Aku Tidak Bodoh

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis

Main Ide dari Cerita


Andam selalu merasa dirinya bodoh karena tidak bisa mengikuti pelajaran. Terlebih sejak kepindahan Vandri ke sekolahnya. Vandri suka sekali menganggap rendah siswa yang tidak encer otaknya. Namun ia bisa membuat sering main ke bengkel Pak Bagong, ada perubahan luar biasa yang dialami Andam hingga akhirnya ia merasa bukan anak bodoh.

Lakon


Andam

Pak Bagong

Vandri


Lokasi


Bengkel

Sekolah


Cerita Pendek


AKU TIDAK BODOH

           “Hoi, jangan kabur!”

           Vandri berteriak kecil sambil mengacungkan telunjuknya kepada Andam yang terlihat keluar kelas. Tanpa menghiraukan teriakan Vandri, Andam mempercepat langkahnya menuju tempat parkir. Ia merasa tidak ada urusan dengan Vandri. Lagi pula, hari ini ia harus bergegas pulang. Ada sesuatu yang harus ia kerjakan.

           Beberapa hari belakangan ini Vandri memang baru senewen dengan Andam. Apa saja yang dilakukan Andam selalu salah di matanya. Pemicunya adalah kekalahannya sewaktu tanding pencak silat. Vandri merasa Andam melakukan kecurangan saat tanding tersebut, karena ia belum siap, namun Andam telah menyerangnya. Meski pelatih sudah mengatakan jika apa yang dilakukan Andam itu tidak salah, namun Vandri tidak terima.

           “Aku ingin tanding lagi. Tapi tidak di saat latihan. Kita tanding di luar kampung,” ujar Vandri setengah berlari mendekat ke arah Andam.

           “Aku tidak mau Ndri. Itu tidak penting buatku,” jawab Andam, bersiap mengayuh sepedanya.

           “Tapi ini buatku penting. Ini menyangkut harga diri,” tukas Vandri dengan nada meninggi.

           “Kan sudah aku bilang. Anggap saja waktu itu aku kalah. Aku juga tidak tertarik untuk ikut kejuaraan pencak silat.”

           “Tapi gara-gara waktu itu, kamu yang dipilih oleh pelatih.”

           “Aku sudah bilang pada pelatih jika aku tidak akan ikut,” jawaban Andam menyiratkan jika ia tidak begitu tertarik dengan pertandingan.

           “Kamu serius?”

           “Kamu bisa tanyakan pada pelatih.”      

           Andam bergegas mengayuh sepedanya. Ia tidak ingin berlama-lama ngobrol dengan Vandri. Sejak Vandri pindah ke sekolahnya, Andam merasa Vandri ingin selalu dinomorsatukan. Bukan hanya di kelas, hampir di setiap kegiatan sekolah ia selalu ingin tampil.

           Andam mengakui jika Vandri anak pintar. Selain pindahan dari sekolah ternama, ia memang terbiasa berkompetisi. Nilai pelajarannya pun selalu bagus. Tidak seperti dirinya. Jangankan untuk bisa masuk lima besar di kelas, untuk bisa mendapat nilai minimal saja terkadang kesulitan.

           Sebelum Vandri pindah ke sekolahnya saja, Andam sudah merasa dirinya itu bodoh. Apalagi setelah ada Vandri, perasaan jika dirinya bodoh semakin kuat. Itu karena Vandri sering kali menyebut anak-anak yang mendapat nilai jelek dengan sebutan otak udang.

           Sayangnya, julukan itu tidak hanya tersemat pada saat di sekolah. Di lingkungan tempat tinggal, beberapa ibu juga menyebut Andam sebagai anak yang bodoh. Lengkap sudah rasa rendah diri Andam.

            “Kamu tidak balik ke rumah dulu?” tanya Pak Bagong

           “Di rumah juga tidak ada siapa-siapa, Pak. Lagian, kemarin aku kan sudah janji mau datang jam satu,” jawab Andam antusias melihat sepeda motor yang diserviskan di tempat Pak Bagong belum dibongkar.

           “Kamu tidak bolos sekolah, kan?”

           “Tidak Pak,” jawab Andam sambil meletakkan tas ranselnya.

           “Lha kok Ais minta dijemput jam setengah tiga?” tanya Pak Bagong penuh selidik.

           “Ais sama beberapa anak, masih ada kegiatan Pak. Sepertinya mau ikut kejuaraan sains.”

           “Lha kok kamu tidak ikut?”

