GARA GARA HUJAN

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

GARA-GARA HUJAN By Debby wijaya

Lumie masih tergeletak ditempat tidurnya. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 06.00 pagi.

“Lumie bangun nak ! Nanti kamu terlambat pergi ke sekolah!”, terdengar suara Ibu Lumie dibalik pintu kamarnya.

“Mmm...!”, Lumie hanya bergumam sambil menutup seluruh badannya dengan selimut dan melanjutkan mimpi indahnya yang sempat tertunda . “Lumi bangun, sudah jam berapa iniii....! apa kamu tidak sekolah sekarang, nanti kamu telat ke Sekolah lho!”, kata Ibu untuk kesekiankalinya.

Ibupun menepuk-nepuk dengan pelan punggung Lumie, tapi Lumie tak juga bangun. Ibu pun meminta tolong kepada Luna untuk membangunkan adiknya Lumie karena ibu harus menyiapkan sarapan untuk mereka.

Bagi Luna dan Lumie sosok Ibu, dialah perempuan nan tertangguh. Ibu, dialah perempuan yang paling sabar, memberi maaf saat Luna dan Lumie bersalah, membumbui mereka dengan bekal dan menghadiakan mereka nasihat-nasihat terindahnya. Sedang Ayah mereka jarang di Rumah. Ia sibuk dengan pekerjaannya sebagai koki masak di kapal dan kadang pulang setahun sekali bahkan lebih dari setahun. Ayah Luna dan Lumie sangat baik dan merupakan sosok Ayah yang bertanggung jawab terhadap keluarganya. Tok! Tok! Tok! “Lumie cepat bangunn!”, Tok! Tok! Tok!, “ayolah adikku yang malas, bangun..!”, terdengar suara pintu kamar Lumie diketuk berulangkali. Suara Luna menyuruhnya bangun. Luna adalah kakak dari Lumie yang duduk di kelas 2 SMA, sedangkan Lumie masih duduk di kelas 3 SMP. Perbedaan umur mereka yang tidak begitu jauh membuat ego dan keras kepala mereka hampir sama. Luna merupakan kakak yang baik tetapi usil kepada adiknya. Lumiepun tersentak dari tidurnya ketika mendengar suara pintu yang keras. Wajahnya yang kusut ditambah pipi dan tangannya yang berbekas-bekas seperti pakaian lama yang terhimpit oleh pakaian- pakaian baru. Akhirnya Lumie datang dengan setengah sadar, masih dalam mimpi indahnya. "ibu, cantik sekali pagi ini, tak seperti pagi biasanya" puji Lumie. “Ada apa denganmuu....!”, Luna meniru salah satu lirik lagu band peterpan untuk Lumie. ”Mengapa Ibu tidak membangunkan Lumie tadi?”. Ibupun bingung mendengar perkatannya. Mungkin karena dia mengantuk berat sehingga dia tidak ingat kalau dari tadi Ibu sudah membangunkannya berulangkali.

Lumie pun segera ke kamar mandi dan mandi dengan terburu-buru karena dia takut telat ke sekolah.

Setelah mandi dan berpakain, ia bergegas menuju kemeja makan. Disana sudah ada Kak Luna dan Ibu. “Ayo Lumie kita sarapan..!”, Ibu segera mengambilkan sepiring nasi goreng dan telur mata sapi kesukaanya. “Ngomong-ngomong, mandinya kok cepat banget. Perasaan 5 menit yang lalu kamu baru bangun tidur. Apa jangan-jangan kamu cuma basuh muka saja... Ihh... jorok!”, kata Luna meledek sambil menggeser kursinya dari kursi Lumie. Lumie pun kesal oleh perkataan kakaknya itu dan menumpahkan kekesalannya di meja makan dengan menolak piring makan hingga hampir jatuh. “Sudah Kak, jangan ganggu adikmu!”, kata Ibu kepada Luna.

Luna pun terdiam dan tersenyum kecil karena merasa puas berhasil meledek si adik.

