Gereja-gereja Yunani dan Timur/Bagian 1/Divisi 2/Bab 8

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
BAB VIII

GEREJA YUNANI PADA KEJATUHAN KEKAISARAN BIZANTIUM

Pengikisan Kekaisaran Bizantium melibatkan gereja ortodoks dalam dua persoalan serius. Kemenangan Turki mengakibatkan musibah bagi Kristen yang memandang Konstantinopel selaku pusat agama mereka, melebihi dan di atas peringkat kenegaraan dari kota yang sama selaku ibukota dan berkali-kali nyaris seluruh wilayahnya. Itu pertanda buruk. Namun kekeliruan dipicu oleh skisma yang memisahkan Gereja Timur dari gereja kepausan dari barat. kala kami menengok bab sebelumnya, di bawah keadaan kemajuan pasukan salib, yang datang selaku penyelamat Timur dari orang kafir, menimbulkan perasaan yang sangat bercampur oleh Kristen di tempat tersebut. Yunani membenci Latin setidaknya sebesar mereka mengkhawatirkan Turki. Berkali-kali, kami mendapati kaisar berencana dengan sultan melawan para temannya dari Barat. Dampak invasi menimbulkan intensifikasi antipati ini.

Para pembuat kronik membuatnya jelas bahwa ini harus dipermudah bahkan sebelum ada kemunculan pertikaian apapun antar dua belah pihak. Contohnya, mengambil beberapa kejadian di Siria dan Palestina pada Perang Salib pertama. Usai mencapai tugas menonjol mereka, sebuah tugas timbul lebih epik ketimbang Jerusalem Delivered karya Tasso, dalam pengepungan sukses Antiokhia, pasukan salib lekas melanjutkan ibadah Kristen di kota tersebut. Di gereja-gereja, mereka mendapati ikon-ikon dengan mata terpotong, hidung terpancung, seluruhnya disamarkan dengan kotoran. Kala mereka merestorasi, menempatkan kain dengan tatanan yang baik. Mereka menetapkan gaji terhadap rohaniwan dan melapisi hadiah-hadiah gereja yang terbuat dari emas dan perak untuk salib-salib dan cawan-cawan, dan sutra untuk jubah dan penutup altar. Mereka mengangkat kembali patriark yohanes dengan sangat hormat dan mandiri. Mereka bahkan menghimpun para uskup di kota-kota yang bahkan tak dipegang mereka. Sifat bersahabat adalah sifat mereka kala mereka meninggalkan Antiokhia dan pada perjalanan mereka menuju Yerusalem, Kristen Siria secara sukarela menjadi pemandu. Semuanya sangat senang. Namun terpisah!—apa yang telah menjadi skisma? Itu berada dalam cara yang tersembuhkan, Kesadaran pribadi di satu sisi, dan sedikit sikap bersyukur, bukannya mengatakan pengikisan umum, di sisi lain, menjaganya untuk berangsur selama waktu tersebut; namun, kewaspadaan ulangnya tak terhindarkan, tak lama atau selanjutnya. Yohanes dari Antiokhia berada dalam posisi yang sangat kacau. Ia tak dapat menolak untuk memulihkan tempat berhaknya, takhta patriarkal Antiokhia; dan ia tak dapat melakukan hal lain selain melayani para pengirim dari barat, melalui sifat kepahlawanan dan nyaris tak mungkin mendapatkan hasil bahagianya yang telah dibawa. Sehingga, bagaimana ia dapat menyelaraskan diri dengan para bida'ah—sosok yang memegang prosesi ganda Roh kudus, menyatakan supremasi uskup Eome, dan yang terburuk dari semuanya, memakai roti tanpa ragi dalam perjamuan kudus? Itu tak mungkin. Dalam dilema ini, Yohanes memilih bertahan jika keputusannya menarik diri. Ia datang ke Konstantinopel "untuk kehendak baiknya," para pembuat kronik kami dengan batu-batu berkata, "tanpa paksaan atau tekanan apapun." Jabatan tersebut kemudian dilowongkan, pasukan salib tak merasa keberatan atas pelantikan patriark lainnya, dan kala mereka memilih Bernard, yang mereka angkat sebelumnya menjadi uskup Tarsus; ia merupakan orang asli Valence yang datang dari Barat selaku kapelan untuk uskup Puy. Sebetulnya, ia adalah imam Gereja Latin dan tunduk pada Paus. Ini sama dengan Dagobert yang diangkat oleh pasukan salib menjadi patriark Yerusalem. Ia adalah patriark mereka; ia bukanlah patriark penduduk asli Kristen.

Situasi di Konstantinopel makin memburuk. Ini menjadi kota Kristen di tangan pemerintahan Kristen kala pasukan salib merebutnya. Sehingga, kota tersebut memiliki patriarknya pada masa itu. Sosok tersebut adalah Yohanes Kamaterus. Ia kabur ke Didimotikum, namun walau ia tak lagi diperlakukan selaku kepala gereja, tak ada pergesekan pada pihak Yunani untuk mengakui perampas takhta Latin-nya di St. Sophia. Dua tahun kemudian (tahun 1205) Mikael Antorianus dipilih pada patriarkat oleh Yunani dari Nikea dengan upacara besar kala berada di St. Sophia; dan sehingga Gereja Yunani berada dalam kemerdekaannya yang tidak berdiri dengan persatuan Timur dan Barat di Konstantinopel, yang dirahmati Paus Innosensius.

