Amelia Tidak Pergi Sekolah

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis[sunting]

Amelia tidak ingin pergi sekolah hari ini. Ibu yang keheranan mengajaknya untuk membaca buku di tempat menarik yang belum pernah dikunjungi Amelia sebelumnya.

Cerita Pendek[sunting]

Amelia sedang malas pergi sekolah. Kepalanya berat jadi ditempelkannya terus pada bantal supaya terasa dingin. Ibu yang baru saja melongokkan kepalanya dari pintu kamar tampak heran melihat tingkah Amelia pagi ini. Ada apa pula dengan Amelia?

Sambil menyiapkan sarapan, Ibu mengingatkannya untuk mulai bergegas mandi dan memakai seragam sekolahnya. Setiap malam Amelia dan Ibu menyiapkan baju seragam bersama-sama. Rok dan kemejanya disetrika rapi sampai licin. Setelah itu, Amelia menggosok sepatunya yang berwarna hitam dengan kain lap dan mengoleskan semir kulit supaya sepatunya bersih dan berkilat. Ibu juga membantunya menyiapkan isi tas dan buku-bukunya. "Jangan sampai ada yang ketinggalan," begitu selalu pesan Ibu.

Satu atau dua kali Amelia juga meminta Ibu untuk memeriksa pekerjaan rumahnya. Beberapa soal yang sulit selalu bisa Ibu pecahkan bersama-sama. Menurut Amelia Ibunya memang pintar sekali karena tidak pernah gagal menyelesaikan soal hitungan yang panjang-panjang. Pernah dia bertanya pada Maria, teman baiknya yang duduk satu kelas, apa menurut Maria Ibu memang pintar. Menurut Maria, memang persoalan hitung-menghitung itu mudah saja bagi orang dewasa. Amelia mengangguk-angguk. Mungkin juga benar kata Maria, pikirnya, tetapi Amelia tetap merasa Ibunya itu istimewa.

Hari ini tidak ada pekerjaan rumah yang perlu dikumpulkan juga tidak ada ujian, tetapi Amelia benar-benar tidak ingin pergi sekolah. Ditatapnya setelan seragam yang tergantung rapi di depan lemari pakaian tanpa semangat. Masih dengan pakaian piyamanya, Amelia perlahan turun dari kasurnya untuk mencari Ibu. Siapa tahu dia bisa meyakinkan Ibu untuk membiarkannya tinggal di rumah saja hari ini.

Ibu sedang duduk menikmati kopi dan telur rebus sambil menonton berita pagi. Menurut pemberitahuan di televisi, kemungkinan akan ada badai besar di wilayah Jakarta dan sekitarnya minggu ini. Amelia mengambil tempat duduk di samping Ibu sambil mengerutkan kening. Diambilnya sepotong roti yang sudah dibakar sampai berwarna keemasan, kemudia diolesinya roti itu dengan mentega tebal-tebal dan diberi taburan gula warna cokelat. “Jangan terlalu banyak makan gula, Amelia,” kata Ibu.

Amelia mengangguk sambil terus berpikir soal keinginannya untuk tidak masuk sekolah hari ini.

"Badai di wilayah sekitar Jakarta," pikirnya. Rumah mereka belum pernah dilanda banjir, tetapi daerah tempat tinggalnya masih bisa juga disebut daerah Jakarta. Amelia tahu datangnya badai bisa mengakibatkan banjir, dan banjir bisa mengakibatkan sekolahnya diliburkan. Sebuah kemungkinan yang menyenangkan hatinya di saat Amelia sedang tidak ingin pergi sekolah seperti hari ini.

“Ibu, Amelia tidak mau pergi sekolah hari ini. Itu akan ada banjir,” gumamnya takut-takut sambil menunjuk televisi.

Ibu tertawa. “Hujan dan badainya belum datang, nak. Ibu rasa sekolah akan baik-baik saja hari ini.”

Amelia menelan ludah. Hilang sudah alasannya. Kalau begitu tidak ada acara lain selain memantapkan suara dan menegaskan keinginannya. “Amelia tetap tidak mau pergi sekolah hari ini,” katanya.

Ibu meraba dahi Amelia. Suhu badan Amelia normal, tentu saja. Amelia memang tidak sedang demam.

“Sakit? Ada yang terasa tidak enak?” tanya Ibu.