“Iya dek, maafkan kakak ya..!”, ucap Luna memohon maaf. “Sarapan yang banyak ya dek, supaya cepat gemuk”, ucap Kak Luna lagi untuk meyakinkan Lumie kalau ia benar-benar bersalah. Suasana pagi yang cerah berubah menjadi pagi yang diselimuti awan hitam ketika Luna kembali meledek Lumie. Ketika itu Lumie dan Luna berangkat ke Sekolah bersama-sama dengan berjalan kaki karena letak Sekolah Luna dan Lumie dekat, sedangkan Ibu sudah pergi ke pasar. “Hmm... namanya aja yang Lumie, tapi orangnya gak rapi, bersih. Mandi aja terburu-buru, buku-buku berserakan. Cocoknya nama kamu tuh Joko alias ‘jorok kotor’...”, ledek Luna kembali. “Ukh... tadi sok perhatian sagala! Pake acara minta maaf. Nah, sekarang aku diejek lagi sama dia. Sekarang dimana-mana yang namanya anak tertua itu semuanya sama. Kalau gak galak, ya sok ngatur, cari perhatian”, Lumie masih menyangsikan kasih sayang kakaknya yang usil itu.

Setibanya di Sekolahnya Lumie, wajahnya masih murung dan kesal mengingat si Kakak yang terus usil kepadanya.

Teeet.... teeet.... Bel tanda dimulainya pelajaran pertama di Sekolah Lumie.

“Daf apa kau punya kakak atau abang di keluargamu? Apa kakak atau abangmu sering usil kepadamu? Apaa..”, Lumie terus bertanya dengan pertanyaan yang sama kepada salah satu temannya. “Punya, aku punya satu orang kakak dan satu orang abang. Tapi mereka gak ada yang usil, semua baik-baik kepadaku”, jawab Daffa sedikit bingung dengan pertanyaan Lumie. “Terry apa kau punya kakak ? Apa kakakmu usil kepadamu? Apa dia sering mengganggumu?”, tanya Lumie panjang lebar. “Ya”, jawab Terry singkat. “Iya apanya...?”, tanya Lumie sedikit kesal. “Ter, alasannya apa..?”, tanya Lumie sambil menggoyang-goyangkan bangku Terry. Sejenak keadaan hening, bagai sunyi dalam keramaian. Semua murid terdiam dan mengarahkan wajah mereka kearah Lumie yang masih sibuk meminta Terry menjawab pertanyaanya. “Ehemmm”, kata Buk Guru. Lumie hanya terdiam karena merasa dia diperhatikan oleh banyak temannya.

Kegiatan belajarpun dimulai...

Teeet...Teeet...Teeet...

Sekolahpun telah usai. Semua murid berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing .... Wajah mereka yang ceria walau dipenuhi peluh keringat di siang hari tidak membuat mereka gerah dan bosan berada di Sekolah. Apalagi saat bel dibunyikan yang menandakan saatnya mereka pulang kerumah pertama dan meninggalkan rumah kedua mereka, yaitu Sekolah.

Hari ini Lumie tak pulang bersama Luna, karena Luna pergi bersama temannya mengerjakan tugas bersama temannya. Lumie sepertinya sudah melupakan kejadian tadi pagi.

Setibanya dirumah...

“Assalamualaikum”, Lumie memberi salam pada orang dirumah.
            “Waalaikumsalam, loh Kak Luna mana..?”, tanya Ibu kepada Lumie.
            “Katanya sih kerja kelompok, Bu”, jawabnya sambil menoleh kearah meja makan.
            “Bu, ada makanan?”, tanya Lumie kepada Ibu.
            “Tidak ada Lumie. Tadi Ibu kepajak, tapi Ibu tak beli makanan.”, jawab Ibu.
            “Mengapa Ibu gak membeli?”, tanya Lumie lagi,
            “Makanan disana belum tentu sehat Lumie, lagi pula banyak makanan yang dijual didekat penjualan ayam potong, dekat trotoar. Kalau ditempat yang biasa Ibu beli itu sudah gak jualan lagi...”, jawab Ibu .