Kala kami menumbuhkan diri kami sendiri dalam khayalan di antara orang Yunani, kami melihat bagaimana gagasan yang sangat konyol Kekaisaran Latin di Konstantinopel harus nampak pada mereka. Tak pernah ada Kekaisaran Latin apapun di Timur. Sekelompok besar brigand merebut kota tersebut; itu nyaris sepenuhnya dilakukan. Secara teoretikal, para baron membagi wilayah Kekaisaran Bizantium. Namun mereka tak memahami apa yang menjadi wilayahnya, karena dalam persebaran mereka, mereka meliputi Asiria dan Mesir dan belahan wilayah kekuasaan Turki lainnya. Namun wilayah tersebut sebenarnya hanya terdiri dari Konstantinopel dan wilayah sekitarnya. Bahkan disini, "kaisar" lebih kecil ketimbang salah satu baron yang mendapatinya sulit untuk memegang otoritasnya atas para baron sejawatnya—seperti tokoh sezamannya Raja Yohanes di Inggris. Setelah berkuasa hanya setahun, "kaisar" pertama Baldwin hilang dan diyakini dibunuh oleh Bulgaria. Saudaranya Henry, yang menggantikannya dan berkuasa selama sepuluh tahun, meredam penindasan Yunani dan mengijinkan mereka untuk menerapkan upacara keagamaan mereka di Konstantinopel. Ini adalah rangkaian harapan untuk penyelesaian; namun disertai dengan kematian "kaisar" berpemikiran liberal tersebut. Petrus, yang menggantikannya, hanya berkuasa selama dua tahun kala ia kehilangan pegunungan Epirus, dan tak ada hal lain yang didengar darinya. Hal-hal yang datang dari keburukan menjadi memburuk dengan perampasan kekuasaan; sebuah persoalan yang merebutnya dari awal; kubah surga menaunginya. Masyarakat lari dari perpajakan sulitnya; lahan-lahan ditinggalkan tak terawat; perdagangan mati; kemiskinan menjadi nasib kota tersebut dan para penguasanya. Para baron mencopot tembaga dari kubah-kubah gereja dalam rangka mencetak uang. Mereka menjual relik-relik paling suci, utamanya untuk dijadikan mahkota takhta, yang diberikan kepada St. Louis dari Prancis. "Kaisar" terakhir bahkan memajukan saudaranya sendiri ke para bangsawan Venesia sebagai permohonan untuk penawaran. Pretender memalukan pada takhta para Cæsar tersebut menjalani sebagian besar masanya di Eropa, mendatangi istana demi istana dan mengemis bantuan uang dan pasukan untuk mempertahankan kotanya.

Sementara itu, kekaisaran sebenarnya sebagian menarik dirinya sendiri bersama lagi. Kala pasukan salib merebut Konstantinopel, mereka menyingkirkan pemimpinnya. Tonggakannya kemudian dipecah dan menghimpun diri mereka sendiri selaku tiga pemerintahan terpisah, di Trebizond, Tesalonika, dan Nikea. Nikea menjadi pusat utamanya, dan peringkatnya memperluas kekuatan dan wilayahnya, sampai akhirnya sebagian besar Kekaisaran Bizantium yang telah berdiri kala Konstantinopel jatuh dikumpulkan di bawah kekuasaannya. Pada masa yang sama, Gereja Yunani di provinsi-provinsi tersebut tetap berjalan karena tak ada Kekaisaran Latin di Konstantinopel, tak ada patriark Latin, tak ada persatuan dengan Barat, tak ada perwakilan kepausan. Hal-hal tersebut menghimpun brigand yang menduduki kota tersebut; dan brigand tersebut, seperti yang kami lihat, secara harfiah mengalami kelaparan.

Ini menjadi hal yang dipersoalkan kala pada tahun 1261, beberapa Yunani dalam tentara Mikael Palæologus merayap melalui lubang di tembok kota yang dulunya tak tertembus dan dengan cepat memulihkan Konstantinopel untuk masyarakatnya sendiri. Namun, penolakan menyusul. Harapan baik di Nikea tak terwujud. Ini benar-benar tak memungkinkan untuk memulihkan Kekaisaran Bizantium. Sehingga, pasukan salib—dari Perang Salib Keempat—melakukan sedikit kebaikan untuk diri mereka sendiri, dan kerugian tak terbatas terhadap kekaisaran tersebut. Sistem pemerintahan Romawi yang menakjubkan patah di luar kemungkinan perbaikan. Sehingga, para pembela dunia Kristen melawan Islam mempersiapkan cara tersebut untuk keruntuhan pemerintahan Kristen terakhir di Timur. Jika Konstantinopel tak direbut oleh Kristen latin pada abad ketiga belas, mungkin kota tersebut tak akan dikepung dan direbut oleh Turki Utsmaniyah pada abad keenam belas. Di pintunya, pasukan Salib melayangkan kesalahan keruntuhan kota tersebut dan membuka jalan untuk laju Kekaisaran Turki di Eropa dan seluruh kekeliruannya.

