Aku, Kikin, dan Kalung Sebelik Sumpah

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis[sunting]

Aku, Kikin, dan Kalung Sebelik Sumpah adalah cerpen anak karya Ika Y. Suryadi yang mengisahkan tentang Elina yang tidak menyukai temannya, Kikin. Namun, suatu hari keduanya terlibat dalam pencarian kalung yang membuat mereka kembali berteman.

Lakon[sunting]

Aku (Elina)

Kikin

Cici

Dila

Edi

Objek[sunting]

Kalung Sebelik Sumpah

Cerita Pendek[sunting]

Kalung Sebelik Sumpah

Kalung Orang Rimba[sunting]

Kikin sepertinya sangat gembira memiliki benda itu. Ia berkeliling kelas, dengan sebuah kalung di lehernya. Kalung itu dirangkai dari biji-bijian berwarna kecokelatan. Terlihat tua dan tradisional. Sangat berbeda dari kalung-kalung mengilap yang pernah kulihat di toko. Meski yang mengilap itu cantik, tapi kalung Kikin terlihat sangatlah menarik.

“Itu kalung apa, Kin?” tanya Edi, tampak penasaran.

"Ini kalung Sebelik Sumpah,” sahut Kikin dengan senyum di pipinya. “Ini asli dari Sumatera. Ayahku yang membawanya sebagai oleh-oleh untukku."

“Sebelik Sumpah?” tanya Edi lagi, diikuti teman-teman yang lain.

Kikin mengangguk. “Iya. Sebelik Sumpah artinya sumpah yang berbalik. Kalung ini adalah kerajinan tangan khas Orang Rimba. Mereka percaya kalau memakai kalung ini bisa menangkis sumpah buruk dari orang-orang yang berniat jahat. Bahkan sumpahnya bisa berbalik ke orang yang menyumpahi.”

“Wah, kereen!”

“Iya, ya! Bentuknya juga unik!”

“Betulan bisa menolak sumpah, ya?”

Begitulah pertanyaan teman-teman kepada Kikin. Seperti biasa, Kikin selalu bisa menarik perhatian semua orang. Kalau punya sesuatu yang bagus, Kikin akan memanggil kami untuk menunjukkannya. Namun, bagiku Kikin justru anak yang suka pamer dan pemarah.

Dulu, saat awal masuk sekolah, aku dan Kikin pernah bertengkar karena rebutan tempat duduk. Kami juga pernah berselisih gara-gara penggaris. Saat itu, Bu Guru meminta kami menggambar. Karena penggarisku ketinggalan, aku pun meminjam penggaris yang ada di meja Dila. Tak lama kemudian, Kikin datang dan langsung mengambil penggaris itu.

“Kalau mau pinjam bilang, dong!” bentak Kikin, lalu pergi.

Aku langsung kaget. Aku kan tidak tahu kalau penggaris itu punya Kikin!

Sejak itu, aku dan Kikin tidak pernah bertegur sapa. Aku tidak mau dekat-dekat Kikin. Makanya, ketika hari ini Kikin memamerkan kalungnya, aku hanya melihat dari tempat dudukku saja.

“Tadi kamu bilang kalung ini kerajinan Orang Rimba. Orang Rimba itu apa?” tanya Cici, yang rambutnya paling tebal di kelas.

Kikin menjawab, “Orang Rimba itu sebutan untuk masyarakat yang tinggal di kawasan hutan di Bukit Dua Belas, Provinsi Jambi.”

Semua mengangguk-angguk.

Kata Kikin lagi, Orang Rimba adalah salah satu suku di Indonesia yang hidupnya bergantung pada hutan. Mereka biasanya tinggal di hutan dataran rendah di pulau Sumatera, terutama di Jambi dan Sumatera Selatan. Ada banyak kisah mengenai asal-usul Orang Rimba. Salah satunya, diceritakan kalau Orang Rimba berasal dari sebuah kerajaan. Suatu hari, Raja memerintahkan orang-orangnya untuk melakukan tugas. Tapi, di perjalanan mereka tersesat di hutan dan memilih tidak pulang. Itu mereka lakukan karena malu kepada Raja. Jadilah mereka menetap dan hidup di hutan.

Akan tetapi, di kalangan Orang Rimba juga ada legendanya. Orang Rimba percaya kalau leluhur mereka adalah si Bujang yang datang dari negeri yang jauh. Konon saat sedang membuka lahan di hutan, si Bujang menemukan sebuah kelumpang. Ia lalu membawa buah itu pulang. Sejak saat itu, si Bujang selalu mendapati makanan tersaji di rumahnya. Karena curiga, si Bujang pun menyelidiki siapa yang sudah memasak makanan untuknya. Ia sengaja pulang ke rumahnya lebih awal dan menemukan seorang putri yang sangat cantik. Rupanya, putri itu berasal dari buah kelumpang yang Bujang bawa. Si Bujang lalu menikahi putri itu. Keduanya lantas melahirkan banyak keturunan yang akhirnya menjadi asal Orang Rimba.