           “Aduh Pak, aku ini kan anak bodoh. Mana bisa ikut kegiatan yang gitu-gitu,” jawab Andam sambil tersenyum getir.

           “Kamu itu bukan bodoh, Ndam. Tapi hanya belum ketemu dengan sesuatu yang cocok denganmu,” tukas Pak Bagong setengah menghibur.

           “Sudah ah. Aku ke sini kan pingin melihat Bapak bongkar mesin. Untungnya sepeda motor itu belum diservice.”

           “Lha kan kemarin memang Bapak sudah berjanji mau menunggu kamu.”

           Andam memang sering main ke rumah Pak Bagong. Selain tetanggaan, Andam juga teman dekat Ais, anak Pak Bagong. Ais lah yang sering menyemangati Andam saat ia merasa tidak bersemangat sekolah.

           Jika sedang main ke bengkel Pak Bagong, Andam suka lupa waktu. Ia senang melihat Pak Bagong membetulkan sepeda motor. Apalagi jika bongkar mesin. Andam sudah kelas lima. Sebentar lagi kelas enam. Makanya ia sudah mulai bisa menangkap sesuatu yang dilihatnya. Otaknya akan cepat menangkap untuk urusan mesin. Bahkan tidak jarang ia membantu Pak Bagong melakukan sesuatu di bengkelnya.

           “Kamu itu tidak bodoh, Ndam,” Pak Bagong mengulang kalimatnya, setelah ia selesai memasang kembali mesin sepeda motor.

           “Bapak tidak usah menghiburku. Aku sudah terbiasa kok dengan sebutan itu. Lagian memang aku bodoh. Matematika selalu dapat angka merah. Belum dengan Bahasa Indonesia. Suka bingung.”

           “Untuk pelajaran sekolah, mungkin kamu kurang mampu. Tapi untuk urusan lain, kamu itu hebat,” ujar Pak Bagong, menarik perhatian Andam.

“Maksud Bapak?”

“Kamu tadi bilang kalau matematika tidak bisa. Tapi buktinya kamu bisa utak-atik mesin. Bahkan Bapak perhatikan kamu sudah bisa memasang lampu sepeda motor. Itu berarti kamu punya bakat lain.”

“Tapi itu hanya karena kebiasaan melihat saat Bapak memperbaiknya?” tukas Andam.

“Itu karena kamu punya ketertarikan pada mesin. Coba kalau tidak, mana mau kamu repot-repot datang ke bengkel ini. Lebih asik bermain sama teman-teman, kan?”

Tetiba Andam merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan. Ada sebersit kebanggaan. Benarkah begitu? Apakah memang ia berbakat pada mesin?

“Ndam, kamu itu seperti Bapak waktu masih seusiamu. Sering dibilang bodoh. Tapi buktinya sekarang, bapak bisa buka bengkel. Padahal Bapak tidak pernah sekolah kejuruan. Semua Bapak lakukan secara otodidak. Belajar sendiri.”

“Serius, Pak?” tanya Andam, makin penasaran.

“Iya, Ndam. Menurut Bapak, tidak ada anak bodoh. Karena semua sudah diberikan bakat sendiri-sendiri. Bisa jadi ada anak yang jago matematika. Tapi untuk urusan lain dia tidak bisa.”

“Wah, begitu ya Pak. Aku malah baru kepikiran sekarang,” tukas Andam berbinar. “Jadi menurut Bapak, aku tidak bodoh?”

“Tidak. Kamu hanya harus menemukan bakat dan potensimu. Terus diasah dan dikembangkan.”

“Ya ampun. Seumur-umur aku baru dapat nasihat yang membuatku jadi bersemangat. Justru itu bukan dari guru. Tapi dari Bapak.”

“Eit, siapa pun bisa jadi guru buat kita, Ndam. Yang penting kamu harus tetap semangat ya.

“Terima kasih, Pak. Aku pamit pulang.”

“Ndam, di meja Bapak itu ada komik tentang Soichiro Honda. Bapak senang cerita itu.”

“Memang siapa dia?”

“Kamu bawa pulang saja komik itu. Baca di rumah. Bapak sengaja belikan itu untuk Ais. Dia sudah baca. Jadi kamu bisa meminjamnya.”

Andam bergegas pamit. Seperti biasa, rumah sepi. Ibunya baru pulang setelah Ashar. Namun kali ini ada perasaan menggebu di diri Andam. Kata-kata Pak Bagong masih terngiang di telinganya. Benarkah ia tidak bodoh?