Lumie pun menghela nafas panjang. Ia tahu maksud sang Ibu yang tak ingin membeli makanan yang tak sehat untuk anaknya.

Tibanya waktu makan siang...

           “Luna, Lumie, ayo makan...!”, kata Ibu yang meletakkan makanan keatas meja.

Perut kosong dan pikiran yang dipenuhi kejengkelan membuat Lumie berjalan sembarangan hingga ia tak sengaja membentur pintu kamarnya.

            “Aghh.. sakit banget, dasar dinding sialan”, keluh Lumie.

Hari ini Ibu menyiapkan lauk dan sayur yang sederhana yaitu sayur kangkung, Ikan teri Medan, dan lauk lain kesukaan Lumie. Tapi kali ini iya tak menikmati makan siangnya itu.

             “Lumie, dimakan sayurnya. Sayang kalau gak dimakan, mubazir.”, ucap Ibu yang menyodorkan sayur kepiring makannya.
           “Hmm...”.
           “Ada apa nak, kan Ibu sudah buat makanan kesukaan Lumie”, ucap Ibu lagi.

“Mungkin lauknya gak enak. Makan aja, sekali-kali makan ikan teri sama sayur aja napa... Makan ayam sama daging udah bosan tahu... cepat makan, nanti nasinya dingin”, desak Luna kepada Lumie.

           “Ah... Kakak ini cari masalah aja... “, ucap Lumie kesal.
           “Ada apa Lumie...? Ada masalah di Sekolah Lumie?”, tanya Ibu.
           “Bukan. Hari ini panas banget!”, kata Lumie bermuka kencut.
           “Hah... gak nyambung banget”, ucap Luna.
           “Oh, itu ajanya. Ya sudah hidupkan kipas angin”, kata Ibu.
           “Gak, malas..”, katanya singkat.

Lumie memang termasuk anak yang keras kepala dan kadang rajin, kadang malas. Kadang kalau angin sejuk datang padanya, ia rajin mambantu Ibu. Akan tetapi kalau yang datang angin ribut, ia akan malas untuk membantu sang Ibu. Hari ini Badai datang kepadanya, ditambah terik siang yang menyerka tubuhnya. Keringat bercucuran bagai air terjun dari inti sungai tanpa hentinya.

Pagi ini, adalah jadwal piket pagi Luna. Tanpa sadar ternyata jam sudah menunjukkan angka 06.00, sementara Luna harus datang sebelum pukul 06.45. Tanpa pikir panjang segera saja Luna mandi dan bersiap-siap. Luna langsung menyambar tas sekolah birunya itu yang merupakan hasil dari kerja kerasnya menabung. Padahal keluarganaya termasuk dalam kategori mampu. Hanya saja ia mencoba mandiri, tapi untuk beberapa saat. Aneh... tapi itulah dia, Luna. Segera ia pamit kepada Ibu. Sedang Lumie masih tertidur lelap dikamarnya. Luna melambaikan tangannya kearah trotoar jalan. Kali ini ia akan naik ojek, karena terjadi kemacetan yang panjang dari persimpangan jalan rumahnya sampai diperempatan jalan Sekolahnya. Padahal ia bisa saja berjalan kaki, akan tetapi hal itu tidak mudah karena kendaraan yang melalui jalan itu sangatlah besar dan dapat berbahaya bagi dirinya. Oleh karena itu ia harus naik ojek walupun akan melewati jalan pintas yang berlubang-lubang dan akan menghabiskan sedikit waktunya karena akan berputar-putar.

"Makasih pak, ini uangnya", katanya kepada tukang ojek itu. "Kurang neng, masa cuma Rp. 5000, Neng? Tambahin Rp.2000 lagi napa! Zaman sekarang mana laku. Hidup sekarang susah neng", kata tukang ojek ngomel panjang lebar. “BBM udah naik, masa cuma dikasih goceng mana cukup, tambahin lagi dah neng”, desaknya lagi.

