Wikibuku:Bak pasir: Perbedaan antara revisi

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Yasanto Lase (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: suntingan sumber
Yasanto Lase (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: suntingan sumber
Baris 18: Baris 18:
Setengah sadar, saya masih dalam nuansa setengah sadar, berniat mau cabut namun hujan tidak kunjung berhenti. Ibu tua itu, sepertinya ingin memberitahuku sesuatu, namun diwajahnya terlihat sangat kedinginan. Semakin mencekam, hujan, angin, dan sesekali kilatan petir, terus sahut-sahutan menguasai suasana siang itu. Dua puluh meter dari pinggir jalan dimana saya parkir kendaraan, juga terlihat sangat sepi, dan tidak ada rumah penduduk di sekitar itu. Apa yang terjadi ?
Setengah sadar, saya masih dalam nuansa setengah sadar, berniat mau cabut namun hujan tidak kunjung berhenti. Ibu tua itu, sepertinya ingin memberitahuku sesuatu, namun diwajahnya terlihat sangat kedinginan. Semakin mencekam, hujan, angin, dan sesekali kilatan petir, terus sahut-sahutan menguasai suasana siang itu. Dua puluh meter dari pinggir jalan dimana saya parkir kendaraan, juga terlihat sangat sepi, dan tidak ada rumah penduduk di sekitar itu. Apa yang terjadi ?
Rasa-rasanya ingin saya lanjutkan, tetapi maaf harus terhenti sejenak, kuota internet mau habis, akan saya lanjutkan segera.
Rasa-rasanya ingin saya lanjutkan, tetapi maaf harus terhenti sejenak, kuota internet mau habis, akan saya lanjutkan segera.

Selang satu hari berlalu, dan juga kuota internetku sudah ada, maka di sore itu, saya mengunjungi wikibuku dan melihat laporan terakhir dari tulisan yang sudah ku awali beberapa jam sebelumnya, dan langsung membukanya. Sesuatu yang sudah mulai, harus di lanjutkan apalagi suasana mendukung ditemani oleh secangkir kopi. Saya diam sejenak sambil membaca prolog dan beberapa baris dari tulisan ini, dan saya lanjutkan sesuai rangkaian imajinasiku yang sempat terhenti di kesempatan menyunting sebelumnya. Saya hampir melompat ke kisah pertemuan tokoh di kisah ini, tetapi pertemuan laki-laki itu dengan nenek-nenek tua di pos penjagaan belum selesai.

Seketika ketika saya melihat ke arah jalan raya, dan tidak satupun yang lewat. Jujur, saya sudah mulai ketakutan, saya sudah membalikan badan dan tatapanku kearah jalan. Si nenek juga berbalik badan ke arah yang berlawanan. Ternyata setelah saya perhatikan bahwa pos penjagaan itu, tidak jauh dari pantai. Saya tiba-tiba dihantui rasa takut yang parah.


''bersambung''
''bersambung''

Revisi per 20 Agustus 2022 10.57

Prolog

Senang bisa bertemu dengan sahabat semua, yang setia berkunjung di ruang ini. Berikut ini menulis sebuah cerita fiktif, bilamana terdapat kesamaan nama tokoh, nama tempat, hanya sebuah kebetulan, atau hasil imajinasi si penulis kisah ini. Menanti Ketidakpastian adalah judul yang ingin di sampaikan sesuai jalan cerita yang ada di pikiran sang penulis. Dalam konteks ini, ketidakpastian yang dimaksud sangat universal, tetapi penulis akan mengerucutkan dengan kisah penantian terhadap sebuah pertemuan sehingga tokoh yang akan memerankan kisah ini, antara tokoh utama yang terlibat langsung dengan sebuah ikatan janji untuk bersama dengan seseorang yang menunggu ketidakpastian. Agar bisa menjadi inspirasi.

Menanti Ketidakpastian

Siang itu cuaca sangat tidak bersahabat, hujan yang tidak kunjung berhenti membasahi bumi. Di tengah-tengah hujan deras dan memutuskan berteduh di sebuah bangunan tua, yang tidak terlalu besar, diperkirakan bekas pos penjagaan. Sambil memperhatikan keadaan sekitar, dan suasana semakin mencekam dengan kilatan-kilatan petir yang menggelegar. Tiba-tiba "jeger, jeger" bunyi petir, seakan membelah suasana derasnya hujan saat itu. Selang lima belas menit berdiri di pos itu, dengan guyuran-guyuran hujan dari atap pos yang bocor, tiba-tiba dari arah sebelah kiri dimana saya berdiri, datang seseorang perempuan tua. Sontak saya kaget sekaget-kagetnya. Mungkin karena konsentrasi saya kepada petir yang barusan bunyi sehingga kehadiran wanita tua itu membuatku kaget. Selang beberapa detik, dia menatap saya dan melempar senyum tipis di wajahnya yang sudah berkerut. Sayapun membalasnya dengan senyum tipis, sambil saya bergeser dua langkah ke arah dalam pos penjagaan itu. Dengan rasa yang tidak bisa saya gambarkan, antara kaget dan sedikit bercampur rasa takut, saya memulai pembicaraan.

"Selamat siang, ibu", "sapa saya dengan suara gemetar".

Diapun menatap kearah saya, sambil menjawab:

"Siang, mas". "Mas dari mana? Sepertinya sedang menunggu sesuatu?","sambutnya dengan suara seorang nenek tua".

"Siang Bu", "jawabku" Sambil berlindung dari rembesan air dari atap yang bocor dan saya melanjutkan pembicaraan.

"Saya sedang menuju ke Barelang, Bu", "lanjutku".

Setengah sadar, saya masih dalam nuansa setengah sadar, berniat mau cabut namun hujan tidak kunjung berhenti. Ibu tua itu, sepertinya ingin memberitahuku sesuatu, namun diwajahnya terlihat sangat kedinginan. Semakin mencekam, hujan, angin, dan sesekali kilatan petir, terus sahut-sahutan menguasai suasana siang itu. Dua puluh meter dari pinggir jalan dimana saya parkir kendaraan, juga terlihat sangat sepi, dan tidak ada rumah penduduk di sekitar itu. Apa yang terjadi ? Rasa-rasanya ingin saya lanjutkan, tetapi maaf harus terhenti sejenak, kuota internet mau habis, akan saya lanjutkan segera.

Selang satu hari berlalu, dan juga kuota internetku sudah ada, maka di sore itu, saya mengunjungi wikibuku dan melihat laporan terakhir dari tulisan yang sudah ku awali beberapa jam sebelumnya, dan langsung membukanya. Sesuatu yang sudah mulai, harus di lanjutkan apalagi suasana mendukung ditemani oleh secangkir kopi. Saya diam sejenak sambil membaca prolog dan beberapa baris dari tulisan ini, dan saya lanjutkan sesuai rangkaian imajinasiku yang sempat terhenti di kesempatan menyunting sebelumnya. Saya hampir melompat ke kisah pertemuan tokoh di kisah ini, tetapi pertemuan laki-laki itu dengan nenek-nenek tua di pos penjagaan belum selesai.

Seketika ketika saya melihat ke arah jalan raya, dan tidak satupun yang lewat. Jujur, saya sudah mulai ketakutan, saya sudah membalikan badan dan tatapanku kearah jalan. Si nenek juga berbalik badan ke arah yang berlawanan. Ternyata setelah saya perhatikan bahwa pos penjagaan itu, tidak jauh dari pantai. Saya tiba-tiba dihantui rasa takut yang parah.

bersambung