Air dan Lingkungan Sekitarnya

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis[sunting]

Air terpaksa pulang sekolah 2 jam lebih awal dikarenakan, para guru ada rapat mendadak. Sebagai gantinya para guru memberikan sebuah tugas kepada Air dan para murid lainnya, tugas tersebut harus dikumpulkan besok. Sepulang sekolah Air yang dibantu oleh Ibunya langsung mengerjakan tugas tersebut.

Lakon[sunting]

  1. Air
  2. Ibunya

Lokasi[sunting]

  1. Jalanan kota
  2. Rumah
  3. Dapur
  4. Ruang tamu
  5. Meja makan
  6. Sekitaran komplek.

Cerita Pendek[sunting]

Jalan kaki menuju Rumah[sunting]

Tengah hari saat ini, langit tampak cerah menyilaukan mata. Hiruk pikuk kota yang sangat padat terasa tak nyaman dan menyesakkan. Paparan sinar matahari menyebabkan kulit terasa gerah. Setiap saat, setiap waktu, klakson terdengar bising, tak mengenakkan telinga. Transportasi umum, motor, dan mobil hilir mudik di jalanan. Asap pembakarannya mengepul. Menyebabkan polusi di udara. Meskipun, beberapa orang sudah mengenakan masker. Asap polusi tetap tak dapat dihindarkan, terutama bagi semua kalangan pejalan kaki di trotoar. Karena asap polusi mereka jadi terbatuk-batuk kering, silih bergantian.

Di antara keramaian pejalan kaki tersebut, ada seorang anak perempuan yang tingginya sekitar 150 cm, matanya terlihat belo, dan rambutnya terkepang dua. Umurnya genap 10 tahun. Situasinya kasihan sekali sekarang. Ia terlihat lemas tak bertenaga. Karena tidak mengenakan masker, mulutnya jadi terlihat, kering. Botol minum ungu yang menggantung di ranselnya pun tak ada airnya, habis. Begitu pula, dengan uang jajannya. jadi ia tak dapat beli minum. Beberapa kali tangannya mengusap kening yang basah, keringatan. Ia sedang menuju perjalanan pulang ke rumah. Jarak antara rumah dan sekolah sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya sekitaran 1 km saja. Biasanya, ia selalu dijemput oleh ibunya dengan kendaraan motor. Dikarenakan guru-guru ada rapat. Ia dan para murid lainnya harus pulang 2 jam lebih awal.

Jangan Panggil Air![sunting]

20 menit sudah berlalu di perjalanan. Akhirnya, ia sampai di depan rumah. Ia terduduk di teras rumah, melepas sepatu dan kaos kakinya. Setelah di lepaskan, ia beranjak berdiri, kemudian menyimpan sepatunya di rak, yang ada di samping pintu masuk rumah.

“Aku pulang, Bun” ucapnya sembari membuka pintu, lemas. Nafasnya masih tersengal, capek. Ibunya yang mendengar suara putrinya di dapur berbisik pelan sembari memasukkan beberapa bahan masakan ke wajan. “Syukurlah Air sudah pulang...”

“Air” adalah nama panggilan untuk putrinya. Nama aslinya adalah Airen.

Ibunya menyudahi sejenak kegiatan di dapur; mematikan kompor, mencuci tangan, lalu menyimpan pisau yang tergeletak. Ibunya bergegas ke sumber suara, menuju putrinya.

Di ruang tamu Air langsung melemparkan tasnya ke sembarang tempat. Setelah itu, ia langsung merebahkan diri ke sofa, dengan kondisi masih berseragam.

Ibunya datang menghampiri. “Ya Tuhan! Air kamu lemas sekali...” ucap ibunya sembari menutup mulut, kaget. Air hanya menjawab singkat sembari menatap langit-langit rumah. “Bun, Air haus...”

“Tunggu sebentar... ibun bawakan air minum dulu ya...” dengan sigap Ibunya segera mengambilkan minum untuk putrinya. “nih minum airnya Air” ucap ibunya sembari menyodorkan segelas air.

Air langsung beranjak dari rebahannya, mengambil gelas, lalu meneguknya. Terasa segar di tenggorokannya. Air mengusap mulut yang basah karena minum tadi. Seketika ekspresinya berubah, Air memelototi Ibunya sembari mengembungkan pipi, sebal. Lalu, berucap protes.

“bun bisa gak kalo lagi ngasih minum panggilnya ‘Iren’ aja. Jangan ‘Air’, kebiasaan deh...aneh tau!”

