Perjalanan di Kepulauan Hindia Timur/Bab 4

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

BAB IV.

SULAWESI DAN TIMOR.

18 Juni—Kami berlabuh pada sore itu di dekat pantai Sulawesi pada dataran dangkal, yang benar-benar menjadi satu-satunya bagian pelosok yang nampak dari bagian pulau itu sendiri. Kata Sulawesi bukanlah berasal dari pribumi, dan mungkin diperkenalkan oleh Portugis, yang menjadi bangsa Eropa terawal yang mengunjungi pulau tersebut. Pulau tersebut mula-mula muncul dalam tulisan sejarah dan penjelasan De Barros, yang memberitahukan kami bahwa pulau tersebut belum ditemukan sampai 1525, empat belas tahun usai Portugis mula-mula datang ke Maluku; namun pada waktu itu mereka hanya menemukan kawasan tersebut tempat cengkeh dan kenari tumbuh. Setelah itu, mereka memutuskan untuk mencari pulau tersebut dari rumor bahwa emas ditemukan disana; dan, sehingga, sampai saat ini, emas didapatkan di semenanjung utara dan barat daya. Mula-mula, Sulawesi dianggap terdiri dari banyak pulau, dan keyakinan tersebut nampak memberikannya nama dalam bentuk jamak. Pulau tersebut terdiri dari wilayah kecil, tak biasa, tengah serta empat kaki panjang atau semenanjung, dan De Cauto secara sangat jelas menyebutnya “mirip dengan bentuk belalang berdiri.” Dua semenanjung mengarah ke selatan, dan dipisahkan dari satu sama lain oleh Teluk Boni: satu mengarah ke timur, dan yang lainnya melintang enam derajat ke utara dan timur laut. Di semananjung barat daya, yang menjadi satu-satunya semenanjung yang sepenuhnya telah dijelajahi, dua bahasa dituturkan —Mangkasara, selaku bahasa pribumi, atau Mangkasa, dalam bahasa Melayu (dari kata tersebut, “Makassar,” nama ibukota Belanda, menjadi satu-satunya kekeliruan), dan Wugi atau Bugi, yang aslinya lebih terbatas pada pesisir Teluk Boni. Utara Makassar, di bagian paling barat pulau tersebut, adalah suku bangsa lain—Mandar—yang bertutur bahasa lainnya. Di pulau Buton, yang dianggap merupakan bagian dari timur semenanjung Teluk Boni, bahasa lainnya dituturkan. Semenanjung timur belum dijelajahi. Bagian utaranya dihuni oleh orang-orang yang bertutur rumpun bahasa Gorontalo dan Manado.

Agama primitif dari kebanyakan penduduk asli dianggap mengambil beberapa bentuk agama Hindu. De Cauto berujar: “Mereka tak memiliki candi, namun berdoa menghadap langit dengan kepala mereka terangkat,” yang ia anggap sebagai bukti kuat bahwa “mereka memiliki pengetahuna akan Tuhan yang sebenarnya.” Menurut catatan orang Makassar, agama Islam mula-mula diajarkan kepada mereka oleh orang Minangkabau, sebuah daerah di wilayah pelosok Suamtra, utara kota Padang saat ini. Ini terjadi tepat sebelum kedatangan Portugis pada 1525, dan tawarikh penduduk asli berujar bahwa doktrin sang nabi dan Kristen dipersembahkan kepada pangeran Makassar pada waktu yang sama, dan bahwa para penasehatnya mendorongnya untuk menerima Islam, karena “Allah takkan memperkenankan kekeliruan datang sebelum kebenaran.”

Di pelosok, sebuah suku yang disebut oleh suku-suku pesisir sebagai Toraja, yang dikenal sebagai pemburu kepala, dan bahkan kanibal. Barbosa membuat pernyataan serupa dalam mengaitkan seluruh penduduk asli pulau tersebut pada masanya, Kala mereka datang ke Maluku untuk berdagang, ia berujar bahwa mereka memutuskan untuk membujuk raja kepulayan tersebut dengan murah hati mengirim kepada mereka dengan orang-orang yang ia hukum mati, agar mereka dapat menggratifikasi pengecapan mereka pada ranah tak menguntungkan semacam itu, “bak seperti menanyai babi liar.”

Kala kami berlabuh ke pantai Makassar, pegunungan di pelosok nampak pada pemandangan. Kami nampak lebih terhubung dengan pegunungan ketimbang di Jawa. Salah satu dari gunung tersebut, Lompo-batung, memiliki ketinggian delapan ribu dua ratus kaki di atas laut, dan mungkin puncak paling menjual di seluruh pulau tersebut.

Pelabuhan Makassar terbentuk oleh terumbu karang yang panjang, dengan sisinya dari pesisir. Di beberapa tempat, karang tersebut menjulang di atas permukaan air dan membentuk pulau-pulau rendah; namun, di wilayah muson barat, laut seringkali terpecah sejalan dengan kerasnya perberagakan banyak perahu penduduk asli di pantai. Di dekat armada perahu nelayan, dan ini merupakan tempat pertama di laut tropis tempat ia menemukan ikan yang, menurut rasaku, seenak yang berasal dari perairan dingin yang terhimpun pada pesisir Inggris Baru kami.

