Gajah Kecil Pergi Berpiknik
LITTLE ELEPHANT'S PICNIC
CERITA OLEH HELUIZ WASHBURNE
GAMBAR OLEH JEAN McCONNELL
"Wiii!" Teriak si Gajah kecil sambil menyingkirkan selimutnya dan melompat dari ranjangnya. Biasanya, Ibu Gajah harus memanggilnya lima kali lalu masuk dan mengguncangnya agar ia bangun. Namun hari ini merupakan hari Minggu yang artinya tidak ada sekolah. Selain itu, Ibu Gajah telah berjanji untuk membawanya piknik hari ini.
Ia mengangkat belalainya dan melambainya kesana kemari, menghirup udara disana. Mmmmmmm! Wangi enak apa itu, sangat hangat dan pedas? ROTI JAHE!
Kemudian sang Gajah Kecil berpikir tentang baju apa yang akan ia kenakan. Ia berlari dengan langkah berat ke lorong dan berteriak, "I-i-i-bu-u-u!"
"Ada apa?" sahut Ibu Gajah, yang sedang sangat sibuk di dapur.
"Aku pakai baju apa ya?"
"Tentu saja baju terusanmu yang berwarna biru itu," balas Ibu Gajah.
"Itu sudah terlalu kotor, ibu!" kata Gajah Kecil dengan sangat keras.
Namun Ibu Gajah tidak membalas lagi, maka si Gajah Kecil berjalan kembali ke kamarnya. "Hmph!" dengusnya. "Siapa pula yang mau memakai baju terusan biru di hari Minggu musim semi yang cerah ini?" Maka ia mengeluarkan setelan pelaut putih terbaiknya.
"Astaga!" seru Ibu Gajah ketika Gajah Kecil masuk ke dapur dengan pakaian lengkap itu.
"Kita mau pergi piknik, bukan?" kata Gajah Kecil sambil berjalan dengan bangga dan mengangkat belalainya tinggi-tinggi.
"Ya, tapi aduh, aduh, bajumu bisa kotor," kata Ibu Gajah.
"Tidak, aku janji tidak akan mengotorinya," balas Gajah Kecil. "A-ku jan-ji."
Si Gajah Kecil memang terlihat sangat rapi dengan setelan pelaut barunya. "Baiklah, kalau kamu berjanji," kata Ibu Gajah, sebelum berbalik untuk mengambil roti jahenya dari oven.
"Bolehkah aku membawa perahu layarku?" tanya Gajah Kecil sambil melompat-lompat mengelilingi meja. "Bolehkah aku membawa pancingku?"
"Ya, ya, tentu saja boleh," jawab Ibu Gajah, "tapi demi Tuhan tolong duduk dan makan sarapanmu dulu, dan jangan membuatku repot." Lalu ia mengambil panekuk yang telah ia bolak-balik dan meletakkannya di atas piring. Ia menaruh sepotong besar mentega di atasnya dan menuangkan sirup di atasnya.
Gajah Kecil langsung diam. Ia hanya memakan panekuk itu satu persatu secepat yang ia bisa. Setelah selesai, Ibu Gajah memberinya tumpukan panekuk lagi, dan ia menghabiskannya juga.
Saat ia sudah tidak bisa makan lagi, ia memperhatikan Ibu Gajah yang sedang membuat sandwich untuk piknik. Tumpukan sandwich bertambah tinggi dan semakin tinggi, satu tumpukan keju, satu tumpukan daging, satu tumpukan selai kacang, dan tumpukan ekstra besar berisi sandwich selai, karena Ibu Gajah tahu Gajah Kecil sangat menyukai sandwich selai.
Kemudian matanya tertuju pada telur isi—satu nampan penuh! "Oooh," desah Gajah Kecil, karena ia sangat ingin mencicipinya, tapi ia yakin Ibu Gajah tidak akan membiarkannya makan sebelum piknik. Diam-diam, ia meraih satu dengan belalainya.
