Lompat ke isi

Lala, Lili, dan Lolo

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

LALA, LILI DAN LOLO

*Akhil Bashiroh

“Bukankah sudah kubilang, La! Kamu kenapa tidak mendengarkan aku,” Kidung terus mengusap-usap kepala Lala yang sudah kaku. Air matanya terus mengalir deras hingga napasnya tersengal-sengal.

Pagi ini ia tak pernah mengira kalau akan kehilangan Lala. Ia begitu manis dan menggemaskan. Setiap ia pulang sekolah ibunya akan selalu marah-marah dan mengingatkan.

“Ganti baju dulu, baru main sama Lala.”

“Kasihan Lala, Bu. Tadi pagi aku lupa memberinya makan. Lihat, Bu, mereka lapar.”

“Iya, Ibu tidak melarangmu bermain dengan mereka. Tapi ganti baju dulu.”

“Baik, Bu.”

Umur Kidung yang sudah memasuki tujuh tahun membuat ia mulai peka dengan sesama makhluk hidup. Orang tuanya selalu menanamkan bahwa semua makhluk hidup harus saling menyayangi. Seperti persahabatan yang sudah sangat lengket antara Kidung, Lala, Lili dan Lolo. Kidung sendiri bahkan yang memberikan nama-nama itu untuk sahabat kecilnya. Persahabatan mereka mulai terjalin bahkan saat Lala, Lili dan Lolo masih bayi.

Usai makan siang dan ganti baju Kidung langsung menghampiri Lala, Lili dan Lolo. Diajaknya mereka untuk kenalan sama teman-teman barunya di sekolah tadi. Kemudian mereka bermain di halaman rumahnya yang luas. Beberapa temannya menyukai halaman rumah Kidung karena tumbuh begitu banyak bunga-bunga yang indah.

“Ah, Aku mau ambil bunga ini ya,” ucap salah seorang teman Kidung yang hendak mengambil salah satu bunga di halaman rumahnya.

“Jangan!” Teriak Kidung seketika.

“Bunga-bunga itu punya nyawa. Bunga itu hidup. Nanti kalau kamu petik akan mati. Kasihan”

“Kamu kok pelit sih, Kidung.”

“Ibuku bilang jangan ambil bunga dan tumbuhan sembarangan.”

“Iya sudah, deh. Kita main yang lain saja.”

Siang menjelang sore ternyata masih kurang untuk mereka bermain. Beberapa teman Kidung sudah mulai diteriaki ibunya agar segera pulang.

“Amel! Ayo pulang! Mandi! Sudah sore.” Teriak ibu Amel yang rumahnya hanya berjarak sepelemparan batu dari rumah Kidung.

“Oki! Ayo pulang sudah sore,” begitupun dengan Oki yang dijemput orang tuanya dengan menaiki sepeda onthel.

Mereka berlarian pulang sambil berteriak.

“Besok kita main lagi ya, Kidung.”

“Iya.”

“Jangan lupa ajak Lala, Lili dan Lolo!”

***

Beberapa hari ini Kidung sakit panas karena perubahan cuaca yang ekstrem. Ibunya tak membiarkannya bermain dengan teman-temannya, bahkan dengan Lala, Lili dan Lolo.

Mereka mulai kelaparan karena hanya Kidung yang menyayangi mereka. Bahkan, saat Lala dan Lili bertengkar hingga salah satu dari mereka terluka, Kidung merawatnya dengan kasih sayang yang penuh. Bahkan ia menangisinya dan ikut bersedih.

           “Kenapa kalian begitu lemas?”

           “Sudah beberapa hari Kidung sakit dan kami tak dapat makan.”

           “Jangan khawatir. Ibu akan mencarikan kalian makan.”

           “Baik, Bu. Kami akan menunggu.”

Satu malam penuh ibu mereka tak pulang. Lala, Lili dan Lolo merasakan perutnya makin melilit karena menahan lapar. Di saat subuh berkumandang ibu mereka datang dengan membawa makanan kesukaan mereka. Seketika mereka bertenaga dan berlarian agar sampai lebih dulu. Kemudian ibu mereka meletakkan makanan yang dibawanya dan disuguhkan kepada mereka.

“Makanlah.” Ucap ibu mereka

Mereka saling berebut untuk mendapatkan jatah makanan yang paling banyak untuk memuaskan rasa laparnya.

“Aku dulu!” teriak Lala

“Aku! Aku sudah sangat lapar!” sahut Lili

“Aku! Harusnya kalian mengalah karena aku yang paling kecil.” Protes Lolo.

Mereka terus berebut makanan itu dengan sekuat tenaga. Karena tubuh Lala yang paling besar di antara mereka, ia dengan kerakusannya berusaha mendapatkan bagian yang paling banyak dan tidak peduli dengan adik-adiknya yaitu Lili dan Lolo. Bahkan Lala tak menghiraukan peringatan ibunya.

