Sungai Angit

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sungai Angit

Yulianes

Sebelum wilayah-wilayah di Sumatera Selatan memiliki nama masing-masing terdapatlah sebuah kisah tentang sebuah wilayah yang sekarang ini masuk dalam wilayah Kecamatan Sabat Toman, Kabupaten Musi Banyuasin. Sekarang wilayah ini dikenal dengan sebutan Desa Sungai Angit, sebuah wilayah eksplorasi minyak terbesar pada saat penjajahan Belanda. Satu-satunya desa yang terletak di ujung dan jauh dari transportasi, tetapi berpenghuni cukup padat.

Syahdan dahulu kala di wilayah itu berdirilah sebuah kekuasaan kecil yang dipimpin oleh seorang lelaki yang gagah perkasa yang bernama Saringgo. Raja Saringgo adalah keturunan dari laskar Majapahit yang tersesat ke pedalaman saat melarikan diri waktu bertempur melawan Kerajaan Sriwijaya.

Di wilayah tersebut Raja Saringgo memimpin masyarakatnya dengan arif dan bijaksana. Sikapnya tegas dan lugas sehingga daerah yang dipimpinnya menjadi makmur dan sejahtera. Rakyatnya bahagia dan selalu dalam keadaan aman dan tenteram, bahkan wilayahnya pun dapat disamakan dengan sebuah kerajaan kecil.

Raja Saringgo mempunyai seorang istri yang bernama Suaru Demo. Istrinya berasal dari sebuah desa yang tidak jauh dari wilayah yang ia pimpin. Istri Saringgo ini mempunyai suatu kebiasaan menyirih ('mengunyah sirih') sehingga jika Suaru Demo tertawa atau tersenyum, terlihatlah giginya yang berwarna merah.

Saringgo mempunyai tiga orang putri yang sangat cantik jelita. Anaknya yang pertama diberi nama Wong SJJiung. Anaknya yang kedua diberi nama Wong Tengah dan anaknya yang ketiga diberi nama Wong Pisat.

Ketiga anak gadis Raja Saringgo sering bermain dan bercanda di sungai yang terletak di belakang rumah mereka yang menyerupai sebuah istana. Di suatu hari yang indah sambil memainkan air yang mengalir, mereka berbincangbincang.

“Lihatlah air yang mengalir ini wahai adikku, jernih dan murni. Alangkah tenang hati ini saat menyentuh kelembutannya." Kata Wong Sulung sambil membelai-belai air dengan jemarinya.

“Andai hati manusia selembut, semurni, dan sejernih air ini mungkin tidak akan ada peperangan antarkerajaan." Wong Tengah menambahkan.

Sambil memandangi air yang berkilauan akibat sinar mentari senja, Wong Pisat yang dari tadi terdiam sambil mendengarkan kedua kakaknya mulai memotong pembicaraan.

“Aku anak termuda, sesungguhnya tidaklah pantas aku berbicara wahai kakak-kakaku. Namun, aku hanya ingin bertanya, ke manakah air sungai ini mengalir?" tanya Wong Pisat.

“Mengapa engkau bertanya seperti itu wahai adikku? Tentulah setiap sungai mengalir ke hilir," Wong Sulung menjelaskan.

“Memang seperti itu wahai kakakku, tetapi tidakkah kakak melihat arus sungai ini? Seperti tersimpan suatu keanehan!" tegas Wong Pisat.

“Janganlah membicarakan sesuatu yang tidak berguna," sambut Wong Sulung.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun pun berganti tahun. Waktu terus berjalan meniti tujuannya. Begitu pula ketiga putri Raja Saringgo yang cantik jelita terus tumbuh menjadi gadis-gadis yang penuh pesona dan semakin sempurna.

Layaknya bunga yang kian merekah dan makin hari semakin semerbak aromanya, ketiga gadis putri Raja Saringgo benar-benar menjadi buah bibir dan sanjungan masyarakat di sekitar istana.

“Aku amat kagum dan takjub bila melihat dan bertatapan langsung dengan putri-putri raja. Mereka cantik dan sangat pandai. Pantas sungguh jika raja menyayangi dan memanjakan putriputrinya itu," kata seorang ibu setangah baya kepada temannya.

