Lompat ke isi

Teteh Menak dan Gelang yang Terjatuh

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

(Pegantar cerpen/sinopsis: di sini)


Teteh Menak dan Gelang yang Terjatuh

Ilustrasi Teteh Menak (Malati Atmajaya)

Oleh: Eika Vio


Ting ... Neng! Ting ... Neng!

Suara bel yang khas dari bendi terdengar nyaring oleh anak-anak. Bendi itu ditarik oleh kuda gemuk berwarna hitam nan gagah. Semua pasang mata langsung menoleh ke sumber suara karena penasaran.

“Hai!”

Terlihat seorang anak perempuan dengan rambut yang digelung rapi dan berkebaya putih menyapa sambil tersenyum manis. Anak itu datang dengan pakaian yang sangat rapi. Kakinya menggunakan sepatu berwarna putih bersih dan di tangan kanannya dijinjing tas coklat berbahan kulit.

“Boleh saya main dengan kalian?”

Begitulah awal mula Malati berbaur di tengah anak-anak desa. Wajah Malati manis seperti gula batu. Apalagi ada kempot di kedua pipinya. Aih, semua langsung menyukai Malati. Anaknya cantik juga baik hati.

Seperti hari ini, Malati pun kembali datang dengan bendi mewahnya. Lagi-lagi Malati muncul dengan kejutan yang membuat anak-anak dari desa itu girang bukan kepalang. Kali ini, Malati tiba bersama pedagang es cincau keliling. Bapak pedagang es cincau itu memanggul dagangannya di pundak. Ia langsung sigap menyiapkan gelas setelah menerima perintah dari Malati.

“Teman-teman, ayo minum es cincau!” ajak Malati ramah.

Anak-anak pun kemudian berlarian mengerubungi pedagang. Haus karena cuaca terik serta lelah karena seharian bekerja dan bermain pun langsung hilang setelah minum es cincau dari Malati. Ini adalah kali ketiga Malati datang ke lapangan dekat gedung Gouvernements Bedrijven yang terkenal di Bandung. Lapangan ini biasa digunakan anak-anak pribumi untuk bermain.

Ada sekitar sepuluh anak yang selalu bermain di lapangan. Rata-rata mereka berasal dari Garut dan Tasikmalaya. Keluarga mereka merantau ke Bandung untuk menjadi buruh kasar, berdagang di pasar, atau jadi babu di kediaman Meneer atau Tuan Belanda.

Sebenarnya, dari anak-anak yang sering bermain di lapangan itu tidak ada yang benar-benar mengenal Malati. Termasuk Idah, Itoh, dan Cecep yang ketiganya masih bertalian saudara. Idah dan Itoh yang merupakan anak perempuan kembar berusia sembilan tahun itu memanggil Malati dengan Teteh Menak karena Malati tak pernah memperkenalkan namanya. Panggilan Teteh Menak pun menular kepada anak-anak yang lain.

“Teteh Menak, hatur nuhun pisan!” ucap anak-anak serempak berterima kasih.

“Teteh Menak, mari kita main oray-orayan!” ajak anak-anak sambil menarik lengan Malati. Semuanya lalu larut dalam permainan ular-ularan sambil mendendangkan lagu.

Oray-orayan

(Ular-ularan)

Luar-leor mapay sawah

(Meliuk-liuk menyusuri sawah)

Tong ka sawah

(Jangan ke sawah)

Parena keur sedeung beukah

(Padinya sedang mulai merekah)

Malati hanya bermain sekitar satu jam saja. Setelah itu ia akan pamit dan kembali naik bendi untuk pulang. Tidak ada yang tahu di mana rumah Malati. Anak-anak hanya tahu kalau Malati anak perempuan yang bersekolah dan kaya.

Sudah tiga kali anak-anak desa berjumpa dengan Malati. Memang mereka tidak bertemu Malati setiap hari. Mereka juga tidak tahu kapan Malati bisa datang untuk bermain bersama. Namun, setiap berjumpa rasanya masih ada perasaan kikuk yang melanda. Mungkin karena perbedaan penampilan yang sangat mencolok diantara anak-anak desa dan Malati.

Anak-anak perempuan yang bermain dengan Malati di lapangan selalu berpakaian lusuh dengan kain jarik yang rata-rata sudah jelek. Sementara anak lelakinya menggunakan celana bahan sampai lutut yang sudah robek di beberapa sisi. Anak laki-laki bahkan kuat bertelanjang dada. Bukan karena tidak mau memakai baju, tapi karena baju yang dimiliki sangatlah sedikit.