“Emangnya kenapa? Menurut Ibun gak aneh kok”

“Ya aneh lah bun, masa Ibun ngasih minum terus bilang; ‘nih Air minum airnya’. Masa Air minum air sih...kan aneh!” ucap Air sembari menirukan ucapan Ibunya barusan.

Ibunya tidak menanggapi, hanya tersenyum melihat ekspresi putrinya, gemas. Lalu, mengelus puncak kepalanya dan meminta maaf. “Air maafin Ibun ya, padahal Ibun udah tau di grup kelas kalo kamu dan para murid lainnya pulang awal hari ini” ucap Ibunya mengalihkan topik pembicaraan.

Air mengangguk. “Iya Bun, gak apa-apa. Air juga ngerti kok... Ibun pasti sibuk ngurusin tugas-tugas rumah kan?” ucapnya sembari menyimpan gelas yang baru saja ia minum, ke meja kaca di depannya.

“Iya kamu benar... Saking banyaknya tugas rumah. Ibun jadi kalut dan lupa kalo kamu harus dijemput”

“Yaudah Bun, gak apa-apa”

Air mencium bau amis saat Ibunya mengelus kepalanya. “Ibun lagi masak tadi?”

“Iya, emangnya kenapa Air?”

“Tangan Ibun bau amis”

Ibu Air menempelkan tangannya ke hidung, mencium bau tangannya. “Ehhh... Kamu benar Air, padahal tadi udah cuci tangan kok”

“Ya, mungkin Ibun cuci tangannya kurang bersih”

Ibu Air beranjak dari tempatnya, menuju ke dapur. “Yaudah... Ibun mau lanjutin masak aja ke dapur” ucap Ibunya.

“Iya Bun, dah...” ucapnya sembari melambaikan tangan.

Saat selangkah lagi menuju dapur. Ibu Air tiba-tiba membalikkan badannya dan berucap. “Oh iya Air, kamu Mandi dulu sana... soalnya kamu juga bau”

“Lho... Emangnya bau apa?” ucapnya sembari mengendus-ngendus badannya.

“bau matahari!” pekik Ibunya sembari tertawa dan mempercepat langkah kakinya menuju dapur.

“Ihhh... Ibun jahat!” ucapnya sebal.

Ada Tugas Sekolah[sunting]

15 menit sudah berlalu. Air menuruni anak tangga menuju Ibunya, dalam keadaan sudah mandi. Ia terlihat segar, rapih, dan cantik, rambutnya yang lurus terurai, terlihat masih basah. Saat dari anak tangga, Air melihat berbagai macam lauk-pauk di meja makan seperti; tumis buncis, tahu, tempe, dan ikan goreng. Air juga melihat Ibunya yang sedang menyiapkan; piring, sendok, garpu, dan gelas di meja makan.

“Bun...” Air menyapa.

Ibunya yang sedang menaruh piring di meja makan menengok ke arah Air. “Nah... Gitu mandi, jadi kelihatan cantiknya kan” ucap Ibunya.

“Hmm, jadi selama ini Air gak cantik gitu” ucap Air sembari menyilangkan tangan dengan wajah yang cemberut, sebal.

“Bukan begitu maksud Ibun, Air cantik kok Setiap harinya. Apalagi kalo selesai mandi, jadi tambah cantiknya. Mirip bidadari kecil, menyejukkan untuk di pandang” ucap Ibunya tersenyum sembari menatap wajah Air sebentar.

“bo-bo-bo-hong..., Ibun bohong...  emang pernah Ibun liat bidadari?” ucapnya sebal. Tapi wajahnya memerah, tersipu.

“Udah-udah, duduk dan makan aja sini” Titah Ibunya menghiraukan perkataan Air tadi. Sembari menunjuk tempat duduk.

“Ibun, gak makan sekarang?” ucap Air

“Kamu aja duluan Air. Ibun nanti aja, mau bersihin dulu peralatan masak” jelas Ibunya

“Oh oke... Kalo gitu Air duluan makan ya Bun”

“Iya, awas jangan lupa berdoa!”

“Baik, Ibun”

Air terduduk di kursi meja makan. Mengambil; piring, sendok, garpu, nasi, dan berbagai macam lauk-pauk yang ada di depannya. Sebelum makan Air berdoa terlebih dahulu.

“Oh iya Bun... Air tadi dikasih tugas” ucap Air dengan suara yang kurang jelas karena sembari mengunyah makanan.

“Air! kalo makan jangan sambil bicara ya, nanti tersedak” ucap Ibunya, menegur.

Air menuruti teguran Ibunya. Ia mencoba menghabiskan makanannya terlebih dahulu. Selang 10 menit, Makanan di piring Air pun habis tak tersisa. Ia segera membawa gelas untuk minum.

