Lompat ke isi

Hans Andersen's Fairy Tales/The Mother's Love

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
Hans Andersen's Fairy Tales  (1888)  oleh Hans Christian Andersen
The Mother's Love

diterjemahkan oleh Jeanne Charlene

Dengarkan versi lisan dari buku ini

(3 bagian, 9 menit)


THE MOTHER’S LOVE.

Hari itu adalah hari yang sangat menyedihkan, dan semua orang di rumah merasakan rasa duka yang mendalam. Anak bungsu mereka, seorang anak laki-laki berusia empat tahun yang menjadi kebanggaan dan harapan orang tuanya, telah meninggal dunia. Dua anak perempuan mereka masih ada, yang sulung sedang bersiap untuk menerima sakramen penguatan. Keduanya adalah gadis yang baik dan manis, tetapi anak yang telah tiada selalu terasa paling istimewa. Terlebih lagi, karena ia adalah si bungsu dan satu-satunya anak laki-laki, sehingga kehilangannya terasa jauh lebih menyakitkan. Kedua anak perempuan itu merasa sangat sedih, seperti yang bisa dirasakan oleh anak-anak seusia mereka. Mereka lebih sedih lagi saat melihat orang tua mereka begitu terpukul. Ayahnya sangat berduka, tapi ibunya benar-benar hancur karena kesedihan. Setiap hari, siang dan malam, sang ibu merawat anaknya yang sakit. Ia selalu menggendong dan memeluknya, seolah anak itu adalah bagian dari dirinya. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya meninggal. Ia tidak sanggup membayangkan anaknya harus dimasukkan ke dalam peti dan dimakamkan. Ia merasa Tuhan tidak mungkin tega mengambil anak kecil kesayangannya dari dirinya. Namun, ketika kenyataan itu terjadi, meskipun ia berharap dan percaya hal itu tidak akan terjadi, ia merasa sangat putus asa. Ia berkata, “Tuhan pasti tidak tahu ini terjadi. Ada makhluk-makhluk yang keras hati di bumi, yang melakukan apa yang mereka mau tanpa peduli pada doa seorang ibu.” Dalam kesedihannya yang mendalam, ia mulai meragukan imannya kepada Tuhan. Pikiran-pikiran gelap tentang kematian dan apa yang terjadi setelahnya memenuhi benaknya. Ia mencoba berpikir bahwa manusia hanya seperti debu, dan segalanya akan berakhir saat hidup di dunia selesai. Tapi, pikiran itu tidak membuatnya merasa lebih baik. Ia tidak punya apa pun untuk dijadikan pegangan, dan ia pun tenggelam dalam kesedihan yang mendalam. Di saat-saat tergelapnya, ia berhenti menangis. Ia bahkan tidak memikirkan kedua anak perempuannya yang masih ada. Suaminya menangis dan air matanya jatuh di dahi sang ibu, tapi ia tidak peduli. Pikirannya hanya tertuju pada anaknya yang telah tiada. Seluruh hidupnya terasa dipenuhi kenangan tentang anak kecil itu dan semua kata-kata manis yang pernah diucapkannya.

Hari pemakaman anak kecil itu tiba. Selama beberapa malam, sang ibu tidak bisa tidur. Tapi pagi itu, karena sangat lelah, ia akhirnya tertidur nyenyak. Saat ia tidur, peti anaknya dipindahkan ke ruangan lain untuk ditutup dengan paku supaya sang ibu tidak mendengar suara palunya. Ketika ia bangun dan ingin melihat anaknya, suaminya berkata sambil menangis, “Petinya sudah ditutup. Kami harus melakukannya.”

"Jika Tuhan saja begitu keras padaku, bagaimana aku bisa berharap manusia akan lebih baik?” katanya sambil menangis dan merintih.

Sementara sang ibu yang sangat berduka duduk bersama kedua putrinya, peti tersebut dibawa ke makam. Sang ibu melihat mereka berdua, tetapi seolah-olah tidak melihat, karena pikirannya melayang jauh dari rumah dan keluarganya. Ia tenggelam dalam kesedihannya, yang mengguncang dirinya seperti laut mengguncang kapal tanpa arah atau kemudi. Hari pemakaman itu pun berlalu, diikuti hari-hari lain yang sama gelap dan penuh rasa sakit yang melelahkan. Dengan mata berlinang dan wajah sedih, kedua anak perempuan dan sang suami melihat si ibu yang tidak mau mendengar kata-kata penghiburan mereka. Lagi pula, apa yang bisa mereka katakan untuk menghibur, sementara mereka sendiri begitu sedih? Sang ibu nampak seperti tidak akan pernah bisa tidur lagi, padahal tidur adalah sahabat terbaiknya yang bisa menguatkan tubuhnya dan membawa ketenangan ke dalam jiwanya. Akhirnya, mereka berhasil membujuknya untuk berbaring. Ketika ia berbaring, ia diam saja seolah sedang tidur.