"Gajah Kecil, letakkan telur itu," kata Ibu Gajah tanpa menoleh.
"Oh, aku hanya ingin menciumnya," katanya sambil meletakkan telur itu kembali.
Semua makanan lezat itu pun masuk ke dalam keranjang piknik besar—sandwich, ayam goreng, salad sayur, roti jahe, telur isi, keripik kentang, dan berbagai hidangan lezat lainnya.
Akhirnya, keluarga itu berangkat. Ayah Gajah mengenakan topi kotak-kotak hitam dan putih baru yang dipasang miring di satu telinga. Gadingnya dicat dengan garis-garis merah dan hitam. Ia telah menggunakan cat gading yang diberikan Gajah Kecil untuknya saat Natal. Ayah Gajah sangat bangga dengan penampilannya. Ia berjalan di depan dengan langkah besar dan lambat karena ia membawa keranjang makan siang yang berat. Setiap beberapa detik, ia menoleh ke belakang dan berkata, "Cepatlah! Kita bisa ketinggalan trem."
Ibu Gajah yang mengenakan jubah merahnya dan membawa payung besar, berjalan di belakangnya sambil mengayunkan kendi besar berisi limun dengan belalainya.
Gajah Kecil membawa semua yang bisa ia bawa—perahu dan pancingnya.
Kakek Gajah berjalan tertatih-tatih di belakang mereka sambil membawa pai kastard yang sangat besar, semuanya dibungkus dalam kotak topi Ibu Gajah! Tentu saja, pai kastard adalah makanan yang agak aneh untuk dibawa piknik, tapi Ibu Gajah membuat pai kastard yang luar biasa lezat. Itu adalah salah satu keahliannya.
"Berhati-hatilah dengan pai kastard itu!" Ibu Gajah memperingatkan. Ia sebenarnya tidak terlalu yakin pai itu aman di tangan Kakek Gajah dan lebih ingin membawanya sendiri.
"Oh, jangan khawatir," cicit Kakek Gajah, "Aku akan menjaganya."
Tapi Ibu Gajah tetap khawatir tentang pai itu, dan saat mereka berjalan, ia terus menoleh untuk melihat Kakek dan pai tersebut.
"Itu trem kita!" seru Ayah Gajah, mulai berlari. "Cepat, tremnya hampir berangkat!"
Ibu Gajah mengangkat jubahnya dan ikut berlari.
Gajah Kecil berlari secepat kakinya bisa bergerak. Tapi kemudian, tali pancingnya terlepas. Tali itu melilit di sekitar kakinya, dan ia harus berhenti untuk melepaskannya. Kailnya bahkan tersangkut di celana setelan putih barunya! Setelah berhasil melepaskannya, ia segera berlari lagi.
Kakek Gajah datang tertatih-tatih, terengah-engah seperti lokomotif uap. Tapi kotak topi berisi pai tetap tergantung dengan aman di belalainya.
Ayah Gajah berhasil menaikkan Ibu Gajah dan Gajah Kecil ke dalam trem dengan selamat. Kemudian ia mengulurkan tangan untuk membantu Kakek naik. Tapi kondektur sudah terburu-buru untuk berangkat, jadi ia berseru, "Semua naik!" sambil menarik bel.
"Tunggu Kakek!" teriak Ayah Gajah.
Tapi trem sudah mulai bergerak. Kakek Gajah berlari di sampingnya, terengah-engah.
Lalu ia menyadari bahwa ia tidak bisa naik dengan kotak topi di belalainya. "Ini, tangkap ini, Gajah Kecil!" serunya. Dan kotak berisi pai itu pun melayang di udara.
"Painya! Painya!" teriak Gajah Kecil. Ia sudah tahu apa yang akan terjadi pada pai cantik itu. Ia sangat takut sehingga ia menutup matanya dan mengulurkan belalainya. Lalu, PLUMP! Ia berhasil menangkapnya, dan dengan posisi yang benar!