“Orang Rimba itu suku kubu, kan?” tanya Dila, begitu Kikin selesai bercerita.

Kikin menggeleng. “Sssh, mereka tidak suka dipanggil suku kubu.”

“Kenapa?”

“Kata ayahku, kata kubu dulunya berarti kelompok atau benteng pertahanan. Tapi sekarang maknanya sudah berubah jadi jelek. Kesannya, kubu berarti bodoh, kotor, atau liar. Nah, mereka tidak suka disebut seperti itu. Karena itu, kita sebaiknya tidak menyebut mereka dengan sebutan kubu.”

“Wah, aku baru tahu!”

“Sebenarnya aku juga baru tahu!” Kikin menyengir.

“Terus, kalau kita sebut Suku Anak Dalam, gimana?” tanyaku, sudah berdiri di depan Kikin. Akhirnya aku bergabung karena tidak bisa menahan rasa ingin tahuku.

Kikin menatapku terkejut, lalu menggeleng. “Emm, sebaiknya tidak juga.”

“Kenapa? Bukannya sebutan Suku Anak Dalam itu tidak menyinggung sama sekali?”

“Aku kurang tahu. Tapi ayahku bilang sebaiknya tidak.”

“Iya, tapi kenapa?”

Kikin tampak berpikir keras.

Belum sempat menjawab, bel masuk berbunyi. Dari kejauhan, Ibu Guru sudah berjalan ke kelas kami. Aku kembali ke tempat duduk. Tapi, beberapa anak rupanya masih berkerumun di bangku Kikin. Bahkan, Lisa sampai minta izin untuk memakai kalung itu.

“Maaf ya, Lisa. Aku tidak bisa meminjamkannya,” tolak Kikin, yang membuat Lisa menahan kecewa.

Tuh, kan, Kikin itu pelit dan hanya ingin pamer saja. Kalau hilang baru tahu rasa dia!

Mencari Kalung[sunting]

Aku sebetulnya penasaran dengan kalung Kikin. Aku memikirkan benda itu sepulangnya dari sekolah. Bahkan sebelum tidur, aku juga mulai bertanya-tanya tentang kalung sebelik sumpah. Kalau memang terbuat dari biji sebelik sumpah, lalu seperti apa wujud buahnya? Seperti apa pohon sebelik sumpah itu? Apakah besar? Atau kecil?

Entahlah. Karena tidak menemukan jawaban, aku pun memejamkan mata. Di luar, hujan turun sangat deras. Membuatku mengantuk, dan akhirnya tertidur.

Paginya, aku berangkat sekolah lebih awal. Soalnya, aku harus piket kelas. Meski minggu ini bukan giliranku yang menyapu, aku tetap tidak boleh bersantai dan meremehkan pekerjaan yang lain.

Akan tetapi, sesampainya di kelas, aku kaget bukan main! Tong sampah terguling di depan pintu. Sampahnya berserakan di mana-mana. Meja dan kursi bergeser tak beraturan. Di dalam kelas, Kikin berjalan mondar-mandir dari satu bangku ke bangku yang lain. Cici dan Dila yang sedang menyapu juga tampak memeriksa setiap sudut kelas.

“Ada apa, sih?” tanyaku, menghampiri Cici.

“Kikin kehilangan kalungnya,” bisik Cici.

Aku terkejut. “Maksud kamu, kalung sebelik sumpah?”

“Iya.” Dila yang menjawab.

Aku tergagap. Kulihat Kikin masih memeriksa kolong meja. Kata Dila, Kikin mungkin menjatuhkan kalungnya. Kemarin, setelah Kikin menunjukkan kalungnya kepada kami, ia memasukkan benda itu ke saku rok dan tidak mengeluarkannya lagi. Barulah ketika ia sampai di rumah, ia menyadari kalau kalungnya sudah tidak ada.

“Kamu sudah periksa di sekitar gerbang sekolah?” Cici bertanya.

“Sudah, dan tidak ada,” jawab Kikin murung. Setitik air mata jatuh di pipinya. Ia lalu menangis tersedu-sedu. Katanya, kalung itu adalah hadiah dari ayahnya. Sudah lama sekali ayahnya bekerja di luar kota. Kalau rindu, Kikin tak bisa memeluk ayah. Karena itulah, Kikin selalu menjaga barang-barang pemberian ayahnya. Kalau hilang, ia takut ayahnya akan kecewa.