Pemerintahan Yunani yang baru direstorasi di bawah Mikael di Konstantinopel mendapati dirinya ditentang—kekuatan Latin di Barat, yang bersimpati dengan Baldwin yang diasingkan, namun lebih siap dalam menanggapi tuntutan-tuntutan para paus, dan kekuatan Turki, yang berkembang dan menyebar bak jamur sampai mencapai gerbang kota tersebut. Sehingga, lagi-lagi Kekaisaran Bizantium terpohok pada batas-batas tembok Konstantinopel.

Ini menyatakan bahwa Gereja tidaklah terkikis dengan kekaisaran. Kami seringkali memiliki kesempatan untuk menyelaraskan penaungan rohaniwan Yunani dengan kemerdekaan kepausan. Namun kami mendapati banyak pengecualian, dan semuanya lebih menonjol dari fakta bahwa patriark Konstantinopel tak pernah memiliki posisi yang dipegang oleh paus di Roma. Jika ia menentang pemerintahan, ini membahayakannya, karena ia hanya subyek yang hidup di bawah bayang-bayang istana kekaisaran—bukan pangeran independen, terkadang sosok paling berkuasa di Eropa, dapat memainkan satu kerajaan melawan kerajaan lainnya, seperti pada kasus Innosensius iii. dan para penerus handalnya.

Mikael Palæologus menjalankan pelantikannya pada takhta Konstantinopel dengan kejahatan mengerikan. Ia menjadi pengajar dan penjaga Yohanes, pewaris takhta, seorang anak yang baru berusia delapan tahun. Ini menunjukkan bahwa ia hanya akan bertindak selaku wali raja, atau setidaknya wakil kaisar. Sehingga, ia merebut jabatan kaisar tunggal, dan membutakan anak tersebut agar ia tak dapat merebut pemerintahan. Kala kejahatan tersebut, patriark Arsenius mengadakan sinode para uskup. Disana, ia secara resmi mengekskomunikasikan kaisar. Perhatian diserukan pada fakta bahwa ia tak dapat bergerak lebih jauh dan menggulingkan penjahat tersebut. Namun disini, kami mendapati perbedaan penting antara Gereja Timur dan Barat. Para Paus menggulingkan para pangeran, karena para Paus mengklaim otoritas tertinggi Gereja atas pemerintahan sekuler. Klaim tersebut tak pernah diambil oleh Gereja Yunani. Di Timur, terdapat teori yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki kekuasaan atas provinsinya sendiri, meskipun dalam prakteknya sekuler campur tangan dengan spiritual. Kekuasaan spiritual tersebut kini menjadi kenyataan yang serius. Sehingga, Mikael sepenuhnya diperingatkan. ia memohon pengampunan agar dicabut dari ekskomunikasi. Arsenius menjawab bahwa bahkan jika ia diancam mati, ia tak akan pernah mencabut ekskomunikasi tersebut. Kaisar mendatangi patriark tersebut dan berujar jika ia ingin mengundurkan diri, namun kala ia melucuti pedangnya, patriark mengadahkan tangannya untuk menerimanya, Mikael berbalik dan tak merampungkan tindakan tersebut. ia bahkan berujar pada para temannya soal ajuan terhadap paus. Beberapa tahun berlalu. Lagi-lagi, kaisar mengajukan agar patriark melakukan absolusi; dan lagi-lagi pelayan Allah yang amat budiman tersebut menolaknya. Kemudian, Mikael tak lagi dapat menyelaraskannya. Ia membawa sejumlah dakwaan melawan Arsenius—bahwa ia memperpendek doa matin untuk kaisar, menegur kelalaian Trisagion, memperlakukan sultan Turki Seljuk dengan cara bersahabat, dll, dan atas dasar tersebut menghimpun rombongan uskup untuk menggulingkannya. Mereka memiliki catatan pelaksanaan sinode tersebut yang dicatat oleh pramuniaga istana. Arsenius diasingkan, dan penerusnya, Germanus, memberikan absolusi kepada Mikael, yang kemudian membujuknya untuk pensiun, mungkin karena ia tak dapat mempublikasikan faktanya. Itu dilakuakn oleh patriark berikutnya Yosef, seorang biarawan, yang mengetahui cara untuk menindak abdi. Pada 2 Februari 1267, terdapat fungsi mandiri di St. Sophia, yang dipersiapkan untuk dijalankan pada malam hari di gereja tersebut. Kaisar menghimpun dirinya sendiri bersebelahan dengan patriark, mengakukan dosanya, dan berdoa untuk perlindungan. Ia masih bersujud kala Yosef, seperti halnya uskup lainnya, membacakan absolusi, setelah itu ia menerima perjamuan kudus. Sehingga, pada akhirnya, ia mengabulkan harapannya. Seluruh cerita tersebut membongkar kekuasaan mengejutkan dalam rohaniwan Yunani, atau lebih dari itu, ini lebih signifikan, sebuah penghormatan menonjol yang dirasakan untuk agama dan kebaikan. Ini tak sebanding dengan tindakan Hildebrand terhadap Kaisar Henry; yang lebih seperti perlakuan Ambrose terhadap Theodosius di Milan, kala ia menolak mempersilahkan kaisar Romawi tersebut ke gereja dengan berlumuran darah. Ini adalah protes moral, bukan anggapan arogansi gerejawi.

