar dan menutup pintu kamar itu.
Musim panas berlalu dan Gajah Kecil belajar banyak hal tentang peternakan. Dia merawat kebunnya dengan baik, dan mencabut gulma. Sehingga sayurannya tumbuh besar dan lezat. Satu-satunya hal yang membuatnya sedih adalah dia tidak punya bawang.
Tak lama kemudian, Ibu Gajah berkata bahwa mereka harus pulang. Sudah waktunya sekolah dimulai. Gajah Kecil tidak ingin kembali ke kota. Ia merasa sangat sedih saat melihat Ibu Gajah mengemasi semua baju terusannya yang bagus. Ia sangat senang memakai baju terusan dan bertelanjang kaki. Paman Oliver menggantungkan topi jerami besarnya di gantungan dapur. “Topi ini akan ada di sini saat kamu datang lagi,” katanya.
Kemudian Ibu Gajah naik ke kursi belakang mobil tua itu. Paman Oliver mengikat koper-koper dan memberikan Ibu Gajah sebuah keranjang besar berisi sayuran terakhir dari kebun Gajah Kecil. Di atasnya ada seikat daun bawang dari kebun Paman Oliver.
Dia menghidupkan mesinnya, "Krek..tekk..tekk..vrr..vroom!" Gajah Kecil melompat ke kursi depan dan mereka pun melaju. Bibi Amy berdiri di teras sambil melambaikan saputangannya dan berseru, “Dadah, sampai jumpa! Datang lagi tahun depan.”
