Wiyata

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Pengantar Cerita Pendek[sunting]

Tentang Penulis[sunting]

"Wiyata" adalah sebuah cerita pendek yang ditulis oleh Billy Yapananda Samudra, seorang laki-laki biasa yang suka melamun, berkhayal, dan bercerita. Salah satu karya tulisnya adalah "Dipaksa Dewasa", sebuah naskah lakon yang dibukukan dalam suatu buku antologi naskah lakon bertajuk "Bayang(k)an" (2022) oleh Dewan Kesenian Jakarta.

Makna Wiyata sebagai Judul[sunting]

Wiyata memiliki makna "Pengajaran" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam beberapa sumber, Wiyata juga memiliki makna "Pendidikan". Wiyata dipilih sebagai judul cerita pendek ini karena dinilai cocok untuk merepresentasikan pesan yang hendak disampaikan, yaitu mengenai betapa pentingnya pendidikan yang merata bagi anak-anak. Mereka yang terlahir di keluarga mampu maupun mereka yang terlahir di keluarga tidak mampu yang termarginalkan, itu semua tidak mengubah fakta bahwa seharusnya pendidikan yang layak adalah hak bagi semua anak.

Premis[sunting]

Suatu hari di suatu taman, Jenni, seorang anak perempuan yang selalu kesepian karena orang tuanya sibuk bekerja, bertemu dengan Indra, seorang anak jalanan yang sangat ingin bisa bersekolah dan belajar selayaknya anak seumurannya. Keduanya mulai berteman dan melengkapi satu sama lain, Jenni tidak lagi kesepian dan kini Indra dapat belajar dari Jenni dan buku-buku pelajaran yang dipinjamkannya.

Cerita Pendek[sunting]

Awal Pertemuan[sunting]

"Eh, lihat, lihat. Ada yang sudah di taman ini lebih dulu, tuh," ucap salah seorang temanku sambil menunjuk ke arah taman.

Aku dan teman-temanku yang lain refleks melayangkan pandangan kami ke arah yang ditunjuk itu. Ada seorang anak perempuan berambut pendek tengah duduk di bangku taman. Dia masih mengenakan seragam sekolahnya dan juga membawa ransel. Dia tampak menunduk.

"Ngapain, ya, dia sendiri begitu?"

"Siapa, ya, dia? Anak kompleks perumahan sini, kan, tidak ada yang main di taman sini."

"Iya, ya …. Dia siapa, ya?"

Aku dengan cueknya berjalan mendekati anak perempuan itu selagi teman-temanku yang lain masih sibuk berbisik-bisik mempertanyakan kehadirannya. Aku berhenti tepat di depannya. Dia menyadari kehadiranku dan menengadahkan kepalanya. Aku tersenyum.

"Hai! Kamu lagi apa sendirian di sini?" tanyaku ramah.

"... Tadi aku lihat ada kupu-kupu. Aku ikuti kupu-kupu itu sampai ke taman ini. Tapi begitu sampai taman, kupu-kupunya terbang entah ke mana," jawab anak perempuan itu.

"Ooh … begitu."

"Terus karena aku malas pulang, jadi aku duduk-duduk dulu, deh, di sini," tambahnya.

"Malas pulang? Kenapa?" tanyaku, penasaran.

"Orang tuaku sibuk kerja. Nanti malam baru mereka pulang. Teman-teman di sekitar rumahku semuanya sibuk les. Ada yang les matematika, piano, sempoa, kungfu, pokoknya macam-macam, deh. Aku jadi sendirian di rumah. Jadi malas rasanya. Bosan."

"Hm … kalau begitu, kamu ikut main saja sama aku dan teman-temanku. Tuh, yang ngumpul di sana," kataku sambil menunjuk ke arah teman-temanku.

Anak perempuan itu lalu memalingkan mukanya ke arah yang aku tunjuk. Dia baru sadar kalau ternyata ada anak lain selain aku. Matanya tampak berbinar. Tetapi, beberapa saat kemudian raut mukanya berubah, dia terlihat ragu.

"... Boleh aku ikut main sama kalian?" tanyanya pelan.