              Tukang Ojek itu terlalu memaksa, membuat Luna kesal. Padahal kalau Kak Luna naik becak dayung, ongkosnya bahkan tak sebesar ini. Paling cuma 3000 atau 4000. Seharusnya kalau naik ojek ongkosnya agak murah sedikit karena tidak menggunakan jasa tenaga manusia.

“BBM naik...? siapa bilang. Nih tukang ojek tau aja kalau aku buru-buru. Kesempatan banget mendesakku untuk memberinya lebih”, pikir Luna dalam hati. “Makasih ya pak...!”, kata Kak Luna sambil memberikan ongkosnya pada tukang ojek tersebut. Tiba-tiba hujan turun. Luna tak terlambat tiba disekolah walaupun jam sudah melewati 06.45 WIB.

Setibanya di Sekolah, Kak Luna bertemu temannya, Meiko namanya. Akan tetapi, Meiko acuh tak acuh terhadap Luna. “Kalau berpapasan di Sekolah, ia hanya tersenyum hambar, bahkan seperti menghindar dariku”, ucap Luna dalam hati. Meiko kesal terhadap sikap Luna karena Luna sering tak peduli apabila Meiko meminta Luna menemaninya kesuatu tempat misalnya. Jarak antara mereka menjadi renggang karena sering disebabkan jurusan yang mereka ambil berbeda. Luna mengambil jurusan dibidang IPA, sedang Meiko mengambil jurusan dibidang Bahasa. Oleh karena itu mereka jarang bertukar pikiran dan mengerjakan tugas bersama. Dan juga jarak ruang kelas mereka sangat jauh. “Mei, ada apa denganmu...?”, kata Luna. “Hah...?”. “Oh... gak kenapa-napa”, jawab Meiko pendek. “Tapi...kok kamu kayak asing gitu padaku? apa aku punya salah padamu..?”, tanya Luna lagi. “Bukan gitu Lun, kita itu kayak ada tmbok besar yang membatasi kita. Ngertikan...?”, ucap Meiko. “Maksudnya Mei..?”, tanya Luna bingung. Setelah berbicara panjang lebar, merekapun menyelesaikan masalah mereka secara damai. “Baiklah, maafkan aku bila aku sering tak acuh kepadamu”, ucap Luna pada Meiko. “Iya, aku juga minta maaf kalau aku sering marah padamu”, ucap Meiko dan memeluk Luna sebagai tanda kembalinya pertemanan mereka yang sempat renggang.