Amelia menggeleng-geleng. Airmatanya mulai menggenang. Tanpa alasan yang masuk akal, Ibunya tidak mungkin mendukung keinginannya untuk bolos sekolah.

Ibu mengusap-usap rambutnya ketika melihat air mata mulai mengalir dari kedua mata Amelia dan turun terus sampai membuat pipinya basah.

“Ibu senang kalau kamu tidak sakit. Bagaimana kalau kamu mandi dulu, supaya badanmu terasa lebih segar.”

Amelia mengangguk dan memeluk Ibunya. Perasaannya betul-betul tidak keruan. Selain itu, dia juga merasa sedikit malu karena mendadak menangis. Amelia menyusut hidungnya yang mulai beringus karena menangis dan beranjak untuk mandi seperti saran Ibunya.

Setelah Amelia berlalu, Ibu mengangkat alis tanda merasa heran. Ini hal yang baru di rumah mereka. Amelia selalu senang pergi ke sekolah. Dia senang bisa bermain dengan teman-temannya di rumah tidak ada kakak atau adik yang bisa diajaknya bermain.  Siang hari di rumah selalu sepi dan membosankan karena Ibu pergi bekerja. Ibu tahu ada yang sedang tidak beres, meskipun wajar juga kalau seorang anak tidak pergi sekolah sesekali.

Sementara Amelia mandi, Ibu menelpon kantornya untuk meminta izin, “Ya, halo, hari ini saya tidak masuk ya.”

“Saya perlu menemani anak saya yang tidak masuk sekolah.”

“Ya, ya, betul. Ini penting juga karena menyangkut anak saya semata wayang,” begitu pembicaraan Ibu ditelpon.

Ibu juga menelpon ibu guru di sekolah untuk memberitahukan bahwa hari ini Amelia tidak bisa masuk.

Ketika Ibu datang menghampirinya, Amelia sedang duduk di atas kasur dengan tubuh dibungkus handuk. Seragamnya masih tergantung seperti semalam.

“Bagaimana kalau hari ini kita membaca saja di perpustakaan?” tanya Ibu.

Amelia kaget mendengar ajakan Ibu. Awalnya Amelia berpikir Ibu akan marah melihatnya malas-malasan untuk pergi ke sekolah.

Dipeluknya Ibu kuat-kuat.

“Mau!”seru Amelia.

Ibu tertawa melihat semangat anaknya mulai kembali. Amelia dan Ibu bergegas berganti pakaian dan menyiapkan bekal minuman kalau-kalau nanti mereka kehausan di jalan.

Menurut Ibu perpustakaan di pusat Jakarta itu baru akan buka pukul delapan pagi, jadi mereka masih memiliki banyak waktu. Sebelum berangkat, Ibu tidak lupa memeriksa kunci-kunci jendela dan pintu, juga memastikan kompor di dapur sudah dimatikan. Amelia memeluk Ibunya sekali lagi sebelum meninggalkan rumah, lalu mereka berjalan bergandengan menuju stasiun kereta.

Stasiun di dekat rumah mereka sangat ramai di pagi hari, jadi Amelia tidak berani melepaskan genggamannya dari jari-jari Ibu. Jangan sampai Amelia terlepas dan terdorong kesana kemari oleh penumpang lain. Itu pasti menakutkan, apalagi kalau dia sampai kehilangan Ibunya. Di atas kereta Ibu tidak kebagian tempat duduk, jadi Ibu harus berdiri dengan penumpang-penumpang lain yang juga tidak kebagian tempat. Amelia masih terlalu kecil untuk berdiri. Kaki dan tangannya terlalu pendek untuk bisa menjangkau karet pegangan yang menjulur dari langit-langit kereta. Amalia merasa kurang enak duduk berdesakan bersama seorang nenek dan ibu hamil di bangku yang ada di ujung gerbong kereta, tetapi dia tidak punya pilihan.

Sepanjang jalan dia memegangi ujung kemeja ibunya dengan perasaan agak tegang. Syukurlah, perjalanan mereka tidak lama. Ketika Amelia mulai merasa agak mengantuk, Ibu memegang bahunya sambal menunjuk pintu. Itu artinya mereka harus turun di stasiun berikutnya. Amelia mulai bergerak-gerak gelisah di kursinya. Ini kali pertama Amelia mengunjungi perpustakaan di luar sekolahnya. Menurut ibu perpustakaan ini sangat besar. Gedungnya terdiri dari dua puluh lima lantai. Amelia membayangkan banyaknya buku yang bisa dimasukkan ke dalam gedung setinggi itu. Rumahnya yang satu lantai saja sudah bisa menampung barang begitu banyak termasuk buku-bukunya dan buku-buku Ibu yang entah apa isinya.