Bahkan, anak-anak rantauan ini semua berkulit coklat gosong karena sering terpanggang matahari. Apalagi Cecep, ia sering membantu bapaknya menjadi kuli pikul membawa hasil tani ke pasar-pasar. Cecep usianya sepuluh tahun. Badannya agak kurus dan lengannya agak berotot. Namun, anehnya perutnya sedikit buncit. Mungkin karena kurang gizi atau kurang makan.

Cecep merupakan saudara sepupu dari Idah dan Itoh. Bapak Cecep adalah seorang kusir pedati, ibunya telah tiada. Sementara orangtua Idah dan Itoh keduanya adalah pedagang kecil yang membantu menjual sayur-mayur di emperan Pasar Kosambi. Jika dibandingkan dengan Malati, ketiga anak itu sangat berbeda jauhnya. Ibarat bumi dan langit. Namun anehnya, Malati tak pernah risau dengan perbedaan itu.

“Berarti Teteh Menak bukan orang sembarangan!” celetuk Cecep setelah kepulangan Malati. “Betul, pasti keturunan priyayi. Bajunya rapi dan cara bicaranya juga sopan,” sambung Idah. “Tapi, kenapa mau main bersama kita?” Pertanyaan Itoh sukses membuat semua anak terdiam. Sore itu semua bertanya-tanya. Karena alasan apa Malati mau berkawan dengan mereka yang rakyat jelata?

Siang ini tanah lapang yang biasa dipakai anak-anak pribumi bermain kedatangan Mang Memet yang memanggul alat permainan andalannya. Anak-anak menyebut permainan itu dengan nama “gambar toong”. Mang Memet dengan lihai kemudian memainkan akordeon tuanya. Tak lama terdengar suara musik yang khas seakan memanggil anak-anak untuk mendekat dan berkumpul.

Teroret ... Tet ... Tet ... Teroret ... Tet ... Tet ...

Kadarieu! Kadarieu! Aya gambar toong!” seru Mang Memet memanggil anak-anak untuk mendekatinya. Idah, Itoh, dan Cecep tak mau terlewat. Setelah dari pagi membantu orangtua, kini saatnya mereka bermain dengan riang.

Idah, Itoh, dan Cecep lalu duduk berjejer di atas kursi panjang yang disediakan Mang Memet. Dengan antusias lalu ketiganya memicingkan sebelah mata demi bisa melihat gambar yang disajikan. Mang Memet lalu berkisah sambil memainkan akordeonnya. Kali ini Mang Memet berkisah tentang cerita Lutung Kasarung.

Setelah kisah selesai, tiba-tiba seseorang menepuk pundak Idah. Dengan kaget, Idah lalu menoleh. Dilihatnya seorang sosok ramah yang sudah tak asing lagi. Rupanya ada Malati.

“Teteh kapan datang?” tanya Itoh.

“Belum lama. Tadi kalian serius sekali menonton gambar toong, jadi tidak enak kalau diganggu.” Malati bangkit dari kursinya dan menyerahkan beberapa koin sen kepada Mang Memet.

“Terima kasih Teh! Kami jadi tidak enak sering merepotkan Teteh,” ucap Idah. Malati buru-buru mengibaskan tangan kanannya. “Tidak usah sungkan.”

Seperti biasa, Malati menyempatkan bermain di lapangan setelah pulang dari sekolah. Sementara bendinya yang setia mengantar dan menjemput Malati terparkir tak jauh dari lapangan bersama kusir. Selepas melihat gambar toong, Malati lalu diajak bermain zondag mandaag atau engkle oleh anak-anak. Malati bahkan ikut membuat petak-petak di tanah menggunakan ranting pohon. Hari ini Malati begitu girang dan bersemangat tak seperti tiga pertemuan sebelumnya.

“Teh, kenapa Teteh Menak mau bermain dengan kami?” tanya Idah penasaran.

Mendengar pertanyaan Idah, Malati hanya tersenyum. Ia lalu kembali melompat melewati garis petak yang sudah ia buat. Lagi-lagi alasan seputar kehadiran Malati masih membuat penasaran anak-anak. Apalagi sore ini rasa penasaran anak-anak kian membesar gara-gara sesuatu.

