Gereja-gereja Yunani dan Timur/Bagian 2/Divisi 3/Bab 6

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
BAB VI

GEREJA ORTODOKS DI RUSIA MODERN

Usai kematian Petrus Agung (tahun 1725), Rusia terganggu oleh persaingan. Janda tsar besar Yekaterina meneruskan takhta, namun hanya bertahan selam dua tahun. Petrus. putra dari Alexis yang bernasib malang, menggantikan, dan tak lama kemudian wafat. Kemudian, datang masa pemerintahan Anne yang tak bergejolak, yang wafat pada tahun 1740. Serangkaian perubahan dalam pemerintahan kini dengan cempat terjadi, sampai Elizabeth, satu-satunya anak Petrus Agung yang masih hidup, duduk di takhta. Ayahnya memperkenalkan warga sipil ke badan yang mengurusi lahan-lahan gereja. Elizabeth memulihkan kebiasaan lama dan memberikan lahan-lahan tersebut sepenuhnya kembali ke tangan gerejawi. Ini merupakan waktu reaksi selaras dengan Gereja. Permaisuri tersebut menunjukkan dirinya sangat bertenaga dalam pembangunan gereja, promosi peziarahan, dan penindasan para pembelot.

Petrus iii., keponakan dan pengganti Elizabeth, memperantarai tindakan reformasi besar. Ini tak kurang dari pemberian lahan gereja. Ia tak kuat untuk membawa usaha yang luar biasa. Namun, tugas tersebut didampingi oleh permaisuri dan penerusnya, Yekaterina ii. (tahun 1762–1796). Ia menjadi penguasa handal, lahir dan dididik di Jerman, dan sehingga lebih tercerahkan ketimbang para pendahulunya, namun rendah budi, yang menggulingkan suaminya dan merebut otoritasnya. Meskipun Petrus Agung menghimpun pengetahuan terapan di Barat dan membawa nilai tinggi ilmu Eropa, ia selalu bersifat barbar di hati, dan ia menghina peradaban yang mencitrakannya. Namun Yekaterina, yang juga disebut "Agung," benar-benar memahaminya dan mendorong pengenalan reformasi-reformasi cerdik terhadap jalur-jalur modern. Reformasi spesifik yang diimpikan oleh Petrus iii. dan berdampak pada Yekaterina dibutuhkan. Gereja menjadi parasit di Negara, vampir yang menghisap darah,tak menunjukkan kehidupannya sendiri, namun dapat mengeringkan kehidupan negara, memicu kelaparan masyarakat. Seorang penulis kontemporer Inggris berujar soal biara-biara, "Mereka beranggapan bahwa jika pihak manapun dari kerajaan tersebut lebih baik dan lebih manis ketimbang lainnya, terdapat standeth sebuah kefrateran atau biara yang dicurahkan kepada beberapa orang kudus." Jumlah hamba tani yang menjadi biarawan kini berjumlah nyaris sejuta. Yekaterina mengangkat komisi campuran awam dan gerejawi untuk menghimpun penyerahan lahan dan harta benda manusianya, hamba tani. Satu dijadikan lahan mahkota, dan lainnya, yang masih dalam perbudakan, diserahkan ke kepemilikan negara. Sebagai balasannya, pendapatan yang ditetapkan diambil dari dana masyarakat yang harus dibayarkan kepada para arkimandrit untuk mendukung para biarawan mereka. Biara-biara kini tak lagi dapat memegang lahan tanpa sanksi pemerintah. Dengan kehilangan harta benda mereka, para biarawan kehilangan kemerdekaan dan prestise. Mereka juga dengan cepat berkurang jumlahnya, meskipun jumlah biarawati dikatakan bertumbuh. Terjadi persaingan antara rohaniwan hitam (biarawan), dan rohaniwan putih (pemimpin paroki). Rohaniwan hitam berniat untuk memegang otoritas atas rohaniwan putih, yang dibalas dengan menghalangi campur tangan mereka.

Serangan bernasib buruk Napoleon terhadap Rusia menghalami penyorotan pada masa itu dari urusan dalam negeri, baik sipil maupun gerejawi. Namun, pemukulan mundur yang sukses dengan kehilangan terhadap pasukan invasi dan pelengseran terakhirnya disusul oleh perluasan dan penguatan kekuasaan Rusia, yang dapat dikatakan kini berada pada puncaknya. Alexander i. (1801–1825) menunjukkan dirinya mula-mula menjadi progresif dan mereformasi sejumlah pengarahan. Pada masa kekuasaannya, banyak universitas, termasuk yang di St. Petersburg, dibangun. Namun, pemerintahan seluruh kerajaan tersebut tercoreng. "Setiap hal salah, setiap hal tak adil, setiap hal tak jujur," tutur sejarawan Rusia resmi kala menjelaskan sepuluh tahun terakhir masa kekuasaan Alexander. Tsar kini menjadi reaksioner. Ia memperkenankan penyensoran pers yang dibuat makin ketat—sebuah tanda bahwa kerenggangan timbul, dan mengupayakan penyesuaian tuntutan-tuntutannya.