Di jalan tersebut, beberapa perahu dengan bobot empat puluh atau lima puluh ton, dan beberapa berkali lipat ganda besarnya. Pada permulaan muson barat, kami mendatangi sejumlah besar Kepulauan Aru, kawasan utama untuk orang Seram, Goram, Kepulauan Ki, Tenimber, Baba, dan pesisir dekat Papua. Mr. Wallace, yang utamanya mencari burung-burung khas, datang ke salah satu kapal di Aru, sejauh seribu mil. Kala Mr. Jukes berada di Pelabuhan Essington, pada Januari 1845, dua perahu berada disana. Salah satunya melintas dari Makassar selama sepuluh hari, dan lainnya dalam lima belas hari. Namun, pada perjalanan panjang tersebut, banyak yang tak pernah kembali. Pada bulan terakhir, perahu ketiga datang ke pelabuahn tersebut dan melaporkan bahwa empat kala lainnya, melebihi orang yang datang dengan selamat, telah berlabuh pada pendaratan besar, dan bahwa hanya ada satu awak yang selamat. Sebagian besar orang pergi setiap tahun ke kepulauan di lepas ujung timur Seram dan pesisir sekitar Papua, dan terkadang di sepanjang pantai utaranya sampai Teluk Geelvink. Pelayaran panjang tersebut menandakan bahwa Bugis kini menjadi apa yang orang-orang Melayu lakukan kala Portugis mula-mula datang ke Timur, yakni menjadi navigator dan pedagang besar dari kepulauan tersebut. Mereka mengangkut seluruh kain dan barang kapas Inggris dari pabrik mereka sendiri, juga gong Tiongkok dan sejumlah besar arak. Mereka membayarnya dengan cangkang kura-kura, kerang mutiara, mutiara, burung khas dan teripang, yang nampaknya merupakan nama Melayu umum untuk segala jenis Holothuria, atau “ketimun laut.” Hewan tersebut ditemukan pada setiap terumbu karang sepanjang kepulauan tersebut baik di atas dan di bawah permukaan laut rendah. Sebanyak dua puluh jenis berbeda mengakui mungkin separuh dari sebagian besar spesies. Jenis tersebut dianggap sangat bernilai yang ditemukan di tepi dan pasir karang yang terbuka, atau nyaris terbuka, pada arus rendah, dan ditutupi dengan rumput laut hijau pendek. Usai hewan-hewan tersebut ditemukan, kulitnya dihilangkan, dan direbus dalam air laut, di beberapa tempat dengan deduanan papaw, dan di tempat lain dengan tangkai pohon bakau yang memberikannya warna merah muda. Usai direbus, bahan pangan tersebut dikubur di tanah sampai keesokan harinya, kala bahan pangan tersebut dikeringkan di bawah sinar matahari. Terkadang, bahan pangan tersebut tak dikubur di tanah, namun dikeringkan sesekali pada pembakaran bambu. Bahan pangan tersebut kemudian diangkut ke Tiongkok, satu-satunya pasar untuk bahan pangan tersebut. Disana, masyarakat menjadikannya sebagai salah satu sup kesukaan. Para jurumasak Tiongkok dikatana merebusnya beberapa waktu dengan potongan tebu untuk menetralisir tingkat citarasanya. Sebagian besar juga dikumpulkan di Teluk Siam dan dikirim ke Laut Tiongkok. Mr. Crawfurd tak dapat menemukan penyebutan teripang apapun oleh para penulis Portugis, dan ini dianggapnya sebagai satu pembuktian, di antara yang lain, “bahwa Tiongkok, yang utamanya mengadakan perdagangan tersebut, tidak bermukim di kepulauan tersebut kala Portugis mula-mula mendatanginya.” Setiap tahun, barang tersebut diangkut dari Makassar sebanyak sekitar empat belas ribu pikul dari bahan pangan tersebut, dari nilai sekitar enam ratus ribu dolar! Beberapa kargo, utamanya kopi, dari Manado dan pelosok, diekspor setiap tahun langsung ke Eropa, namun kapal-kapal biasanya pergi ke Tiongkok untuk pembarteran. Pada 1847, Makassar dijadikan pelabuhan bebas, serupa dengan Singapura.

Kapal uap kami datang ke sepanjang dermaga besi yang dibangun dengan baik, satu-satunya dari jenisnya yang pernah aku lihat di Timur. Melalui surat yang kemudian sampai dalam sebulan, tak nampak ada sanjungan besar. Sekelompok kecil prajurit, dengan seragam merah dan kuning, datang dan melirik dengan cara yang sangat tak lazim, sementara sejumlah kuli berkumpul dan mengendarai kargo di pesisir—karena truk dan gerobak adalah inovasi modern yang tak muncul di wilayah jauh tersebut, bahkan tidak pada tingkat menonjol di Batavia. Air laut disini sangat murni dan bersih. Kala kami bergerak ke dermaga, sejumlah pemuda berenang di sekitar dan mengelilingi kapal, seraya berteriak, “Képing tuam! képing tuan!” dan aku mendapat bahwa kala aku melemparkan koin tembaga sejumlah satu sen, sehingga akan memercikkan air, bahkan pada kejauhan sepuluh kaki dari mereka, beberapa orang akan menangkapnya sebelum mencapai dasar. Ini merupakan keterampilan yang sangat menakjubkan sebagainya ayang diperlihatkan oleh para penduduk asli di Laut Selatan.

Dari dermaga, sebuah jalan berujung pada tempat umum yang besar, dan di sisi kanannya adalah Benteng Rotterdam, yang dibangun tak lama setelah 1640, kala Belanda mula-mula membentuk pemukiman di pulau tersebut, meskipun mereka telah berdagang dengan penduduk asli sejak 1607. Pada 1660, mereka mengusir pesaing mereka Portugis, yang telah menaklukan penduduk asli Makassar, dan sepenuhnya mendirikan otoritas mereka atas seluruh belahan pulau tersebut. Di sebelah benteng tersebut adalah “Societeit,” atau Rumah Klub—karena setiap tempat dengan ukuran menonjol apapun di Hindia Belanda memiliki satu atau dua hunian hiburan, tempat surat kabar dan majalah didapatkan, dan seluruh warga Eropa yang bersosial berkumpul pada sore sejuk untuk menikmati “pijt”—segelas kecil minuman dengan rasa asam—atau “a potje van bier,” dalam cara yang digambarkan oleh Irving pada kesempatan bahagia Rip van Winkle. Anggota manapun dapat mengenalkan orang asing, yang sesekali dianggap sebagai salah satu saudara; dan aku mendapati banyak kegiatan menyenangkan dan melalui beberapa jam menyenangkan dalam cara ini. Di luar rumah klub, di jalanan yang indah diwarnai dengan pohon-pohon asam jawa, terdapat hotel dan kediaman gubernur. Ia berujar padanya, kala aku berjalan dibawah perlindungan pemerintah, mengharapkan agar aku harus menghadirkan diriku sendiri ke hadapan pegawai tertinggi di setiap tempat yang dapat sempat aku kuningi, dan kemudian menyatakan perasaan murah hati pemerintah terhadapku; dan, pada saat yang sama, melalukan etiket lahan yang diwajibkan. Gubernur sangat senang menawariku kuda pos gratis, jika aku berhenti dan bergerak ke wilayah yang berada di bawah komando langsungnya. Usai kehangatan siang berlalu, dua teman pedagangku memberikanku tuntunan ke kota, dan satu atau dua mil menuju daerah sekitar, untuk mengunjungi makam pangeran pribumi yang memerintah wilayah tersebut sebelum kedatangan Eropa. Pada awalnya, makam tersebut ditutup dalam sebuah ruma, namun atapnya kemudian dibuka, dan temboknya diruntuhkan dengan cepat. Di kaki dan kepala setiap makam berbentuk pilar persegi. Di dekatnya, reruntuhan bangunan dijadikan kediaman salah satu pangeran tersebut. Seperti rumah yang tertutup makam, bangunan tersebut berukuran sekitar tiga puluh kaki persegi, dengan pintu masuk di satu sisi. Di depan, dan sisi kanan dan kiri, terdapat dua rangkaian lubang, mungkin dirancang untuk dijadikan jendela. Bagian atasnya kecil, namun bagianrendah tersebut berdiameter satu setenga kaki. Temboknya memiliki ketebalan delapan belas inchi, dan terbuat dari batu karang umum. Beberapa langkah menuju pintu masuk, dan jendelanya berhias. De Cauto memberitahu kami bahwa orang-orang tersebut biasanya “membakar jasad mereka, dan mengumpulkan abu dalam wadah, yang disemayamkan di tempat terpisah, tempat mereka mendirikan kapel, dan selama setahun para kerabat mengirim makanan, yang ditempatkan di makam mereka, dengan anjing, kucing dan burung bertebaran.”

Kami kemudian berjalan melewati hutan pohon waringin, kelapa dan kacang kenari di dekatnya, dan lagi-lagi aku berharap aku dapat memiliki pemandangan fotografi dari nuansa di sekitar kami untuk ditujukan pada teman-temanku, karena kata-kata gagal untuk mnyatakan gagasan apapun dari kakayaan palem dan perdu, dan tanaman di sekitar kami, sebagaimana sorotan matahari menyorot pensil horizontal panjang dari sinar emas.

