Kue Citak

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis: Persahabatan dua remaja putri yang tehubung oleh sebentuk kue tradisional.[sunting]

Imlek[sunting]

Tangan Nina terjulur ke arah piring dan mencomot satu kue citak. Ia kupas lembar daun pisang yang melapisi bagian bawah, lalu segera menggigitnya dengan mata terpejam. Geligi, lidah dan segenap indra pengecapnya merasakan nikmatnya kue lunak berbentuk oval dan berwarna merah itu. Bagian kulitnya yang terbuat dari tepung ketan terasa kenyal, sedangkan isi kacang hijau tumbuknya manis lembut. Ia mengunyah-ngunyah melumat dan merasakan bauran cita rasa nikmat yang ditimbulkan dari paduan kedua bahan tadi. Hmm… ini adalah saat-saat yang dinantinya ketika ada sembahyangan di rumah Emak* – yaitu saat sembahyangan dinyatakan selesai dan makanan yang ada di atas meja altar boleh dinikmati. Dan Nina pasti langsung menyambar kue citak, penganan yang paling disukainya di antara sekian banyak lainnya.


Sekalipun sangat menyukai kue yang satu ini, tapi Nina tak pernah lupa pada Surti, teman sekelas sekaligus sobat kentalnya. Seperti siang itu, ia mengambil dua buah kue citak, yang dibungkusnya dengan daun pisang. Lalu ia melesat ke dapur mencari Surti. Yu Nah, ibu Surti, bekerja sebagai karyawan Emak yang membantu segala keperluannya di dapur dalam membuat berbagai jenis makanan. Sehari-hari Mak Lay – nenek Nina – berjualan kue-kue tradisional, yang lazim disebut kue basah. Mulai dari lemper, lapis, putu tegal, putu mayang, putu cangkir, nagasari, mento, dan berbagai jenis jenang* yang dibungkus daun, serta tentu saja kue citak.


“Ini Ti, buatmu,” kata Nina seraya menyodorkan bungkusan daun pisang, sementara dirinya sendiri menggigit kue citak keduanya.

“Wee… terima kasih ya, Nin. Asyik nih..! Citak buatan emakmu memang paling enak..” Surti langsung menggigitnya. Lalu keduanya duduk di amben* di mana Emak biasa bekerja membungkusi makanan buatannya dibantu Yu Nah. Hari itu amben tidak dipakai karena ada perayaan Imlek. Emak biasanya libur dua-tiga hari. Kedua anak itu lantas mengobrol tentang makanan dan Imlek.


“Kenapa ya kue ini disebut kue citak, Nin?” tanya Surti sambil mengunyah dan memperhatikan kue yang sudah separuh tergigit di tangan itu.

“Citak itu dari kata cetak, karena ya bikinnya dicetak. Kamu kan pernah lihat to ibumu, kalau sedang membantu Emak bikin kue ini pake cetakan kayu?” jelas dan tanya Nina.

“O ya ya… yang kotak dan ada ukir-ukirannya itu kan? Adonan ditekan-tekan ke dalam lubang lalu, tok! cetakan dibanting ke tampah,” kata Surti. “O, jadi karena itu disebut kue citak ya?”

“Tapi kata Papaku, nama sebenarnya kue ini adalah kue ku,”sambung Nina.

“Kue-ku? Apa kue-mu?” balas Surti sambil nyengir iseng. Nina tertawa. Sahabatnya itu memang suka membanyol.

“Kue ku itu dari kata ang ku kwe, yang artinya ang adalah merah, ku itu kura-kura, dan kwe ya kue. Ang ku kwe itu adalah kue berbentuk kura-kura berwarna merah. Biasanya orang menyingkat saja jadi kue ku,” jelas Nina.

“Kok kura-kura? Kok merah?” tanya Surti lagi. Penasaran rupanya dia.

“Soalnya dalam tradisi Tionghoa kura-kura itu menyimbolkan usia panjang, sedangkan merah adalah warna yang melambangkan kebahagiaan,” lanjut Nina.

“Wah setuju aku, Nin,” kata Surti sembari memasukkan potongan terakhir kue citaknya ke mulut. “Aku makan kue ini memang merasa bahagia… hehehehe.. Dan semoga juga jadi panjang umur ya..”

“Aminn…” sahut Nina juga sambil tertawa melihat sobatnya yang kocak itu.