Sekarang Ayah Gajah memegang telinga Kakek dan menariknya ke atas platform, dan Kakek Gajah yang malang kehabisan napas. Trem itu penuh karena di hari Minggu yang indah ini, setiap keluarga gajah ingin pergi ke pedesaan. Jadi, tidak ada kursi, dan Ayah, Ibu, Kakek, dan Gajah Kecil semuanya harus berdiri di lorong trem.
Itu tidak masalah bagi Ayah, Ibu, dan Kakek, karena mereka tinggi dan bisa meraih pegangan dengan belalainya. Tapi Gajah Kecil terombang-ambing tanpa ada yang bisa dipegang, dan ia tidak bisa melihat keluar jendela. Ia tidak sengaja menginjak jari penumpang lain dan mereka memandangnya dengan cemberut; Gajah Kecil benar-benar merasa sangat tidak bahagia.
Tiba-tiba trem berhenti dengan hentakan hebat, dan semua gajah saling bertabrakan dan berguncang satu sama lain saat mereka terhuyung ke depan. Ayah dan Ibu Gajah kehilangan keseimbangan dan Kakek menghilang dari pandangan. Gajah Kecil terhimpit di kerumunan.
Kemudian tiba-tiba ia mendengar suara napas lembut dari Kakek Gajah. Kakek selalu kehilangan suaranya seperti itu ketika ia terlalu bersemangat. "Hati-hati dengan pai kastardku!" pintanya. "Tolong hati-hati dengan pai ku!"
Gajah Kecil berusaha keluar dari kerumunan dan melihat sekeliling. Di sana ada Kakek Gajah yang berjuang melewati kerumunan sambil mengangkat kotak topi tinggi-tinggi di atas kepalanya. Ketika keadaan mulai terkendali, Kakek Gajah menurunkan kotak itu dan melihat ke dalam. Apakah pai itu hancur? Tidak, pai itu masih aman, dengan merang rendang berwarna emas menjulang di atasnya. Pai kastard luar biasa buatan Ibu Gajah!
Trem itu sampai di ujung jalurnya dan semua penumpang turun. Ibu dan Ayah Gajah, Kakek, dan Gajah Kecil mulai berjalan melewati taman. Mereka berjalan dan berjalan.
"Ini tempat yang bagus untuk piknik," kata Ayah Gajah.
"Tidak, di sini tidak ada tempat bagi Gajah Kecil untuk melayarkan perahunya," kata Ibu Gajah. Jadi mereka berjalan lagi.
"Sekarang, ini tempat yang nyaman," usul Kakek Gajah, karena ia mulai lelah.
"Tidak, sepertinya aku melihat tanaman beracun di sana," kata Ibu Gajah. Jadi mereka berjalan lagi.
"Itu tempat yang bagus untuk piknik," rayu Gajah Kecil, yang mulai lapar.
"Tidak, tempat itu terlalu panas. Kita harus menemukan pohon besar yang rindang agar Kakek bisa tidur siang," kata Ibu Gajah. Dan mereka berjalan lebih jauh.
Tak lama kemudian, Kakek Gajah berkata bahwa ia akan duduk di bangku dan mengistirahatkan kakinya. Gajah Kecil berkata bahwa ia akan duduk bersamanya. Jadi mereka beristirahat sementara yang lain berjalan lebih dulu.
Tak lama kemudian, Ibu Gajah memanggil mereka dan berkata bahwa ia telah menemukan tempat yang sempurna untuk piknik. Ada pohon besar yang rindang untuk Kakek, dan ada cabang sungai yang mengalir di dekatnya, sehingga Gajah Kecil bisa memancing dan berlayar dengan perahunya.