Disini, kami mendapat pohon kopi yang tumbuh liar, dan didekatnya kami mendapati makam pedagang pribumi kaya. Tempat tersebut merupakan bangunan persegi pendek, yang ditutupi oleh sebuah kubah, dan seluruhnya ditutupi oleh tembok dengan ketinggian sekitar dua kaki, yang permukaan luarnya ditutupi dengan plakat biru porselen. Kala kami melirik, sebuah sambutan monoton terdengar pada telinga kami. Ini dibuat oleh pendeta asli, yang mengulang doa-doa panjang dari al-Qur'an, oleh para temannya yang datang. Catatan kecilnya, sambutan melankoli yang digemakan dan pendentingan yang banyak dilakukan pada hutan sunyi, dan sangat menakan karena mereka nampak datang dari sekumpulan orang mati. Ia mengundang kami, dan menunjukkan kitab-kitabnya, yang ditulis tangan, dan seluruh karakternya mencolok dan berlapis plakat tembaga. Di bawah pohon papaw dengan cabang yang menggantung pada dedaunan puncaknya dan buahnya seperti tangkai induk.

Pada 20 Juni, kami berlayar ke Kupang, sebuah pelabuhan dekat ujung selatan pulau Timor. Ujung selatan dari semenanjung barat daya Sulawesi berukuran rendah, dengan pegunungan berketinggianmenengah menjulang di pelosok. Kala kami berlayar melintasinya pada perjalanan kami menuju ke selatan Selat Sapi, antara Sumbawa di satu sisi dan Commodo dan Floris di sisi lain, kami mendapat bahwa muson timur telah menghembuskan gelombang yang kuat, namun bertahan, dan langit dan laut masih mengingatkan pada salah satu “perdagangan.” Banyak ikan terbang menghiasi laut, karena terlalu bahagia untuk bertahan dalam unsur mereka paling sebenarnya.

Pada pagi kedua dari Makassar, Gunong Api, menjulang di hadapan kami. Puncak tingginya, lima ribu delapan ratus kaki di atas permukaan laut, tersembunyi oleh awan horizontal, strati, yang terbagi kala kami mengamati gunung tersebut, dan menghimpun sekelompok sinar surya terang pada sisi gelapnya. Ini bukanlah puncak tunggal namun puncak ganda—yang satu pada barat laut yang muncul dari lembah dalam dan berjejer di sampingnya dengan yang lebih tua. Pada bagian timur puncak, dekat pesisir, sebuah kawah tua muncul, yang dinding luarnya terbasuh oleh laut. Karena sepertiga jarak dari pesisir sampai atas puncak terdapat beberapa semak di bawah daerah dalam; namun dua pert iga lainnya sangat nampak. Di puncaknya, gunung tersebut berakhir pada kerucut kecil. Puncak barat dasyanya kini nampak terbentuk, dari atas sampai pesisir, di sisi selatan, terdapat sebuah lapisan berkelanjutan dari material-material vulkanik murni, yang hanya dibatasi oleh daerah sempit dengan sisi-sisi tegak lurus. Kala dilihat dalam profil, bagian tak terpecak dari sisinya, dari puncak sampai laut, sangatlah menakjubkan. Ini sangatlah biasa, yang sulit untuk dipercaya bahwa ini tidaklah terbentuk oleh tangan manusia. Pada saat itu, kami berada di tengah-tengah selat antara Sumbawa dan Commodo, dan kami kemudian melintasi sisi kiri Gillibanta, yang titik tertingginya hanya dua belas ratus kaki di atas laut. Namanya dalam bahasa Jawanya memiliki arti “sesuatu yang mengganggu jalan.” Ini sebetulnya adalah sisa kawah lama, yang tembok barat lautnya telah hilang ditelan laut. Kedalaman selatan dari arus lava berturut-turut masih nampak.

Di sisi kanan kami adalah Sumbawa, dengan pegunungan tingginya, dan dekat ujung tenggaranya adalah Teluk Sapi. Di semenanjung di sisi utara pulau tersebut adalah Gunung Tomboro, yang memicu letusan mengerikan, dan menyebabkan kehancuran besar kehidupan manusia, pada 1815. Intimasi pertama yang diraih orang-orang Jawa dari fenomena menghentakkan tersebut adalah serangkaian ledakan, yang sangat mengingatkan pada laporan meriam, yang di Jokyokarta, Jawa, sejauh empat ratus delapan puluh mil, pasukan berkirab menuju pos tetangga yang mendadak diserang. Di Surabaya, perahu-perahu meriam dikirim untuk membantu kapal-kapal yang dianggap berniat untuk mempertahankan diri mereka sendiri melawan apra pembajak di Selat Madura; dan di dua tempat di pesisir, perahu-perahu berangkat untuk mencari kapal-kapal yang dibayangkan dalam keadaan tertekan. Laporan tersebut timbul pada 5 April, dan berlanjut selama lima hari, kala langit pada bagian timur Jawa mulai menggelap dengan hujan abu, dan selama empat hari, mereka tak dapat melihat matahari. Mr. Crawfurd berujar bahwa di Surabaya, langit selama berbulan-bulan tidaklah menjadi cerah seperti biasanya dalam muson tenggara. Di utara Sumbawa, laporan menyertai letusan tersebut terdengar sampai sejauh pulau Ternate, dekat Gilolo, dengan jarak tujuh ratus dua puluh mil geografi, dan sehingga, Residen mengirim perahu untuk mengamati kapal yang mendadak menembakkan sinyal. Di kawasan barat, laporan tersebut terdengar di Mokomoko, sebuah pos dekat Bencoolen, yang berjarak tak kurang dari sembilan ratus tujuh puluh mil geografi di sisi kanan—sejauh dari New York sampai Keys di ujung selatan Florida. Abu yang bertebaran di udara pada saat letusan tersebut jatuh ke wilayah timur, atau melawan angin yang berhembus, sejauh tengah Floris, sekitar dua ratus sepuluh mil geografi; dan bagian barat di Jawa, di pegunungan Cirebon, sekitar dua ratus tujuh puluh mil dari gunung berapi tersebut. Hebatnya adalah sejumlah abu ebrjatuhkan pada saat itu, yang diperkirakan bahwa di pulau Lombok, sekitar sembilan puluh mil jauhnya, empat puluh empat ribu orang tewas dalam bencana kelaparan yang menyusul. Dr. Junghuhn berpikir bahwa, dalam lingkup yang dideskripsikan pada radius dua ratus sepuluh mil, rata-rata kedalaman abu setidaknya berukuran dua kaki. Sehingga, gunung tersebut harus meletuskan isinya sendiri sebanyak beberapa kali, dan tak ada sisa yang timbul pada wilayah sekitar, dan hanya perubahan yang telah teramati, bahwa pada letusan tersebut, Tomboro kehilangan dua per tiga ketinggiannya dari masa sebelumnya. Kapten kapal yang dikerahkan dari Makassar ke tempat fenomena mengerikan tersebut berujar: “Kala mendekati pantai, aku melitnasi sejumlah besar batu lahar yang mengambang di lautan, yang mula-mula muncul di pesisir, sehingga aku mengirim perahu untuk mengujinya, yang, pada jarak kurang dari satu mil, aku mengambil batu pasir kering, menuju jarak tiga mil, dengan bebatuan hitam di beberapa bagian darinya.” Ini adalah jenis batu yang aku lihat mengambang di lautan kala kami mencapai Selat Sunda. Disamping sejumlah lava berbentuk halus, yang terlembar langsung ke laut oleh letusan semacam itu, sejumlah besar masih berada pada sisi gunung berapi tersebut, dan di pegunungan sekitar, dan sebagian besar wilayah yang teramati, pada muson hujan, melalui sungai menuju samudra. Daratan di ujung tenggara Sumbawa nampak teerdiri dari tanah liat berwarna muda, strata yang sangat rumit.

