Electric-Man/5
Electric-Man Lahirnya The Crime Buster Oleh: B. Marada Hutagalung |
Daftar isi:
|
|
Sunting daftar isi |
“Aku..., aku...sulit untuk melupakan kebaikanmu padaku...”, jawabnya agak terpatah-terpatah. “Aku tidak tahu harus bagaimana lagi untuk membalas kebaikanmu...”, sambungnya dengan mata berair, Christine merasa berutang budi terhadap Mario.
“Ah..., aku menolongmu bukan karena dilatarbelakangi oleh pamrih. Tapi aku menolongmu karena memang patut untuk ditolong...”, sambung Mario merasa tidak ingin penghargaan yang berlebihan.
Tanpa diduga Mario, Christine mendekat dan memeluk Mario dan menyandarkan kepalanya ke dada Mario dengan mata berair.
Jantung Mario berdebar-debar merasakan dekapan Christine. Apalagi Mario merasa baru pertama kali ia dipeluk gadis secantik Christine. Mario tidak mau kalah, ia malah menyambut pelukannya dengan membelai rambut Christine yang panjang dan anggun. Lalu kedua tangan Mario memegang kepala Christine dan mengusap air mata Christine.
“Adik Chris..., kamu tidak perlu berlebihan seperti ini. Kamu tidak perlu khawatir bagaimana cara kamu membalas perbuatanmu. Kamu bilang terima kasih aja aku sudah senang. Kalau kamu tidak dapat membalas, ‘kan ada Tuhan yang membalas...”, Mario menghibur Christine sembari memandang wajah Christine dengan seyuman
“Terima kasih..., bang”, Balasnya kepada Mario dan dia mencoba untuk menjinjit kakinya serta mencium bibir Mario.
Mario kelabakan atas perbuatan Christine, tapi ia malah membiarkannya dan anehnya malah disambut baik oleh Mario. Kegiatan tersebut agak berlangsung lama.
Mario melepaskan ciuman Christine dan memegang pundaknya dan berkata : “Pulanglah, ayahmu sudah lama menunggu di mobil!”
“Iya...bang, aku akan mengenangmu selama hidupku...”, jawabnya dengan lembut dan mulai melangkahkan kakinya menuju kijang.
Christine pun menjauh dari Mario, kini dia sudah di dalam Mobil yang beberapa menit kemudian melaju menelusuri jalan utama. Christine pun menghayal.
“Mario..., sejak dari awal aku sudah tertarik dan jatuh cinta padamu...tapi...”, Ujarnya dalam hati, sebenarnya dia ingin menyatakan isi hatinya tapi dia tidak bisa melakukannya karena dia masih terikat dengan Kekasihnya yang bernama Rogan.
Jam Mario menunjukkan 11.20 WIB, namun masih berjalan menelusuri jalan raya sambil melihat-lihat toko yang masih buka. Tempat itu sunyi tak satu pun toko yang buka.
“Bah, tak ada satu pun yang buka”, ucapnya dalam hati sambil melihat-lihat kembali. “Hei..., apa itu...”, langkahnya terhenti ketika ia melihat sebuah rumah dengan di atasnya terpasang sebuah patung kayu mengenakan pakaian karet.
Ia melihat tulisan di bawah patung tersebut. Tulisan itu terpampang pada sebuah papan yang berisi : E–MAN (ELECTRIC–MAN); dan di bawahnya lagi pada sebuah papan pamplet tertulis : AHLI/TUKANG INSTALASI LISTRIK. Akhirnya Mario mengerti bahwa Electric-Man itu bukan Manusia Listrik, tapi Ahli/Tukang Instalasi Listrik yang seharusnya ditulis Expert of Electric Instalation. Mario berpikir mungkin itu dibuat supaya keren dilihat dan dibaca orang meski sebenarnya bukan itu yang maksudnya.
“Hehehe, ada-ada aja orang sekarang ya....”, tertawa setelah membaca tulisan tersebut.
Tanpa pikir panjang, Mario melihat sekelilingnya apa kira-kira ada orang. Setelah merasa aman dia langsung melompat ke atap lalu mendekati patung tersebut. Ia tarik patung tersebut dengan hati-hati agar tidak merusak papan pamplet sekaligus tidak mengganggu tidur orang yang punya rumah dan juga orang di sekitarnya. Patung pun dapat ditarik dan dipegang lalu mendarat ke halaman rumah. Kemudian ia meletakan patung itu sementara, lalu ia mengambil pulpen dan secarik kertas dari tasnya.