Sepanjang seluruh masa restorasi Kekaisaran Bizantium, persoalan diplomasi utama terhadap para kaisar adalah upaya mereka untuk menjalin persatuan antara Gereja Timur dan Barat. Ini murni pertanyaan kebijakan. Tak ada pertanyaan untuk kebenaran kala dogma didiskusikan, dan tak ada kasih persaudaraan kala upaya untuk menyembuhkan skisma. Para kaisar, yang lemah dalam persenjataan dan wilayah yang terkikis, ingin berada pada tempat pertama untuk mengkonsiliasikan para Pausl kemudian lewat cara pengaruh mereka untuk mencegal kekuatan barat dari memicu "Perang Salib" baru untuk restorasi bayangan yang mengambang, "Kekaisaran Latin dari Konstantinopel"; dan terakhir, untuk mengamankan bantuan mereka dalam melawan perangsekan berkelanjutan Turki. Pada awal 1262, Paus Urbanus iv. memproklamasikan perang salib melawan mikael selaku perampas takhta dan skismatik, dan juga melawan para temannya dari Genoa yang membantunya. Urbanus meminta St. Louis untuk mengumpulkan persepuluhan untuk tujuan tersebut. Tak ada yang datang darinya, dan Paus berikutnya, Gregorius x., menanggapi para utusan dari Mikael dengan menyatakan bahwa tak ada waktu yang tersedia untuk mengakhiri skisma Yunani. Pakimer, seorang sejarawan, otoritas utama mereka untuk masa tersebut, bergabung dengan Gereja Latin. Tak ada keraguan para abdi untuk bersiap menyusul.

Para Paus nampak sepenuhnya menghiraukan konsisi sebenarnya Gereja Yunani. Sepanjang negosiasi dan semua orang yang mengikuti tak terlalu menolak menjadi bagian dari badan yang membuat keputusan atau mengambil langkah untuk persatuan. Yunani sangat didera dari invasi kejam dan dominasi tirani latin setidaknya untuk memililiki keinginan untuk penyatuan gerejawi dengan orang-orang tersebut. Upaya menuju persatuan di pihak Bizantium sepenuhnya datang dari pemerintah, bukan seluruhnya dari masyarakat, Gereja, atau rohaniwan. Mikael berniat maju untuk mendorong patriark dan para uskup untuk ikut serta dalam negosiasinya. Namun, ia sepenuhnya gagal. Apa yang mengejutkan? Pada waktu itu, Yunani mendengar bahwa kekauatan Barat merencanakan ekspedisi untuk memulihkan Kekaisaran Latin. Bagi mereka, penyatuan kembali Gereja Barat dipandang menerapkan restorasi tirani asing. Sehingga, kala para delegasi dari Paus mengunjungi Konstantinopel dan mengupayakan alasan dengan para uskup yunani dan mendorong mereka untuk menerima klausa Filioque, mereka tak mendatangkan apapun selain pemberontakan dini. Para uskup menjawab soal apakah ancaman kaisar timbul, mereka tak akan menghiraukan pernyataan apapun dalam rumus kuno. Patriark memajukan Veccus, seorang sosok yang pandai, untuk mewakili kepentingan Yunani. Usai menyebut berbagai jenis orang yang dapat dicap bida'ah, Veccus mendatangkan keputusan bahwa Latin adalah orang-orang "yang tak disebut, namun merupakan bida'ah."

Meskipun demikian, Mikael mengupayakan persatuan. Pada tahun 1274, ia melibatkan beberapa uskup untuk bergabung dengannya dalam mengirim para delegasi kepada Lyons demi mengakhirinya. Gregorius x. menerima kunjungan mereka sebagai pertanda bahwa mereka memajukan bentuk pengakuan iman Roma dan diajukan untuk supremasinya. Setelah upayaa kaisar dan para uskup dibacakan oleh para utusannya, Te Deum dilantunkan, dan eprsatuan gereja diproklamasikan. Patriark Yosef enggan mengaujikan diri, ia memutuskan untuk mengundurkan diri, dan oratornya Veccus, yang menghadap pihak kaisar, direncanakan untuk menggantikannya. Mikael mendapatkan bayarannya. Paus menolak ijin Charles dari Angou untuk menyerangnya. Namun kala Martinus iv. menjadi Paus, ia memiliki sumber-sumber informasi atau penjelasan sudut pandang yang ditolak Gregorius. Ia tak terusik oleh upaya yang diajukan Mikael, yang dibuat dengan tujuan tunggal mengamankan takhta dan kekaisarannya, namun tak mewakili pemikiran dan kehendak Gerejanya. Pada tahun 1281, Martinus mengakhiri semua negosiasi pada waktu itu dengan mengekskomunikasi Mikael dan Yunani selaku skismatik. Pada tahun berikutnya, kaisar wafat, dan putra dan penerusnya, Andronikus ii., yang berkuasa selama empat puluh enam tahun (tahun 1282–1328), kembali ke kebijakan anti-kepausan. Veccus terpaksa pensiun dari biara dan Yosef kembali ke patriarkat. Meskipun membahayakan keduanya dari Barat, tak lagi bersinggungan dengan kepausan, dan juga dengan Turki, Andronikus menerima bantuan para peniaga Spanyol, "Katalunya," yang maju selaku permulaan ketegangan. Mengambil sikap independen, pihak Spanyol mula-mula memperkenalkan Turki ke Eropa dengan mengundang mereka pada aliansi melawan faksi yang berlawanan di Konstantinopel.