Beberapa bebatuan bermunculan di selat tersebut. Yang terbesar dinamai, dalam bahasa penduduk asli, “Mata Iblis,” dan nampak pada kami sangat jelas pada gelombang putih yang kami lewati. Kala di Laut Jawa, sebelum memasuki selat, kami hanya memiliki angin ringan; namun, kala kami datang ke Samudra Hindia, kami mengaolami angin kencang dari tenggara. Arusnya, yang nampak pada kami dan melawan angin, mendapati pengarahan barat daya ke Floris lewat gelombang dengan angin dari timur, dan kala laut timbul dalam massa piramidal, atau membentuk arus yang menggulung pada dan pecah melawan angin, seperti yang terjadi pada daerah arah angin dari sebuah kapal yang berlayar “di atas angin.” Pegunungan tinggi juga melintang pada sisi Commodo dan Floris, namun nuansanya menjadi secara khusus sebesar kami mengitari arah barat daya pulau Floris. Ini mengingatkanku pada citra pesisir khas Skotlandia, kecuali kala bebatuan semuanya muncul, tempat itu semua diselimuti dengan tumbuh-tumbuhan yang menyebar pada daerah-daerah tersebut. Floris juga disebut Endé, yang diambil dari sebutan pelabuhan utama pada pantai selatannya. Perdagangannya di tempat tersebut kebanyakan berada pada Pulau Cendana. Tempat tersebut juga disebut Mangerai, nama tempat utama pada pantai utaranya. Masyarakat pada perdagangan pelabuhan utaranya kebanyakan dilakukan dengan Bugis dan Melayu. Pada lapisan dan teluk pada pesisir utara dekat selat tersebut, banyak pembajak yang dulunya bersinggah. Mereka sebetulnya adalah Melayu atau Bugis dari Bali, Sumbawa, atau Sulawesi. Di pelosok, terdapat orang-orang yang rambutnya keriting. Hal serupa juga ditemukan di bagian pelosok dan pegunungan Solor, Pintar, Lombata, dan Ombay. orang-orang yang tinggal di pesisir laut masuk dalam ras clokat atau Melayu. Pada pantai selatan, terdapat sebuah suku yang disebut Rakka, yang dilaporkan menjadi jenis terburuk dari kanibal, yang tak hanya diselaraskan untuk menghalau musuh-musuh mereka, selain jasad-jasad dari almarhum kerabat mereka.

Kala senja, kami mengarungi lintasan Sumba atau Pulau Cendana. Tempat tersebut nampak memiliki tinggi yang seragam, sebagainya yang seringkali dijelaskan. Mr. Jukes melintas dekat titik tenggaranya, kala perjalanan dengan kapal yang mulia Inggris-nya, Fly, dari Australia utara sampai Surabaya. Ia menyebutnya terdiri dari rangkaian perbukitan yang menjulang langsung dari laut sampai ketinggian dua ribu kaki. Strata bukit tersebut nyaris setingkat, dan nampak terdiri dari karang,. Ini menandakan bahwa pulau tersebut telah memiliki ketinggian besar pada masa belakang. Tempat tersebut mungkin kebanyakan terdiri dari bebatuan vulkanik, seperti pulau-pulau seiktarnya. Luasnya sekitar empat ribu mil persegi geografi. Pelabuhan paling sibuk berada di dekat tengah pantai utara. Kapal-kapal datang dari Surabaya ke sana, pada paruh akhir muson barat, untuk menjual kuda-kuda poni aktif yang dibutuhkan pada pulau tersebut, dan dipulangkan pada permulaan muson timur, usai bersinggah disana selama nyaris tiga bulan. Kuda-kuda tersebut dianggap lebih berharga ketimbang hal-hal dari belahan lain dari kepulauan tersebut, kecuali dataran Batta, di pelosok Sumatra. Kala sebuah kapal datang, awaknya sempat bersinggah pada seluruh pulau, mengunjungi seluruh berbagai kampung, atau desa, untuk melakukan penjualan. Seorang pegawai Belanda, yang menjelajahi pulau tersebut, memberitahuku bahwa orang-orang tersebut memiliki penampilan yang sangat berbeda dari penduduk di pulau Savu di dekatnya, khususnya para perempuannya, yang wajahnya lebih lebar. Mereka dikatakan memiliki bahasa tersendiri, dan merupakan bangsa terpisah; namun aku beranggapan dari seluruh yang dapat aku pelajari bahwa mereka sebetulnya membentuk subdivisi dari keluarga Melayu. Kapten kapal ikan paus Amerika, yang karam pada salah satu titik selatan, mengeluh padaku bahwa penduduk asli mencuri berbagai hal yang dibawa olehnya di pesisir, dan mengancamnya dan awaknya dengan kekerasan; namun aku pikir ini hanyalah akrena ia tak dapat bertutur Melayu, dan karena setiap pihak keliru dengan niat satu sama lain.

Pada keesokan siang, kami melihat puncak Gunung Romba yang menjulang di Floris. Tempat tersebut dikatakan hanya setinggi tujuh ribu kaki, namun nampak pada kami setinggi Gunung Slamat di Jawa. Pada ujung timur pulau tersebut, berseberangan dengan Adenara dan Solor, terdapat pemukiman Portugis kecil, bernama Laruntuka. Panjang ekstrim dari pulau tersebut berukuran sekitar dua ratus mil geografi, dan luasnya lebih besar ketimbang Pulau Cendana. Tempat tersebut berisi banyak cendana, dan penduduk asli menyatakan bahwa tembaga ditemukan disana, namun emas dan besi tak diketahui. Meskipun di bagian Samudra Hindia tersebut, umumnya pada pagi hari, kami mendapati gelombang kuat dari tenggara, yang menurun pada siang hari, dan meningkat lagi kala fajar. Hal tersebut dianggap beragam pada waktu dimulai, dan dengan kekuatan dan jangka waktunya, dan sanga ttak seperti perdagangan yang bertahan.

Pada pukul 2 siang, kala hari ketiga kami dari Makassar, kami melihat pulau Semao, di lepas teluk Kupang. Ujung utaranya hanyalah bebatuan, yang diselimuti dengan pepohonan. Tempat tersebut tak memiliki pegunungan, dan kebanyakan pantainya terdiri dari pasir kerang.

