Tunggal Panaluan

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Tunggal Panaluan

Dahliana Tobing

Tunggal Panaluan adalah sejenis tongkat dari kayu berdiameter kurang lebih 2,75 em, tingginya kira-kira setinggi manusia yang berperawakan tinggi besar (:!: 2 meter), disertai ukiran yang menyerupai lima orang laki-laki, dua orang perempuan, seekor anjing, dan seekor ular. Tongkat itu memiliki makna yang mendasar bagi kebudayaan Batak. Sebagian orang Batak menganggap bahwa Tunggal Panaluan adalah seekor binatang jantan yang selalu menang ketika menghadapi musuhnya. Tunggal Panaluan memiliki makna, yaitu sada (satu); panaluan [panoluan] (bertiga). Hal itu dapat disimpulkan bahwa Tunggal Panaluan adalah bersifat tritunggal yang artinya tiga di dalam satu dan satu di dalam tiga. Perkataan tiga mengacu kepada ketiga banua atau bagian jagat raya, yaitu banua ginjang (langit), banua tonga (bumi), dan banua toru (bawah tanah). lstilah ketritunggalan dari Tunggal Panaluan menurut falsafah Batak menggambarkan adanya sebuah pohon besar yang mempersatukan ketiga benua tersebut, pohon tersebut berakar di banua toru (di bawah tanah), kemudian mencuat ke banua tonga (bumi) dan terakhir di banua ginjang (langit), yaitu tempat penulisan sibaran (nasib) seluruh umat manusia.

Tunggal Panaluan yang terdapat di dalam kebudayaan Batak dewasa ini merupakan tiruan dari Tunggal Panaluan yang ada pada zaman dahulu. Pada tongkat kayu tersebut terukir beberapa kepala manusia, seekor anjing, dan seekor naga. Kemudian, kepala tongkat tersebut dililitkan bonang manalu (lilitan benang yang terdiri atas tiga warna, yaitu warna hitam, merah, dan putih}. Berikut ini adalah cerita tentang asal-mula terjadinya Tunggal Panaluan.


Alkisah, di sebuah huta (kampung) di kaki Bukit Pusuk Buhit di daerah Toba Samosir, Sumatera Utara, hiduplah seorang laki-laki bernama Guru Hatiabulan yang dijuluki Datu Arak Pane. Ia hidup bersama seorang istrinya yang sedang mengandung. Ketika itu kandungan istri Guru Hatiabulan genap sembilan bulan. Dengan penuh harap, Guru Hatiabulan menantikan kelahiran anak pertamanya. Namun, hari berganti hari, seminggu, bahkan sebulan sudah terlewati, tetapi penantian Guru Hatiabulan akan kelahiran anaknya belum berujung jua. Seluruh penduduk desa tak putus heran dan merasa kebingungan oleh kenyataan itu.

Pada saat itu terjadilah musim kemarau yang berkepanjangan di daerah sekitar Bukit Buhit. Sawah ladang mengalami kekeringan yang dahsyat, tanah-tanah menjadi retak dan tidak bisa ditanami. Para penduduk desa terpaksa berjalan jauh ke lereng Bukit Pusuk Buhit untuk mendapatkan air guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Keadaan para penduduk desa benarbenar memprihatinkan. Hal ini membuat para raja di daerah itu menjadi murka terhadap Guru Hatiabulan yang tak kunjung melahirkan. Akibatnya, terjadilah perselisihan di daerah itu. Namun, perselisihan itu tidak berlangsung lama. Selang beberapa hari kemudian, istri Guru Hatiabulan pun melahirkan dua orang anak kembar, yaitu anak laki-laki dan perempuan. Bersamaan dengan kelahiran kedua anak kembar tersebut, berakhirlah musim kemarau yang berkepanjangan dianggap membawa berkah bagi masyarakat Bukit Pusuk Buhit. Segala penderitaan rakyat akibat kekeringan yang dahsyat berubah menjadi sukacita bagi penduduk. Tanah yang tadinya kering kerontang telah dapat ditanami kembali.