"Boleh, dong!" jawabku mantap.

"Asy—"

"Tapi aku mau minta tolong sama kamu," lanjutku, memotong ungkapan senangnya.

"Minta tolong? Apa?" tanyanya.

Aku melirik ke arah ransel yang dibawanya. Awalnya aku agak ragu, tetapi aku mantapkan hatiku untuk mengutarakan apa yang ada di kepalaku.

“... Kami ini, kan, tidak ada yang sekolah. Kami penasaran sekolah itu seperti apa. Boleh tidak kalau kamu cerita ke kami soal sekolah? Boleh tidak kami lihat-lihat buku pelajaran kamu?” ujarku.

“Boleh,” jawabnya tanpa berpikir lama.

Aku tersenyum. Ya, aku dan teman-temanku itu memang tidak bersekolah. Kami ini apa yang biasanya orang-orang sebut anak jalanan. Anak-anak kurang beruntung yang terlahir di keluarga kurang atau bahkan tidak mampu dan terpaksa sudah harus turun ke jalanan untuk berusaha keras mencari sedikit pemasukan tambahan.

“Namaku Indra. Nama kamu siapa?” tanyaku sambil mengulurkan tanganku.

“Jennike. Panggil saja Jenni,” jawabnya.

Jenni lalu menyambut uluran tanganku. Kami bersalaman, selayaknya dua orang yang baru berkenalan.

Kamu Beda Dengan Kami[sunting]

Sejak hari itu, Jenni selalu mampir ke taman setelah pulang sekolah. Biasanya kami akan bermain dulu untuk beberapa lama sebelum akhirnya Jenni akan mengeluarkan buku-buku pelajarannya dan mengajari kami. Kami, terutama aku, sangat antusias setiap kali Jenni mulai mengajar. Aku senang sekali karena selama ini aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk belajar seperti ini.

“Terima kasih, ya, Dra! Berkat kamu, aku jadi tidak bosan lagi. Sekarang setiap harinya aku bisa bermain dengan kamu dan yang lain,” ucap Jenni riang.

Saat itu hari sudah menjelang sore dan hanya tersisa aku dan Jenni di taman. Kami sedang duduk di salah satu bangku taman. Teman-teman yang lain sudah bubar. Ada yang harus lanjut bekerja, ada juga yang sudah capek dan mau pulang ke rumah untuk istirahat. Aku sendiri masih asyik membaca buku Ilmu Pengetahuan Alam milik Jenni.

“Justru aku yang harusnya berterima kasih ke kamu, Jen. Selama ini aku selalu ingin sekolah, tapi tidak bisa karena orang tuaku tidak mampu bayar uang sekolah. Berkat kamu, sekarang aku bisa belajar tanpa harus sekolah. Aku bahkan sekarang sudah lancar baca tulis, lho, setelah kamu ajari!”

“Lancar baca tulis? Terus kenapa kalau lancar baca tulis?” terdengar suara anak perempuan.

Aku dan Jenni refleks menoleh ke arah sumber suara. Sari, temanku sesama anak jalanan, tengah berjalan ke arah kami. Raut mukanya terlihat sinis. Dia berhenti tepat di hadapan kami.

“Buat apa, sih, kamu belajar, Dra?” tanyanya.

“Ya … biar tahu banyak hal …,” jawabku.

“Terus apa? Kamu belajar, kamu tahu banyak hal, terus kenapa?”

Jenni terlihat kebingungan, sementara aku mulai merasa kesal. Nada bicara Sari terdengar menyindir, seolah tidak senang melihat aku belajar.

“Maksud kamu apa?” tanyaku.

“Untuk apa kamu belajar? Tidak akan ada yang berubah, Dra. Kamu masih akan tetap seperti ini. Tetap miskin! Tetap setiap harinya kamu masih harus ke jalan untuk bantu orang tuamu cari uang, entah ngemis, mulung, ngamen, atau apapun itu. Tidak akan ada yang berubah, Dra!”