Ayah Gajah bersandar dengan nyaman pada pohon dan membuka koran Minggu. Kakek Gajah sangat lelah setelah berjalan jauh, jadi ia berbaring untuk tidur sebentar. Ibu Gajah menghamparkan kain putih besar di atas rumput hijau dan mulai mengeluarkan bekal makan siang.
Tiba-tiba ia berseru, "Di mana pai kastard-nya?"
"Apa kau bilang?" tanya Ayah Gajah. Ia sedang membaca komik dan tidak ingin diganggu.
Satu-satunya jawaban dari Kakek adalah dengkuran.
"Aku tanya, apa yang kau lakukan dengan pai kastardku?" Kali ini Ibu Gajah berjalan cepat ke arah Kakek dan mengguncang bahunya.
"Eh!" kata Kakek, yang kadang bisa sangat tuli, "pai kastard?"
"Ya, pai itu hilang!" seru Ibu Gajah, terlihat sangat khawatir.
Lalu Kakek Gajah menggaruk kepalanya. "Hilang? Bagaimana bisa?"
"Yah, pai itu tidak ada di sini," kata Ibu Gajah.
"Bagaimana mungkin aku bisa kehilangan pai itu?" Kini Kakek Gajah juga tampak khawatir.
"Sebaiknya kau segera pergi mencarinya atau aku tak akan membuatkan kalian pai lagi."
Tidak akan pernah mencicipi pai kastard buatan Ibu Gajah lagi?! Hal ini begitu mengerikan sehingga Kakek Gajah, Ayah Gajah, dan Gajah Kecil langsung bergegas mencari pai yang hilang. Mereka mengikuti jalur kembali ke bangku tempat Kakek beristirahat. "Aku yakin di sinilah aku duduk," katanya. Tapi pai itu tidak ada.
"Aku akan pergi ke bangku berikutnya," kata Gajah Kecil, lalu berlari mendahului. Ia berbelok di tikungan jalan setapak dan melihat kotak topi di atas bangku. Tapi seekor gajah gelandangan besar sedang berjalan mendekati tempat duduk itu.
"Oh, tidak!" pikir Gajah Kecil. "Gawat kalau dia tahu ada pai di dalam kotak itu." Jadi ia berlari secepat mungkin agar bisa sampai lebih dulu. Tepat saat gajah gelandangan itu duduk di bangku, Gajah Kecil berhenti mendadak di depannya.
"Maaf, Pak," katanya dengan sopan, karena Gajah Kecil memang bisa sangat sopan, "ini kotak topi milik ibuku." Lalu ia mengangkatnya dengan belalainya dan berlari pergi. Jantungnya berdebar kencang, tapi ia berhasil menyelamatkan pai kastard itu.
Saat ia kembali, Ibu Gajah menatap Kakek dan Ayah Gajah dengan tajam, tetapi ia berkata bahwa Gajah Kecil adalah anak yang baik. "Sekarang kau boleh pergi bermain," katanya. "Aku akan memanggilmu saat makan siang siap." Maka Gajah Kecil pergi dengan pancing dan perahu layar kecilnya.
"Hati-hati ya dengan baju pelautmu yang baru itu!" seru Ibu Gajah, "dan jangan masuk ke dalam air!"
Tak lama kemudian, Gajah Kecil menemukan sebuah jembatan dan berdiri di sana cukup lama untuk memancing. Namun, setelah beberapa saat, ia mulai bosan karena tidak mendapatkan apa-apa. Lalu ia mendapat ide cemerlang. Ia menyandarkan pancingnya pada pagar jembatan dan menahannya dengan sebuah batu. Sekarang ia bisa bermain dengan perahu layar kecilnya. Jika ada ikan yang menggigit umpan, ia bisa melihat tali pancing bergerak dan segera berlari kembali.
Ia sangat bersenang-senang dengan perahu layarnya, membiarkannya mengapung di sungai sambil memegang talinya. Kadang-kadang ia memuatnya dengan ranting, atau berpura-pura ada badai di laut. Lalu ia menyedot air dengan belalainya dan menyemprotkannya ke perahu kecil itu sampai hampir tenggelam.