Suatu malam, ketika suaminya mendengarkan napasnya, seperti yang sering ia lakukan, ia benar-benar percaya bahwa istrinya akhirnya menemukan ketenangan dan beristirahat dalam tidur. Ia melipat tangan dan berdoa, lalu tak lama kemudian tertidur lelap. Karena itu, ia tidak menyadari bahwa istrinya bangun, mengenakan pakaian, dan diam-diam keluar dari rumah untuk pergi ke tempat yang selalu ada dalam pikirannya — makam anak mereka. Ia berjalan melewati taman, lalu menyusuri jalan setapak di ladang yang menuju ke pemakaman gereja. Tidak ada yang melihatnya, dan ia juga tidak memperhatikan siapa pun, karena matanya hanya fokus pada satu tujuan. Malam itu cerah dengan banyak bintang, udara sejuk dan tenang, di awal bulan September. Ia masuk ke pemakaman dan berdiri di dekat makam kecil itu, yang dihiasi bunga-bunga besar harum. Ia lalu duduk dan menundukkan kepalanya ke arah makam, seolah-olah bisa melihat anaknya di balik tanah yang menutupinya—anak laki-laki kecilnya, dengan senyum yang masih jelas terbayang di pikirannya, dan tatapan lembut mata anak itu yang bahkan saat terbaring sakit pun tak pernah bisa ia lupakan. Betapa penuh makna tatapan itu, saat ia menunduk menatap anaknya, menggenggam tangan kecil yang sudah terlalu lemah untuk diangkat! Dulu ia duduk di samping tempat tidur kecil anaknya, dan sekarang ia duduk di samping makamnya. Di sini, ia bisa menangis dengan bebas, dan air matanya jatuh membasahi makam itu.

"Engkau pasti ingin pergi dan bersama anakmu," kata sebuah suara yang terdengar sangat dekat dengannya—suara yang begitu dalam dan jelas, hingga menyentuh hatinya.

Ia menoleh ke atas, dan di sampingnya berdiri seorang pria yang mengenakan jubah hitam dengan tudung yang rapat menutupi wajahnya. Namun, penglihatannya yang tajam bisa melihat wajah di balik tudung itu. Wajahnya tegas, namun memberikan rasa percaya diri, dan matanya bersinar dengan kilau semangat muda.

"Ke tempat anakku," ia mengulang, dengan nada penuh keputusasaan dan permohonan dalam kata-katanya.

"Apakah kau berani mengikuti aku?" tanya sosok itu. "Aku adalah Kematian."

Ia menundukkan kepala sebagai tanda setuju. Tiba-tiba, bintang-bintang tampak bersinar terang seperti cahaya bulan purnama, menerangi bunga-bunga berwarna-warni yang menghiasi makam. Tanah yang menutupinya tersingkap seperti tirai yang melayang. Ia jatuh berlutut, dan sosok itu menyelimutinya dengan jubah hitam, malam pun menyelimuti sekelilingnya—malam kematian. Ia tenggelam semakin dalam, lebih dalam dari yang bisa dijangkau oleh sekop penggali kubur, hingga pemakaman menjadi seperti atap di atasnya. Kemudian, jubah hitam itu disingkirkan, dan ia mendapati dirinya berada di sebuah aula besar yang luas, dengan cahaya redup seperti senja yang memenuhi tempat itu. Dalam sekejap, anaknya muncul di hadapannya, tersenyum dan tampak lebih indah dari sebelumnya. Dengan tangisan tanpa suara, ia memeluk anaknya erat-erat. Terdengar alunan musik yang megah—kadang terdengar jauh, kadang sangat dekat. Belum pernah ia mendengar nada-nada seperti itu sebelumnya. Musik itu berasal dari balik tirai besar yang gelap, yang memisahkan dunia kematian dari negeri keabadian.

THE MOTHER’S GRIEF.