“Apa, sih? Justru aku belajar biar bisa mengubah ini semua! Ayah dan Ibuku tidak ada yang sekolah, makanya mereka tidak bisa apa-apa. Aku tidak mau terus menerus seperti ini, hidup di jalanan. Aku belajar agar aku bisa mengubah ini. Apa salah?” jawabku, suaraku agak meninggi karena tersinggung dan kesal.

“Aku bilang ini sia-sia! Kamu beda dengan dia!” ucap Sari sambil menunjuk Jenni.

“... Beda? Maksud kamu?” Jenni bertanya dengan polosnya.

“Kamu beruntung. Kamu lahir di keluarga mampu. Kamu, tuh, tidak seharusnya ada di sini sama kami!”

“Sari! Apa, sih, mak—”

“Memangnya kenapa kalau aku beda?” Jenni memotong aku yang hendak menegur Sari.

“Kamu, tuh, tidak mengerti rasanya jadi kami ….”

“Lho? Sama, dong. Kamu juga tidak mengerti rasanya jadi aku, kan?”

“Oh, ya, aku tidak mengerti. Aku tidak mengerti seberapa beruntungnya kamu bisa sekolah, bisa belajar sama guru. Main sama teman-teman sekolah atau mungkin belajar bareng. Pulang ke rumah yang memang beneran rumah, yang ada ubinnya bukan beralaskan koran. Setiap harinya dapat uang jajan dari orang tua, bukan justru harus cari uang sendiri. Aku tidak mengerti semua itu,” jawab Sari panjang lebar, jelas sekali dia menyindir Jenni.

“Tapi, kamu tidak mengerti kalau aku ini kesepian,” jawab Jenni.

Sari terdiam. Begitu juga dengan aku.

“Kamu tahu? Aku ini anak tunggal, aku tidak punya kakak atau adik. Teman-teman di sekitar rumahku semuanya sibuk les. Teman-teman sekolahku juga sama. Kami main, ya, hanya saat di sekolah saja. Orang tuaku memang memberiku uang jajan, tetapi untuk apa kalau mereka saja tidak pernah mengobrol denganku? Orang tuaku sibuk kerja, berangkat sebelum aku bangun dan pulang setelah aku tidur. Uang jajan itu hanya ditaruh di atas meja tamu. Kamu mengerti itu semua? Mengerti seberapa bosannya aku? Seberapa kesepiannya aku?” lanjut Jenni, suaranya semakin lama semakin pelan dan raut mukanya semakin sedih.

“Tapi—”

“Justru aku iri dengan kalian. Kalian mungkin tidak sekolah, kalian mungkin harus ke jalan untuk cari uang. Tapi, setidaknya kalian tidak pernah sendirian. Kalian selalu punya teman untuk bermain bersama …,” lanjut Jenni lagi, memotong Sari yang baru saja mau membalas ucapannya.

Sari terdiam sejenak. Dia lalu menghempaskan dirinya ke bangku taman dan duduk di samping Jenni.

“Lucu. Kami yang seharusnya iri dengan kamu,” ucapnya, tanpa menoleh ke arah Jenni.

Aku terdiam, tidak tahu harus mengatakan atau melakukan apa. Jenni juga hanya terdiam. Sari lalu memalingkan mukanya dan menatap kami berdua, tatapannya tampak sedih.

“... Aku juga ingin sekolah, ingin belajar. Tapi, di satu sisi, kalau aku belajar dari kamu atau buku-bukumu itu seperti Indra, apa jaminannya aku akan bisa keluar dari kehidupan jalanan ini? Aku selalu dengar omongan dari abang-abang pengangguran yang setiap harinya hanya nongkrong dan bengong, tentang betapa menyesalnya mereka tidak melanjutkan sekolah. Tentang betapa sulitnya mencari pekerjaan yang layak jika hanya punya ijazah SD atau SMP. Lalu bagaimana dengan kami yang bahkan tidak punya ijazah sama sekali?” ucap Sari panjang lebar, suaranya terdengar lirih.

“Kami tidak punya tempat di negara ini, kecuali di jalanan …,” lanjut Sari.

Aku dan Jenni terdiam. Sari menatap kami lekat. Perlahan, air matanya menetes.