“Kau benar, tidak ada orang yang tidak mengenal paras para putri yang bagaikan bidadari itu," tambah ibu berkerudung hijau.

“Apakah kau tahu bahwa kalau putri raja sering bermain di sungai belakang istana?" tanya ibu setengah baya.

“Dari mana kau mengetahui mengenai hal terse but?"

“Dari hulu sungai bertaburan bunga-bunga dengan keharuman luar biasa. Aroma bunga itu sama dengan aroma bunga jika kita melintas taman istana," jelas ibu setangah baya.

“Pantaslah kalau begitu, raja memerintahkan kita bahwa tidak ada seorang pun yang diizinkan ke sungai saat petang telah tiba." Ibu kerudung hijau mulai mengerti.

Di antara ketiga putri raja, ada seorang yang paling disegani di lingkungan istana. Ia adalah Wong Sulung yang mewarisi sifat sang raja. Tidaklah salah jika raja sangat bangga kepadanya.

Wong Sulung putri tertua telah menjadi saorang putri yang penuh dengan karisma. Sebagai anak tertua, ia dihormati oleh kedua orang adiknya. Wong Sulung mempunyai sifat yang sama dengan Raja Saringgo, yaitu selalu adil dan bertindak tegas, bertanggung jawab, dan sangat berwibawa. Tidak seperti kedua orang adiknya, Wong Sulung sering terjun langsung ke urusan kerajaan. Jika Raja Saringgo tidak berkesempatan atau berhalangan hadir pada suatu pertemuan dan perjamuan penting, orang yang pertama kali mencalonkan diri sebagai perwakilan istana pasti Wong Sulung.

Raja Saringgo amat bangga dengan putri sulungnya itu, apalagi setelah raja mengetahui bahwa Wong Sulung mempunyai bakat dan prestasi yang membanggakan dalam bidang politik dan kenegaraan kerajaan. Namun sayang, lambat laun kepercayaan dan tanggung jawab yang diberikan oleh raja telah membuat Wong Sulung sangat angkuh sehingga ia ditakuti oleh seluruh penghuni istana. Semakin hari, Wong Sulung semakin membanggakan keahliannya di depan para petinggi kerajaan. Hampir setengah dari urusan kerajaan diambil alih dan dikuasai sepenuhnya oleh Wong Sulung.

Setelah melihat Wong Sulung yang menggebu-gebu berkecimpung di dunia politik kenegaraan, raja pun berharap agar Wong Sulung dapat menggantikannya sebagai raja. Akan tetapi, raja yang dikenal sangat adil dan bijaksana itu tidak pernah mengatakan apa pun kepada Wong Sulung akan niatnya tersebut. Raja takut jika Wong Sulung semakin angkuh.

Berbeda dengan sang kakak yang selalu sibuk dengan urusan kenegaraan dan kerajaan, kedua adik Wong Sulung yaitu Wong Tengah dan Wong Pisat hanya dapat melihat apa-apa saja yang telah dikerjakan oleh Wong Sulung.

Selaku adik, Wong Tengah dan Wong Pisat pun sangat mengagumi hasil kerja sang kakak. Sampai-sampai walaupun tidak turun tangan secara langsung, mereka selalu mendukung langkah demi langkah pengabdian Wong Sulung pada kerajaan.

Seperti matahari yang selalu berganti dengan rembulan, Wong Tengah dan Wong Pisat pun merasa bahwa Wong Sulung, kakaknya, hampir tidak pernah lagi bercanda dan bermain lagi bersama mereka. Bertatap muka pun serasa sulit karena Wong Sulung sudah terlalu sibuk dengan urusannya sendiri.

Meskipun begitu, Wong Tengah dan Wong Pisat tidak pernah menyampaikan sepatah kata pun kepada Wong Sulung. Mereka takut jika Wong Sulung akan menjadi murka dan berpikir bahwa kedua adiknya merasa iri dengan keberhasilannya. Kebiasaan-kebiasaan yang dulu selalu mereka lakukan bersama-sama pun sekarang hanya dilakukan berdua saja. Termasuk bermain air dan menaburkan bunga di sungai belakang istana.