Begitu pintu kereta terbuka, Ibu membantunya turun ke peron. Amelia merasa kereta itu sedikit menakutkan dengan pintu-pintunya yang membuka dan menutup cepat, suaranya yang bising, dan orang-orang yang berjejalan di dalamnya. Diam-diam Amelia memperhatikan wajah Ibu. Meski tampak kegerahan, tetapi Ibu tidak tampak takut atau gelisah. Amelia jadi ikut merasa tenang melihatnya, tetapi dia merasa lebih senang lagi ketika akhirnya bisa menjauh dari stasiun yang sibuk.

Perpustakaan yang mereka kunjungi itu terletak sekitar satu kilometer dari stasiun tempat mereka turun. Keduanya memutuskan berjalan kaki karena hari masih pagi dan udara belum terlalu panas.

“Ibu, apa masih jauh?” Tanya Amelia setelah beberapa saat menyusuri jalan raya.

Ibu menggeleng, “setelah ini kita belok ke kanan, lalu kita akan segera sampai.”

Amelia mengangguk-angguk. Matahari belum betul-betul tinggi, tetapi Amelia mulai merasa kepanasan setelah berjalan kaki.

“Sampai!” kata Ibu.

Amelia melongok memanjangkan lehernya, “Mana?”

“Mana gedung yang bertingkat-tingkat seperti kata Ibu itu?” Pikirnya.

“Nah, ini!” Tunjuk Ibu sambil tertawa.

Setelah menyusuri ruangan yang tampak seperti ruang penerimaan tamu, mereka sampai ke sebuah pelataran terbuka yang luas. Dihadapannya sekarang berdiri bangunan kaca yang menjulang tinggi sampai Amelia harus mendongakkan kepala untuk melihat puncaknya. Bagunan kaca itu memiliki balkon-balkon yang menghadap ke depan berupa setengah lingkaran.

“Nah, ini perpustakaan yang Ibu ceritakan,” Ibu menunjuk gedung itu.  

Amelia bergegas menyusul Ibu yang sudah bergerak menuju pintu kaca yang ditempeli papan dengan tulisan “Masuk”. Perpustakaan itu masih sepi pengunjung, tetapi sudah ada petugas yang berjaga di meja-meja yang ada di depan ruang penyimpanan tas. Selain itu, ada juga beberapa orang petugas kemanan yang berjalan hilir mudik.

“Halo,” sapa Amelia kepada petugas yang lewat didekatnya. Petugas itu mengangguk. Ibu tampak tidak ambil pusing dengan orang-orang disekitarnya dan bergegas menuju elevator.

“Ada lantai khusus untuk bacaan anak, kita bisa membaca di situ sampai jam makan siang nanti,” kata Ibu.

Amelia mengangguk.

“Keren betul,” pikirnya. Di sekolah tidak ada lantai khusus untuk bacaan anak-anak. Amelia bertanya-tanya, "apakah karena semua yang ada di perpustakaan sekolahnya hanya  bacaan anak? Kalau begitu bacaan mana yang bukan bacaan anak-anak?"

Di rumah mereka, Amelia memang tidak pernah membaca buku-buku Ibu, tetapi menurutnya itu karena Amelia sendiri belum lancar membaca. Ibu tidak pernah betul-betul melarang Amelia untuk membaca buku-bukunya.

“Ibu, kenapa bacaan anak-anak dipisahkan? Memang apa saja yang bukan bacaan anak-anak?” tanya Amelia.

Ibu tertawa mendengar pertanyaannya. Tentu di perpustakaan itu disimpan berbagai macam buku, majalah-majalah, materi-materi bersejarah, dan lain-lain yang memang tidak diperuntukkan untuk anak-anak. Bagaimana Ibu bisa menjelaskannya pada Amelia?

“Itu bisa kamu cari tahu sendiri kalau sudah besar nanti,” jawab Ibu.

Amelia nyengir. Ibunya memang jago menjawab pertanyaan tanpa harus benar-benar menjawab.