Guru Hatiabulan dan istrinya sangat berbahagia atas kehadiran kedua anak kembarnya. Pada hari keempat puluh kelahiran anaknya, Guru Hatiabulan mengadakan sebuah <ulaon (pesta adat) untuk memberi nama kepada kedua anaknya. Mereka memberi nama Aji Donda Hatahuton kepada lelakinya dan Tapi Omas na Uason kepada anak perempuannya. Guru Hatiabulan pun mengundang sahabat-sahabatnya, yaitu para raja yang berkuasa di sekitar Bukit Pusuk Buhit untuk menghadiri pesta pemberian nama kepada kedua anaknya.

“Mereka harus dipisahkan agar tidak terjadi hal-hal buruk kepada mereka kelak," saran para raja, sahabat-sahabat Guru Hatiabulan yang hadir di pesta itu. Namun, Guru Hatiabulan tidak menghiraukan saran sehabat-sahabatnya. Dibiarkannya anaknya tumbuh dan berkembang bersama-sama, mereka dibesarkannya dengan penuh kasih sayang.

Hingga pada suatu ketika, kedua anaknya pun beranjak dewasa. Alangkah sedih hati Guru Hatiabulan melihat kelakuan buruk kedua anak kembarnya. Kelakuan mereka sama sekali bertolak belakang dari apa yang telah diajarkannya selama ini. Budi baik, kejujuran, dan kesopanan yang telah diajarkannya kepada anak-anaknya bukan menjadikan kedua anaknya menjadi anak yang berbudi, melainkan menjadi anak-anak yang tidak bermoral.

Akibat perilaku buruk kedua anaknya, semua orang mencibir kepada Guru Hatiabulan dan istrinya yang tidak menghiraukan nasihat para raja untuk memisahkan kedua anak kembarnya ketika mereka masih bayi. Mereka menganggap bahwa Guru Hatiabulan dan istrinya telah gagal dalam membina kedua anaknya. Salah seorang penduduk desa menyindir Guru Hatiabulan dan istrinya dengan sebuah pantun:

Tinampul bulung sihupi,
pinarsaon bulung siala;
Unang sumolsol di pudi,
ndala sipaingat soada.

Artinya: 'Apabila kita tidak mengindahkan nasihat orang lain, penyesalan menjadi suatu hal yang paling menyakitkan'.

Dengan sejuta penyesalan dan kepedihan yang mendalam, Guru Hatiabulan dan istrinya membawa kedua anaknya ke Puncak Bukit Pusuk Buhit. Mereka mendirikan sebuah sopo (gubuk) sebagai tempat bernaung bagi kedua anaknya. Hari pun beranjak senja, sebuah sopo yang mungil telah berdiri di Puncak Bukit Pusuk Buhit itu. Di sanalah episode baru dalam kehidupan Aji Donda Hatahuton dan adiknya, Tapi Omas na Uason akan dimulai.

“Anakku Aji Donda Hatahutan dan putriku Tapi Omas na Uason, tinggallah di sini baik-baik. lngat, janganlah pernah mengambil buah dari hau piupiutanggule yang ada di tengah bukit ini. Pohon itu sangat ganas, siapa saja yang menyentuhnya akan menjadi korban," pesan Guru Hatiabulan dan istrinya dengan penuh kesungguhan. Setelah berpesan kepada kedua anaknya, Guru Hatiabulan dan istrinya meninggalkan kedua anaknya di sopo tersebut bersama seekor anjing untuk menemani mereka. Begitulah setiap hari Guru Hatiabulan dan istrinya secara bergantian mengantarkan makanan untuk kedua anak mereka.