Bel Sekolah berbunyi, mereka kembali ke kelasnya masing-masing. Di Sekolah, Luna adalah siswa yang berotak biasa. “Huh, aku memang tak jenius.”,ucapnya dalam hati. “Aku bahkan tak seperti temanku, Meiko. Ia lebih pandai daripada aku. Ia bahkan dapat menjadi penulis termuda di Sekolah. Ia memang berbakat”, ucap Luna yang memandingkan tingkat kepintarannya dengan temannya. Saat itu Luna sedang mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia. Ia dan teman sekelasnya diberi tugas oleh Bu Vika, seorang guru Bahasa Indonesia yang berparas cantik, muda , baik, dan tinggi. Luna dan temannya diberi tugas untuk membuat cerpen yang harus dikarang sendiri. Tugas ini untuk mengisi hari libur mereka menjelang UAN kelas 3. “Anak-anak, kalian Ibu beri tugas untuk membuat sebuah cerpen yang dikarang sendiri. Tema cerpen yang akan Ibu berikan tidak bebas. Setiap dari kalian akan diberikan tema tersendiri oleh Ibuk”, kata Bu Vika. Tentu kelas menjadi gaduh karena tugas ini akan mempersulit mereka , walaupun Bu Vika sudah menentukan temanya. Ada tema tentang persahabatan, pengabdian, penganiayaan, percintaan, perkembangan zaman, pengorbanan, kehidupan, pendidikan, dan keluarga, pengalaman, dan tema-tema lainnya yang membingungkan mereka. Bu Vika tahu, bahwa bila siswanya diberi tugas mengarang cerita, kebanyakan dari mereka akan membuat cerpen dengan tema percintaan dan persahabatan. Oleh karena itu tema mereka dibeda-bedakan supaya bervariasi. Walaupun demikian, beberapa dari mereka ada yang memiliki tema yang sama. Bu Vikapun meninggalkan kelas karena ada rapat mengenai UAN kelas 3. Mereka diberi tugas oleh Bu Vika. Mereka tak dipulangkan karena beberapa menit lagi bel penanda pulang akan berbunyi. “Kalian buat cerpen tentang apa ??”, tanya Luna pada dua orang teman di depan bangkunya.. “Entah... bingung. Tema yang diberikan Bu Vika aja aku kagak ngerti”, ucap Ita sambil menggenggam handphone barunya. “Kalau kamu dis?”, tanya Luna lagi pada teman yang satunya. “tau ah... suram. Bantuin dong ...!”, ucap Gadis. “Hey lihat aku punya lagu baru lho... lagu terbarunya Westlife”, timpal Katy pamer. “Waduh, gak nyambung nih anak... Lagunya Adele ada gak.. hahaa”, timpal yang lainnya. Tiba-tiba kelas hining sejenak... “aaaaahhhhh, gak tahu apa yang mau di ceritakan ini. Masa aku diberi tema tentang keluarga...”, teriak Luna hingga membuat Rika teman sebangkunya menatapnya sinis. “agh.. bikin terkejut aja ni anak...!”, ucap Rika sedikit kesal. “Hey ngapain stres sendiri, santai aja. Cerpen mah gampang...!”, ucap Randi sepele. Siapa lagi kalau gak ketua kelas yang kelebihan hormon usil itu. “Kan bisa cari di internet, susah-susah. Udah santai aja...”, katanya lagi hingga memecah konsentrasi Luna dan temannya yang lain. “Ahaaa... bagaimana kalau kita buat cerpen tentang Artis Korea. Sekarangkan sedang marak-maraknya.”, teriak Geby sehingga membangunkan penduduk satu kampung. Ahh, maksudnya mengejutkan seisi kelas. Teriakan Geby disambut dengan anggukan teman-teman disekitarnya. “Ssstt, Ericha mau nulis cerpen tentang apa..?”, tanya Luna. “Mau buat cerpen percintaan, pengalaman sendiri...!”, jawab Ericha. “Kamu mah enak, pandai bikin cerpen. Sedangkan aku..? apa coba. Udah tau temanya gampang, tapi menuangkan kata-kata dalam kertas aja susah bener”, keluh Luna.

Teeet... bel berbunyi berkali-kali. Tiba-tiba langit cerah berubah menjadi kelabu.... Langitpun menangis dan membasahi sesisi kota. “Mei, pulang bareng yuk.. Aku bawa payung nih. Rumah kita kan hampir berdekatan“, ucap Luna. “Yukk....”, jawab Meiko. “Tampaknya kamu ada kesulitan?”, tanya Meiko yang melihat Luna bermuka kecut. “Iya aku diberi tugas oleh Bu Vika buat cerpen, temanya ditentukan. Temanya itu tentang keluarga”, ucap Luna. “Ohh.. itu kan gampang. Kamu tulis aja cerita tentang keluargamu sendiri”, jawab Meiko. Hujan datang lagi. Luna dan Meiko menjemput Lumie disekolahnya. Ternyata Lumie membawa payung sehingga mereka dapat pulang bertiga bersama. Mereka berteduh di Halte Sekolah Lumie karena hujan datang sangat deras. “Jadi , gimana setuju gak usulku?”, tanya Meiko lagi. “Keluarga sendiri? Kayaknya aku gak punya cerita menarik di keluargaku, biasa-biasa aja... kalau kamu buat cerpen pertama kali inspirasinya dari mana..?”, tanya Luna masih bimbang. “Kalau aku sih, dimulai dari pengalaman kita sendiri, lalu naik tingkat ke pengalaman teman, lingkungan sekitar, lalu barulah sampai ketingkat imajinasi atau khayalan kita sendiri”, sekali lagi kata-kata Meiko membuat Luna terkejut. “Wah, iya juga ya....”, kataLuna kagum dengan jawabanMeiko. Lumie hanya diam dan tak mencampuri urusan mereka. Ia sedang asik memandangi nilai ulangan Matematikanya yang mendapatkan nilai 96. “Tapi Mei, aku kurang tahu menyusun kata-kata. Bahkan bakatku sendiripun aku gak tau”, keluhnya lagi.

“Gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, kuman di seberang lautan kelihatan”, ungkapan dari Meiko menambah bingung Luna.

“Maksudnya...?”, tanya Luna bingung. “Kak Luna kalau dengar kata pepatah atau majas mana tau, mana ngerti, diakan....”, timpal Lumie. “Apa, kau anggap aku bodoh.. mentang-mentang dapat nilai 96 udah bangga. Sombong...!”, ucap Luna kesal. “Udah-udah, maksudnya itu bakat kamu itu ada, tapi belum kelihatan. Maksudnya lagi kamu punya bakat tersembunyi, tapi gak tahu dimana letak bakat tersembunyi itu. Entah ada di sekitarmu, tapi kamu gak tahu, atau kamu tahu bakatmu tapi gak dikembangkan.. Gitoe!”, kata-katanya membuat Luna paham akan maksud itu. “Ooo.. sekarang aku mengerti”, kata Luna mengangguk mengerti. “oooo, kebanyakan O nanti bulat lho.. hahaha”, ledek Lumie lagi. Hujan masih turun deras, tiba-tiba saja berhenti setelah Luna selesai membahas tentang cerpen dan bakat. “Hujan udah berhenti, yuk kita pulang...”, ajak Luna dan merekapun pergi meninggalkan Halte dan pulang ke rumah masing-masing.

Setelah selesai makan siang, Luna menuju kamarnya dan bergegas membuat cerpen. “Ahaa!”, sebuah ide muncul dikepalanya.

“Aku buat cerita tentang keluargaku sendiri aja. Memang benar kata Meiko kalau ingin buat cerita dimulai dari pengalaman pribadi atau sekitar dulu”, ungkapnya senang.