Ia menulis surat dengan isi :
Sipoholon, .... Juni 2007
Kepada Yth. :
Pimpinan Usaha E-Man
(Ahli/Tukang Instalasi Listrik)
Di Tempat.
Salam sejahtera,
Mohon maaf kepada Bapak, karena saya telah mengambil patung Bapak tanpa permisi atau izin dari Bapak. Saya sangat menginginkan kostum patung itu demi misi menumpas kejahatan. Saya tidak tahu berapa harganya, tapi meski demikian saya akan ganti dengan materi yang bisa saya berikan. Mohon maaf kepada Bapak jika materi itu tidak sesuai dengan harganya.
Kiranya Bapak dapat memaklumi saya, sebelum dan sesudahnya saya mengucapkan terima kasih.
Mario selesai menulis, kemudian ia merogoh kantongnya untuk mengambil uang seberas seratus lima puluh ribu rupiah dan menyelipkannya dalam lipatan surat tersebut. Lalu Mario memasukkan surat itu ke bawah pintu depan rumah tersebut.
Setelah Mario memasukkan surat, ia bergegas mengambil pantung dan siap untuk terbang. Sebelum ia mengudara ia kepergok beberapa orang dan berteriak.
“Maling...! Maling...”, teriak salah seorang dengan berlari mendekati Mario.
“Maling...! Tangkap...”.
Melihat situasi tidak aman Mario langsung terbang ke langit dan terus lurus ke langit agar orang tersebut tidak bisa menangkapnya. Akibat dari teriakan tersebut seketika orang-orang terbangun dan ke luar dari rumah menuju jalan sampai orang berhamburan.
“Mana malingnya...”, tanya pak tua.
“Udah pada kabur...”, jawab saksi.
“Ke mana kabur...”, sambung Bapak Kepala Desa yang baru saja ke luar dari rumah.
“Ke langit...”, jawab saksi berikutnya sambil menunjuk ke langit.
“Ke langit...”, semua orang serentak terkejut.
“Maksud anda, dia terbang...”, tanya Bapak Kepala Desa semakin penasaran.
“Jangan ngaco...”, seru seseorang dari belakang karena tidak yakin dengan penjelasan mereka.
“Maling apaan bisa terbang...”, sambung warga yang lain.
“Sumpah, pak...! Kami ada lima orang melihatnya”, saksi berusaha meyakinkan Bapak Kepala Desa.
“Iya pak, dia bawa patung dari atap rumah pak Anto”, sambung saksi lain meyakinkan dengan menunjuk rumah pak Anto.
“Patung...”, seorang bapak-bapak yang tidak terlalu tua terperanjat mendengar penjelasan saksi tersebut. Dia langsung ke halaman rumahnya.
“Ha..., patungku diambil...”, spontan terkejut setelah melihat patungnya tidak ada di situ.
Akhirnya semua orang percaya : “Tapi maling yang koq bisa terbang...”, tanya Pak Anto keheranan.
“Kalian masih ingat dengan wajahnya...”, tanya Bapak Kepala Desa kepada saksi-saksi tersebut.
“Kami tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena suasana lokasi ini sangat gelap...”, jawab si saksi dengan penjelasannya.
“Hmm..., pak Anto! Ngomong-ngomong berapa harga patungmu itu ditempah...”, Bapak Kepala Desa bertanya kepada Pak Anto.
“Sembilan puluh ribu rupiah pak, itu pun diskon...”, jawab Pak Anto dengan sedih.
“Pak...! Pak..., ada surat saya temukan di pintu rumah kita...”, istrinya berseru sambil menunjukkan sebuah surat dan memberikannya kepada Pak Anto.
Pak Anto membuka surat tanpa amplop itu dan dibacanya dengan keras. Bapak Kepala Desa pun mencoba mendekatinya untuk melihat surat itu.
“E-Man...? Dia meniru nama usaha Bapak...”, seru saksi.
“Misi Menumpas Kejahatan...? Wow...! Jangan-jangan itu hanya akal-akalan aja...”, sambung yang lain dengan berteriak.