Lompat ke isi

Ksatria, Pendekar dan Legenda

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Ksatria, Pendekar dan Legenda

Pada zaman dahulu kala ketika Nusantara masih muda, bumi Nusantara sangat asri, gemah ripah lohjinawi ,selama ratusan tahun kehidupan damai makmur tanpa ancaman angkara murka. Di tanah Jawadwipa, di kaki Gunung Semeru, tersebutlah sebuah gubuk tempat hidup sepasang suami istri dan seorang anak laki laki. Ki Depok berumur lima puluh tahun, sosoknya tinggi kurus rambut dan janggutnya putih dengan guratan wajah yang tegas. Ni Widja, wanita kurus berambut panjang dengan wajah yang ramah, berumur empat puluh tahun. Sang anak laki laki berumur sepuluh tahun bernama Aji, parasnya elok badannya tegap dan lincah geraknya. Saat itu tahun ke lima belas masa kekuasaan Raja Medang Sanghyang Prabu Makutawangsawardhana.

Ki Depok mengolah tanah di sekitar gubuk, menanam padi, sayuran dan tanaman lain, dan Ni Widja memintal benang hasil sekresi ulat sutera purba yang hidup di hutan. Hasil lahan dan benang sebagian digunakan sendiri dan sebagian dijual ke desa. Ki Depok dan Ni Widja telah hidup bersama selama tiga belas tahun di kaki gunung karena tidak mendapat tempat tinggal di desa. Saat itu tinggal di kaki gunung sangat rawan akan longsor, letusan gunung berapi maupun serangan hewan buas dari hutan, dan desa terdekat berjarak sekitar sepuluh ribu langkah

Siang itu Ki Depok dan Aji sedang memanen tanaman di ladang, sambil memanen Ki Depok bercakap-cakap dengan Aji. “Lihat, saat daun sudah layu dan gugur setelah delapan purnama, itu artinya kunyit sudah siap dipanen, hati-hati membongkar rimpang supaya tidak rusak. Tanaman ini telah hidup dengan baik dan saat dipanen dia mati, tapi setelah mati dia bisa bermanfaat untuk mahkluk hidup lain. Dapat menyembuhkan luka, bahkan menyelamatkan nyawa.” lanjut Depok.

Ki Depok mengajari Aji aksara, berhitung, bercocok tanam sejak usianya enam tahun, dan Aji yang cerdas mampu menyerap ilmu yang diajarkan. Kemiskinan tidak membuat jiwa Aji lemah, rasa syukur kepada Maha Pencipta karena telah menyediakan bumi yang subur harus diwujudkan dengan bekerja mengolah dan memelihara bumi. Dari Ibunya, Aji belajar memintal benang dari sekresi ulat sutera purba. Hasil pintalan benang tidak semuanya berhasil, sering hasilnya yang terlalu keras dan tidak dapat putus sehingga menjadi benang kuat yang sangat tajam, dari pengalaman itu Aji belajar bahwa buah usaha tidak selalu manis. Dengan menjual hasil ladang dan benang ke desa terdekat, Aji belajar berinteraksi dengan warga desa.

Aji dan Ki Depok sedang mencuci hasil tanaman, matahari memang masih diatas kepala namun cakrawala terlihat gelap. “Apakah akan hujan?” tanya Aji kepada ibunya yang sedang menyiapkan makanan. “Beberapa hari ini tidak turun hujan walau petir terlihat! ”, kata Widja. Tak lama kemudian terdengar suara halilintar beberapa kali, warna langit menjadi semakin temaram. Dedaunan dan pepohonan di sekitar gubuk bergoyang seiring hembusan angin kencang yang terus menerus. Sesaat kemudian terdengar derap langkah kuda bergemuruh seiring tanah yang berguncang seperti gempa. Dari dalam hutan muncul banyak sekali penunggang kuda, ratusan jumlahnya berbaris menutupi hutan di belakang mereka. Para penunggang kuda itu mengenakan rompi hitam dengan corak bordiran yang seragam, dengan penutup kepala dan bersenjata. Serempak mereka berhenti di depan keluarga Ki Depok, deru napas kuda terdengar masih memburu seperti lelah berlari jauh tanpa istirahat. Para penunggang kuda itu adalah prajurit istana Medang, dan di barisan paling depan tampak tiga orang berpakain mencolok.