Cici dan Dila saling sikut. Keduanya tidak bisa membantu banyak karena harus membersihkan kelas. Aku sendiri jadi merasa bersalah. Aku sempat menyumpahi kalung Kikin hilang. Tapi, aku betulan tidak berharap hal itu terjadi.

“Ke-kemarin kamu jalan ke mana saja?” tanyaku, akhirnya.

Sambil sesenggukan, Kikin berkata, “Kemarin aku lebih banyak di kelas, paling-paling keluar untuk ke kantin.”

“Bisa saja jatuh saat kamu pergi atau pulang dari kantin,” tebakku.

“Tapi, aku yakin hilangnya di sekitar sini. Soalnya saat kembali dari kantin, aku masih merasakan kalungku ada di saku. Tapi, kok nggak ada ya …”

“Mau kutemani cari ulang?” tawarku.

Kikin menggigit bibirnya, lalu mengangguk setuju.

Setelah menghapus papan tulis dan memasukkan kembali sampah-sampah ke tong, aku pun minta izin pada Dila dan Cici. Syukurlah mereka membolehkan sehingga pencarian kalung pun bisa dimulai.

Aku meminta Kikin mengambil jalan yang sesuai dengan yang ia lewati kemarin. Sambil menoleh ke sana kemari, kami pun mulai melewati kelas-kelas, ruang guru, dan perpustakaan. Setelah itu, kami belok kiri untuk menuruni lima anak tangga. Lalu kami melewati ruang TU, meja guru piket, dan ruang kepala sekolah. Hingga akhirnya sampailah kami di kantin.

Ternyata suasananya masih sepi. Hanya ada para penjual yang sedang menyiapkan dagangan. Kami sempat bertanya pada mereka mengenai kalung, namun mereka tidak melihat benda itu.

“Kamu sempat mengeluarkan kalungmu di sini, nggak?” tanyaku.

“Nggak. Aku bahkan nggak duduk. Aku beli susu, roti, keripik kentang, dan dua bungkus cokelat, terus langsung pergi.”

“Banyak banget jajannya,” celetukku.

Kikin tertawa. “Aku beli untuk Lisa juga. Sebagai permintaan maaf karena aku nggak mau pinjemin kalung.”

Aku terdiam agak lama. Ternyata, Kikin anaknya baik hati.

Karena tak menemukan apa pun, kami memutuskan pergi. Kikin rupanya tidak melewati jalan yang sama sewaktu pergi ke kantin. Ia justru belok kanan untuk melewati taman, kelas 1, 2, 3, dan akhirnya berhenti di depan mading.

“Kemarin aku mampir dulu ke sini,” kata Kikin menunjuk mading. “Oh ya, El, kemarin kamu nanya kenapa Orang Rimba tidak terlalu suka jika dipanggil Suku Anak Dalam, kan?”

Aku mengangguk.

“Jawabannya ada di sini, El,” kata Kikin sambil menunjuk sebuah buletin di mading. Judulnya, ‘Mari Berkenalan dengan Orang Rimba!’ Di sana, tertempel banyak penjelasan tentang dunia Orang Rimba. Tak lupa beberapa foto agar pembaca bisa lebih paham.

“Sebutan Suku Anak Dalam itu terlalu umum dan agak membingungkan,” kata Kikin, lagi masih menunjuk artikel. “Soalnya, di Jambi dan Sumatera Selatan, ada banyak suku. Selain Orang Rimba, ada juga Orang Batin, dan suku lainnya yang juga diberi nama Suku Anak Dalam. Makanya Orang Rimba lebih suka dipanggil Orang Rimba karena itu lebih khusus.”

“Ooh, jadi itu alasannya,” sahutku, ikutan membaca mading.

Hei, aku menemukan foto pohon sebelik sumpah. Ternyata pohonnya tak terlalu tinggi. Orang Rimba biasa memanjat dan memetik buahnya. Bentuk buahnya bulat kehijauan, dan kalau sudah masak, buah itu akan berwarna kekuningan dengan rasanya yang asam dan sepat. Meskipun begitu, Orang Rimba memanfaatkan biji-bijinya untuk dijadikan aksesoris. Mereka akan mengumpulkan biji-biji sebelik sumpah, lalu melubangi setiap ujung biji, membersihkan, dan mulai merangkai biji-biji tersebut menjadi kalung atau gelang.

Aku tersenyum puas karena akhirnya pertanyaanku selama ini terjawab.