“Lala jangan rakus! Bagilah rata makanan itu!”

Lala terus memakan makanan yang didapatnya. Porsinya paling banyak diantara yang lain. Tak cukup, Lala bahkan masih sesekali mengambil sedikit jatah makanan Lili dan Lolo. Ia merasa puas dan kenyang. Kemudian ia pergi.

***

Kidung sudah mulai membaik. Ia sudah tidak demam lagi. Ia mulai lahap menyantap buah yang disuapi ibunya.

“Bagaimana rasanya? Enak?”

“Iya, Bu.”

“Besok lagi kalau habis main sama Lala, Lili dan Lolo harus cuci tangan dulu. Baru kemudian makan.”

“Iya, Bu. Aku salah. Aku minta maaf.”

Lalu ibu Kidung memeluknya dengan kasih sayang.

“Ayo lanjutkan makannya. Biar besok bisa bermain dan sekolah. Teman-teman pasti sudah merindukanmu.”

“Iya, Bu.”

Kidung mengabiskan buahnya yang tinggal beberapa potong. Kemudian ia minum banyak air putih agar kesehatannya segera pulih. Begitu saran dokter. Ibu mengurusnya dengan baik. Setiap malam bahkan ibu selalu siaga dan menungguinya di kamar. Setiap hari ia berusaha memasakkan semua makanan kesukaan Kidung. Ibu begitu menyayangi Kidung. Dia juga ikut sedih saat Kidung sakit. Dan hari ini ketika Kidung mulai sembuh, ibu sangat bahagia.

Sementara itu, di tempat lain, Lala mulai merasakan ada sesuatu yang aneh dalam perutnya. Kepalanya mulai pusing. Jalannya mulai lemah dan ia bersandar di bawah pohon di halaman rumah Kidung. Suaranya mulai meraung-raung minta tolong. Namun, tak seorang pun mendengarnya. Perut Lala mulai sangat sakit dan ia terus mengerang kesakitan.

“Aduh! Aduh! Perutku sangat sakit!” Lala terus berteriak tetapi suaranya makin melamah.

“Tolong! Tolong!” kemudian Lala muntah banyak sekali. Tubuhnya makin lemas. Kemudian, suaranya tak terdengar lagi.

***

Pagi ini Kidung bahagia karena tubuhnya mulai segar. Ia sudah sehat. Dia keluar rumah untuk menghirup udara pagi yang segar. Matanya mencari-cari ke beberapa suduh halaman rumahnya, berharap ia melihat Lala atau Lili dan Lolo. Namun, seketika ia kaget. Ia melihat tubuh Lala sudah kaku dan berada di bawah pohon di halaman rumahnya.

“Lala! Kamu kenapa?” Teriak Kidung

“Lala bangun! Kamu kok tidak bergerak?! Tubuhmu kenapa kaku?”

Kemudian Kidung langsung berlari ke dalam rumah dan menghampiri ibunya. Ia memeluk ibunya dengan erat dan menangis sesenggukan.

“Kamu kenapa?” tanya ibu.

“Lala, Bu. Kaku dan tidak bergerak.” Jawab Kidung.

“Mungkin dia sudah mati.”

“Kok bisa? Kenapa bisa mati?”

“Iya. Ibu melihat dia makan bangkai tikus yang ternyata tikusnya sudah diracun sama orang.”

“Orang itu kok jahat, Bu! Bikin kucingku mati.”

Ibunnya Kidung diam dan tak mengucapkan sepatah kata lagi. Ia terus memeluk Kidung yang terus bersedih.

***

Kidung mulai tenang dan air matanya sudah kering. Kemudian ia menghampiri Lala yang sudah menjadi bangkai. Ia memeluknya dan berkata.

“Pasti kamu makan bangkai tikus itu banyak sekali, ya?”

“Bukankah sudah aku bilang. Kata ibuku kita tidak boleh rakus. Karena kalau kita rakus akan merugikan diri kita sendiri.”

Kemudian kidung meminta tolong ibunya untuk menguburkan kucing kesayangannya, Lala.

***







*Akhil Bashiroh: Penulis Tinggal di kota Kendal Jawa Tengah. Kesehariannya sibuk mengajar di salah satu SD Swasta di tempatnya. Ia sudah menulis sejak di bangku kuliah. Lulusan Sastra Jawa Unnes ini beberapa tulisan cerpennya sudah dimuat di media online maupun cetak. baru-baru ini memenangkan event cerpen yang diadakan oleh IPPNU Jawa Barat. Bukunya yang telah terbit: Menunggu kelahiran(2017). Selain Bahagia saat menulis ia juga merawat Perpustakann Pondok Baja Ajar di Rumahnya.