"Ibuku tersayang," ia mendengar suara anak itu berkata. Suara itu begitu akrab dan dicintainya, kemudian ciuman demi ciuman penuh kebahagiaan tak terhingga menyusul. Anak itu lalu menunjuk ke arah tirai gelap. "Tidak ada yang seindah ini di dunia, semuanya ada di balik sana. Ibu, tidakkah Ibu melihat semuanya? Oh, ini sungguh kebahagiaan yang sejati."

Namun, sang ibu tidak melihat apa pun yang ditunjukkan anaknya, hanya tirai gelap itu. Ia melihat dengan mata manusia, dan tidak dapat melihat seperti yang dilihat oleh anaknya—dia yang telah dipanggil Tuhan untuk berada di sisi-Nya. Ia dapat mendengar alunan musik, tetapi tidak dapat mendengar kata-katanya, firman yang seharusnya menjadi tempat ia percaya. "Aku bisa terbang sekarang, Ibu," kata anak itu. "Aku bisa terbang bersama anak-anak bahagia lainnya ke hadapan Yang Mahakuasa. Aku ingin sekali terbang sekarang, tapi jika Ibu terus menangis seperti ini, mungkin Ibu tidak akan pernah bisa bertemu denganku lagi. Padahal aku sangat ingin pergi dengan bahagia. Bolehkah aku pergi? Dan Ibu akan menyusulku segera, kan, bu?"

“Oh, tunggu, tunggu!” pinta sang ibu dengan penuh harap. “Hanya sebentar lagi; hanya sekali lagi, agar aku bisa memandangmu, menciummu, dan memelukmu erat di dadaku.”

Kemudian ia mencium dan membelai anaknya dengan penuh kasih. Tiba-tiba, namanya dipanggil dari atas. Apa artinya? Suaranya begitu lirih dan penuh keluhan.

“Apakah Ibu mendengarnya?” tanya anak itu. “Itu ayahku yang memanggilmu.”

Tak lama kemudian terdengar isakan dalam-dalam, seperti suara anak-anak yang menangis. “Itu saudari-saudariku,” kata anak itu. “Ibu, jangan bilang Ibu melupakan mereka.”

Kemudian ia teringat pada orang-orang yang telah ia tinggalkan, dan rasa takut yang besar menyelimutinya. Ia melihat sekeliling, malam yang gelap tampak begitu suram. Bayangan samar berlalu di sekitarnya. Ia merasa mengenali beberapa di antaranya, melayang melalui wilayah kematian menuju tirai gelap, tempat mereka menghilang. Apakah suami dan anak-anak perempuannya akan melintas seperti itu juga? Tidak, suara isak tangis dan ratapan mereka masih terdengar dari atas. Ia hampir melupakan mereka demi anaknya yang telah tiada.

"Ibu, sekarang lonceng surga sedang berdentang," kata anak itu. "Ibu, matahari akan segera terbit."

Cahaya terang yang menyilaukan menyelimutinya, anak itu telah menghilang, dan ia merasa sedang diangkat ke atas. Udara di sekitarnya menjadi dingin, ia membuka mata dan menyadari dirinya terbaring di pemakaman, di atas makam anaknya. Tuhan, melalui mimpi, telah menuntun langkahnya dan menerangi jiwanya. Ia pun berlutut dan berdoa memohon ampun. Ia menyadari bahwa dirinya telah mencoba menahan jiwa yang seharusnya pergi menuju keabadian, dan ia telah melupakan tanggung jawabnya kepada orang-orang yang masih hidup dan membutuhkan kehadirannya. Setelah memanjatkan doa itu, hatinya terasa lebih ringan. Matahari mulai terbit, seekor burung kecil berkicau di atasnya, dan lonceng gereja berbunyi untuk misa pagi. Segala sesuatu di sekitarnya terasa suci, dan hatinya menjadi tenang. Ia menerima kebaikan Tuhan dan menyadari tugas yang harus ia jalani. Dengan penuh semangat, ia pulang ke rumah. Ia mendekati suaminya yang masih tertidur, ciuman hangat penuh kasih membangunkannya, dan kata-kata cinta yang tulus mengalir dari bibir mereka berdua. Kini, ia menjadi lembut dan kuat seperti seorang istri yang seharusnya. Dari bibirnya terucap kata-kata penuh iman: “Apa pun yang dilakukan-Nya adalah benar dan yang terbaik.”

Kemudian suaminya bertanya, “Dari mana tiba-tiba engkau mendapatkan kekuatan dan iman yang menenangkan ini?”

Dan saat ia mencium suami dan anak-anaknya, ia berkata, “Itu datang dari Tuhan, melalui anakku yang ada di dalam makam.”

Sumber: The Mother's Love di Wikisource