Seorang Jendral bernama Waisyaputera kemudian turun dari kuda dan menyapa Ki Depok dengan ramah, “Om Swastyastu, maaf mengganggu ketenangan Ki dan Ni sekalian. Kami dari kerajaan Medang, nama saya Waisyaputera !”

Ki Depok, Ni Widja, dan Aji masih tertegun melihat kedatangan ratusan orang secara tiba tiba, mereka kaget dan takut. Dengan sapaan ramah Waisyaputera, Aji menjadi kagum akan kerendahan hatinya dan segera berpikir bahwa orang itu orang yang baik.

“Om Swastyastu, nama saya Depok dan ini istri dan anak saya. Mohon maafkan sungguh kelancangan saya, ada apa kiranya yang membawa Raden semua datang ke tanah ini?, Jawab Depok dengan mengatupkan tangan dan menundukan kepala, karena kastanya sebagai sudra di hadapan tamu tamunya yang berstatus kasta lebih tinggi.

“Ki Depok, apakah beberapa hari ini ada hal hal yang aneh terjadi di daerah sini? Adakah Ki Depok menemui hewan buas yang tidak biasa? Atau keanehan alam lainnya?” , Tanya Waisyaputera dengan menyelidik. Saat itu Ki Depok merasakan pandangan mata semua orang tertuju padanya, semua seolah menanti jawaban.

“ Ampun Raden, sudah tiga hari ini tidak terlihat binatang buas atau binatang apapun di sekitar sini. Selain itu tiga hari ini sering terjadi angin kencang dan petir, tapi hujan tidak kunjung turun.”,jawab Depok.

“Paman guru, tampaknya belum mulai!”, kata orang muda yang memakai hiasan kepala emas dan berbaju biru. Wajahnya rupawan dengan kumis tipis, jambang dan alis yang tercukur rapi, raganya gagah berumur dua puluhan tahun. Pemuda berbaju biru itu bernama Kumapala, Pangeran dari kerajaan Medang.

“Sejak kapan puncak gunung mengeluarkan asap?” Tanya Kumapala tidak sabar kepada Depok.

“Ampun Raden, baru saja sewaktu Raden sekalian tiba.” Jawab Depok

Aji tidak dapat menyembunyikan kekaguman nya melihat pemandangan di hadapannya, kuda-kuda yang gagah, busana-busana yang tidak pernah dilihatnya, serta sosok-sosok yang tampak berwibawa. Berkali kali tangan Widja memaksa menundukan kepala Aji dan membisikan pengingat status mereka.

“Paman Guru Shadarastra, apa yang harus kita lakukan selanjutnya?” tanya pemuda dengan hiasan kepala emas dan berbaju cokelat, yang adalah Patih Dharmabuana. Sosoknya kekar berumur empat puluh tahunan memiliki wajah persegi dan raut wajah yang tegas dengan rambut, kumis dan janggut hitam.

Belum sempat lelaki tua berbaju putih menjawab tiba tiba terdengar suara dari puncak Semeru, dan terlihat dari kejauhan bebatuan diatas puncak gunung beterbangan. Semua orang di kaki bukit terkejut, Ki Depok tanpa sadar bersuara “Gunung akan meletus!”

Kemudian cakrawala lembayung di sekitar puncak gunung berubah menjadi merah menyala, dan angin kencang datang kembali. Ratusan kuda di kaki bukit menjadi panik dan melonjak-lonjak, keadaan menjadi riuh seketika para prajurit berusaha menenangkan tunggangannya.

Dan seketika tampak puncak gunung pecah tapi yang keluar bukanlah lahar, seekor hewan raksasa menyerupai ular dan sangat besar ukurannya melompat dari dalam gunung. Saat petir bersinar, hewan itu tampak seluruh tubuhnya seperti terbang berlatar cakrawala, mata nya buas dengan gigi menyeringai menyiratkan angkara murka. Semua orang di kaki bukit terperanjat melihat pemandangan itu.