Usai gelap, sore itu kami berlabuh dekat desa Kupang, yang berada pada sisi selatan teluk besar, memiliki lebar sekitar dua belas mil dan panjang dua puluh mil. Tempat tersebut merupakan pelabuhan kala muson timur, namun pada muson barat dilindungi oleh ujung utara Semao yang lautnya dikatakan menggulung langsung dari samudra terbuka. Pada waktu semacam itu, kapal uap diharuskan untuk mencari perlindungan di pulau kecil pada sisi utara teluk. Kapal-kapal pemburu paus dan kapal-kapal dagang yang berlayak dari dan menuju Tiongkok pada muson barat, namun, seringkali dipanggil kesana, karena tempat tersebut menjadi satu-satunya pelabuhan dari jenis apapaun dekat ujung selatan pulau. Jika deretan kapal uap yang diproyeksikan antara utara Australia, Surabaya, Batavia, dan Singapura, dihimpun, pelabuhan tersebut akan menjadi salah satu tempat yang akan kami kunjungi. Desa tersebut berada pada pantai berpasir, yang ditempatkan pada setiap sisi oleh tebuk batu karang, yang mengalirkan laut ke gua-gua dan titik proyeksi kecil dari bentuk paling besarnya.Tempat tersebut memiliki populasi sekitar dari enam sampai tujuh ribu. Ekspor utamanya adalah teripang, lilin lebah dari pelosok dan cendana, yang dikatakan terbaik di seluruh kepulauan tersebut. Mereka membesarkan beberapa jenis jeruk ternikmat. Jeruk Mandarin, yang mungkin awalnya dibawa dari Tiongkok, merupakan jenis buah paling lezat yang pernah aku rasakan. Aku sanagt ragu apakah Kepukaaun Hindia Barat kami atau Sisilia, atau belahan dunia lian, dapat bersaing dengan Timor dalam hal rasa yang kaya dari jeruk-jeruknya. Perbukitan di sekitara desa hanya tertutup dengan tumbuh-tumbuhan, walau bertanah bebatuan karang, dan di setiap arah seluruh daerah tersebut, kecuali di lembah, terhimpun banyak aspek yang sangat terhalang dan tak dikunjungi, sebanding dengan pesisir Jawa yang kaya akan lapisan, dan sebagian besar pulau lain yang kami lihat. Sehingga, tak ada perbukitan dan rintangan tinggi di sepanjang seluruh paruh selatan pulau yang tertutup dengan hutan dalam semacam itu yang nampak pada bagian timur dan utara Jawa, dan bagian tengah dan utara Sulawesi, dan pada seluruh dataran tinggi Kalimantan dan Sumatra.

Kala kami melintasi Selat Sapi, aku mendapati bahwa, walau kedua pesisirnya hijau, hutan nampak menunggu di Sumbawa dan Floris, dan ini juga dikatakan merupakan Pulau Cendana yang sebenarnya. Hal ini juga menyatakan bahwa ini merupakan suatu kondisi ujung timur Jawa dan ujung selatan Sulawesi. Mungkin, sebab sterilisasi parsial tersebut utamanya dipicu keadaan muson tenggara, yang berlanjut disana sepanjang sebagian besar, dari sekitar Maret sampai November, mendatangkan kekeringan, pelosok mirip gurun di Australia, dan tak menjadi selaras dengan lahan basah pada perlitnasannya sepanjang Laut Arafura. Sehingga, kebanyakan persiapan yang dilakukan di Timor, harus terjadi pada sisi tenggara wilayah perairan tersebut, dan memungkinkan agar hutan besar berada pada belahan pulau tersebut. Bagian utara pulau tersebut, yang dikuasai oleh Portugis, jauh lebih subur, dan jika wilayah tersebut banyak dihuni, dan benar-benar tertanam, dapat menyediakan lahan kopi yang besar. Kala mendarat, sebagian besar kejutan dari seluruh obyek yang mendatangkan sorotan adalah para penduduk aslinya. Pada waktu itu, terdapat setidaknya enam jenis berbeda di desa yang sama, disamping para keturunan ibu Melayu dan ayah Tionghoa, Portugis, Belanda, Inggris, dan mungkin Amerika, dari segala tingkat perpaduan yang memungkinkan sebuah simpul Gordian yang sempurna untuk etnologis terhandal. Setiap ragam penduduk asli memiliki beberapa gaya khas, dan salah satunya memiliki rambut panjang dan dikeritingkan; namuon aku ragu apakah mereka dapat merujuk kepada gaya Papua sebenarnya. Mereka nampak menjadi spesimen aborigin yang benar, yang siap disebutkan mendiami pelosok Floris, Solor, Omblata, Pintar, dan Ombay. Penduduk asli Savu dikatakan masuk pada kelompok yang sama, yang disebut oleh Mr. Crawfurd dengan sebutan ras Negro-Malaya. Rajah Savu berada di Kupang kala kami berada disana, dan tentunya nyaris berdarah Melayu murni.

Berseberangan dengan apa yang terjadi, dari posisinya, pulau Rotti, di lepas ujung selatan Timor, dihuni oleh ras berrambut lurus, yang mungkin adalah orang-orang Melayu. Mereka ditunjukkan padaku, oleh Residen Kupang, sebagai orang-orang yang sangat damai, dan sangat berbeda dalam hal penghormatan dari penduduk asli liar Timor. Di pantai tenggara Timor, dekat Gunung Alias, dikatakan bahwa suku orang kulit hitam yang rambutnya keriting, dan, alih-alih tersebar sepanjang bentangan tersebut, terhimpun dalam sekelompok kecil, sebuah karakteristik yang nampaknya untuk memisahkan orang Papua dari seluruh suku bangsa lainnya. Mr. Earl berujar bahwa beberapa orang di balik wilayah meja Dilli memiliki “kulit kekuningan, bagian yang nampak dari kulitnya tertutup dengan titik atau noda coklat tua, dan rambutnya lurus, menarik dan berwarna kemerahan, atau berwarna tua. Setiap ragam rambut dan sifat antara ini dan warna hitam atau coklat tua tersebut, dan rambut yang berukuran pendek dari Papua pegunungan, ditemukan di Timor.” Pernyataan tersebut menyatakan bahwa seluruh perantara dari perbedaan tersebut menjadi hasil dari percampuran darah Melayu dan Papua, dan ini nampak pada kemungkinan cikal bakal seluruh ras Negro-Melayu. Posisinya dalam bagian kepulauan terdekat Papua sepenuhnya sesuai dengan hipotesis tersebut.

Tradisi berujar bahwa Rajah Kupang dulunya mengurbankan perawan muda ke hiu dan buaya sekali setahun, namun ini umum dianggap sebagai fabel, sampai seorang priyayi mengunjungi pulau Semao, sekitar dua puluh tahun lampau, dan menyatakan bahwa seorang rajah membawanya ke tempat di pantai teluk dekat ujung tenggara pulau tersebut, dimana “ini menjadi adat mereka usai panen untuk mengirim tebu, beras, unggas, telur, babi, anjing dan anak kecilm dan mempersembahkan mereka kepada roh-roh jahat,” dan rajah kemudian menyatakan bahwa, ia telah menyaksikan upacara pembunuh itu sendiri.