Peristiwa gerejawi utama dari masa kekuasaan lamanya menjadi persoalan patriark Atanasius dan anatema-anatemanya. Bersama dengan kaisar, patriark menjadi sosok paling penting di Konstantinopel. Sehingga, ini menjadi persoalan serius untuk menjadikan Atanasius sendiri selakusosok gerejawi yang kuat, melayangkan anatema di kiri dan kanan. Ia menjadi kurang populer kala ia dilengserkan dan dikirim ke konven. Beberapa tahun kemudian, beberapa orang, menaiki tangga menuju atas tiang di kubah St. Sophia dalam pencarian sarang merpati. Disana, mereka mendapati gerabah tanah liat yang berisi anatema-anatema Atanasius melawan kaisar dan para musuhnya. Kelanjutan dari peristiwa tersebut memberikan beberapa sorotan terhadap gagasan agama pada masa itu. Andronikus ketakutan, dan ia mengadakan sinode uskup untuk menghimpun kebaikannya pada masa mendatang. Sinode tersebut menyatakan bahwa hanya manusia yang menulis kutukan yang dapat menariknya. Sehingga, kaisar datang, disertai oleh para uskup, ke sel Atanasius, yang didorong untuk meniadakan dakwaan kekaisaran dan meneruskan jabatannya selaku patriark.

Di seberang selat, kaisar berikutnya, Andronikus iii. (tahun 1328–1341), membuka kembali negosiasi dengan kepausan, dan mengirim pesan ke Paus Yohanes xxii. menyatakan keinginannya untuk persatuan lewat tangan beberapa misionaris Dominikan yang kembali ke Tartary, paus menangganinya dengan memajukan para pengkotbah ke Konstantinopel dan berjanji untuk melakukan semua yang ia dapat untuk meneruskan harapan taat kaisar. Pada kematian Andronikus tak lama setelah itu, marabahaya atas takhta Konstantinopel jatuh ke putranya, Yohanes Palæologus, seorang kanak-kanak berusia sembilan tahun, yang ibunya, Anne dari Savoy, menentang pelantikan Cantacuzenus selaku wali raja. Pada tahun berikutnya (tahun 1342), ia diangkat menjadi kaisar bersama. Cantacuzenus merupakan kaisar berpemikiran teologis, yang membuat banyak karya kontroversial yang tak berbobot atau signifikan. Ia pensiun pada tahun 1355, dan kaisar junior Yohanes memegang kekuasaan pemerintahan selama tiga puluh enam tahun berikutnya. Kaisar tersebut menyatakan individualitas kebijakannya dengan membuka kembali negosiasi dengan kepausan, namun mereka tak menghasilkan apapun. Hal terakhir dan paling penting dari seluruh upaya serius untuk menyatukan dua gereja tersebut terjadi pada masa kekuasaan Yohanes v. (terkadang disebut Yohanes vii.), yang berkuasa pada tahun 1425–1448. Ia mendapati kekuasaannya dalam kondisi menekan. Turki, yang kini didirikan di Adrianopolis dan tempat lain di Eopa, yang sebetulnya telah mengepung Konstantinopel pada tiga tahun sebelumnya, meskipun tak berdampak, terus mengancam keberadaan kekaisaran. Pada tahun 1429, mengikuti landasan yang dihimpun oleh Mikael Palæologus, Yohanes datang ke Paus Eugenius untuk membuka lagi negsoiasi untuk penyatuan dan membujuk penerimaan utusan di Konstantinopel untuk menuntaskan persoalan antara kedua belah pihak. Dua tahun kemudian, konsili Bâle diadakan. Eugenius memerintahakn konsili tersebut untuk diadakan di Bologna untuk membujuk Yunani untuk menghadirinya. Mayoritas menolak untuk melakukannya, menyangkal hak paus untuk mencabut konsili ekumenikal, dan menuduh bahwa Bohemia, para pengikut Yohanes Huss, mendatangi Bâle. Tak ada keraguan pada catatan mereka sendiri bahwa mereka tak berkehendak untuk melintasi Alpen dan membawa diri mereka sendiri ke kekuasaan Paus. Eugenius mengecam konsili tersebut sebagai "sinagoga Setan," dan kemudian mengadakan konsilinya sendiri di Ferrara. Konsili tersebut kemudian menghapus Firenze pada catatan wabah. Pada November 1437, kaisar menyusulnya dengan menghimpunnya secara besar-besaran. Yosef, patriark lansia Konstantinopel, meskipun tak menyatakan harapan apapun untuk masalah berlarut-larut, terpaksa menyertai rombongan tersebut. Salah satu anggota paling penting dari rombongan tersebut adalah pengkotbah terkenal Silvester Siropulus, yang meninggalkan catatan berharga dari ekspedisi tersebut. Eugenius menerima mereka dan mendorongnya untuk berjalan menuju persatuan. Baik Paud dan kaisar nampak yakin atas keinginan sebenarnya untuk mengakhiri skisma tersebut.