Setelah Malati pulang dengan bendinya, sebuah gelang emas dengan motif bunga dan bertabur permata ditemukan di atas tanah. Itoh yang pertama kali menemukannya. Semua anak lalu berkumpul dan penasaran ingin memegang gelang emas itu. Bagi mereka, emas adalah barang yang sangat mewah. Bahkan baru kali ini mereka menyentuh emas. Kilaunya membuat mata mereka terpukau. Pertanyaannya, punya siapa emas itu?

“Ini pasti punya Teteh Menak!” celetuk Cecep.

“Iya! Pasti terjatuh saat tadi bermain! Tapi Teteh Menak sudah pulang. Lalu bagaimana kita mengembalikannya?” Itoh mulai kebingungan.

“Kita tunggu saja Teteh Menak datang lagi ke lapangan,” ucap Idah memberi solusi.

Sepekan pun berlalu. Tidak ada tanda-tanda kedatangan Malati ke lapangan bermain. Biasanya dari kejauhan suara bel bendi Malati sudah terdengar. Anak-anak khususnya Idah, Itoh, dan Cecep sudah rindu mendengar suara pluk-plik-plok-plik-pluk-plok dari sepatu kuda bendinya Malati. Namun, suara khas itu belum juga terdengar.

“Bagaimana dengan gelang ini? Saya merasa takut jika harus dibawa setiap hari,” ungkap Itoh. Demi mengembalikan kepada pemiliknya, Itoh rela membungkus gelang emas itu dengan kain dan diikat ke perutnya menggunakan tali agar tidak terjatuh.

“Mungkin Teteh Menak sudah tidak ingin bermain dengan kita lagi. Mugkin sudah bosan. Kalau begitu kita jual saja gelangnya bagaimana? Teteh Menak juga pasti tidak akan tahu jika gelangnya hilang dan ditemukan oleh kita,” ucap Cecep.

Dengan cepat kata-kata Cecep langsung ditangkis oleh Idah dan Itoh.

“Hush! Tidak boleh! Gelang ini bukan punya kita! Kita harus meengembalikan kepada pemiliknya,” protes Idah dan Itoh hampir bersamaan.

“Tapi, bagaimana jika gelang emas ini bukan milik Teteh Menak?” sanggah Cecep.

“Setidaknya kita sudah berusaha. Nanti kita akan tetap berusaha mencari pemilik sebenarnya,” terang Idah.

“Tapi bagaimana caranya? Rumah Teteh Menak bahkan tidak kita ketahui.” Cecep terlihat lunglai. Idah dan Itoh berpikir sejenak. Ide brilian kemudian muncul dari Idah.

“Cep, coba tanya bapakmu. Mungkin bapakmu tahu siapa kusir yang membawa bendinya Teteh Menak. Dari situ kita bisa tahu dimana rumah Teteh Menak.”

Setelah bertanya kepada bapaknya, akhirnya Cecep mendapat informasi seputar kediaman Malati. Kabarnya bapaknya Cecep cukup sering melihat bendi Malati mengantar dan menjemput Malati.

“Ternyata Teteh Menak yang bermain dengan kita itu anak Asisten Wedana!” ucap Cecep tak menyangka. “Asisten Wedana itu apa?” timpal Itoh dan Idah bertanya-tanya. “Apa ya? Saya juga tidak tahu. Yang pasti, bapaknya Teteh Menak itu orang penting di Bandung ini,” timpal Cecep.

Setelah menceritakan tentang gelang emas, akhirnya bapaknya Cecep bersedia mengantarkan Cecep, Idah, dan Itoh menuju kediaman Teteh Menak menggunakan pedati sapi. Tak lama akhirnya Cecep, Idah, dan Itoh tiba di depan kediaman Malati. Tak disangka ternyata rumah Malati yang usianya mungkin terpaut satu tahun di atas Cecep itu sangat luas dan megah.

“Kalian berdua saja yang masuk! Saya menunggu di luar bersama Bapak,” ujar Cecep. Idah dan Itoh lalu berjalan memasuki gerbang utama yang disambut dengan dua penjaga pribumi. Setelah melawan takut dan berusaha menjelaskan dengan benar, Idah dan Itoh yang datang dengan penampilan alakadarnya itu lalu dipersilakan masuk dan menunggu di teras depan.

Idah dan Itoh tak berani duduk di kursi atau naik ke atas lantai. Keduanya takut mengotori lantai karena berjalan tanpa alas kaki. Ini kali pertama bagi mereka mendatangi rumah yang mewah.