“Tapi, Ti, sebetulnya ada yang lebih aku suka dibanding ang ku kwe alias kue citak merah ini,” sambung Nina.

“Apa, Nin? Roti tart? Siomay? Getuk lindri? Kue sus?” tebak Surti bertubi-tubi.

“Bukaann.. salah semua!” sahut Nina geli. “Yang lebih kusuka daripada kue citak merah ini adalah kue citak hitam!”

“Lah.. kok sama-sama kue citak,” kata Surti. “Apa bedanya?”

“Memang sama-sama kue citak, tapi yang hitam itu isinya kacang tanah. Kalau yang merah kan kacang hijau. Selain itu warna hitamnya juga khusus lho.”

“Masak sih?”

“Kata Emak, warna hitam itu didapat dari abu bakaran bunga edelweis yang hanya terdapat di puncak gunung Sumbing atau Sindoro,” Nina menjelaskan.

“Ooo… begitu. Istimewa sekali berarti,” kata Surti sambil manggut-manggut. “Lha kok sekarang tidak ada?

”Kalau untuk sembahyangan selalu hanya pakai yang berwarna merah. Yang warna hitam, atau kue lain yang berwarna selain merah, biasanya hanya untuk dijual atau dimakan bebas,” jelas Nina.

“Tapi kayaknya sekarang warna hitamnya sudah jarang pakai abu bakaran edelweis lagi. Soalnya bunga itu dilarang untuk dipetik,”lanjutnya. “Tapi aku tidak peduli. Buatku citak hitam tetap favorit.”

Pindah[sunting]

Tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Nina, bahwa keluarga mereka harus hijrah ke pulau lain dan meninggalkan kota kelahirannya, karena Papa Nina mendapat pekerjaan di Bali.

Nina sangat sedih karena harus berpisah dengan teman-teman sepermainannya, dengan guru-gurunya yang penyayang, dengan Emak dan rumah besarnya yang sering jadi arena bermain Nina dan teman-temannya, dan dengan makanan-makanan buatan Emak yang sangat disukainya. Apa boleh buat. Nina masih terlalu kecil untuk tinggal berjauhan dengan Papa-Mamanya.


Masih belum terlalu mapan di Bali, setahun kemudian Nina menerima berita duka dari Parakan. Emak meninggal dunia. Nina merasa sangat sedih dan kehilangan seorang nenek yang penyayang. Ditambah kini ia tak bisa lagi menikmati penganan lezat buatan Emak. Mereka sekeluarga pun harus mudik untuk melayat.


Di sela-sela upacara pemakaman, Nina menyempatkan diri mencari-cari teman-temannya, terutama Surti. Ada beberapa yang ikut orangtuanya melayat, tapi sahabatnya itu tak tampak batang hidungnya. Padahal tampak Yu Nah ikut sibuk di dapur menyiapkan segala sajian untuk menghantar majikannya ke tempat peristirahatan terakhir.

“Yu Nah, Surti di mana? Kok tidak kelihatan?” tanya Nina.

“Ealah… nik*.. Yu Nah lupa bilang. Maaf ya, saking sibuknya. Surti sedang ikut acara sekolahnya ke Jawa Barat. Dia baru pulang tiga hari lagi,” jawab Yu Nah. Nina sedih mendengarnya. Tiga hari lagi ia sudah balik ke Bali. Yu Nah memandang kasihan pada sahabat anaknya itu. Pasti Surti juga akan sama sedihnya begitu ia tahu Emak Nina meninggal dunia, dan tidak bisa pula bertemu dengan sahabatnya. Akhirnya Nina hanya menitipkan surat untuk Surti kepada Yu Nah.

Kenangan[sunting]

Di Bali kehidupan kembali seperti biasa. Walau Nina masih membawa rasa sedih, namun rasa sepi dan sedihnya berangsur teralihkan oleh kesibukan sekolah dan berbagai kegiatan lain. Kenangan masa kecilnya sedikit demi sedikit terkikis dari ingatan. Namun suatu peristiwa membuat kenangan itu muncul kembali dengan tiba-tiba.