Kala kami singgah selama sehari, dan aku sama berminat mengumpulkan cangkang, aku sempat meminta pemandu Melayu untuk mengantarku ke desa dekat pantai, satu mil dari barat Semao. Perjalanan kami berhalang rintang, beberapa batu besar telah ditiadakan, namun bebatuan karang di tempat lain sepenuhnya berada pada tanah yang topis, yang membuatku takjub adalah bagaimana penduduk asli dapat berjalan dengan kaki telanjang secara mudah. Kami kemudian datang ke puluhan gubuk melingkar, yang ditutupi oleh tembok batu rendha.l Uhian tersebut kebanyakan adalah hunian manusia sebagaimana yang aku saksikan dalam seluruh perjalananku di sepanjang kepulauan tersebut. Temboknya, alih-alih terbuat dari papan atau potongan bambu, sebagaimana di pulau lain, terbuat dari batang kecil berukuran setinggi tiga kaki, yang diberdirikan di tanah. Hunian tersebut ditopang oleh atap berbahan daun kelapa. Babi-babi yang nampak buruk, dengan buli panjang di punggung mereka, berkeliaran di sekitarnya. Tak lama setelah itu, kami melintasi tempat kuburan. Tembok rendah menutupi plakat kecil, yang diisi dengan tanah. Tempat tersebut berisi satu makam atau lebih, masing-masing memiliki kaki dan kepala batu blok kayu piramida persegi kecil, dengan landasan diisi dengan tanah. Desa berikutnya yang kami masuk hanya berisi puluh gubuk. Segerombolan anjing mirip serigala menyambut kami, dan kehadiranku, usai banyak teriakan, menarik minat para penduduk dari salah satu hunian tersebut. Para pria pergi memancing, namun wanita dan anak-anak mendatangi kami, dan kala penyambutan mereka akhirnya memperkenankan kami untuk menyadari bahwa mereka datang untuk menjual cangkang, dan memiliki suplai koin tembaga kecil yang baik, mereka pergi berburu, dan kemudian menyerahkanku sejumlah besar cangkang berukuran besar. Anak-anak nyaris sepenuhnya telanjang, dan wanita hanya mengenakan sarong, yang menutupi pinggang dan turun sampai kaki. Busana tersebut disuplai mereka lewat perajutan tangan pada dada mereka kala mereka memutuskan untuk menjual cangkang mereka. Orang-orang tersebut yang sepakat untuk diajak bicara, berujar bahwa mereka tak berasal dari pesisir mereka sendiri, namun dari Rotti; dan seorang pria, yang berada di sepanjang pesisir sekitar, menyatakan padaku bahwa ia melihat penduduk asli bergerak kepada mereka, kala gelombang surut, dan membawa mereka hidup-hidup dan pada perjalanannya, sejumlah besar dikumpulkan untuk dijadikan makanan.

Paruh akhir muson barat, atau perubahan muson, direkomendasikan padaku sebagai waktu paling diskuia untuk mengumpulkan hewan-hewan langkah. Disamping nautilus, aku mendapati banyak spesies Pteroceras, Strombus, dan banyak cone dan cypræa indah.

Bebatuan karang di perbukitan yang kami lintasi berisi spesimen-spesimen yang nampak sebagai spesies hidup, pada ketinggian yang aku anggap lima ratus kaki di atas permukaan laut. Aku menandai semuanya dalam buku catatanku sebagai terumbu karang dari tingkat paling terkini. Sejak kembali, dan membandungkannya dengan pengamana dari deskripsi hati-hati dari wilayah tersebut ayng diberikan oleh Mr. Jukes, dalam perjalanannya menggunakan Fly, aku mendapati ia menyatakan pandangan yang sama, menampilkan formasi yang sama pada perkiraan ketinggian enam ratus kaki di atas permukaan laut; dan dataran, yang menjulang di pelosok sampai ketinggian seribu kaki, aku juga menduganya berasal dari cikal bakal yang sama. Namun, Mr. Schneider telah mendeskripsikan “kalk formatie,” tentang Kupang, yang, dari posisinya pada peta, akan nampak identik dengan yang dilihat oleh Mr. Jukes dan diriku. Formasi yang disebut oleh Mr. Schneider merujuk kepada “Rangkaian Karang,” Jura, di Inggris. Sejumlah fosil lainnya aku anggap masuk periode Oölitik lama, atau Lias, dan menghimpun seluruh hal yang ia anggap merupakan sebuah “diorite, atau porfiri dan porfiri diokritik amorfus—seperti yang ditemukan di Teluk Humboldt, pesisir utara Papua, dan lebih seperti prfiri dioritik amorfus dari Australia.” Celah tembaga ditemukan kurang lebih kala lapisan Jurassik nampak, namun dalam jumlah diorit yang nyaris terbesar.

Pada sore tanggal 24, kami berlabuh ke Teluk Kupang, dan sepanjang pantai barat laut Timor, menuju Dili; dan semua perjalanan ke pelabuhan kami rampungkan di bawah naungan daratan, yang hanya memiliki ketenangan, dan menyinari udara dari tenggara dan timur laut. Dengan angin halus yang selalu memiliki langit yang sangat cerah; namun kala datang ke ujung barat daya Floris, dan juga kala memasuki Teluk Kupang, setiap kali kala ada angin kuat dari timur, langit menjadi sangat tebal dan berawan. Kapten kami, yang melakukan banyak perjalanan, pada segala musim, di laut tersebut, memberitahuku bahwa langit nyaris tebal kala muson timur menjadi kuat. Pesisir Timor sangat lambat, seperti pantai utara Jawa, namun menjulang langsung dari laut, dalam deretan perbukitan. Tak ada puncak besar dan menjulang dapat terlihat, seperti di Jawa, dan di seluruh kepulauan timur dan meliputi Ombay; puncaknya di sepanjang lapisan air, di Timor, umumnya tak menjulang sampai lebih dari empat atau lima ribu kaki, dan Lakaan, yang dianggap sebagai gunung tertinggi dalam rangkaian tersebut, hanya memiliki ketinggian enam ribu kaki. Tanahnya nampak sangat tak subur, sehingga kala matahari pada cakrawala barat, dan cumuli, yang mengambang di udara murni, perlahan nampak di sepanjang perubahan bayangan mereka pada perbukitan dan lembah tak terhitung, seluruh pemandangan nyaris seringan dengan pemandangan pertamaku di wilayah tropis kala datang ke Selat Sunda. Tak ada jalan raya di pelosok pulau tersebut, dan setiap orang yang akan menjelajahi jarak terpendek, harus menunggangi kuda sepanjang pantai berpasir.