Suara yang dikenal Idah dan Itoh pun muncul dari dalam rumah. Terlihat Malati datang dengan tangan kirinya yang dibalut perban. Idah dan Itoh terkaget-kaget melihat kondisi Malati. Ada apa dengan Malati?

“Kemarilah Idah, Itoh! Jangan berdiri di situ!” Malati menatap Idah dan Itoh dengan hangat.

“Kami takut mengotori lantai Teh,” ucap Idah ragu-ragu.

“Tak mengapa. Kemarilah dan duduk di kursi.”

Malati menunjuk dua kursi di hadapannya. Di teras itu ada tiga kursi dan meja bundar di tengahnya.

Setelah duduk, Idah dan Itoh menceritakan gelang emas yang ditemukan mereka di lapangan tempat bermain. Dengan senangnya Malati mengiyakan jika gelang emas itu adalah miliknya yang sudah dicarinya sampai berhari-hari.

“Terima kasih. Kalian memang anak yang baik serta jujur. Saya mencari gelang ini menggunakan sepeda tapi malah terjatuh hingga tangan patah,” ungkap Malati.

“Karena sakit jadi tidak bisa bermain dulu dengan kalian,” sambung Malati kembali. Idah dan Itoh merasa iba.

“Kenapa Teteh tidak meminta orang lain saja yang mencarikan?” tanya Itoh penasaran.

Malati lagi-lagi tersenyum. “Saya sebenarnya tidak suka merepotkan orang lain. Saya juga ingin seperti anak-anak biasa. Bisa bermain, bisa bersepeda berkeliling Bandung,” jawab Malati.

Idah dan Itoh menyimak kisah Malati dengan penuh perhatian. Ternyata banyak hal yang tidak mereka ketahui tentang Malati. Dan hari ini rasa penasaran mereka tentang Malati mulai terungkap.

“Oia, saya lupa terus memperkenalkan diri kepada kalian. Sebenarnya nama saya Malati Atmajaya. Saya anak satu-satunya di sini. Dan saya setiap hari bersekolah di Holandsch Inlandsche School,” ungkap Malati sambil tersenyum.

Mendengar kata-kata Malati sejujurnya membuat Idah dan Itoh merasa iri. Begitu bahagianya Malati bisa bersekolah. Tidak seperti mereka yang buta huruf, tak mampu menulis, apalagi berhitung. Apalagi Malati hidup serba berkecukupan. Tidak seperti Idah dan Itoh yang untuk makan pun harus penuh perjuangan.

“Kalian tidak bersekolah?” tanya Malati tiba-tiba.

Dengan cepat Idah dan Itoh menggeleng.

“Sama sekali tidak bersekolah? Termasuk di Sekolah Rakyat pun tidak?” tanya Malati lagi.

Idah dan Itoh kembali menggeleng. Lalu Malati tampak diam sejenak.

“Kalau begitu mulai besok kalian datang ke sini setiap hari ya! Saya akan mengajari kalian!” Kata-kata Malati membuat Idah dan Itoh terhenyak.

“Benarkah?”

Malati mengangguk penuh semangat.

“Tunggu sebentar! Saya mau memberi hadiah,” ucap Malati. Ia lalu masuk ke dalam rumah dan membawakan dua buah buku tulis beserta dua buah pensil.

“Ini untuk kalian, terimalah.”

Idah dan Itoh begitu berbahagia. Mereka tak menyangka bisa memegang buku dan pensil, dua benda yang masih terasa asing dalam kehidupan mereka.

“Bagaimana dengan orangtua Teteh Menak? Apa boleh kami belajar di sini?” Itoh bertanya ragu-ragu.

“Tenang saja, Bapak dan Ibu orang yang baik. Mereka bahkan ingin pribumi seperti kita ini cerdas-cerdas. Jangan sampai kalah dengan orang Belanda! Kalian juga boleh mengajak anak-anak yang lain belajar di sini.”

Sore itu Idah dan Itoh berbahagia sekali. Keduanya mendapat hadiah berharga dan berkesempatan belajar bersama Malati yang baik hati. Di luar gerbang Cecep menunggu dengan perasaan was-was. Saat melihat Idah dan Itoh mengacungkan buku tulis dan pensil, Cecep pun menyambut dengan banyak pertanyaan. Mereka tak sabar menyambut hari esok.

TAMAT