Saat itu Nina sudah duduk di bangku SMA, jadi kira-kira ia sudah tujuh tahun meninggalkan kota kelahiran dan teman-teman masa kecilnya. Di sekolah ia mendapat tugas membuat sebuah karya tulis tentang tradisi. Suatu tema yang tidak sulit untuk dilakukan di Bali. Mereka masing-masing diberi waktu satu minggu untuk melakukan pengamatan dan menulis laporan. Nina memilih untuk membuat artikel tentang seni pahat kayu. Ia mendatangi seorang seniman kenalan Papa dan mulai melakukan pengamatan bagaimana seniman itu berkarya. Saat itu sang seniman sedang membuat sebuah ukiran relief pada sebuah cekungan di balok kayu nangka. Nina memperhatikan saat tangan sang seniman yang satu meliuk-liukkan tatah di permukaan kayu, sedang satunya lagi memukulkan palu pada pangkal tatah, membuat ujungnya melesak ke dalam kayu dan menghasilkan ukiran yang dikehendaki.


Tiba-tiba saja Nina seperti tersentak. Bentuk balok dan ukiran itu kok mengingatkan pada cetakan kue citak milik Emak ya? Dan seketika kenangan-kenangan akan Emak, Yu Nah, Surti, makanan-makanan kesukaannya, terutama kue citak, satu demi satu bermunculan dalam benaknya. Mendadak Nina diliputi rasa rindu yang amat sangat akan kota kelahirannya beserta segala yang ada di dalamnya. Nina tak lagi bisa berkonsentrasi mengamati proses pengukiran. Dengan meminta maaf, ia mohon pamit disertai pandangan heran dari sang seniman.


“Pa, Ma, aku boleh ya pergi ke Parakan?” kata Nina di rumah. Kedua orangtuanya heran, kenapa ini anak tiba-tiba saja ingin mengunjungi kota kelahirannya. Lalu Nina pun menjelaskan soal tugas dari sekolah dan ingin mengangkat tradisi kuliner, khususnya kue citak, yang ada di kota itu. Apalagi Pasar Entho, tempat Mama dulu belanja sayuran, sekarang sudah menjadi pasar kuliner. Nina yakin laporannya pasti akan beda dengan semua teman-temannya yang rata-rata mengangkat tradisi yang ada di Bali saja.

“Lalu kamu mau pergi dengan siapa? Papa maupun Mama tak bisa menemani, karena sedang ada banyak pekerjaan,” kata Papa Nina.

“Aku sendiri saja, Pa. Aku naik pesawat ke Jogja. Menginap semalam di rumah Tante Yoan, lalu besok paginya naik travel ke Parakan,” jelas Nina mantap. Ia memandang penuh harap.


Kedua orangtuanya saling pandang sejenak, lalu setelah berunding Papa berkata bahwa mereka setuju mengijinkannya. Memang sudah saatnya Nina belajar untuk mandiri, dan kesempatan ini bagus. Apalagi tempat yang ditujunya bukanlah tempat yang asing. Asalkan saja selama di Parakan ia tinggal di rumah Om Bambang, sepupu Papa, dan sering-sering memberi kabar. Nina bersorak kegirangan. Tak membuang waktu, ia segera mengorek tabungannya, lalu membeli tiket pesawat. Untung ada penerbangan sore itu yang masih tersisa.

Kembali ke Parakan[sunting]

Esok paginya Nina telah menapakkan kaki di kota kelahirannya. Ia hirup udara segar pegunungan. Mentari bersinar cerah, membuat gunung Sindoro tampak dekat dan megah menaungi rumah-rumah di bawahnya. Ia langsung menuju Pasar Entho, yang tak jauh dari pertigaan Kali Galeh. Sebelumnya lewat telepon, Om Bambang telah memberi tahu bahwa di pasar itu dijual kue kesukaan Nina – kue citak – yang enak buatan Mbak Jum. Lapak Mbak Jum terletak di sisi timur paling ujung utara. Dan dilihatnya tempat itu paling ramai dikerumuni pembeli. Nina mendekat dan berusaha melihat-lihat jenis penganan yang dijual dari sela-sela kepala orang. Tampak penjualnya seorang perempuan berkerudung kuning sedang sibuk melayani penjual.


Ah, itu ada citak hitam, batin Nina ketika melihat penganan oval berwarna hitam berbaris rapi di salah satu baki, bersisihan dengan citak merah. Pandangannya terus menempel pada kue itu. Sampai ia bisa mendapat kesempatan maju ke depan meja lapak, ia berkata kepada si penjual.