Pada kala itu, terdapat 110.000 rohaniwan putih, 5.700 rohaniwan hitam, dan 5.300 biarawati; 27.000 gereja, termasuk 450 katedral (sobor) dan sekitar 500 kapel, 377 biara, dan 99 kesusteran. Pengeluaran tahunan Gereja berjumlah sekitar 900.000 rubel. Persaingan kini timbul antara Sinode Kudus dan pemerintah. Otoritas gereja ingin menjadikan dirinya lepas dari kendali negara. Dalam gerakan tersebut, sinode dipimpin oleh Seraphim, uskup agung Tver, lalu Moskwa, dan kemudian St. Petersburg, di tempat ia juga menjadi presiden Sinode Kudus. Ia merupakan sosok berpikiran sempit, namun cerdik, dan ia melibatkan asketis muda handal, arkimandit Photius, guru agama sekolah kadet, untuk meneruskan proyek-proyeknya. Sosok yang bersifat lebih baik adalah Philaret, uskup agung Yaroslaff, dan kemudian Moskwa, yang dicap "freemason" oleh Photius, dan dituduh "tak ortodoks" dan memiliki penekanan "Lutheran" oleh Seraphim. Pada zaman reformasi awalnya, Alexander terdorong untuk menunjang kondisi kacau balau dari rohaniwan putih, dengan memberikan mereka gaji sesuai yang dibayarkan oleh negara, dan membangkitkan sifat seluruh badan. Ini dilakukan dengan bantuan tsar agar Perhimpunan Alkitab dibentuk di Rusia mengikuti model "British and Foreign Bible Society." Pada sembilan tahun pertama pendiriannya, perhimpunan tersebut mencetak 129 edisi Alkitab dan sebanyak 675.000 salinan. Pada tahun 1817, Alexander merombak sinode dan menempatkannya di bawah otoritas Menteri Pendidikan, yang, menurut kesepakatan pelantikannya, "sehingga menduduki posisi kepemimpinan yang sama setara dengan sinode, seperti halnya Menteri Kehakiman setara dengan Senat." Tsar menyatakan sejumlah simpati dengan mistisisme. Ia juga menjalin kesepakatan dengan paus untuk pendirian keuskupan agung di Warsawa, dan kesepakatan ketentraman antar dua gereja di kota tersebut. Ia menengahi persoalan sepanjang masa soal "penyatuan," sehingga menggerakkan hati para paus Roma berturut-turut, dan berkali-kali membuka janji penghormatan untuk para kaisar yang sangat bergesekan. Namun, kesepakatan tersebut tidaklah sangat ambisius. Dua agama tersebut berdiri berdampingan di Polandia. Mereka seharusnya juga berdamai, masing-masing menikmati hak dan kebebasannya.

Namun semua ini sangat ditentang Sinode Kudus, karena nampak mengancam fondasi otoritas hierarki. Beberapa tahun kemudian (tahun 1822), Seraphim, memimpin pertentangan tersebut, memakai Photius selaku alat untuk mempengaruhi tsar. Sosok aneh tersebut, orang kudus yang bersifat separuh abad pertengahan, separuh Yesuit, sepenuhnya menang atas Alexander sementara tsar terjatuh ke kakinya, mencium tangannya, dan nampak sepenuhnya berada pada pengaruh hipnotisnya. Photius membuat kesempatan terbaiknya, mengecam Galitzin, Menteri Pendidikan, Katolik, Lutheran, mistikus, perhimpunan rahasia, Perhimpunan Alkitab—setiap hal yang dibuat untuk kebebasan berpikir, selaku musuh takhta maupun Gereja. Alexander digunjingkan; ia tak sempat menghindar, karena ia dipantau. Dua tahun berlalu, dan kemudian Seraphim sendiri mengecam Galitzin hingga tsar selaku musuh ortodoksi. Aleksander, yang sangat mengerti, namun melamun dan bimbang, masih memberontak pada waktu itu. Namun, Seraphim bersifat teguh dan tanpa kompromi, dan ia memiliki para pendukung. Pada akhirnya, tsar menjadi luluh. Galitzin dipecat, dan digantikan oleh seorang reaksioner, Shishkoff; kemerdekaan sinode kudus dipulihkan; dan kegiatan Perhimpunan Alkitab diperiksa, meskipun tak benar-benar ditekan sampai setelah kematian Alexander.