Para pengunjung terpesona dengan kemegahan Venesia. Namun kala mereka melihat harta-harta St. Markus, Mereka berpikir, seperti yang dikatakan oleh Syropulus, "Itu sempat menjadi milik kami. Mereka merupakan kemegahan Hagia Sophia dan biara-biara suci kami." kala konsili dibuka, setelah banyak penundaan, yang dirasakan Yunani sangat menjemukan, enam teolog di setiap pihak diangkat untuk merumuskan poin-poin untuk diskusi. Namun, mereka tak sampai hengkang ke Firenze melawan harapan Yunani yang ditancapkan sampai sejauh Italia, kala debat serius dimulai.

Terdapat dua poin yang dianggap berkaitan dengan klausa Filioque—(1) pertanyaan kebenaran atau kekeliruan darinya; (2) hak Latin untuk menambahkannya pada pengakuan iman mereka. Dengan penghormatan terhadap poin peprtama, Yunani mengadakan banyak konferensi pribadi di kalangan mereka sendiri, dengan cara mereka datang untuk memutuskan bahwa Latin tak mengartikan bahwa prosesi Roh Kudus berasal dari "dua prinsip," dan bahwa pemahaman yang mereka putuskan bahwa bahasa klausa tersebut tak bertentangan dengan doktrin Yunani bahwa prosesinya dari Bapa dan melalui Putra. Kala dinyatakan, mereka tak mengubah posisi mereka sendiri secara keseluruhan. Mereka singkatnya menyatakan bahwa posisi Latin tak inkonsisten dengannya. Untuk pernyataan tersebut, konsili tersebut sepakat. Tentunya, itu menjadi hal yang sangat menonjol pada golongan kepausan, dan sehingga kemenangan harus disesuaikan dengan Yunani. Jika gagasan melebihi firman bersifat esensial, para uskup Timur tak memberikan hal apapun. Di sisi lain, para uskup Barat mendorong agar frase pengujian mereka diselaraskan pada harmoni penafsiran dengan doktrin Yunani. Apa yang kemudian menjadi bida'ah Yunani, apa seringkali dikecam oleh para Paus? Ini diperkenankan oleh konsili kepausan untuk tak dijadikan bida'ah.

Poin kedua lebih menyulitkan. Kaisar mendorong soal klausa yang berada dalam pengakuan iman konsili ekumenikal ketujuh, konsili kedua Nikea (tahun 787); namun para uskup lebih mengetahuinya. Perdebatan keras menyusul. Sepanjang ini, Yohanes, lewat anggapan dari seluruh pengaruhnya, membawa rombongannya diperkenankan agar frase Filioque disematkan pada pengakuan iman secara sah dan untuk alasan baik. Jika keputusan poin pertama disepakati Yunani, pendulumkini berayun pada arah berlawanan, dan sepenuhnya harus diterima bahwa Latin memiliki pergerakan. Ini tak nampak bahwa persoalan sengketa serius lain—pertanyaan supremasi kepausan—pernah dibahas oleh konsili, di seluruh acara, secara terbuka. Kami mungkin mengakui kebijaksanaan Eugenius dalam pemutusannya, dan juga keinginan besarnya untuk perdamaian dan persatuan. Disini, dan sehingga sepanjang semuanya, kami melihat bahaya rekonsiler dalam diskusi tersebut. Ia bak berada pada es tipis; namun perairan dalamnya berada di bawahnya, dan tak lama lagi es tersebut akan pecah. Ini tak dapat menjadi penyatuan solid tanpa penyelesaian keretakan dari perbedaan. Ini tak nampak pada masa itu. Ini jarang dipandang oleh para juru damai secara baik-baik. Pada Juli 1439, setelah dua puluh enam sesi konsili, tindakan penyatuan Gereja Timur dan Barat ditandatangani. Pada Agustus, ini diterbitkan di Duomo, Firenze, dan Te Deum dilantunkan dalam bahasa Yunani.

Tak lama sebelumnya, kegagalan seluruh pelaksanaannya menjadi nampak. Patriark lama wafat sebelum penandatanganan, dan ia dikebumikan di baptiserium di Firenze. Sehingga, ia kabur dari dilema tersebut. Namun saudara kaisarnya sendiri, Demetrius, enggan menandatangani keputusan penyatuan. Entah Markus dari Efesus maupun para uskup dari georgia akan hadir di upacara proklamasi besar tersebut. Kala di Venesia, pada perjalanan pulang, uskup Heraklia disuruh melantunkan pengakuan iman di St. Markus, ia melakukannya dalam bentuk Yunani—tanpa klausa Filioque. Kala kembali ke Timur, Yohanes merasa kecewa pada seluruh upayanya yang berjalan sia-sia. Markus dari Efesus memimpin perlawanan terhadap penyatuan. Patriark-patriark Antiokia dan Aleksandria enggan menandatanganinya. Persatuan tak pernah benar-benar terwujud, dan dari masa itu, skisma tersebut terjadi tanpa harapan penyembuhan apapun.