Luna pun mulai membuat cerita... Ketika sedang asik menulis cerita. Ia teringat ungkapan yang dituturkan oleh Mario Teguh dalam sebuah jejaring sosial, yang isinya: Anda yang sedang kesal karena perendahan orang lain, It's OK mereka merendahkan Anda sekarang, asal yang Anda lakukan akan menjadikan Anda lebih tinggi daripada mereka. Sabarlah. Dunia ini berputar, dan berpihak kepada yang sabar dan rajin. Ini hanya masalah waktu. ________________________ Mario Teguh Melihat ungkapan itu, Luna menjadi lebih semangat dalam menulis cerita. Ia ingin mencari dan mengetahui bakatnya seperti yang dikatakan temannya. Walaupun nantinya ia bukan menjadi penulis, ia akan berusaha agar dapat menemukan bakatnya dibidang apapun itu. “Ya... aku harus semangat, dunia ini berputar. Setelah aku tahu bakatku, aku akan mengembangkannya dan menjadikannya sebuah kesuksesan bagiku, agar aku gak direndahkan orang lain dan agar aku menjadi lebih dari mereka”, ucap Luna semangat. Melihat si Kakak berbicara sendiri dikamar, Lumie bertanya,”Ada apa dengan Kakak?”. “Gak ada, biar semangat aja ngerjakan tugas”, alih Luna. Melihat Luna tak kunjung keluar kamar, ia pun menjumpai Luna dan menyodorkannya sebungkus roti isi keju kesukaan Luna. “Kak, mau gak?”, ucapnya “Apa? Mau apa? Boleh...”, Luna menyambar Roti itu dari tangan Lumie. “Uhh.. udah dikasih, gak sopan”, kesalnya. “Iya deh, makasih ya adikku baik...!”, puji Luna. Lunapun melanjutkan cerpennya. Kebaikan sang adik membuat jalan ceritanya tambah panjang. Karena Luna menulis cerpen tentang sang adik, Lumie. Luna menulis cerita tentang kejahilan sang adik dan kejahilannya kepada Lumie. Tapi, dia tak tahu akhir dari ceritanya.... Hari berganti hari, langit biru berubah menjadi kelabu. Entah kenapa, apa langit menangis lagi??. Padahal musim lalu, langit selalu riang. Jarang bersedih. Ia selalu ditemani matahari, tapi kini matahari jarang bertemu dengannya. Apa ada jarak antara mereka?. Seperti Luna dan Meiko yang dulu sempat renggang dan akhirnya berteman lagi. Hari ini Luna libur sekolah karena kelas 3 sedang melaksanakan ujian. Sedangkan Lumie masih bersekolah. “Bu, ada telepon dari sekolah Lumie...!”, kata Luna. “Dari Sekolah?”, jawab Ibu sedikit terkejut. “Selamat siang Buk. Apa ini dengan Ibunya Lumie?”, suara pria terdengar ditelepon. “Ya, benar. Ada apa ya Pak..?”, tanya Ibu penasaran. “Begini Buk, tadi anak Ibu Lumie mengalami kecelakaan, dia terjatuh di tengah jalan. Saya kurang tahu pasti penyebabnya. Kata murid lainnya ia terjatuh karena terpeleset dijalan”, kata pria yang merupakan Guru Sekolah Lumie. “Apa pak, Ya Tuhan... Dimana anak saya sekarang ya pak?”, tanya Ibu gelisah. Kak Luna yang penasaran mengapa Ibu samapai terkejut seperti kehilangan barang berharga, bertanya pada Ibu. Mendekatkkan telinganya ketelepon. “Ada apa Bu?”, tanya Luna. “Ssstt”. “Anak Ibu ada di RSUD dekat Sekolah”, jawab Guru tersebut. Ibu dan Luna segera bergegas menuju Rumah Sakit. “Ada apa dengan anak saya Pak?”, tanya Ibu kepada Guru Lumie. “Kata Dokter tangan kanan anak Ibu mengalami keretakan pada sendinya”, kata Guru itu. “Tapi anak saya tak kenapa-kenapa kan pak?”, Ibu masih belum yakin dengan pernyataan Pak Guru. “Iya Buk, kalau dirawat dengan baik, empat minggu atau enam minggu sudah bisa digerakkan. Dokter mengatakan retaknya tak parah dan tak membahayakan persendiannya”, kata Pak Guru meyakinkan Ibu. Mendengar itu Luna merasa kecewa dan bersedih. Ia merasa gara-gara hujan yang deras adiknya mengalami musibah seperti ini. Ia menghampiri Lumie yang tengah tertidur. Ia tak tahu apakah Lumie dapat tertidur dengan nyenyak setelah musibah ini datang padanya atau tidak.