Lama-kelamaan Wong Tengah dan Wong Pisat merasa sedih dengan sikap dan sifat sang kakak yang jauh berubah. Namun, waktu tidak dapat dikembalikan ke asal. Akhirnya, Wong Tengah dan Wong Pisat hanya dapat menerima dan menjalani apa saja yang akan terjadi.

Sang Ratu Surau Demo yang tidak lain adalah istri Raja Saringgo hanya dapat menasihati Wong Tengah dan Wong Pisat akan tugas dan pekerjaan Wong Sulung. Sang Ratu sendiri mengetahui tentang kepentingan kedua putrinya yang merasa kesepian karena kehilangan peran kakaknya. Kakak yang selama ini membimbing mereka ke mana pun dan di manapun.

Umur manusia terus bertambah dan itu menjadi sebuah petanda bahwa ajal kian dekat. ltulah yang terjadi pada Raja Saringgo dan Ratu Surau Demo. Dunia telah memakan usia mereka sedikit demi sedikit.

Raja Saringgo dan Ratu Surau Demo pun bingung siapa yang akan memegang kekuasaan penuh atas kerajaan. Apakah anak terbaik mereka, Wong Sulung yang dapat memegang dan menangani masalah kerajaan ini sendirian.

Hingga pada suatu hari, Raja Saringgo dengan didampingi istrinya menyampaikan hal yang selama ini menjadi pertanyaan besar di benak mereka.

“Saya selaku Raja Saringgo, hari ini akan menetapkan sebuah keputusan mengenai masa depan kerajaan ini," lugas Raja Saringgo dengan penuh wibawa.

Seketika itu juga seluruh penjuru istana terdiam, hening, yang terdengar hanya hembusan napas tersengal karena menunggu suatu keputusan. Dengan nada yang mulai seimbang raja menlanjutkan titahnya.

"Jika waktuku telah tiba nanti dan bumi akan mengambil ragaku, seluruh kendali kekuasaan kerajaan inin kuberikan kepada anakku Wong Sulung sebagai raja dengan dibantu oleh perdana menteri, Wong Tengah, dan penasihat negara, Wong Pisat.”

Seluruh istana terkejut dan terdiam akan keputusan itu. Betapa adil dan bijaksananya Raja Saringgo mengambil keputusan bagi kerajaan dan ketiga putrinya.

Semua orang yang ada di istana bergembira. Mereka merayakannya dengan berpesta dan berdansa. Mereka bahagia dengan pengangkatan para calon pemegang tonggak kerajaan. Di sana-sini orang tertawa sambil makan dan minum seraya memuji akan kebijaksanaan sang raja.

Kegembiraan dapat datang jika seseorang menginginkannya. Namun, kegembiraan yang dirasakan oleh rakyat seluruh negeri itu tidak dirasakan oleh Wong Sulung.

Wong Sulung merasa bahwa seorang raja yang mengendalikan kerajaan tidak membutuhkan perdana menteri dan penasihat negara. Dia beranggapan bahwa raja atau ratu dapat memegang kekuasaan sendiri tanpa orang lain, apalagi saudaranya sendiri.

Kepintaran dan kepandaian yang dimilikinya telah membuat Wong Sulung menjadi angkuh dan pembangkang. Dia tidak dapat memahami maksud dan tujuan putusan raja. Malah Wong Sutung beranggapan katau raja yang tidak lain adalah ayahnya sendiri itu tidak menyayanginya seperti dutu.

Keserakahannya untuk memegang kendati kerajaan sendirian tetah membuat Wong Sutung memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak ia pikirkan.

“Andai kedua orang adikku mati, jabatan meraka setaku perdana menteri dan penasihat dapat aku ambit sehingga aku menguasai kerajaan ini tanpa gangguan dan nasihat dari siapa pun." Pikir Wong Sutung sambil menerawang.

“Ya! ltulah jalan keluarnya, mati! ltulah jalan agar aku dapat bahagia dan duduk di kursi raja!” sambungnya sambil berdiri dari peraduannya.

Matahari mulai mengantuk. ltulah waktu Wong Tengah dan Wong Pisat bermain sambil bercanda di sungai yang terletak di belakang istana kerajaan.