Dengan rebahan di sofa yang sudah mulai usang, Andam membaca komik pinjaman Pak Bagong. Andam memang terbilang kurang suka membaca. Tapi jika membaca komik ia, suka. Makanya, begitu membuka halaman pertama, ia kemudian tenggelan dalam cerita itu.

Benar saja. buku komik setebal delapan puluh halaman itu langsung selesai ia baca sekali duduk. Namun kali ini ia merasa seperti mendapat suntikan lebih setelah membaca kisah Suichiro Honda. Pencipta sepeda motor merk Honda itu masa kecilnya mirip seperti dirinya. Kurang encer dalam pelajaran sekolah. Bahkan sempat putus sekolah. Sering dibilang bodoh. Tidak banyak teman. Sangat suka pada mesin.

“Sudah makan belum?” tanya ibu Andam, saat mendapati Andam rebahan di sofa dengan buku komik di tangan.

“Sudah, Bu,” jawab Andam dengan pandangan fokus pada buku komik yang kembali ia baca dari awal.

“Kata pelatih pencak silat, kamu mengundurkan diri untuk ikut kejuaraan ya?”

“Iya, Bu. Soalnya harus bayar mahal,” jawab Andam, masih fokus baca.

“Jika memang kamu mau, ibu akan usahakan, Ndam.”

“Tidak usah Bu. Uang dua ratus ribu itu bisa untuk beli tas baru atau sepatu. Sepatu Andam sudah sobek bagian depannya.”

Ibu Andam terdiam. Tadinya ia berniat membujuk Andam untuk tetap ikut kejuaraan. Ia sudah mendapatkan uang. Tapi jika Andam saja tidak bersemangat, memang lebih baik untuk kebutuhan lain saja.

“O ya, Bu. Pinjam handphonenya ya. Mau liat youtube. Ada tugas sekolah. Aku baru ingat.”

Andam segera mencari beberapa video tutorial. Ia ada tugas prakarya memanfaatkan barang bekas. Setelah dirasa mendapatkan ide, Andam segera mengeluarkan kotak berisi aneka barang. Ia memang suka memungut benda-benda yang dibuang untuk dipilih bagian yang masih bisa digunakan. Ia juga sering meminta barang yang sudah tidak terpakai di bengkel Pak Bagong.

“Nih lihat hasil karyaku. Sudah pasti bagus,” ujar Vandri di hadapan teman-temannya. “Bahannya saja mahal.”

“Bukannya yang dipakai seharusnya barang bekas, Ndra?” tukas Ais.

“Lha di tempatku itu barang bekasnya memang masih bagus-bagus. Bukan kayak kalian. Apalagi kayak Andam.”

Andam menunduk saat namanya disebut Vandri. Ia akui jika hasil karya Vandri sangat bagus. Robot-robotan dari botol minuman. Andam yakin, itu bukan barang bekas, karena botol minumannya masih terlihat bagus. Bukan botol mineral biasa. Itu pun ia tidak yakin Vandri yang membuatnya. Namun ia enggan komentar.

“Kamu buat apa, Ndam?” tanya Vandri.

Andam memilih diam. Ia sudah bertekab baru akan mengumpulkan hasil karyanya setelah Pak Sena masuk kelas. Ia tidak mau mendapat ejekan karena dengan hasil karyanya.

“Ditanya baik-baik juga, eh tidak mau jawab,” sindir Vandri.

“Sudah Ndri. Mungkin Andam lupa. Kemarin sibuk bantu bapakku di bengkel,” tukas Ais.

“Nah itulah Andam. Sudah pelajaran tidak bisa. Eh malah sukanya main-main tidak jelas. Mana tugas dari guru tidak dikerjakan. Lengkap deh.”

Seperti biasa, Andam lebih memilih diam. Ia tahu Vandri itu anak orang kaya. Jemputannya saja pakai mobil. Mungkin ia sangat dimanja. Jadi suka berlebihan jika merendahkan orang lain. Makanya, Andam tidak mau meladeninya.

Tidak lama kemudian Pak Sena masuk kelas. Setelah beberapa saat mengawali pembelajaran, Pak Sena pun meminta siswa mempresentasikan hasil karyanya. Seperti biasa, Vandri harus nomor satu untuk presentasi. Anehnya, Pak Sena selalu menuruti kemauan Vandri.

Benar saja. Hasil karya Vandri mendapat pujian Pak Sena. Memang robot-robotan Vandri sangat bagus. Selain bentuknya besar, botol minum aneka warna itu membuat robotnya jadi seperti hidup.

“Berikutnya Andam,” ujar Pak Sena, yang sempat membuat Andam ragu-ragu.