Kegagalan upaya penting terakhir untuk menyatukan gereja-gereja tersebut disusul oleh pendinginan pada pihak orang-orang Barat terhadap Yunani dan tak berbeda pada nasib mereka. Fakta tersebut seharusnya dipertimbangkan kala mereka memutuskan mengubah Eropa dengan kebodohan dan keegoisan tak berhati dalam memperkenankan Konstantinopel jatuh ke tangan Turki. Dari generasi ke generasi, kota besar tersebut menjadi benteng Eropa, salah satu pembatas paling menonjol melawan gelombang pasang barbarisme Asiatik, satu-satunya penjagaan peradaban melawan kekejian, Kekristenan melawan Islam. Dalam kemunculan Perang Salib, ini dianggap oleh sosok bijak di Barat. Untuk melekaskannya, para Paus memantaunya secara keseluruhan, dan secara konssiten membentuk kebijakan mereka seturutnya. Kini, kegagalan konsili Firenze akhirnya memutus ikatan simpati antara Timur dan Barat kala mereka nampak menumbuhkan beberapa kekuatan yang sebenarnya, Konstantinopel ditinggalkan sendiri; dampaknya menjadi puncaknya.

Kala awan perang mengancam, meskipun seluruh harapan penyatuan sebenarnya kini berakhir, saudara Yohanes, Konstantinus, yang menggantikannya, mengupayakan persatuan nominal. Persekutuan persatuan tersebut diadakan di St. Sophia pada 12 Desember 1452, dan nama-nama patriark Timur dan Barat sama-sama disebutkan dalam doa-doa.Namun orang-orang nampak terkejut dan ketakutan akan penahbisan roti tak beragi oleh imam Latin yang melakukannya. Bergegas menuju sel Gennadius—yang menjadi salah satu promotor persatuan di Firenze, namun kini mengecamnya—mereka menyatakan, "Adakah kesempatan kami untuk meneruskan, atau penyatuan, atau latin? Jauhkah kami dari pemujaan Azimit." Perdana menteri kekaisaran yang mendengarnya menyatakan bahwa ia akan lebih baik melihat sorban Muhammad di Konstantinopel ketimbang mahkota paus atau topi kardinal.

Di bawah keadaan tersebut, hal yang benar0benar mengejutkan adalah bahwa kota tersebut telah dilepas sepanjang ini. Kota tersebut tak pernah dipulihkan dari serangan fatal yang dialami kota terseut dalam penaklukan dan serangan Latin. Perjuangan terakhirnya menjadi mukjizat kepahlawanan patriotik. Bagian akhirnya datang tak lama kala kasus tersebut jika bukannya pergerakan yang tak dimajukan timbul di belaahn dunia lain . Timour, dengan rombongan Tartar-nya, menaungi Kekaisaran Turki, mengencam untuk membersihkannya sepenuhnya. Kemudian, kala melakukan perjuangan hidup dan mati, Turki memutuskan untuk menarik dukungan mereka pada yunani dan menyoroti perhatian mereka terhadap urusan mereka sendiri. Kala bahaya berlalu, mereka kembali ke kebijakan jangka panjangnya dalam meniadakan peradaban Eropa Timur. Turki menurunkan nasab Utsmaniyah, yang terhubung langsung dengan penakluk sebelumnya, Genghis Khan, yang telah menyerbu Asia Barat, dan sehingga mereka sangat berbeda dari Turki Seljuk yang didapati pasukan Salib di Asia Kecil dan Siria. Pemimpin mereka pada peristiwa akhir adalah Mohammed ii., seorang sosok yang menghimpun kombinasi kualitas tunggal, yang suatu kali menunjukkan keinginan murid untuk belajar dan di sisi lain kekejaman yang sangat tak berbelas kasihan.

Peristiwa pengepungan dan kejatuhan Konstantinopel pada tahun 1453 nampak pada kami dalam penjelasan terkenal Gibbon, salah satu bagian paling brilian dalam sastra Inggris. Namun jurnal pemukim yang terkepung, Nicolo Barbaro, yang tak diketahui Gibbon, menghandalkan Tuan Pears untuk memberikan sejarawan besar tersebut dengan banyak penjelasan menonjol. Sifat vital kepentingan dan serangkaian besar masalah melibatkan penyulutan peristiwa tragis dalam peristiwa tersebut hanya berbanding dengan penghancuran Yerusalem oleh Titus.

Sosok utama pengepungan tersebut adalah Konstantinus Palæologus, kaisar Romawi terakhir, seorang sosok yang duduk di takhta terbesar para pendahulunya. Atas bantuan Jenderal Yustiniani, seorang bangsawan Genoa, Konstantinus dapat menghimpun pertahanan baik, dan ia mengutamakannya dengan nyaris tenaga dan keberanian tak terkira.