Suatu hari, Tapi Omas na Uason berjalan-jalan di sekitar gubuk mereka. Tanpa disadarinya, sampailah dia di tengah bukit yang penuh pepohonan itu. Rasa haus dan lapar kini menyiksanya. Dipandanginya pepohonan yang ada di sekelilingnya. Dia berharap akan menemukan buahbuahan sebagai pelepas dahaga dan penawar rasa laparnya. Pandangannya berhenti pada sebatang pohon yang indah di tengah bukit itu. Tapi Omas na Uason melihat sebuah hau piupiutanggule (ada juga yang mengatakan hau tadatada yaitu sejenis pohon jati) yang sedang berbuah. Ketika melihat buah-buahan yang ranum itu, timbullah niat Tapi Omas na Uason untuk menikmatinya. Tiba-tiba dia teringat akan pesan ayah dan ibunya tentang larangan untuk tidak menyentuh pohon berbahaya itu. Namun, rasa haus dan lapar yang menyiksanya memaksa dia untuk segera memakan buah-buahan itu. Tanpa pikir panjang, dia memanjat pohon itu untuk memetik buahnya. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, tubuh Tapi Omas na Uason menempel erat-erat di pohon itu. Oengan sekuat tenaga, dia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pohon itu, tetapi usahanya sia-sia belaka.

Aji Donda Hatahuton sedang kebingungan mencari adiknya. Oitelusurinya puncak bukit itu sambil memanggil-manggil nama adiknya. Tetapi, dia tak juga bertemu dengan Tapi Omas na Uason. Sementara matahari kian beranjak ke arah barat, gelap kian menjelang. Akhirnya, dengan tubuh lemas dan putus asa Aji Oonda Hatahuton berjalan kembali menuju ke gubuknya. Samar-samar dari kejauhan, Aji Donda Hutahuton mendengar suara dari belakangnya. Diamatinya baik-baik suara itu, dan tak salah lagi, suara itu adalah suara adiknya, Tapi Omas na Uason. Oicarinya sumber suara itu dan akhirnya, matanya tertumpu pada sebatang pohon yang sedang berbuah.

"Ini 'kan piupiutanggule. Bukankah ayah dan ibu telah melarang kami menyentuh pohon ini?" batin Aji Donda Hutahuton. Betapa terkejutnya Aji Donda Hutahuton melihat tubuh adiknya menempel di pohon itu. Dia tak kuasa melihat keadaan adiknya yang sedang berusaha sekuat tenaga untuk keluar dari pohon itu. Tanpa pikir panjang, secepat kilat dia pun berlari ke arah pohon itu untuk menyelamatkan adiknya. Tetapi, malang baginya, tubuh Aji Donda Hutahuton pun menempel erat di pohon itu. Anjing mereka pun turut menjadi korban hau piupiutanggule itu: Hari semakin gelap, suasana semakin mencekam. Sesekali terdengar lolongan anjing hutan meningkahi malam yang panjang itu. Seakan-akan mereka turut berduka atas kejadian yang menimpa kedua anak kembar yang malang itu.

Setelah sekian lama bertahan di hau piupiutanggule tersebut, akhirnya Tapi Omas na Uason dan saudara kembarnya, Aji Donda Hutahuton, beserta anjing mereka menghembuskan napas penghabisan. Mereka tewas dimangsa oleh pohon yang ganas itu dan tubuh mereka tetap menempel di sana.

Keesokan harinya, seperti biasa Guru Hatiabulan datang mengantarkan makanan untuk kedua anaknya. Setelah letih mencari ke manamana, Guru Hatiabulan pun menemukan kedua anak kesayangannya menempel di batang hau piupiutanggule itu.

Betapa sedih perasaan Guru Hatiabulan menyaksikan pemandangan yang menyedihkan itu. Air matanya bercucuran bak hujan deras membasahi pipinya yang keriput. Dia bersimpuh di tanah kemudian ia menengadahkan kepalanya sanibil mengangkat kedua tangannya dan berseru,

“Ale Ompu Mula Jadi na Bolon, sapata ni
ise do ulaning na ro tu au on?”

Artinya 'Wahai Sang Pencipta yang Maha Agung, kutukan siapakah gerangan yang menimpaku ini?'

Dadanya bergemuruh seakan-akan ombak laut besar menghantam dirinya. Kemudian, dia meratapi nasibnya yang malang melalui sebuah pantun,

Ompuompu ni hunik ma on,
na tinuhor sian onan;
Ompu ni hinalungun ma au on,
na soada tudosan.

