Jaringan Kereta Api di Perkebunan Sumatera
Pembangunan jalur kereta api di Pulau Sumatera yang diinisiasi oleh pemerintah kolonial Belanda berlangsung dalam beberapa tahap. Di Sumatera Utara, proyek ini dimulai pada tahun 1886 dan rampung pada tahun 1937. Sementara itu, jalur kereta api di Sumatera Barat mulai dibangun pada tahun 1891 dan selesai pada tahun 1921. Pembangunan jalur terakhir dilakukan di wilayah Sumatera Selatan, yang dimulai pada tahun 1914 dan diselesaikan pada tahun 1933.


Sejarah awal pembangunan kereta api di Sumatera Utara berkaitan erat dengan kebutuhan transportasi untuk mendukung industri perkebunan, khususnya tembakau. Pada masa itu, distribusi hasil perkebunan semakin meningkat, sehingga diperlukan sarana angkutan yang lebih efisien. J.T. Cremer, seorang manajer perusahaan perkebunan NV Deli Maatschappij, mengajukan usulan pembangunan jaringan kereta api di Deli guna mengatasi tantangan dalam distribusi hasil perkebunan. Untuk merealisasikan proyek tersebut, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia memberikan konsesi kepada NV Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) agar membangun jalur kereta api yang menghubungkan Belawan, Medan, Delitua, dan Timbang Langkat (Binjai). Pembangunan jalur kereta api pertama di Sumatera Timur dimulai dengan lintas Medan-Labuhan, yang resmi beroperasi pada 25 Juli 1886.
Pembangunan jaringan rel kereta api di Sumatera Selatan didorong oleh keberhasilan pemerintah kolonial dalam mengembangkan industri perkebunan, terutama kopi, karet, dan kelapa sawit. Selain itu, pembukaan serta pengoperasian Tambang Batubara Bukit Asam di Tanjung Enim turut menjadi faktor utama yang mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk menciptakan sistem transportasi yang terintegrasi. Jaringan ini bertujuan menghubungkan kawasan pertambangan dan perkebunan dengan pelabuhan, sehingga distribusi hasil produksi dapat berjalan lebih efisien.
Komoditas baru yang berkembang pada masa kolonial adalah karet, yang memiliki keterkaitan erat dengan industri otomotif. Pohon karet asli mulai dibudidayakan sebagai tanaman perkebunan di Pulau Jawa dan Sumatera. Sejak tahun 1864, pemerintah kolonial melakukan percobaan pertama dengan pohon karet impor, yang menunjukkan pertumbuhan pesat, terutama di Pulau Sumatera. Akibatnya, karet mulai diekspor pada tahun 1911.

Memasuki tahun 1930, sekitar 44% dari lahan yang dialokasikan untuk perkebunan sebagian besar ditanami karet. Pada periode ini, Nusantara menjadi salah satu produsen utama, menyumbang hampir separuh dari total produksi karet dunia. Perkembangan industri karet ini beriringan dengan pembangunan infrastruktur, termasuk ekspansi jaringan transportasi seperti kereta api dan trem. Infrastruktur ini berperan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Panjang jalur kereta api yang awalnya hanya sekitar 160 km pada tahun 1873 mengalami perkembangan pesat. Pada tahun 1930, jaringan rel kereta api di Nusantara telah mencapai sekitar 7.415 km, menunjukkan peran pentingnya dalam distribusi hasil perkebunan dan mendukung mobilitas ekonomi di wilayah jajahan.[1]
Daftar Pustaka
[sunting]- ↑ Ricklef, M.C. (1991). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : UGM Press.