Kala ketiadaan harapan menjadi jelas, dan bagian akhirnya disadari, tak ada kepanikan. Jiwa dorongan keagamaan mengambil pendirian warganya. Mereka menghimpun prosesi tunggal dengan para Yunani ortodoks dan Katolik dari persekutuan Romawi bersatu. Semuanya tak melawan dan tembok yang digabung dalam Kyrie Eleison, kala mereka berpawai melawati jalan-jalan, dan tangisan besar rakyat akan penderitaannya menuju ke sorga. Ikon-ikon dan relik-relik dibawa dari gereja-gereja dan ditempatkan pada tempat-tempat pertahanan terlemah, dengan harapan agar secara alami menggagalkan kekuatan supranatural yang campur tangan. Konstantinus mengkotbahkan "orasi pemakaman kekaisaran"—dengan memakai frase Gibbon. Sepanjang penyerbuan pasukan invasi timbul, hal tersebut memperlemah dan menyerbu kota tersebut. Kemudian, pada kesempatan paling kritis, Yustiniani sang jenderal terluka. Tak lama usai kemalangan terakhir tersebut, semuanya nampak lenyap, dan enggan memulihkan kekaisarannya, Konstantinus maju ke tengah-tengah pertarungan dan tewas akibat sejumlah sayatan.

Mohammed kini mengambil alih kota tersebut; namun ia memutuskan untuk membiarkan bangunan-bangunannya, memanfaatkannya untuk dirinya sendiri. St. Sophia didapati dikerumuni dengan orang-orang kafir, yang menutup diri mereka sendiri dalam katedral tercinta mereka, takjub pada mukjizat kemunculan mata air dari bagian sucinya. Mereka tertangkap dalam jebakan. Pintu yang berjeruji kemudian ditempatkan dengan kapak-kapak tempur Turki. orang-orang tua dibunuh di tempat. Pemuda dan wanita dibawa ke tempat tahanan untuk diperlakukan buruk. Latin berkesempatan untuk memecah banyak karya seni; kini Turki banyak menghancurkan yang mereka tinggalkan. Namun, ini menjafi fakta signifikan bahwa, seperti yang dituturkan Critobulus kepada kami, banyak buku dijual dengan harga murah. Ini menandakan harapan bahwa harta keramat dari perpustakaan Konstantinopel ditemukan di berbagai belahan Kekaisaran Turki.

St. Sophia kini diubah menjadi masjid. Mohammed memanggil imaum, yang menaiki mimbar dan melantunkan Syahadat. Meskipun demikian, ai tak ingin kota tersebut ditinggal oleh Yunani, dan ia mengundang mereka kembali, mengijinkan ibadah mereka, dan memerintahkan mereka untuk memilih patriark. Selain itu, sebuah sinode lokal diadakan, dan Gregorius Scholarius—juga dikenal sebagai Gennadius—diangkat pada jabatan yang tak diharapkan tersebut. Sultan menerimanya di seraglio-nya dan mempersembahkannya dengan salib pastoral perak dan emas, seraya berkata, "Jadilah patriark dan jadilah damai. Jalinlah persahabatan kita sepanjang engkau menginginkannya, dan silahkan nikmati seluruh hak dari para pendahulu engkau."

Penobatan patriark oleh sultan tersebut menjadi tanda bahwa penghancuran kekaisaran bukanlah penghancuran gereja. Kengerian Negara bahkan dapat menjadi keselamatan Gereja. Sepanjang tiga abad pertama, penindasan ditujukan pada seluruh disiplin yang ditujukan pada gereja perdana. Dengan perlindungan gereja oleh Konstantinus Agung, keduniawian menginvasi seluruh tubuh dan pengikisan menyusul. Kini aliansi fatal tersebut merenggang, dan sekali lagi Gereja dipisahkan dari Negara dan rawan ditindas. Namun gereja tak dapat memulihkan nilai murninya. Gereja merasa angin timur mendorong pengikisan, bukan penguatan.

Salah satu kejahatan paling serius yang diakibatkan oleh kejatuhan Konstantinopel adalah hembusan keras yang memberikan bencana pada pemahaman Timur. Banyak cendekiawan Yunani kabur ke Eropa dan membantu Abad Pencerahan. Namun, dengan kebangkitan pengetahuan di Barat, pengikisannya terjadi di Timur. Imamat jatuh dalam insignifikansi dan kehilangan pengaruh karena kekurangan budaya; pengkotbahan dilenyapkan; Gereja menjadi buntu secara intelektual. Meskipun demikian, tak ada keinginan penunjangan kesetiaan terhadap hati nurani. Gereja dikatakan tak dapat menghasilkan para martir. Terdapat para martir dalam Gereja Yunani di bawah kekuasaan Turki sepanjang berabad-abad. Diperlakukan bak rayah, lebih seperti ternak, dengan tanpa hak sipil, Kristen selalu ditindas dari ketidakmampuan dan penyematan kesalahan-kesalahan yang tak terperiksa. Sehingga, mereka masih benar dalam kepercayaan mereka; dan sehinggha tindakan mereka teruji berkelanjutan pada kesetiaan persaudaraan mereka di Barat, yang tak mendorong penghakiman sepanjang masa mereka, terlalu lambat untuk memberikan peran pada mereka.