Lelaki tua berbaju putih yang bernama Resi Shadarastra, itu mengeluarkan sebuah teropong kecil dan melihat pemandangan di puncak bukit. “Bhutakalla, sang angkara telah lahir, pasukan harus bergerak ke depan sesuai rencana!”, kata sang resi kepada Patih Dharmabuana. Segera Waisyaputera naik ke atas kuda nya dan memerintahkan sebagian pasukan bergerak ke atas gunung. Seorang prajurit bernama Gardapa menuntun keluarga Ki Depok naik ke atas kereta kuda untuk diungsikan, sambil bercerita “ Dua saptawara yang lalu, Mahaguru istana Sang Resi Agung Bharatasenna bermimpi malapetaka akan datang ke dunia, dari arah puncak Semeru.”, cerita Gardapa. “Mohon ampun Raden, tapi mahkluk apa yang kita lihat terbang di puncak gunung itu?, tanya Ki Depok.

“Bhutakala, Sang Iblis purba, yang sudah tertidur beberapa abad, yang kedatangannya diramalkan dan ditakuti sebagai runtuhnya kerajaan Medang.”, jelas Gardapa.

Resi Shadarastra, Pangeran Kumapala dan Patih Dharmabuana masing masing mencermati puncak bukit dengan teropong. Seratusan orang prajurit berkuda mencapai pertengahan gunung dan berjaga disitu. Bhutakala masih terlihat terbang diatas puncak gunung dan di sekitar puncak gunung terjadi gempa bumi. Dari dalam inti gunung keluar makhluk-makhluk menyerupai kadal dengan empat kaki berukuran sebesar manusia, ratusan jumlahnya terdiam di puncak gunung. Dalam jarak itu, pemandangan ratusan makhluk itu dapat terlihat oleh semua orang di kaki gunung. ”Sudah terlambat, sebentar lagi iblis akan turun gunung!” kata Sang Resi lantang. Mendengar itu, Ki Depok berdiri dari kereta dan berteriak ”Raden saya dapat membantu, saya punya sesuatu untuk memperlambat mereka!”

Sang Resi menoleh ke arah Depok, jika saja Resi Agung Bharatasenna tidak berpesan bahwa bantuan akan ditemukan di kaki gunung, mungkin perkataan Depok tak akan didengar. Maka Resi Shadarastra memerintahkan para prajurit untuk cepat membantu Depok. Dibantu Aji dan puluhan prajurit, Depok pergi ke belakang gubuk dan mengeluarkan banyak karung dan membawanya ke kaki gunung beberapa kilometer dibelakang tentara yang berjaga. Karung karung tersebut berisi tanaman perdu yang beracun. Setelah memberitahu para prajurit untuk berhati hati, Depok dan puluhan prajurit menyebarkan tanaman perdu ditanah dan bebatuan. Seorang utusan tentara kemudian diperintahkan ke garis terdepan untuk memberitahu regu yang berjaga mengenai rencana jebakan di kaki bukit. Kemudian setelah perdu di serak di tanah, Aji dibantu puluhan tentara membawa tenunan benang yang tidak dapat putus dan merentangkan di celah bebatuan dan pepohonan. Kira kira hampir satu jam persiapan jebakan dilakukan oleh ratusan prajurit, lalu terdengar raungan dari puncak. Ratusan kadal bergerak cepat menuruni puncak ke arah pasukan yang berjaga. Seratusan pasukan yang berjaga di kaki bukit tidak mampu membendung serbuan para kadal purba dan habis dibantai. Resi Shadarastra memerintahkan Pangeran Kumapala untuk bertolak mundur, bersama kereta yang mengangkut keluarga Depok. Belum jauh kereta berjalan, rombongan kadal telah mencapai area jebakan perdu. Puluhan kadal di barisan depan yang menyentuh perdu langsung melemah dan menjadi kaku badannya mati tergeletak diatas tanah. Tetapi barisan selanjutnya menggunakan kadal yang mati sebagai pijakan dan jebakan perdu terlewati. Lalu puluhan kadal tiba di jebakan benang, anggota tubuh barisan depan kadal langsung terpotong oleh benang benang yang direntangkan itu. Tapi sesaat kemudian kembali jebakan benang dapat dilewati oleh rombongan yang tersisa. Seratusan pasukan yang tersisa di kaki gunung di pimpin oleh Sang Resi dan Sang Patih membuat barisan penjagaan terakhir, segera bertemu dengan ratusan kadal raksasa. Sang Patih mengibaskan senjata kapaknya dan membunuh beberapa kadal sekaligus, begitu pula Sang Jendral yang berilmu kanuragan tinggi. Sang Resi pun mengeluarkan kesaktiannya : telapak tangannya menghancurkan tubuh kadal kadal raksasa. Medan pertempuran menjadi riuh, bukan hanya teriakan prajurit saja tapi juga raungan kadal raksasa yang terbantai. Barisan di kaki gunung tampaknya berhasil menahan rombongan kadal bergerak lebih jauh, hanya beberapa saja yang lolos dan masuk ke dalam hutan. Beberapa kadal mengejar kereta kuda yang ditumpangi Depok dan keluarganya, dengan Gardapa sebagai kusir dan Pangeran Kumapala yang mengawal. Sambil berkuda Pangeran Kumapala memanah kadal yang mengejar. Seekor kadal memangsa kuda sang pangeran dan membuatnya terpelanting ke tanah, meninggalkan kereta tanpa pengawalan. Setelah bangkit sang pangeran seorang diri menghadapi dua ekor kadal raksasa. Seekor kadal lain menerkam kereta kuda, menggigit putus kepala kuda dan kereta pun terjungkal. Ki Depok, Ni Widja dan Aji terlempar keluar dari kereta dan berhamburan ke tanah, sementara Gardapa berhasil melompat dan berdiri diatas kaki nya. Seekor kadal berusaha memangsa Widja tapi Aji dengan sigap menangkap dan melingkarkan tangannya bergelantungan ke leher kadal itu. Aji dapat merasakan bau darah manusia yang tercecer dari sisi mulut kadal itu. Kemudian Aji meraih pisau kecil dari dalam bajunya,dan dengan berpegangan erat Aji menusukan pisau nya ke mata kadal berkali-kali. Lalu kadal itu meraung dan Ki Depok menusukan kayu pecahan kereta yang hancur ke mulut kadal yang terbuka dan masuk menembus tubuh kadal itu. Kadal itu berontak dan melemparkan tubuh Aji dan Depok ke udara, dan Widja terlempar menghantam bebatuan. Gardapa lalu bergerak cepat, kibasan goloknya memenggal kepala kadal yang terluka itu.