Setelah beberapa hari dirawat di Rumah Sakit, Lumie akhirnya dikembalikan ke Rumahnya. Ia dirawat dengan baik oleh Ibu dan Kakaknya. Tak jarang Luna juga menjahili sang adik walaupun Lumie masih sakit. “Hey... ayo tangkap. Tangkap kalau bisa...”, kata Luna pada Lumie. “Ahh... kembalikan perbanku. Ibu.. Kak Luna menggangguku..”, teriak Lumie. Pada saat itu Ibu sedang pergi ke Apotek membeli obat. Tiba-tiba.... Gbrukkk....... “Aduhhh... sakit!!”, rintih Lumie. “Ada apa ini ribut-ribut”, Ibu datang dan melihat Lumie terjatuh dilantai. “Ya Allah... Lumie. Mengapa bisa terjatuh”, Ibu terkejut melihatnya. Lunapun segera menolong Lumie. Luna menyesal karena sudah mengganggu Lumie. “Luna gak sengaja bu....!”, ucap Luna. “Kamu jahil lagi ya pada adikmu..?”, tanya Ibu. “hmm, iya. Maaf ya dik..!”, kata kak Luna meminta maaf. Lumie hanya diam menahan sakitnya dan berpikir kalau Luna sok perhatian lagi padanya seperti dulu... Ingatan itu datang lagi kepadnya dan berkata dalam hati,” Aku sudah kenyang melihat kenyataan permainan dunia sekarang”. Syukurnya, Lumie tak apa-apa. Untungnya ketika ia sedang rebutan perban hingga ia terjatuh, tangannya sudah ditopangnya duluan sehingga tak membentur lantai. Hanya saja kakinya yang terkilir. Sore harinya, Luna pergi membeli soto kesukaan adiknya Lumie diwarung dekat Rumah. Ini sebagai permintaan maafnya yang sering meledek Lumie. Cuaca yang masih cerah tiba-tiba mendadak mendung lagi dan akhirnya turun hujan. Luna tidak membawa payung, kendaraapun tak ada yang lewat. Ia pulang kerumah dengan berjalan kaki karena jarak rumah dengan warung cukup dekat. Setibanya dirumah, ia basah kuyup. Luna memberikan soto itu kepada Lumie, tapi karena Lumie maih jengkel pada kakaknya dan berpikir Luna ingin mencari perhatian lagi, ia pun menolak pemberian itu. “Gak ah... udah kenyang!”, ucap Lumie sambil menuju kamarnya dengan jalan tertatih-tatih. “Benar, gak mau... ya udah!”, ucap Luna pelan. Esoknya, Luna batuk-batuk dan demam. Lumie merasa bersalah. “Aku merasa dikejar-kejar dosa”, katanya menyesal. Tiba-tiba dihatinya ada suatu kekhawatiran. Ia melihat kakaknya tidak selera makan. Melihat itu, Lumie menghampiri Luna dan memberinya obat demam dan air minum. Dan berkata,”Kakak sakit..?”. “Iya”, ucap Luna. “M...maaf ya kak, jangan lupa minum obat, supaya lekas sembuh”, ucap Lumie yang memegang kening Luna yang panas. Luna memeluk Lumie bahagia,”Terima kasih, Lumie”. Setelah sembuh, Luna melanjutkan cerpennya yang akan dikumpulnya besok. Dia masih bingung akhir ceritanya. Lima menit kemudian.... “Kenapa aku tidak membuat ending yang kayak gini aja?? Kenapa gak terpikir olehku??”, Luna memikirkan akhir cerita dari cerpennya tentang kebaikan sang adik yang ternyata perhatian padanya. “Hhh.. empat kata untukku ‘aku berhasil menyelesaikan cerpenku’...!”, teriaknya. Akhirnya Luna berhasil menyelesaikan cerpennya tepat waktu. Beberapa minggu kemudian Lumie juga sembuh dan tangannya dapat digerakkan lagi. Semua aktivitas berjalan dengan lancar. Lumie pun berpikir kalau kejahilan kakaknya itu hanya untuk mempererat persaudaraan mereka, walaupun dengan cara demikian.

Inti Cerita :

perjalanan seorang adik, Lumie, yang mengalami kecelakaan karena terpeleset di tengah jalan yang basah akibat hujan. Dan menceritakan bagaimana kehidupan sehari-hari keluarga Lumie, dinamika hubungan antara kakak dan adik, serta tanggung jawab seorang ibu yang bekerja keras untuk keluarganya.

Kejadian kecelakaan Lumie menjadi pemicu perubahan suasana hati dan kehidupan sehari-hari keluarganya. Meskipun awalnya Lumie menghadapi kesulitan akibat cedera pada tangannya, cerita ini juga menggambarkan semangat dan dukungan keluarga dalam mengatasi tantangan tersebut. Selain itu, cerita ini memiliki momen-momen kecil dalam kehidupan sehari-hari yang mencerminkan keakraban dan kehangatan keluarga. Dari pembangunan karakter Lumie, Luna, dan ibunya.


Pesan Moral:

Pesan moral yang dapat diambil mencakup nilai-nilai seperti kebersamaan, dukungan keluarga dalam menghadapi kesulitan, dan apresiasi terhadap momen-momen kecil dalam kehidupan sehari-hari.