Saat bermain, ia berjalan semakin jauh di sepanjang tepi sungai. Ia benar-benar lupa tentang pancingnya, sampai tiba-tiba ia melihatnya berlayar melewatinya, terbawa arus sungai. Seekor ikan besar sedang berenang menjauh sambil menarik pancingnya!
"Oh, pancing baruku!" serunya.
Saat itu juga, ia mendengar Ibu Gajah memanggil dengan suara nyaring, "Ga-a-ajah Ke-e-eciil! Ga-a-ajah Ke-e-eciil!"
Ia tidak bisa kembali tanpa pancingnya, tetapi pancing itu semakin jauh terbawa arus. Jadi ia menggulung celana putihnya yang bersih dan berjalan masuk ke dalam air untuk mengejarnya. Sungai itu ternyata lebih dalam dari yang ia kira, dan ia sudah terendam sampai pinggang sebelum akhirnya berhasil meraih pancingnya. Ia menarik dan menarik, tetapi ikan itu juga menarik. Gajah Kecil menggulung tali pancingnya secepat mungkin dan menangkap ikan itu dengan belalainya. Ikan itu licin, berkelepak, dan menggeliat, tetapi Gajah Kecil memegangnya erat-erat dan memasukkan ikan itu ke dalam blusnya. Belum pernah ia menangkap ikan sebesar itu!
Saat ia naik ke tepi sungai, baju pelaut barunya sudah basah kuyup, dengan air menetes dari belalainya dan jatuh dari telinganya. Apa yang akan dikatakan Ibu Gajah sekarang? Ia sudah memperingatkannya untuk berhati-hati dengan baju pelaut barunya.
Matahari bersembunyi di balik awan, dan Gajah Kecil mulai menggigil. Lalu ia bersin, "Haa-choo! Haa-choo! HAA-CHOO!" Ia berlari sekencang mungkin kembali ke tempat Ibu Gajah duduk sambil merajut.
"Oh tidak! Oh tidak!" seru Ibu Gajah ketika melihat Gajah Kecil datang dengan bajunya yang basah kuyup. "Sudah ibu bilang, jangan pakai baju pelaut barumu. Kemarilah!" Saat ia mulai melepaskan baju Gajah Kecil, tiba-tiba ikan besar yang basah jatuh dari dalam blusnya.
"Astaga, Gajah Kecil!" serunya. "Apakah kau menangkap ikan itu?"
"Oh, aku bisa menangkap yang lebih besar dari itu," katanya, berusaha untuk tidak terlihat terlalu bangga.
Lalu Ibu Gajah memanggil Ayah Gajah untuk melihat ikan tangkapan Gajah Kecil. Ayah Gajah berkata bahwa itu adalah ikan yang luar biasa, lalu ia membuat api untuk memasaknya. Gajah Kecil duduk di depan api, terbungkus jubah Ibu Gajah agar tidak masuk angin. Sementara itu, Ibu Gajah menjemur pakaiannya di atas ranting di sekitar api agar cepat kering.
Sementara ikan sedang dimasak, mereka semua duduk untuk berpiknik. Ayah Gajah membagikan ayam goreng, dan Ibu Gajah menyajikan salad. Gajah Kecil makan banyak sekali, terutama telur isi. Tapi setelah ia makan sepuluh butir, Ibu Gajah berkata bahwa ia sebaiknya berhenti. Maka ia pun beralih ke semangkuk keripik kentang. Gajah Kecil sangat menyukai keripik kentang. Ia mengambilnya dengan belalainya, dengan sangat hati-hati, satu per satu.
Lalu Ayah Gajah berkata bahwa ikan sudah matang, dan membagikan potongan kepada semua. Kakek menggumam, "Mmmmm! Lez--zat!" Dan Ayah Gajah berkata bahwa ini adalah ikan terenak yang pernah ia makan.