Beberapa saat kemudian, Resi Shadarastra dan Patih Dharmabuana menolong penyintas yang tersisa, para yang memberi pengobatan seadanya. Pangeran Kumapala terluka sangat parah kehilangan sebelah tangannya, dan Aji menangis meraung di sisi jasad Ni Widja dan tubuh Ki Depok yang sedang meregang nyawa. Sungguh telah menjadi hari malapetaka bagi keluarga Aji.

“Sungguh awal malapetaka bagi Jawadwipa dan dunia! Aku telah gagal!“, rintih Resi Shadarastra berlinang air mata. Duka meliputi kaki Semeru, ratusan prajurit telah gugur berkorban nyawa melawan angkara.

“Paman Guru, Bhutakala telah bergerak ke arah desa dan ibukota. Keselamatan Raja dan seluruh rakyat terancam, kita harus bergerak cepat!“ Kata Sang Patih.

Resi Shadarastra mengusap air mata dan menguatkan jiwanya, kemudian melihat kepada Aji yang telah berdiri tegap di sampingnya. “Kakek Resi, saya mohon ajaklah saya! Saya bisa menolong, dan saya ingin membalas kematian Ibu saya“, kata Aji.

Sang Resi sakti itu melihat sorot mata seorang anak berusia sepuluh tahun yang dibakar amarah, dan kemudian teringat lagi akan pesan Resi Agung Bharatasenna : “Dari kaki gunung akan muncul harapan dan mungkin peluang keselamatan tanah Medang. Dari ketidakberdayaan akan muncul dharma yang menyelamatkan!“. Maka mengangguklah Sang Resi dan menepuk pundak Aji, katanya “Mari, kita bentuk dendam mu menjadi dharma!”

Setelah memakamkan jasad Ni Widja dan meminta restu Ki Depok, Aji pun pergi bersama rombongan prajurit mengejar Bhutakala dan prajurit nya, dengan secercah harapan untuk keselamatan seluruh kerajaan Medang dan bumi Nusantara.

Tamat