Setelah sampai di lantai yang dituju, mereka duduk di sudut dekat jendela kaca. Dari situ mereka bisa melihat pemandangan kota yang bagus dan mendapat cahaya terang dari jendela kaca yang tidak diberi tirai.

Dinding di dalam ruangan itu digambari karakter yang lucu-lucu dengan warna-warna cerah. Amelia mulai menjelajahi rak-rak buku di dalam ruangan itu, sementara Ibu duduk sambil meluruskan kakinya. Ada banyak buku cerita bergambar di rak-rak yang berjajar mengelilingi ruangan. Buku bergambar selalu bisa menghiburnya, terutama karena Amelia kadang lupa bagaimana membaca kata-kata dalam cerita di buku. Kalau sedang malas membaca tulisan-tulisan, Amelia akan memandangi gambar-gambar di buku-buku itu sambal memikirkan sendiri jalan ceritanya sekehendak hati. Itu baginya kegiatan yang sangat menghibur. Hari ini, misalnya, Amelia lupa sama sekali soal sekolah dan kekacauan perasaannya. Pelan-pelan Amelia mulai merasa harinya menyenangkan. Diambilnya beberapa buku bergambar yang dirasa menarik dari rak-rak itu untuk dibaca bersama Ibu.

Sambil mengawasi Amelia yang berselonjor di lantai dengan setumpuk buku, Ibu membaca novel yang dibawanya sendiri dari rumah. Amelia tahu Ibu tidak bekerja karena menemaninya hari ini. Mungkin Ibu juga sedang tidak ingin pergi ke kantor, pikirnya sambil nyengir.

Ibu punya kebiasaan khusus saat membaca buku. Akan sulit untuk mendapatkan perhatian Ibu kalau sudah asyik membaca dengan alis yang berkerut-kerut. Amelia sudah tahu betul kebiasaan Ibu. Karena itu, ketika Ibu mengingatkannya untuk tidak berkeliaran jauh-jauh Amelia menurut saja. Lagi pula dia lebih suka membaca di dekat Ibunya. Kalau-kalau ada hal menarik yang ingin dia tunjukkan pada Ibu dari buku yang dibacanya.

Menurut perasaan Amelia hari terasa pendek kalau dihabiskan dengan melihat-lihat gambar pada buku cerita, tiba-tiba perutnya lapar dan mengeluarkan bunyi grubuk-grubuk. Ibu geli melihat Amelia terkaget-kaget memegangi perutnya. Bunyinya terasa sangat nyaring di telinga Amelia karena ruang perpustakaan itu memang sepi. Orang-orang tidak boleh membaca sambil ribut-ribut di sini.

“Wah, sepertinya sudah waktunya kita pulang dan makan siang,” kata Ibu sambil menyelipkan pembatas pada halaman buku yang sedang dibacanya. Amelia mengangguk.

Ibu mengantarnya ke meja khusus untuk mengembalikan buku-buku yang tadi diambilnya dari rak buku. Setelah itu, mereka naik elevator menuju lantai dasar. Di lantai dasar dan di pelataran di luar gedung, Amelia melihat banyak pengunjung lain yang sedang duduk-duduk di bangku-bangku. Kebanyakan sedang menikmati bekal makan siangnya atau sekedar mengobrol santai dengan teman. Amelia tersenyum melihat orang-orang yang sedang mengobrol sambal menikmati makan siang itu. Mendadak dia ingat Maria, teman baiknya di sekolah. Biasanya mereka berbagai bekal makan siang. Terutama kalau Ibu nekat menyelipkan tomat yang dibenci Amelia. Maria suka sekali tomat dan selalu senang menampung tomat-tomat dari kotak makan Amelia.

“Besok Amelia mau sekolah. Mau makan siang sama-sama lagi,” katanya.

Ibu merangkulnya senang. “Nah, itu bagus!” kata Ibu.

“Gawat juga kalau Amelia mogok sekolah lama-lama,” pikir Ibu sambil tersenyum diam-diam. Keduanya melenggang santai menuju stasiun kereta menuju ke rumah. Amelia tidak sabar ingin bercerita soal buku-buku yang dibacanya di perpustakaan tadi. Keduanya tampak sibuk dengan pikiran masing-masing. Meski bukan hari yang biasa, hari ini berjalan menyenangkan untuk Amelia dan Ibu.


Tamat