Air meneruskan ucapannya yang tadi. “Bun, Air dikasih tugas sekolah tadi. Tugasnya itu disuruh mengamati dan mempelajari keadaan alam atau lingkungan di sekitaran rumah kita. Terus nanti buatin catatan di buku” jelas Air

“Tugasnya kapan dikumpulin?” tanya Ibunya sembari membersihkan wajan.

“Besok”

“Besok?, Gak salah denger nih Ibun?” Tanya Ibunya sedikit kaget.

“Gak kok bun, Tugasnya emang bener harus dikumpulin besok. Seharusnya, di sekolah tadi pelajaran terakhir itu IPA. Tapi, karena ada rapat. Guru akhirnya ngasih tugas aja ke kita” jelas Air.

“Ya udah nanti sore aja kita ngerjainnya, ya...” ucap Ibunya.

“Oke Bun...” ucap Air sembari mengacungkan jempolnya.

Mengamati dan mempelajari Lingkungan Sekitar[sunting]

Ibu Air melihat jam tangannya, waktu menunjukkan pukul 16.20. Mereka berada di luar rumah sekarang, lebih tepatnya di sekitaran kompleknya. Karena sekumpulan awan telah menghalangi masuknya sinar matahari. Langit sore jadi tak secerah siang tadi. Sore hari jadi terasa nyaman dan tentram.

Mereka terus berjalan kaki mengamati lingkungan sekitar. Air dan Ibunya kompak mengenakan pakaian kasual. Ibunya membawa tas selempang kecil yang berisi; dompet, buku, dan alat tulis. Meskipun, umur Ibunya sudah menginjak 37 tahun. Pakaian kasual masih terlihat cocok dipakainya. Apalagi Air, Ia terlihat cantik dan Menggemaskan.

Air menghentikan langkah kakinya sejenak. Lalu, mengambil buku dan mencatat keadaan sekitar. Ia bertanya kepada ibunya sembari menunjuk rumah di dekatnya. “Bun, dari tadi Air perhatiin. Kok rumah zaman sekarang banyak yang desain bangunannya didominasi oleh kaca? Bukannya berbahaya? Terus bakalan menyebabkan efek rumah kaca juga kan?”

Ibunya ikut menghentikan langkahnya. Lalu menggelengkan kepalanya. “Efek Rumah Kaca sama Rumah yang banyak kacanya tidak ada hubungannya Air” ucap Ibunya.

“Bukannya sama aja ya?”

Ibunya menepuk jidat. “Astaga Air! Jelas bedalah. Efek Rumah Kaca hanya perumpamaan saja”

“Perumpamaan? Maksudnya apa Bun?” tanya Air kebingungan.

Air dan Ibunya kembali berjalan. Meninggalkan rumah tersebut.

Ibunya Air berpikir sejenak, sembari mengingat sesuatu. “Hmm...”

Ibunya menjentikkan jari. Tanda telah mengingat sesuatu. “Oh... jadi gini, kamu masih ingat gak? Waktu kamu masih berumur 7 tahun, kita sekeluarga pergi ke toko tanaman hias”

“Ya iyalah pasti ingat, apalagi pas dimarahin pemilik tokonya.” Ucapnya sebal sembari mengembungkan pipinya.

Ibunya tertawa kecil, ketika mengingat kembali kejadian saat itu dan sedikit menceramahi nya lagi. “Makanya, lain kali kalo lagi di toko jangan banyak tingkahnya”

“Bukan banyak tingkahnya, itu hanya ketidaksengajaan aja Ibun...” ucapnya dengan nada sebal.

“Iya udah-udah... kita kembali ke topik efek rumah kaca tadi. Kamu sadar gak waktu kita ke toko tanaman hias dulu, toko itu juga dibangun dengan interior kaca di bagian dinding dan atapnya. Bahkan bisa di bilang semua ruangannya berbahan kaca” ucap Ibunya.

Air mengingat-ingat sebentar. “Oh iya juga Bun, Air baru ingat” ucapnya sedikit kaget.

“Nah... Asal kamu tau aja ya. Dengan adanya Rumah Kaca, tanaman di dalamnya akan menerima panas matahari yang cukup serta terlindung dari hama penyakit. Saat malam hari suhu ruangan di dalam Rumah Kaca akan tetap optimal dan tak mendingin. Kenapa demikian?  Karena, di dalam Rumah Kaca terdapat suatu peristiwa di mana panas matahari yang masuk saat siang hari, sebagiannya akan terperangkap di dalam Rumah kaca. Nantinya, Rumah Kaca akan melepaskan sebagian panas matahari tadi saat malam hari. Nah.. peristiwa itulah yang membuat suhu di ruangan tidak menjadi dingin. Dengan adanya peristiwa itu, keberlangsungan hidup tanaman juga lebih terjaga.” Jelas ibunya.