Pada siang hari, kami melintasi Pulo Gula Batu. Tempatnya sangat tinggi, dengan stepa, nyaris bersisi tegak lurus, yang memiliki penampilan kapur putih, dan nampak terdiri dari serangkaian batu karang, yang menyatakan bahwa tempat tersebut kini berada di atas permukaan laut. Kala senja, kami memasuki Perlintasan Ombay, sebuah tempat yang kapal-kapal dari Inggris dan Amerika biasanya dipilih kala datang ke Tiongkok pada muson barat, dan seringkali kembali pada muson timur. Kapal-kapal tersebut kemudian bergerak ke Samudra Hindia, pada perjalanan pulangnya. Ini adalah kapal pertama yang disaksikan oleh kami sejak melintasi Selat Sapi, dan meninggalkan Laut Jawa. Tempat tersebut kemudian nyaris tenang, dan sehingga aku menyaksikan ikan terbang keluar dari air dan bergerak dari kejauhan sebelum mencemplung lagi, yang menunjukkan bahwa mereka harus mengeluarkan diri mereka sendiri ke udara utamanya lewat gerakan vibrasi dari gerak besar mereka. Matahari kini terbenam di balik puncak tinggi nan gelap dari pulau Pintar.

Pada esok paginya, kami berlayar ke teluk kecil yang dikelilingi oleh perbukitan setinggi lima belas ratus sampai dua ribu kaki. Pada kepala teluk dan sekitaran pantai sealtannya membentang strip sempit dari permukaan tanah, berbatasan dengan pangkalan perbukitan tinggi. Di dataran rendah, terdapat dua benteng yang ditinggalkan, dan beberapa rumah dan gubuk pribumi. Tempat tersebut masuk dalam kota Dili, ibikota Portugis di seluruh perairan tersebut. Dari seluruh bangsa di Eropa, Portugis menjadi bangsa pertama yang menemukan jalan menuju Hindia lewat laut. Kemudian, pada suatu waktu, mereka menikmati monopoli tanpa gangguan atas perdagangan Timur; namun kini paruh utara dari pulau tersebut, ujung timur Flores, kota Makau di Tiongkok, dan Goa di Hindustan, menjadi satu-satunya tempat berpengaruh di seluruh Timur yang tetap berada pada genggaman mereka. Bahasa Melayu rendah atau umum sangat terdampak oleh Portugis ketimbang bangsa lain, karena alasan sederhana bahwa para navigator awal membawa banyak hal yang baru ke orang-orang Melayu, yang kemudian mengadopsi nama-nama Portuhhis untuk hal-hal tersebut. Gubernur terakhir di tempat tersebut bertugas beberapa bulan sebelum kami datang, karena ia tak menerima bayaran selama setengah tahun, walau gajinya hanya lima ratus guilder per bulan; dan pedagang di Makassar bertutur padaku bahwa, kala ia datang ke kota tersebut, ia tak memiliki cara untuk membayar pemberangkatannya kembali ke Eropa. Sehingga, penyelidikan pertama yang dibuat dilakukan kala ia diangkat menjadi gubernur baru. Jawaban kaptennya adalah, bahwa ia hanyalah satu penumpang dalam kabin pertama, dan satu-satunya tempat yang ditunjukkan kepadanya untuk melihat wilayah tersebut adalah terumbu karang di mulut pelabuhan.

Perahu-perahu penduduk asli yang datang dengan pisang, kelapa, jeruk, dan unggas, semuanya sangat sempit, hanya selebar satu penduduk asli di pundak. Setiap perahu sebenarnya adalah sebuah kano, yang diolah dari pohon kecil tunggal, dan dibangun setiap sisi dengan potongan kayu dan dedaunan kelapa. Mereka semua disediakan dengan matang. Mereka kala itu berada di perairan rendah, dan nampak terumbu karang. Ini bukanlah hakku untuk mengunjungi terumbu kara, dan aku sangat cemas untuk melihatnya, namun aku tak dapat membuat pikiranku meresikokan diriku sendiri dalam keadaan berbahaya semacam itu. Namun, kapten dengan kemurahan hati lazimnya menawariku pemakaian salah satu perahu besarnya; dan kala kami mendekati terumbu karang, dan melewati taman besar yang kaya akan lapisan, dengan bintang-bintang laut yangt ersebar, dan ikan-ikan yang berenang-renang dan nampak seperti kecepatan cahaya, kesenangan mendalam bergerak sepanjang nadiku, yang tak pernah aku lupakan sampai akhir hari-hariku. Selama sejam, aku mengumpulkan tiga spesies bintang laut indah, dan enam puluh lima jenis cangkang, nyaris semuanya kaya akan warna. Terumbu karang, yang dilewati oleh pasang, semuanya hitam, dan tidak putih, seperti lapisan karang yang nampak di pantai. Terumbu karang tersebut terselimuti air tinggi, dan sehingga memecah seluruh gelombang dari samudra; namun, sayangnya, wilayah tersebut dipenuhi dengan kerbau atau sapi, dan lainnya menjadi tempat pelayaran kecil dari Makassar, yang datang untuk kopi, yang ditanam dalam jumlah besar di wilayah Dili, dan dibawa pada punggung kuda. Barisan panjang mereka nampak naik turun pada sisi bukit di desa. Kegiatan tersebut ditutupi dengan pepohonan, selain sejumlah pohon kelapa tumbuh di dataran rendah yang berbatasan dengan teluk. Menurut Mr. Crawfurd, nama Dili identik dengan bagian Melayu pada sisi timur laut Sumatra, yang mereka sebut Deli, dan ia menduga dari fakta tersebut bahwa wilayah tersebut dihuni oleh koloni Melayu dari Sumatra pada masa-masa terawalnya. Kata Timor, dalam bahasa Melayu, artinya “Timur,” dan pulau tersebut mungkin menjadi batas pelayaran kami di arah tersebut, sesuai dengan namanya. Tak lama usai lepas pantai Dili menuju Pulo Kambing, sebuah nama umum untuk banyak pulau di kepulauan tersebut. Pada pulau tersebut dan Pulau Pintar, puncak-puncak tertinggi berada di ujung selatan. Utara Dili, pesisirnya adalah stepa, dan pegunungan menjulang dari laut. Sisi-sisi seluruh ketinggian sangat terhampar dengan lembah-lembah yang terbentuk oleh hujan.

Dari Dilli, kami berlayar ke utara sepanjang pesisir tenggara Wetta, sebuah pulau pegunungan tinggi. Pesisirnya dihuni oleh Melayu, dan pelosoknya oleh orang rambut keriting hitam, yang berkerabat dengan para penduduk Timor. Praktek berdarah “perburuan kepala” masih nampak di kalangan mereka. Utara Timor adalah Kissa, pulau paling penting di belahan kepulauan tersebut. Pada paruh awal abad ini, wilayah tersebut menjadi tempat keresidenan Belanda. Pulau tersebut adalah sebuah pulau rendah, dan nasi dan jagung yang disantap oleh para penduduknya utamanya diimpor dari Wetta. Namun, penduduknya melakukan perdagangan paling menonjol dengan pulau-pulau sekitarnya, dan dikatakan melajuh jauh pada penduduk asli Amboina di bidang industri. Tenggara Kissa membentang Letti, karena sebagian besar wilayahnya tinggi dan berbukit, namun setingkat dengan laut di dekatnya. Kloff menyebut penduduk aslinya tinggi dan berkulit coklat muda. Para prianya tak memakai busana lain selain sepotong kain yang menutup sekeliling selangkangannya. Wanitanya terkadang memakai, selain busana tersebut, sebuah kabaya, yang terbuka di bagian depan. Poligami tak ditemukan, dan perzinahan ditindak dengan hukuman mati atau perbudakan. Kala Belanda menduduki kepulauan tersebut, mereka mendorong penduduk asli untuk mengubah hukumannya menjadi pengasingan ke Kepulaaun Banda, tempat orang-orang dibutuhkan untuk menanam pohon-pohon pala. Islam maupun Hindu diperkenalkan ke kepulauan tersebut; mereka hanya memampangkan gambar bentuk manusia yang ditempatkan pada bebatuan yang menjulang di bawah pohon besar dekat pusat desa. Kala perkawinan atau kematian, atau acara penting lainnya, seekor kerbau atau babi besar, yang dipelihara dan dibesarkan untuk keperluan tersebut, dijagal. Mereka secara khusus cemas untuk mendapatkan gigi gajah, dan menganggapnya sebagai barang terpilih.