Artinya 'Akulah bapa dari segala kepedihan yang tidak ada taranya.'

Di tengah keputusasaannya Guru Hatiabulan pun berpantun.

Aganan na ma bulung langge,
unang bulung singkoru;
Aganan na ma au mate,
sian na mangolu.

Artinya 'Lebih baik aku mati daripada hidup menanggung derita yang berkepanjangan ini.'

Tanpa henti-hentinya Guru Hutiabulan berseru kepada Tuhannya hingga akhirnya dia pun tertidur di dekat pohon yang memangsa kedua anaknya itu.

Setelah terbangun dari tidurnya, timbullah di benak Guru Hatiabulan untuk memanggil datu 'orang-orang pintar atau dukun-dukun sakti' dari daerahnya yang mampu mengambil tubuh kedua anaknya dari pohon yang ganas itu. Dengan perasaan tak menentu Guru Hatiabulan melanjutkan perjalanannya kembali ke rumahnya. Sesampainya di rumah, istrinya yang Ieiah menunggu kepulangan suaminya, menyambut Guru Hatiabulan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar keberadaan anak mereka.

“Bagaimana keadaan anak kita, Pak? Mereka baik-baik saja bukan?" tanya sang istri. Guru Hatiabulan tertunduk sedih, tatapannya kosong. Berat baginya menceritakan bencana yang menimpa kedua anak kembar mereka. Dengan air mata bercucuran, akhirnya Guru Hatiabulan menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada istrinya.

“Mereka telah melanggar perintah kita, Bu. Me ... me ... mereka telah menjadi ko ... korban hau piupiutanggule itu," jawab Guru Hatiabulan terbata-bata. Bagaikan mendengar petir menyambar di siang belong, demikianlah istri Guru Hatiabulan mendengar peristiwa yang menyakitkan itu.

“Ale Ompu Mula Jadi na Bolon, sambor ni nipingki da Ompung. (Wahai Sang Pencipta, mimpi apakah gerangan aku ini?) On ma tua na so taraithon, soro ni ari na so tarhoishon" (inilah untung yang tak dapat diraih, malang yang tak dapat ditolak) ratap istri Guru Hatiabulan.

Setelah menemukan dukun yang terkenal dengan kehebatannya, pergilah Guru Hatiabulan melihat kedua anaknya di Puncak Bukit Pusuk Buhit. Dibawanyalah ke tempat itu seorang dukun sakti bernama Parma.nuk Holing. Setelah melakukan berbagai ritual dan membacakan doa-doa, maka Datu Parmanuk Holing pun memberanikan diri memanjat pohon itu dengan maksud untuk mengambil kedua tubuh anak tersebut. Namun, sungguh tak diduga, dukun sakti tersebut turut menjadi korban pohon misterius itu. Tubuhnya menempel di hau piupiutanggule tidak jauh dari tubuh Tapi Omas na Uason dan Donda Hatahuton serta anjing mereka.

Setelah melihat kejadian itu, dengan harap cemas Guru Hatiabulan pun memanggil dukun yang lain. Namun, dukun tersebut mengalami nasib yang serupa dengan mereka yang menjadi korban sebelumnya. Demikianlah Guru Hatiabulan berkali-kali mendatangkan para dukun untuk mengambil tubuh kedua anaknya, tetapi semua usahanya sia-sia belaka. Semua datu sakti yang dipanggilnya menjadi korban keganasan hau piupiutanggule itu, antara lain, Datu si Aji Bahir, Datu Marangin Bosi, Datu Pongpang Niobungan, Datu Boru Sibasopaet, dan seekor ular miliknya. Setelah melalui kegagalan demi kegagalan, akhirnya Guru Hatiabulan merasa berputus asa. Kemudian, dia menghentikan usahanya untuk menghindari banyaknya korban yang berjatuhan oleh pohon keramat itu.