“Andam sepertinya tidak membuat prakarya, Pak,” tukas Vandri.

“Benar, Ndam?” tanya Pak Sena.

Andam tidak menjawab. Agak ragu ia memasukkan tangannya ke ransel, lalu mengeluarkan benda yang semalaman ia buat.

“Apa itu?” tanya Pak Sena. “Tolong presentasikan di depan kelas.”

“Ini robot serangga, Pak,” jawab Andam sambil menunjukkan pada Pak Sena.

“Ya ampun kecil amat,” tukas Vandri.

“Kamu presentasikan saja pada teman-teman,” pinta Pak Sena.

Andampun kemudian meminta ijin untuk memakai meja Ais dan Kinan untuk mempresentasikan hasil karyanya. Setelah buku dan alat tulis dimasukkan di laci, ia segera menyalakan robot kecil itu. Begitu diletakkan di meja, rupanya robot serangga itu berjalan. Spontan anak-anak bereaksi kaget.

“Wow, robotnya bisa jalan,” ujar Ais.

“Bagus sekali, Ndam,” tukas Kinan.

Anak-anak yang lain pun berkomentar. Kesemuanya takjub dengan hasil karya Andam. Termasuk Vandri. Melihat robot kecil itu bisa berjalan di atas meja, ia juga kagum.

Andam pun makin bersemangat saat diminta Pak Sena untuk menceritakan ide dan cara ia membuat robot antik itu. Teman-temannya sangat antusias mendengarkan. Bahkan Vandri ingin sekali bisa memiliki robot buatan Andam itu.

Untuk pertama kali Andam mendapat perhatian dari teman-teman kelasnya. Ia baru merasa betapa menyenangkannya saat apa yang ia lakukan mendapat apresiasi yang bagus dari orang lain.

Aku tidak bodoh. Ternyata aku tidak bodoh. Begitu kalimat yang ia gumankan dalam hati. Ia semakin yakin dengan kebenaran perkataan Pak Bagong, bahwa tidak ada anak yang bodoh. Yang ada anak itu belum menemukan potensi dirinya.

Sore itu, sepulang dari membeli gula pasir dan mie instan di warung Mbak Harsih, Andam mendapati Pak Sena berdiri di samping sepeda motor. Rupanya sepeda motor Pak Sena mendadak macet.

“Sepeda motornya kenapa, Pak?” tanya Andam sambil turun dari sepeda.

“Ini Ndam, tiba-tiba mesinnya mati. Sudah Bapak cek businya dan Bapak bersihkan, tapi tetap mati.”

“Bensinnya masih?”

“Masih, Ndam. Tadi saja baru beli satu liter.”

“Boleh saya coba, Pak?” pinta Andam.

“Oh, silakan,” jawab Pak Sena.

Andam segera menstater mesinnya. Tidak bisa. Ia beberapa kali menggenjot, mesin itu pun tetap tidak nyala.

“Menurut saya ada dua kemungkinan, Pak. Businya soak atau main jet-nya kotor.”

“Main jet?” tanya Pak Sena, penasaran.

“Main jet itu saluran kecil yang berfungsi mengeluarkan bensin dari ruang pelampung. Jika kotor, maka bensin tidak akan lancar.”

“Kok kamu paham betul urusan mesin?” tanya Pak Sena keheranan.

“Saya sering main ke bengkel, Pak. Sering bantu-bantu juga. Jadi sedikit banyak tahu soal mesin.,” jawab Andam sambil memeriksa busi dan kabelnya.

“Wah, hebat kamu Ndam.”

“Pantesan, Pak. Rupanya kabel businya putus nih,” ujar Andam sambil menunjukkan kabel busi ternyata memang putus. “Tidak ada percikan listrik ke mesin. Jadi mesin tiba-tiba mati. Ini harus dibawa ke bengkel.”

“Kamu hebat, Ndam. Bapak baru menyadari potensi kamu. Besok kamu ikut kelas robotik ya.”

“Maaf, Pak. Saya tidak bisa bayar ikut kelas.”

“Nanti Bapak yang bayari. Kamu ikut saja. Sebentar lagi akan ada kontes robot. Bapak yakin kamu akan bisa mengikutinya.”

Tetiba tubuh Andam panas dingin mendapati Pak Sena sangat memujinya. Bahkan mau memberinya kesempatan untuk bisa ikut kontes robot. Sesuatu yang memang menjadi impiannya.

Aku tidak bodoh. Aku tidak bodoh. Begitu kalimat yang ia gumankan untuk menyemangat diri.