Lompat ke isi

Tak Tindam Tak Kuteteh

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Tak Tindam Tak Kuteteh

Abel Tasman

“Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kuteteh)
Apo caro urang buladang (Bagaimana cara orang beladang)
Tak tindam tak kuteteh (Tak Iinam tak kuteleh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak Iinam lak kuleteh)”

Suara nyanyian itu bersiponggang di dalam hutan. Menggema di antara pepohonan besar dalam rimba. Bersama lembut dan membuai-buai. Kadang kala terdengar bagai ratapan, lain waklu terdengar seperti selingan musik di anlara pekik siamang dan kicauan burung.

Pak Andie dan Mak Andie tertegun. Sudah sekian lama mereka hidup, letapi belum pernah mereka mendengar suara semerdu itu. Suara itu seperti suara bidadari yang turun dari kayangan.

Keduanya masih mendengarkan irama nyanyian itu dengan penuh minat. Bukan hanya itu, mereka malah berhenli menebas hutan. Hati dan pikiran mereka kini tertuju pada suara nyanyian ilu. Padahal sejak turun menebas hutan untuk membuat ladang, hampir tidak pernah mereka berhenti bekerja. Dari pagi sampai petang mereka terus dan terus bekerja. Kadang-kadang malam pun mereka menebas hutan dengan membawa obor. Makan pun kadang mereka lupa karena asyiknya bekerja.

Dulu, konon kabarnya di Kampung Telukriti, Pak Andie dan Mak Andie memang terkenal sebagai sepasang petani yang rajin dan kaya. Mereka juga sangat dermawan, suka menolong, dan suka memberi. Akan tetapi, mereka jarang begaul dengan penduduk kampung. Mereka selalu sibuk bekerja. Untuk mengasuh anak mereka yang masih kecil pun diserahkan kepada seorang pembantu. Padahal, di masa itu tidak ada orang tua mencari pengasuh bagi anak-anaknya, apalagi itu anak pertama dan tunggalnya.

ltulah yang dilakukan Pak Andie dan istrinya. Mereka hanya mempunyai satu keinginan, yaitu ingin tetap kaya-raya. Bukan, ingin lebih kaya lagi dari sekarang. Dan, satu-satunya, serta menebas dan menebang hutan seluas-luasnya pula. Akan tetapi, suara nyanyian itu? Mengapa nyanyian itu begitu menggoda mereka? Dari mana sumber suara itu?

Semula mereka menduga suara itu berasal dari penyadap karet di kebun sebelah hutan tempat mereka menebas. Akan tetapi, setelah berjohu beberapa kali dan tak ada sahutan, keduanya tidak yakin bahwa itu suara penyadap karet. Berjohu maksudnya berteriak lantang dengan tujuan memanggil seseorang yang jauh dan tidak tampak. Tidak mungkin nyanyian itu bisa seindah dan semempesona seperti kalau hanya dilagukan oleh seorang penyadap karet, kecuali penyadap karet itu memakai putunang.

Menurut kepercayaan orang Kampung Telukriti, ada orang-orang tertentu yang bisa menyanyi atau meniup suling diiringi dengan ilmu gaib, ilmu penunduk hati, sehingga orang yang mendengar nyanyian itu tunduk terpesona kepada si penyanyi atau si peniup suling. llmu penunduk hati melalui suara itu disebut putunang. Memang, putunang yang sering dilakukan biasanya melalui suling, tetapi orang yang sudah ahli menggunakan ilmu putunang bisa saja melakukannya melalui suara nyanyian bahkan lewat siulan.

Jadi, benarkah nyanyian itu berasal dari suara seseorang? Jangan-jangan nyanyian itu berasal dari hantu penunggu hutan? Jembalang tanah? Atau orang bunian? Kanan, orang bunian juga bisa berubah wujud seperti manusia. Bahkan kata orang kampung, beberapa orang dari dukun di kampung Pak Andie dan Mak Andie kawin dengan orang bunian.

Yang jelas kini Pak Andie dan Mak Andie makin penasaran. Sementara irama nyanyian itu secara perlahan masuk merasuk ke dalam hati dan pikiran mereka sehingga tanpa sadar mereka terbuai dalam irama itu. Kemudian, mereka mengikuti irama itu dengan sepenuh rasa. Mereka bernyanyi, bernyanyi, dan terus bernyanyi seraya menjawab suara nyanyian gaib itu.

Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kuteteh)
Butanam pisang kuladi (Bertanam pisang keladi)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kuteteh)
Tak tindam tak Kuteteh (Tak tinam tak kuteteh)

Agaknya si pemilik suara di hutan sebelah merasa senang. Nyanyian Pak Andie dan Mak Andie langsung disahutnya dengan uara melengking tinggi.

Kuladi dimakan bongai (Keladi dimakan ulat)
Bongai dicocok ayam (Uiat dipatuk ayam)
Ayam dicokou musang (Ayam ditangkap musang)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kuteteh)

Suara itu luar biasa dahsyat, seperti membubung ke angkasa. Kemudian, suara itu serasa merayap di lembah-lembah, menyapa pepohonan besar berdaun lebat, menggetarkan sukma menundukkan jiwa, sukma dan jiwa Pak Andie dan Mak Andie.

Keduanya saling berpandangan sejenak. Mereka tidak bisa lagi menahan rasa penasaran yang makin kuat menggelitik rasa ingin tahunya. Mereka sudah lupa pada pekerjaannya, lupa pada tebasan yang belum selesai. Keduanya kini melangkah ke arah suara. Mula-mula perlahan, berhati-hati, dan mengendap-endap, tetapi makin lama makin cepat, dan makin bergegas.

Setelah jauh masuk ke hutan, tiba-tiba Pak Andie menghentikan langkah. Mak Andie juga berbuat hal serupa. "Tak mungkin sejauh ini,” ucap Pak Andie pada istrinya.

"Iya, ya! Tadi suara itu terdengar sekitar sini," sahut Mak Andie dengan napas terengah-engah.

Lama keduanya terdiam. Kini mereka menjadi sangsi. Jangan-jangan benar dugaan mereka tadi. Suara itu benar-benar berasal dari orang bunian atau suara penunggu hutan yang menidurkan anaknya. Konon kata orang kampung, hantu hutan biasanya menidurkan anaknya pada siang hari.

Pak Andie dan Mak Andie kembali bernyanyi. Mengulang-ulang nyanyian tadi, beribaiba membuai merdu. Namun, tidak ada sahutan, tidak ada suara yang memukau. Suara itu seperti raib ditelan pepohonan besar yang tegak kokoh bagai kaki-kaki raksasa di sekeliling mereka.

“Mengapa dia diam?" tanya Mak Andie risau.

Pak Andie hanya menggeleng. Kemudian, dia menyahut dengan suara mengambang,

“Mungkin karena syair lagunya diulang-ulang."

“Maksud Bapak?"

“Lanjutkan lagunya, ciptakan jawaban nyanyian tadi."

“Tadi sampai mana, Pak?" Mak Andie mencoba mengajuk pikiran suaminya.

Pak Andie tidak menjawab, tetapi langsung bernyanyi

Kuladi dimakan bongai (Keladi dimakan ulat)
Bongai dicocok ayam (Uiat dipatuk ayam)
Ayam dicokou musang (Ayam ditangkap musang)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kuteteh)

“Kolou bongai dicotok ayam, ayam dicokou musang, musang mengapo, Pak?" tanya Mak Andie bingung dalam bahasa kampung mereka. kat.

“Musang disalak anjing."

“Mengapa begitu pula?"

“Suka hati kitalah," jawab Pak Andie singkat.

“Mana pula bisa suka hati."

“Yang penting 'kan bernyanyi supaya nyanyian kita disahuti," tangkis Pak Andie tidak mau kalah. Tanpa menunggu Mak Andie bicara, dia langsung melanjutkan nyanyian.

Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kuteteh)
Musang disalah anjiang (Musang disalah anjing)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kuteteh)

Tetap tak ada sahutan. Hutan sekitar mereka tetap sunyi.

Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kuteteh)
Anjiang ditangkok rimau (Anjing ditangkap harimau)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kuteteh)

Baru saja Mak Andie selesai bernyanyi, sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara nyanyian,

Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kuteteh)
Rimau ditimpo pungguo (Harimau ditimpa tunggul lapuk)
Punggui dimakan api (Tunggul lapuk dimakan api)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kuteteh)

“Sudahlah, berarti itu suara bunian atau hantu hutan," ucap Pak Andie sejurus kemudian.

“Kalau kita kejar ke sana, dia akan terus berlari lebih jauh lagi," tambahnya.

“Tapi kita harus menemukannya, Pak!" Mak Andie tidak mau mengalah.