Namun, senyumanku luntur begitu sadar sekolah semakin ramai. Anak-anak lain mulai berdatangan. Aku pun menarik Kikin untuk melanjutkan pencarian. Kami melewati ruang UKS dan laboratorium komputer. Lalu kami pun sampai ke tempat terakhir yang Kikin datangi, yaitu halaman belakang sekolah.

Di sana, suasananya sangat teduh. Ada pohon ketapang yang sangat besar. Kata Kikin, dia ke sana hanya untuk duduk-duduk sebentar. Kami berdua pun segera memeriksa setiap sudut halaman belakang. Belum selesai mencari, bel masuk sudah berbunyi. Seketika Kikin menghela napas sedih.

“Nanti saat istirahat, kita cari lagi,” hiburku.

Mendadak, rasa bersalah itu muncul lagi. Ah, seandainya aku tidak menyumpahi macam-macam.

“Ketemu?” tanya Cici, begitu kami sampai di depan kelas.

Kikin menggeleng lesu.

Aku menghela napas, lalu berkata, “Piketnya sudah selesai ya? Ada yang bisa kubantu kerjakan, nggak?”

“Sudah semua, kok. Anggota lain juga sudah piket,” jawab Cici.

“Iya, lagi pula seminggu ini hujan turun terus. Jadi kita nggak perlu siram bunga,” tambah Dila. yang tahu-tahu muncul dari belakang. Ia tampak kerepotan dengan jajanan di kedua tangannya. Bahkan, di kantong roknya juga penuh dengan cokelat. “Kalian mau?” tanyanya.

Aku menggeleng, tapi segera menyadari sesuatu.

“Kikin!” seruku, kepada Kikin.

“Kenapa?” sahut Kikin kaget.

“Kamu kemarin jajannya banyak, kan?”

“Iya.”

“Cokelatnya kamu taruh di mana?”

“Di kantong rok.”

“Coba ingat-ingat, Kin. Di mana kamu mengeluarkan cokelatmu?”

Kikin lalu melangkah ke taman depan kelas. Ia membuat gerakan sedang mengeluarkan cokelat. Aku mengikuti arah gerakan itu dan memusatkan perhatian ke bawah. Rupanya, Kikin berdiri dekat selokan yang masih dialiri air sisa hujan semalam. Langsung saja aku berlari menelusuri selokan.

“Elina, mau ke mana?” tanya Kikin, menyusulku.

Aku lalu mengajak Kikin mengikuti arus selokan yang mengarah pada ruang-ruang yang kami lewati tadi. Untunglah, pencarian kami pun berakhir di depan kantor kepala sekolah.

“Itu kalungnya!” seruku.

Rupanya kalung itu tersangkut di sebuah batu. Sesuai dugaanku, kalung itu jatuh ke selokan dan hanyut karena hujan. Langsung saja Kikin memungut dan mencuci kalungnya di toilet. Aku bisa lihat Kikin melonjak-lonjak senang. Aku juga ikut senang.

“Elina, terima kasih ya!” kata Kikin riang, saat kami berjalan kembali ke kelas.

Aku mengangguk, lalu menggigit bibirku. “Sebenarnya aku juga mau minta maaf, Kin.”

“Loh, kenapa?”

“Sebenarnya … kemarin aku tidak sengaja berharap kalungmu hilang. Dan ternyata, kalungmu betulan hilang.”

Kikin melongo, lalu tertawa. “Nggak papa, Elina. Toh kalungnya sudah ketemu. Bahkan kamu membantuku mencarinya.”

“Tapi, aku jadi kepikiran. Apakah sumpah itu sungguh akan berbalik?”

Kikin mengangkat alisnya. “Maksudmu?”

“Aku kan habis menyumpahimu. Kamu bilang kalung itu pembalik sumpah, kan?”

Mendengar itu, Kikin tersenyum. “Entahlah. Ini kan kerajinan tangan. Tapi ... kalau nanti kamu jadi kehilangan barang, aku pasti bantu cari, kok!”

Aku dan Kikin tertawa.

“Lagi pula, ternyata ada hikmahnya kalungku sempat hilang, Kin."

"Kenapa?"

"Soalnya kita jadi bisa ngobrol. Sebenarnya, selama ini aku menyesal pernah memarahimu waktu itu, Kin. Aku sedih kamu menjauhiku. Maafkan aku ya, Elina."

Aku terdiam. Ternyata Kikin sadar kalau selama ini aku menjauhinya.

Kikin lalu mengajakku berjabat tangan. Aku pun membalas jabatannya dengan erat. Tapi … ups! Buru-buru aku menarik Kikin ke kelas. Karena Bu Guru pasti sudah masuk dan kami harus minta maaf karena terlambat!


Tamat