Lompat ke isi

Jaringan Kereta Api di Perkebunan Jawa

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Pada abad ke-19, kapitalisme berkembang pesat di Belanda dan membawa dampak signifikan terhadap kebijakan serta aktivitas ekonomi di tanah jajahan, termasuk Indonesia. Perubahan dalam bidang politik dan perekonomian di Indonesia terjadi akibat pengaruh kelompok industri dan kapitalis yang saat itu memiliki kekuasaan besar di parlemen Belanda. Pengaruh mereka mendorong diterapkannya politik liberal di Indonesia, yang ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Gula pada tahun 1870.

Iklan jasa pengangkutan gula dari Surakarta ke Semarang menggunakan kereta api.

Pemberlakuan kedua undang-undang ini mempercepat masuknya sistem ekonomi liberal di Indonesia, yang berdampak pada pesatnya perkembangan sektor perkebunan skala besar dan industri pertambangan yang berorientasi ekspor. Untuk mendukung pertumbuhan sektor-sektor tersebut, pemerintah kolonial Belanda berupaya membangun berbagai infrastruktur, terutama dalam bidang transportasi. Salah satu langkah utama yang dilakukan adalah pembangunan jaringan rel kereta api, yang berfungsi sebagai sarana utama dalam mendistribusikan hasil perkebunan dan tambang ke berbagai wilayah strategis.[1]

Pekerja yang membawa tembakau untuk dikirim menggunakan kereta api dari Surakarta.

Pembangunan jaringan kereta api di Pulau Jawa memiliki keterkaitan erat dengan kebutuhan transportasi untuk mengangkut hasil produksi, khususnya dari sektor perkebunan dan pertanian. Seiring meningkatnya hasil perkebunan dan pertanian, pemerintah kolonial Hindia Belanda berupaya memperluas jalur transportasi darat yang mampu menjangkau wilayah pedalaman Jawa Tengah. Tujuannya adalah menyediakan sarana angkutan yang lebih efisien, berbiaya rendah, dan mampu mengangkut hasil bumi dalam jumlah besar. Oleh karena itu, jalur rel kereta api dibangun untuk memperlancar distribusi hasil pertanian dan perkebunan dari daerah pedalaman menuju pelabuhan ekspor, terutama Pelabuhan Semarang. Selain itu, pembangunan jalur kereta api juga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat pribumi di Semarang.[2]

Pengangkutan hasil panen tanaman tebu di Ceper (Klaten) menggunakan kereta api.

Dalam praktiknya, pengangkutan hasil perkebunan melalui jalur kereta api bertujuan untuk menyalurkan komoditas ekspor ke berbagai pelabuhan utama di pantai utara Pulau Jawa, seperti Pelabuhan Tanjung Mas di Semarang dan Tanjung Priok di Jakarta. Beberapa komoditas utama yang diekspor antara lain gula, kopi, tembakau, kulit pohon kina, lada, minyak kelapa sawit, karet, dan batu bara. Dari berbagai barang ekspor tersebut, gula dan batu bara menjadi komoditas yang diangkut secara massal menggunakan kereta api. Kapasitas produksi gula terbesar berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di mana sebagian besar hasil produksinya diangkut melalui jalur kereta api. Bahkan, sekitar 90% dari total hasil produksi gula dan batu bara diangkut ke pelabuhan melalui transportasi kereta api sebelum diekspor ke luar negeri.[3]

Daftar Pustaka

[sunting]
  1. Kartodirdjo, Sartono.(1987). Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 (Dari Emporium sampai Imporium) Jilid 1. Jakarta : Gramedia.
  2. Ratnawati, Y. (2014). Perkembangan perkeretaapian pada masa kolonial di Semarang Tahun 1867-1901. Journal of Indonesian History, 3(2). https://journal.unnes.ac.id/sju/jih/article/view/7329
  3. Tim, Telaga Bakti Nusantara.(1997). Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid I. Bandung : CV. Angkasa.