“Beli citak hitamnya lima ya,” kata Nina. Si penjual menoleh, dan keduanya terkejut. Pandangan mereka terpaku satu sama lain dengan mata melebar.

“SURTI!” “NINA!” keduanya serempak menyebutkan nama, dan sama-sama menjerit kegirangan lalu berpelukan. Sesaat suasana jual-beli di pasar teralihkan oleh kehebohan dua gadis tersebut.

“Ya ampun..! Kapan datang? Lama kita tidak bertemu..! Kamu ngapain di sini?” Nina dan Surti berebutan saling bicara dan bertanya, sehingga justru tidak bisa mendengar perkataan yang lain.

“Sebentar, sebentar…,” kata Surti berusaha menguasai diri. “Aku selesaikan dulu beberapa penjualan ini lalu kita ngobrol. Win, nanti tolong kamu tangani dulu ya.” Surti memberi arahan pada gadis sebaya yang membantunya.


“Jadi bagaimana ceritanya kamu kok sekarang jualan di sini? Terus Mbak Jum itu siapa? Eh, benar lho! Ini citaknya enak banget. Persis buatan Mak Lay,” cerocos Nina setelah mereka berdua bisa duduk berdua di warung gudeg Mbok Abu. Surti geli melihat sahabatnya itu. Tapi ia juga gembira bertemu kembali dengan Nina setelah sekian tahun berpisah.

“Mbak Jum itu ya simbokku to… Mosok lupa?” kata Surti.

“Lho, ibumu kan Yu Nah..?” balas Nina heran. Surti tertawa.

“Namanya Juminah. Ada yang memanggil Nah, ada yang Jum. Tapi orangnya sama..,” Surti tergelak-gelak melihat wajah Nina yang bengong.

“Ooo… ya, ampun… baru tahu aku,” kata Nina. “Setahuku ya namanya Nah. Oke, tapi terus kok kamu jualan? Memangnya kamu tidak sekolah lagi?”

“Dua hari ini Simbok sedang kurang enak badan, jadi aku menggantikan. Kebetulan sekolah libur,”jelas Surti. “Lha kamu sendiri ada acara apa ke Parakan?”

Nina pun menjelaskan maksud kedatangannya untuk membuat pengamatan tentang tradisi kuliner Parakan.


“Eh, itu kue citak yang bikin Yu Nah? Wuenak banget lho!” Nina sudah mulai menggigit citak keduanya.

“Iya,” Surti berseri-seri kue buatan ibunya dipuji oleh cucu majikan sang ibu dulu. “Ya, rupanya dulu selama kerja di Mak Lay, Simbok belajar dari Almarhumah, dan bisa mewarisi beberapa resep penganan dengan baik. Bagaimana mengolah ketan supaya jadi kenyal tapi empuk dan kacang hijaunya bisa lembut.”

“Hebat!”puji Nina. “Aku harus wawancara Yu Nah nih!”

“Orang-orang juga banyak yang memuji, Nin. Sekarang bahkan Simbok jadi langganan beberapa orang untuk bikin sajian sembahyangan. Jadi kalau pas Imlek atau Cengbeng, Simbok pasti sibuk,” lanjut Surti.

Nina tiba-tiba tercekat. Ia terdiam dan matanya berkaca-kaca. Surti terkejut melihat perubahan sikap sahabatnya itu.

“Kenapa, Nin? Kamu kok sedih gitu?”

“Tidak, Ti. Justru sebaliknya, aku sangat terharu. Bahkan bersyukur. Kupikir setelah Emak pergi, maka kue-kuenya yang enak pun ikut menghilang. Tapi rupanya Yu Nah berhasil membuat nikmatnya kue-kue itu bisa dirasakan kembali. Aku bahkan merasa Emak bisa hadir kembali di sini. Terima kasih, Ti. Ah, kue citak ini memang membawa berkah.”

Nina memeluk Surti erat-erat. Dua galur airmata tampak membasahi pipinya. Surti pun membalas tak kalah eratnya dengan mata yang juga basah.


Selesai.

  • Emak                     : panggilan untuk nenek di kalangan Tionghoa peranakan
  • Jenang                  : bubur manis
  • Amben                 : semacam bangku lebar
  • Nik                         : panggilan bagi anak perempuan Tionghoa