"Ingat, Mak. Banyak cerita orang bunian bisa menyesatkan orang. Kita nanti tidak tahu jalan pulang," kata Pak Andie lagi, mengingatkan istrinya. Akan tetapi, Mak Andie sudah terlanjur tergoda pada suara itu. Dia bersikeras ingin mencari sumber suara.

Pak Andie akhirnya mengalah. Mereka terus melangkah, makin jauh ke dalam hutan lebat, menuju suara nyanyian. Baru saja beberapa langkah mereka berjalan, terdengar lagi suara mendayu-dayu itu.

Api ditimpo ujan (Api ditimpa hujan)
Ujan disapu angin (Hujan disapu angin)
Angin tutumbuk ku gunung (Angin tertumbuk ke gunung)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kutetah)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kutetah)

Sambil bejalan, Mak Andie menyahut.

Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kuteteh)
Gunung digoyang gompo (Gunung digoyang gempa)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kutetah)

Suara nyanyian itu menyahut dengan suara melengking tinggi.

Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kutetah)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kutetah)
Gompo, buncano dai Allah (Gempa, bencana dari Allah)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kutetah)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kutetah)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kutetah)

Suara yang tadi melengking tinggi, kini makin lama makin perlahan, perlahan dan terus makin pelan sampai akhirnya redup, seperti sumbu lampu yang kehabisan minyak.

Pak Andie dan Mak Andie berhenti. Lalu, mereka melantunkan nyanyian, mengulang syairsyair nyanyian itu dari awal. Mereka berharap akan ada suara sahutan, suara nyanyian yang memukau itu. Akan tetapi, sampai senja mereka bernyanyi, tetap saja suara yang mereka tunggu tidak terdengar. Dan, memang suara itu tidak akan terdengar lagi, maka dengan beriba-iba hati Mak Andie pun untuk ke sekian kalinya melantunkan nyanyian itu yang sekali-sekali diselingi oleh Pak Andie.

Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kutetah)
Apo caro urang buladang (Bagaimana cara orang berladang)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kutetah)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kutetah)
Butnanam pisang keladi (Bertanam pisang keladi}
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kutetah)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kutetah)
Kuladi dimakan bongai (Keladi dimakan ulat)
Bongai dicotok ayam (Uiat dipatuk ayam)
Ayam dicokou musang (Ayam ditangkap musang)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kutetah)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kutetah)
Musang disalah anjiang (Musang disalah anjing)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kutetah)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kutetah)
Anjiang ditangkok rimau (Anjing ditangkap harimau)
Rimau ditimpo pangguo (Harimau ditimpa tunggul lapuk)
Pungguo dimakan api (Tunggul lapuk dimakan api)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kutetah)
Api ditimpo ujan (Api ditimpa hujan)
Ujan disapu angin (Hujan disapu angin)
Angin tutumbuk ku gunung (Angin tertumbuk ke gunung)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kutetah)
Gunung digoyang gompo (Gunung digoyang gempa)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kutetah)
Gompo, buncano dai Allah (Gempa, bencana dari Allah)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kutetah)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kutetah)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kutetah)

Mak Andie menangis. Dia seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Oalam keadaan masih sesenggukan menahan isaknya, Mak Andie diajak oleh Pak Andie pulang.

Celakanya, apa yang dikhawatirkan Pak Andie tadi benar. Mereka tidak tahu lagi jalan menuju pulang. Mereka tersesat. Berhari-hari mereka mengembara dalam hutan. Makan dari buah-buahan dan dedaunan hutan. Sementara itu, Mak Andie terus melantunkan nyanyian itu. Makin dia bernyanyi, rindunya kepada anak yang ditinggalakannya serasa semakin menyesakkan dada. Oalam hati dia berjanji, tidak akan lagi meninggalkan anaknya kepada pengasuh.

Mak Andie menepati janjinya. Sepekan kemudian, penduduk kampung menemukan mereka di bawah pohon jejawi, pohon beringin, dia menciumi anaknya dengan penuh rasa sayang. Bila anaknya menangis, dia pun bernyanyi.

“Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kuteteh)
Apo caro urang buladang (Bagaimana cara orang beladang)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tinam tak kuteteh)”

Sejak itu, nyanyian "Tak Tindam Tak Kuteteh” menjadi nyanyian pengantar tidur anak-anak di Kampung Telukriti, yang ditembangkan di ladang-ladang, di semilir angin yang menghembuskan harum bunga padi.