Nicholas i. (1825–1855) menyenangi Gereja ortodoks dan para reaksioner, dan penindasan terhadap orang yang tak selaras dengannya kini diberlakukan kembali. Meskipun demikian, Uniat sekali lagi berupaya untuk membawa gereja Rusia ke dalam persekutuan Roma. Upaya paling terkini terdsebut tidaklah lebih sukses ketimbang para pendahulunya. Pada tahun 1839, para uskup Uniat Rusia berkumpul di Polosk, dan mengeluarkan peringatan kepada tsar yang menyatakan kehendak mereka untuk kembali ke aliran ortodoks. Dampaknya adalah bahwa satu setengah juta Uniat dipaksa masih Gereja Rusia dan lebih dari 2.000 gereja diambil alih. Dampak tindakan tirani terhadap Polandia sangat berbekas. Nicholas i. menjadi despot yang menggerakkan sinode tersebut dengan kendali ketat.

Alexander ii. (1855–1881) dikenal karena tindak kemanusiaan besarnya dalam emansipasi hamba tani. Pada masa sebelumnya, masyarakat desa terdiri dari tiga kelas—petani desa berdikari, buruh undangan bebas yang dapat berpindah sesuai kehendak dari tempat ke tempat, dan budak. Namun sepanjang masa itu, ketiganya menjadi hamba tani, dan hamba tani benar-benar bukan siapa-siapa selain budak. Lahan mereka lebih buruk ketimbang para bawahan feodalisme di Barat. Di Rusia, tak ada gagasan obligasi saling menguntungkan antara tuan dan rakyatnya, tak ada ikatan keluarga. Hamba tani dibawa dan dijual bak sapi. Iklan yang sama akan menawarkan sapi dan kuda, tenaga kerja handal dan wanita muda berparas cantik untuk dijual. Pemasaran tersebut sangat tak memandang hubungan. Keluarga dapat terpecah dan beberapa anggotanya dijual ke para majikan berbeda. Para hamba tani dicambuk, disiksa dan digerayangi tanpa ampun. Kala keuangan publik luar biasa dan burung membuat banyak aristokrasi runtuh, para hamba tani bekerja lebih keras. Perbudakan pria dan wanita kulit putih di Russia seburuk bentuk terburuk perbudakan negro di Amerika.

Nicholas menengani pemberhentian kondisi sosial mengenaskan tersebut di kekaisarannya yang melibatkan perbudakan. Namun, ini ditinggalkan untuk putranya agar mengadakan reformasi besar. Ini dilakukan pada tahun 1861. Para tuan tanah menerima ganti rugi dari negara, dan para hamba tani dibebaskan dari segala ikatan mereka. Pada saat yang sama, lahan komune desa dibuat menjadi harta benda petani sebenarnya.

Tiga tahun kemudian (tahun 1864), Alexander membebaskan rohaniwan dari ikatan kasta mereka. Gereja kini terbuka pada seluruh kelas. Meskipun demikian, karena tak ada perlindungan dan kepastian yang ditujukan kepada paroki-paroki, dan karena setiap rumah dan lahan yang ditanam olehnya menjadi harta bendanya sendiri, ini masih diperlukan untuk imam yang baru diangkat untuk menikahi putri pendahulunya—meskipun ayahnya sendiri adalah imam yang dapat digantikan olehnya—dalam rangka agar rumah dapat ditinggali dan lahan dapat dipakai.

Beberapa perubahan menonjol lainnya sejak itu berdampak pada kehidupan sosial masyarakat. Count Dmitri Tolstoi, kala menjadi Jaksa Agung dan Mendagri, melipatgandakan sekolah-sekolah paroki dan menempatkannya di bawah arahan rohaniwan lokal. Pada masa kekuasaan Alexander ii. ada sebanyak 20.000 sekolah semacam itu—di atas kertas. Kemudian, Zemstvos mendirikan sekolah-sekolah sekuler, sebelum sekolah-sekolah gereja diurungkan dan ditinggalkan. Satu tindakan reaksioner terkenal Pobiêdonostsef adalah pemulihan sekolah-sekolah gereja. Pada 1884, ia berkata kepada Sinode Kudus bahwa sekolah paroki khusus ditujukan untuk memperkuat masyarakat dalam fondasi-fondasi iman! Sekolah-sekolah tersebut kemudian menempatkan Tmder pada pengarahan Sinode Kudus.

Terdapat ironi tragis dalam nasib tsar yang memberikan pemberian terbesar terhadap rakyatnya. Alexander mendapati rakyatnya benar-benar bukanlah bangsa, terbagi oleh teluk keretakan sosial, para tenaga kerja terikat pada tuan mereka. Pada suatu ketika, ia memberikan kebebasan, jika bukan kesetaraan sosial. Pemberiannya adalah pembunuhan oleh para agen salah satu perhimpunan rahasia yang dibentuk dalam kepentingan kebebasan. Tak ada yang dapat menunjukkan lebih jelas penyakit yang berakar mendalam dari politik tubuh. Dan sehingga penunjangannya masih bergerak ke depan.