Ibu Gajah memperhatikan Gajah Kecil yang sedang melahap makanannya. "Hati-hati dengan durinya," ia memperingatkan. Tepat saat itu, Gajah Kecil mendengus dan matanya melotot silang, sebab ada duri besar yang tersangkut di tenggorokannya!
"Cepat!" seru Ibu Gajah. "Gajah Kecil tersedak!"
Ayah Gajah segera menepuk punggung Gajah Kecil dengan keras, hingga duri itu terlempar keluar. Gajah Kecil terengah-engah, lalu akhirnya ia kembali baik-baik saja.
Setelah itu, semuanya berjalan lancar sampai tiba-tiba semut-semut muncul dan mulai merayap di atas taplak meja. Awalnya hanya beberapa ekor, dan Ibu Gajah mengusirnya dengan serbetnya. Tetapi semakin lama semakin banyak, dan akhirnya datanglah pasukan semut.
Gajah Kecil mencoba meniup mereka agar pergi, sementara Ibu Gajah menyelamatkan pai kastardnya. Lalu tiba-tiba Gajah Kecil merasakan sesuatu merayap ke dalam belalainya—seekor semut! Rasanya geli. Ia meniup! Ia meniup lagi! Tapi semut itu tidak keluar. Ia meniup lebih keras dan menggoyangkan belalainya. Tapi semut itu malah semakin masuk ke dalam.
"Humpha! Humpha!" ia menggeram. Ia berlari-lari berputar. Ia berdiri dengan kepala di bawah. Tapi semut itu tetap merayap naik. Lalu tiba-tiba, semut itu menggigit bagian dalam belalainya yang lembut. Gajah Kecil meloncat tinggi dengan raungan keras, matanya menyala, dan belalainya menegang lurus.
Ketika ia mendarat kembali, ia menutup matanya dan mengeluarkan tiupan dahsyat, "WH-OO-OOF!" Dan akhirnya, semut itu terlempar keluar.
Tapi begitu pula dengan keripik kentang! Ketika Gajah Kecil membuka matanya, ia melihat keripik-keripik itu melayang di udara seperti daun tertiup angin.
Kini pakaian Gajah Kecil sudah kering, jadi ia memakainya kembali. Ibu Gajah mengumpulkan makanan dan memindahkannya ke tempat lain. Sesekali ia menatap langit, karena awan-awan gelap besar mulai melintas. Mereka harus segera menghabiskan pai kastard sebelum hujan turun. Ibu Gajah memotong pai yang kaya dan lembut itu menjadi empat potongan besar. Setetes air hujan jatuh, lalu satu lagi, dan kemudian beberapa tetes lainnya.
"Cepatlah! Hujan akan turun," kata Ibu Gajah.
Tepat saat Gajah Kecil menelan suapan terakhir pai kastardnya, kilat menyambar di langit, disusul oleh gemuruh guntur. Dan hujan pun turun dengan deras.
Ibu Gajah segera membuka payung besarnya, dan mereka semua berdiri di bawahnya. "Hanya hujan gerimis di bulan April," katanya menenangkan.
Dan benar saja, beberapa menit kemudian hujan berhenti dan matahari kembali bersinar.
Lalu Ibu Gajah membereskan piring-piring ke dalam keranjang makan siang yang kosong, dan Ayah Gajah mengangkatnya dengan belalainya. Kakek Gajah membawa kotak topi yang kosong, sementara Ibu Gajah mengambil kendi kosong dan payung besarnya. Gajah Kecil mengumpulkan pancing dan perahu layarnya.
Perlahan-lahan, mereka semua berjalan kembali menuju trem. Dan masing-masing dari mereka berkata, "Kami belum pernah, tidak pernah, TIDAK PERNAH mengalami piknik seseru ini!"