Pagi setelah meninggalkan Dili, Roma nampak pada jangkauan kami. Tempat tersebut sangat tinggi dan bergunung. Pada 1823, tempat tersebut mengalakmi kerusakan yang sangat parah akibat angin ribut kencang, yang juga menyebabkan kehancuran besar di Letti. Di pulau tersebut, pohon-pohon kepala menjulang sampai tanah pada wilayah-wilayah menonjol. Bencana tersebut disusul oleh kekeringjan, yang menghancurkan seluruh tanaman mereka, dan menghasilkan kematian besar di kalangan sapi, karena kekurangan pangan. Angin ribu tersebut menyebabkan kawanan lebah meninggalkan pulau tersebut pada suatu waktu—sebuah kerugian besar pada penduduk asli, karena lilin dan madu menjadi salah satu ekspor utama mereka. Kami kemudian ke Kepulaaun Aru, dan kemudian ke Makassar dan Ambon. Kala pemimpinnya meninggal, istrinya mengambil tempatnya dalam dewa, sebuah hak yang langka diberikan pada wanita di kalangan bangsa-bangsa Timur. Timur Letti adalah Lakor, sebuah tepi karang kering, yang berada di dua puluh kaki di atas permukaan laut.

Damma kemudian nampak pada pemandangan. Tempat tersebut juga tinggi dan bergunung, dan memiliki puncak vulkanik pada ujung timur lautnya. Pada 1825, tempat tersebut mengeluarkan sejumlah besar gas. Di kakinya, mata air belerang, sebagaimana yang ada di banyak tempat di Jawa dan Sulawesi, di sekitaran kegiatan vulkanik yang ada. Kapal dokter Kapten Kloff, Dourga, mengirim banyak kru untuk merendam di mata air tersebut, dan ia berujar bahwa “walau mereka sangat terdampak pada rematik yang tak hanya tak semangat untuk bertugas namun dalam keadaan kekeliruan besar, pemakaian air tersebut banyak berkontribusi pada penunjangan kesehatan mereka.” Mata air dari jenis tersebut ditemukan di daerah Pekalongan, barat Gunung Prau, dan didatangi oleh banyak warga asing, namun aku tak pernah mendengar bahwa kesembuhan menonjol apapun yang berdampak pada pemakaian air tersebut. Pohon pala tumbuh liar di Damma, dan burung kenari juga menyebar disana. Tiga puluh tahun usai Belanda merebut pulau tersebut, seluruh penduduknya didapati sepenuhnya menganut barbarisme, namun beberapa penduduk asli Moa, Letti, Roma, dan Kissa, pindah ke Kristen, dan lima atau enam kapala sekolah pribumi kini bertempat di kepulauan tersebut. Tenggara Damma membentang Baba. Masyarakatnya memiliki adat besar menempatkan limun pada rambut mereka, bahkan dari bayi. Sebuah kapal Inggris yang berdagang disana diawaki oleh penduduk asli, dan seluruh awaknya dijagal. Kapal lain mengalami nasib serupa Timur-laut, yang merupakan sebuah pulau sepanjang sekitar seratus mil, dan sepertiga lebarnya berada pada bagian terbesarnya. Di tempat tersebut, setiap keluarga menyimpan kepala salah satu leluhur mereka dalam penyimpanan, dan, kala berniat mengenang mereka, seluruh perbuatan berani dan kematian mereka sendiri, tengkorak tersebut ditempatkan pada tempat berlawanan pada ruang utama. Kala seorang wanita muda menikah, setiap jari kaki dipakaikan dengan cincin tembaga keras, “untuk memberikan musik kala ia berjalan.” Adat perang mereka seperti orang-orang Seram. Masyarakat di pegunungan pulau tersebut dikatakan merupakan orang berambut keriting gelap. Jika ini benar, mereka mungkin akan didapati seperti penduduk Timor dan Ombay, dan tidak selaras dengan gaya Papua. Penduduk seluruh kepulauan tersebut terpisah oleh perpecahan, atau mengadakan perang terbuka satu sama lain.

Kami kini sepenuhnya berada di Laut Banda. Pada 28 Juni, puncak Gunong Api nampak di atas cakrawala, namun, sebagaimana aku kemudian mengunjungi kembali kepulauan indah tersebut, sebuah penjelasan dari mereka tercantum pada halaman masa depan. Kala kami berlayar dari Banda, kami melintasi wilayah cuaca kering berkelanjutan dan mulai memasuki tempat musim hujan dan kemarau brlawanan pada seluruh wilayah besar yang terbentang dari bagian tengah Sumatra sampai ujung timur Timor, termasuk paruh selatan Kalimantan dan semenanjung selatan Sulawesi. Di seluruh wilayah tersebut, muson timur mengirimkan musim kemarau, walau terkadang hujan dapat terjadi; namun di Amboina, dan di pesisir selatan Ceram dan Buru, angin yang sama menggerakkan awan yang nyaris menurunkan banjir. Di Ambon, aku menganggap bahwa terkadang wilaayh tersebut hujan selama dua pekan pada suatu waktu, tanpa nampak berhenti selama lima menit, dan dari apa yang aku sendiri alami, aku dapat meyakini bahwa fenomena tersebut bukanlah kejadian langka.

Di bagian utara Sulawesi, di Ternate, dan di bagian utara Gillolo, dan kepulauan di antara pulau tersebut dan Papua, dan juga di pantai bagian barat pulau besar tersebut, musim hujan dan kemarau sangat menonjol. Wilaayh pengecualian kebanyakan berada pada garis lintang dua derajat utara dan dua derajat dari selatan khatulistiwa. Di utaranya, angin pada waktu tahuan tersebut berasal dari barat daya, alih-alih dari tenggara. Muson tenggara kering tersebut bergerak di sekitaran Kalimantan, dan menjadi muson barat daya Laut Tiongkok, mensuplai hujan pada bagian utara Kalimantan dan Filipina. Muson tersebut bermula di dekat Australia, dan sehingga menekan perjalanannya mula-mula menuju barat laut dan kemudian menuju timur laut seluruh kepulauan Filipina. Muson tersebut nampak di Timor pada bulan Maret, dan mencapai bagian selatan Tiongkok pada bulan Mei.