Kabar Gembira[sunting]

Setelah kejadian di sore itu, Jenni tidak lagi mampir ke taman. Teman-teman yang lain terus menanyakan tentang hal itu kepadaku dan, tentu saja, aku pun tidak dapat menjawabnya. Aku pun tidak tahu mengapa Jenni tidak main ke taman lagi. Apa mungkin karena omongan Sari? Atau sekarang dia sudah ada teman main di sekitar rumahnya? Entahlah. Aku sedang duduk di bangku taman sendirian dan melamun ketika tiba-tiba aku mendengar suara Jenni di sore itu.

“Lho? Kamu sendiri saja, Dra?” tanyanya.

Aku menoleh. Dia sudah duduk di sampingku. Dia masih mengenakan seragam sekolah tetapi sudah tidak membawa ranselnya. Mungkin sudah sempat pulang ke rumah sebelum ke taman ini.

“Jenni? Seminggu ini kenapa kamu tidak mampir? Teman-teman pada sedih, lho. Mereka pikir kamu sudah tidak akan mau bermain sama mereka lagi.”

“Ehehe. Maaf, deh, ya. Tapi, aku ada kabar gembira buat kamu, lho, Dra.”

“Kabar gembira?” tanyaku, bingung.

“Ayahku mau membiayai kamu dan Sari sekolah,” ucap Jenni mantap.

“Hah?!” aku tidak dapat menyembunyikan kekagetanku.

“Jadi, seminggu ini aku berusaha keras membujuk Ayahku. Aku jadi anak rajin, bantu pekerjaan rumah dan dapat nilai bagus di ujian kemarin. Akhirnya Ayahku luluh juga. Ibu juga kasihan lihat aku sering sendirian. Jadi mereka sepakat mau biayai kamu dan Sari, dengan catatan kita bertiga harus sekolah yang benar dan tidak keasyikan main,” jelas Jenni.

“Wah, terima kasih, ya, Jen! Sari juga pasti senang dengar kabar ini!”

Saking senangnya, aku refleks memeluk Jenni. Jenni hanya tersenyum dan membiarkanku.

“Tapi, kamu jangan kasih tahu Sari dulu, ya, Dra. Aku mau aku yang kabari hal ini langsung ke dia.”

Aku melepaskan pelukanku dan mengangguk untuk menjawabnya. Jenni lalu memalingkan mukanya dan menatap langit. Tidak tahu harus melakukan apa, aku mengikutinya menatap langit.

“Dra, harusnya aku yang berterima kasih ke kamu. Berkat aku bertemu dengan kamu, Sari, dan yang lain, sekarang aku tahu aku ingin jadi apa,” ucap Jenni, masih menatap langit.

“Jadi apa?” tanyaku.

“Guru. Aku ingin jadi guru. Aku tidak mau ada anak seperti Sari di luar sana, yang ingin sekolah tapi tidak bisa. Aku ingin jadi guru yang tidak hanya mengajar di sekolah, tapi juga mengajar anak-anak jalanan seperti kalian ini.”

“... Aku belum tahu mau jadi apa, sih. Tapi, aku yakin kalau nanti aku sudah sukses, aku tidak akan lupa tentang asalku ini. Aku juga mau membantu anak-anak jalanan lainnya.”
Jenni berhenti menatap langit, dia memalingkan mukanya dan kini menatapku dengan tatapan yang hangat. Dia tersenyum lembut.

“Kita akan belajar yang rajin, jadi orang sukses, dan membantu anak-anak jalanan untuk bisa belajar,” ucapnya.

“Ya,” jawabku sambil mengangguk.

“Dan sampai saat itu terjadi, kita masih akan tetap berteman. Janji?”

Jenni menyodorkan jari kelingkingnya ke hadapanku. Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya aku kaitkan jari kelingkingku ke jari kelingkingnya.

“Janji,” jawabku tanpa ragu.

Langit memerah tanda hari sudah semakin sore. Di taman kecil yang bersembunyi di tengah kompleks perumahan yang padat, aku dan Jenni duduk di bangku taman dan saling berjanji. Kami saling menatap dan tersenyum.

Hari itu adalah hari yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.

TAMAT