Sembari berjalan Air mendengar dan mencatat sebagian penjelasan-penjelasan dari Ibunya di buku. “Oh gitu ya Bun, Air mulai paham. Intinya, Rumah Kaca itu tidak sebahaya seperti yang Air tadi pikirkan. Sebaliknya, malah bermanfaat bagi kelangsungan hidup tanaman kan Bun?” ucapnya.

“Iya benar, itu Maksud dari Rumah Kaca”

“Apa? Jadi itu bukan maksud dari Efek Rumah Kaca.” Ucap Air sedikit kecewa.

“Nah... kalo maksud dari Efek Rumah Kaca sebenarnya, hanyalah perumpamaan/istilah yang diberikan pada planet kita ini. Kenapa disebut Efek Rumah Kaca? Karena Bumi kita ini memiliki fenomena yang mirip seperti Rumah kaca tadi. Di atmosfer Bumi ada berbagai macam gas yang menumpuk contohnya seperti Nitrogen, Oksigen, dan Karbondioksida. Gas-gas tersebut fungsinya sama seperti “Rumah kaca” yaitu memerangkap sebagian panas matahari, supaya pada malam hari suhu di bumi tetap stabil dan tidak menjadi dingin.” Jelas Ibunya.

“Oh... berarti Efek Rumah Kaca itu penting ya Bun! Tapi, akhir-akhir ini Air dengar dari orang-orang sekitar Efek Rumah Kaca itu bahaya, lantas bahayanya dari mana?”

“Ya, Efek Rumah Kaca memang amat sangat penting bagi seluruh makhluk hidup di bumi. Tapi, yang jadi masalahnya adalah Zaman sekarang ini. Karena banyaknya polusi di udara, yang disebabkan oleh aktivitas manusia seperti; asap hasil kendaraan, asap hasil pabrik, dan pembakaran hutan. Membuat konsentrasi gas-gas penyokong Efek Rumah Kaca jadi tidak terkendali, terkhususnya pada gas karbondioksida dan metana, kedua gas tersebut kadarnya jadi semakin meningkat karena polusi. Hal ini dapat mengundang terjadinya pemanasan global atau meningkatnya suhu bumi secara ekstrem.” Jelas Ibunya.

“Ihh... Air jadi merinding. Pantesan siang tadi Air merasa sangat panas dan sesak saat jalan kaki menuju rumah” ucapnya.

“Oleh karena itu Air, jika kita tak ingin pemanasan global terjadi. Kita harus menanggulanginya dengan salah satu cara seperti menghemat listrik, beralih ke bahan bakar yang ramah lingkungan, dan penanaman pohon.”

“Kok, menghemat listrik sih Bun? Bukannya listrik itu sudah ramah lingkungan ya?”

“Yang kamu tau, pasti listrik dunia asalnya dari PLTA semua kan?”

Air mengangguk, tanda membenarkan tebakan Ibunya.

“kalo kamu pikir sumber listrik di dunia itu hasilnya dari PLTA semua, kamu keliru Air. Sebenarnya, sumber listrik utama dunia itu berasal dari energi bumi(Fosil).”

“Sama seperti mobil dan motor dong?” tanya Air tampak kaget setelah mendengar pernyataan ibunya.

Ibunya mengangguk. Membenarkan tebakannya.

Ibu Air melihat jam tangannya, waktu menunjukkan pukul 17.05. Ia pun segera mengajak putrinya pulang ke rumah.

Menyelesaikan Tugas[sunting]

Mereka tiba di rumah pukul 17.11. Air langsung terduduk di sofa, melanjutkan menulis.

“Giimana? Udah selesai mencatatnya? Perlu bantuan gak?” tanya Ibunya.

“Gak usah Bun”

“Baiklah kalo begitu, Ibun mau ke kamar dulu ganti baju”

Air tak menjawab ia masih fokus menulis.

Dapat Nilai A[sunting]

Pukul 14.00 Air pulang sekolah. Ia melihat Ibunya terduduk di motor, ia langsung bergegas menghampirinya.

“Bun, Air dapat nilai A untuk tugas kemarin” ucapnya, bangga.

“Wahh! Hebat sekali... putri Ibun” ucap Ibunya sembari mengajak tos.

Air tersenyum, mendengar pujian dari Ibunya.

Ibunya kembali berucap “Baiklah, karena kamu dapat nilai bagus. Ibun bakal beliin kamu es krim”

Air meloncat-locat riang, “Horee!” ucapnya.

TAMAT