Di tengah kegundahan hati Guru Hatiabulan, datanglah seorang datu lain yang bernama Datu Parpansa Dinjang menawarkan jasa kepadanya. Disuruhnyalah Guru Hatiabulan untuk memuja para begu 'roh halus' yang mendiami Bukit Pusuk Buhit itu. Setelah upacara pemujaan terhadap para roh tersebut dilaksanakan oleh Guru Hatiabulan, Datu Parpansa Dinjang pun menebang kayu misterius itu. Anehnya, semua kepala manusia dan binatang yang menempel di sana raib entah ke mana. Hal ini membuat Guru Hatiabulan serta orang-orang yang menyaksikannya tercengang keheranan.

Kemudian, berkatalah dukun sakti tersebut kepada Guru Hatiabulan, "Belahlah kayu ini dan buatlah bagimu sebuah tongkat. Ukirlah di sana gambar semua korban yang pernah menempel di pohon itu," ujarnya.

Setelah mendengar wejangan dari dukun tersebut, Guru Hatiabulan pun melakukan perintah dari sang Datu. Dengan hati-hati, dibelahnya pohon itu, kemudian dibentuknyalah sebuah tongkat berdiameter +- 2,75 em, tingginya kira-kira setinggi manusia yang berperawakan tinggi besar (+- 2 meter). Setelah tongkat itu terbentuk, sesuai petunjuk Datu Parpasan Dinjang, diukirnyalah lima sosok laki-laki yang menyerupai Aji Donda Hatahuton, Datu Parmanuk Holing, Datu Aji Bahir, Datu Marangin Basi, Datu Pongpang Niobangun; dua sosok perempuan yang menyerupai Tapi Omas na Uason dan Datu Boru Sibasopaet' dan dua sosok binatang menyerupai seekor anjing dan seekor ular.

Setelah menyelesaikan tugasnya, Guru Hatiabulan mengadakan sebuah horja 'pesta raya' di Puncak Bukit Pusuk Buhit berdekatan dengan sopo tempat tinggal kedua anaknya sewaktu mereka masih diasingkan. Seluruh penduduk desa diundang ke pesta tersebut. Tidak lupa alat musik tradisional Batak, yaitu gondang 'gendang' berupa gong, tatagading, terompet, dan kecapi turut memeriahkan suasana pesta. Mereka menyembelih seekor kerbau jantan yang sehat dan gemuk untuk jamuan makan para undangan yang hadir.

Guru Hatiabulan menancapkan tongkatnya di depan sapo. Kemudian, dengan iringan tetabuhan gondang Batak, Datu Parpasan Dinjang pun manortor 'menari'. Setelah manortor selama berjam-jam, Datu Parpasan Dinjang pun kemasukan begu 'roh' orang-orang yang menjadi korban hau piupiutanggule yang ganas itu. Tubuhnya bergetar hebat, seluruh otot-ototnya mengeras dan kaku. Matanya menatap nanar dan mulutnya bergumam dengan suara yang tidak jelas. Dengan memperalat tubuh dan mulut Datu Parpasan Dinjang, para begu itu berkata, "Wahai Tuan Pengukir, engkau mengukir kami memiliki mata, tetapi kami tak bisa melihat; memiliki telinga, tetapi kami tak bisa mendengar; memiliki mulut, tetapi kami tak bisa makan. Oleh karena itu, kami akan mengutuk engkau.”

Datu Parpansa Dinjang menjawab para roh itu sambil berkata, "Kutuklah pisau itu karena dialah yang bersalah." Kemudian, pisau ukir itu pun berkata, "janganlah mengutuk aku, penempaan itulah yang bersalah." Namun, penempaan itu pun mengelak lagi dan berkata, "Bukan aku, tetapi Guru Hatiabulanlah yang bersalah." Kemudian, Guru Hatiabulan berbicara kepada roh itu,

“Janganlah mengutuk aku, kutuklah dirimu sendiri sebab kalian sendirilah yang jatuh ke jurang kematian itu dan mati sia-sia.”