Di saat awan mulai memerah, terlihatlah kedua gadis itu mandi sambil bercakap-cakap dan sesekali sating memercik air ke arah masingmasing. Wajah mereka pun mulai basah oleh air yang jernih. Namun, dari arah belakang datanglah Wong Sulung sambil menyembunyikan sesuatu di belakang punggungnya.

"Wahai Kakakku! Ada gerangan apa Kakak datang kemari? Apakah Kakak ingin bermain bersama kami seperti dulu lagi?" tanya Wong Pisat terheran-heran.

“Tidak! Aku hanya ingin melihat kalian mandi. Bukankah sudah lama aku tidak datang kemari. Ayo! Mandilah! Bersenang-senanglah!" hardik Wong Sulung sinis.

“Begitu .. . , baiklah. Jangan Kakak menyesal nanti. Lihatlah airnya begitu jernih." Bujuk Wong Tengah kepada kakaknya yang dari tadi hanya berdiri mematung.

Tiba-tiba Wong Sulung mengeluarkan sesuatu benda tajam dari punggungnya. Benda itu pun diayunkan ke arah kedua orang adiknya yang duduk di tepi sungai. Seketika itu cairan merah mengaliri arus sungai yang riak. Langit tampak menghitam.

“Akhirnya kalian mati di tanganku! Sekarang tidak ada seorang pun yang akan mengganggu keinginan dan ambisiku. Tidak seorang perdana menteri atau penasihat rendahan!" histeris Wong Sulung puas.

“Aku adalah ratu! Ha .. . ha ... ha ... !”

Wong Sulung terus tertawa dibarengi pekik halilintar mengangkasa. Langit semakin menghitam. Tanpa dia sadari bahwa darah kedua orang adiknya telah membasahi tanah tempat ia berpijak. Tawa Wong Sulung semakin membahana semakin menggelegar dan akhirnya sesuatu terjadi tanpa disadari Wong Sulung. Ia terpeleset dan kepalanya tepat mengenai batu besar di pinggir sungai yang selama ini ia bersama kedua adiknya selalu bercengkrama di atasnya. Hal ini seakan kedua orang adiknya benar-benar tidak ingin berpisah dengan sang kakak. Seketika itu tidak terdengar Jagi suara tawa dan tarikan napas. Suasana hening, sehening air sungai yang berduka.

Langit hitam dan mega pun suram. Mendung hari itu semakin menjadi saksi tragis ketiga bersaudara itu. Seluruh rakyat berduka atas kejadian tragis yang tidak disangka-sangka itu. Kesedihan yang amat mendalam terlihat di wajah penghuni istana. Raja Saringgo dan Ratu Surau Demo hanya membisu seribu bahasa. Mereka kehilangan ketiga orang putri yang sangat diharapkan demi masa depan kerajaan. Mereka terdiam dan merenung sedih dan semakin sedih.

Untuk menghilangkan lara sekaligus menyucikan air sungai dari darah yang telah tumpah, Raja Saringgo dan Ratu Surau Demo memutuskan supaya raja ketiga putri kesayangannya dibakar di pinggir sungai bersama bunga-bunga di seluruh taman istana. Setelah bara mendingin, lalu abunya dihanyutkan ke sungai.

Setelah menyaksikan upacara itu, Raja Saringgo dan Ratu Surau Demo tidak dapat menahan tangisnya. Seakan-akan masih terbayang di benak mereka masa kecil ketiga orang putri yang sangat cantik itu. Di sungai itu mereka bermain dan bercanda. Di sungai itu pula mereka bertiga menerima kematian yang mengenaskan.

Di saat abu ditebarkan ke permukaan sungai, tiba-tiba di sepanjang sungai itu terciumlah bau angit ('hangus') ke seluruh penjuru negeri sehingga masyarakat di sekitar daerah kerajaan tersebut sampai sekarang menyebut sungai itu dengan nama Sungai Angit. Anehnya lagi, sejak peristiwa itu sungai yang dulunya jernih dan bersih, warnanya berubah kuning kecoklat-coklatan dan berbau tidak sedap dan hal itu masih terus berlangsung hingga saat ini.