Para begu itu pun terdiam sejenak sambil merenungkan ucapan Guru Hatiabulan. Sejurus kemudian, para begu itu pun berkata, "Jikalau memang demikian adanya, kami mahan sudilah kiranya Tuan mempergunakan kami untuk kehidupan selanjutnya. Kami berjanji akan mendatangkan hujan apabila diperlukan, dan akan menghentikan hujan yang berkepanjangan. Kami akan memberikan nasihat tentang hukum dan kekuasaan, dan kami akan mencegah niat jahat pencuri dan perampok," jawab para begu itu. Guru Hatiabulan pun menyanggupi permintaan para begu itu, sambil mengkahiri pembicaraannya dia berkata, "Baiklah, saya menyetujui permintaan kalian," ujarnya. Para begu merasa puas dengan jawaban Guru Hatiabulan.

Tubuh Datu Parpansa Dinjang bergetar hebat, sekujur tubuhnya terasa lunglai. Dengan tergopoh-gopoh dia terduduk di tanah dan memandangi semua orang-orang di sekelilingnya dengan tatapan kosong. Sesekali napasnya tersengal, kemudian terdengar tarikan napasnya yang panjang. Sambil bergumam, samar-samar terdengar suaranya berkata, "Horas ma di hamu sude, saonari pe laho ma ham," 'Selamat tinggal bagi kalian semuanya, kami akan pergi sekarang'. Serentak mereka yang hadir di situ menjawab, “Horas ma nang di hamu na laho," ("Selamat jalan juga bagi kalian yang akan pergi"). Kemudian, para begu itu pun meninggalkan tubuh Datu Parpansa Dinjang.

Selang beberapa lama kemudian, Datu Parpansa Dinjang pun pingsan. Guru Hatiabulan menceritakan semua kejadian yang dialaminya kepada Datu Parpansa Dinjang. Kemudian, Datu Parpansa Dinjang berpesan kepada seluruh masyarakat yang hadir itu, "Mualai saat ini, aku akan menamakan tongkat ini Tunggal Panaluan. Hendaklah kita mempergunakan tongkat ini dalam setiap ulaon 'upacara adat'. Dengan Tunggal Panaluan ini kita dapat meminta hujan apabila kita memerlukannya, kita dapat menghentikan hujan yang berlebihan, kita dapat meminta petunjuk tentang hukum dan kekuasaan, dan kita dapat mencegah niat jahat pencuri dan perampok," katanya mengingatkan orang-orang yang hadir di sana. Kemudian, Datu Parpansa Dinjang mengakhiri horja itu dengan memberikan hata apulapul 'kata penghiburan' kepada keluarga Guru Hatiabulan dan seluruh penduduk yang turut berduka-cita atas bencana itu. Seperti biasa dalam setiap ulaon adat (acara adat) Batak, umpasa atau pantun sering dipergunakan untuk menyampaikan maksud dan tujuan yang baik. Datu Parpansa Dinjang selaku Raja Parhata (juru bicara adat) berkata,

“Tinapu bulung siarum,
bahen uram ni porapora;
Na hansit I tibu ma malum,
jala tibu ma ro las ni roha.”

Artinya "Semoga kepahitan ini segera berlalu, dan berganti menjadi sukacita.”

Kemudian, dia menambahkan lagi,

“Eme sitambatua parlinggoman ni siborok;
Sai dilehon Tuhan ta ma di hamu tua,
jala sai hot hamu diparorot.”

Artinya "Semoga Tuhan memberkati dan memelihara kita.”

Demikianlah, semenjak itu Tunggal Panaluan memiliki peranan penting dalam setiap upacara adat serta kebudayaan Batak. Apabila dalam suatu huta 'dusun' mengadakan ulaon 'pesta adat', keberadaan panaluan benar-benar diperhitungkan. Mereka meyakini bahwa Tunggal Panaluan dapat memberikan hujan apabila diperlukan, menghentikan hujan yang berkepanjangan, memberi petunjuk tentang hukum dan kekuasaan, serta mencegah niat jahat para pencuri dan perampok. Namun, semenjak agama mulai menyebar ke daerah Batak, keyakinan akan Tunggal Panaluan tergeser oleh keyakinan manusia kepada Sang Pencipta.