Vice Versa

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis[sunting]

Tami tak suka kakeknya karena berbau balsem, berjaket, dan selalu dengan bukunya. Tami lebih suka hp mama yang bisa dipinjamnya juga tiktok yang bisa digulir. Kakek memberikan dia berbalik dari kesukaannya sejak kepergiannya.

Lakon[sunting]

  1. Tami
  2. Kakek

Cerpen[sunting]

Sepulang sekolah aku bergegas pulang ke rumah, jarak yang ditempuh untuk perjalanan dari sekolah menuju rumah tak begitu jauh. Kami hanya perlu berjalan kaki sekitar dua ratus meter. Jalannya pun bertiga. Jadi walau agak panas di pukul 12 siang. Aku menikmatinya. Sekolah ini memang masih satu kompleks dengan rumah, hanya berjarak dua gang disebelah.

“Kasihan deh lo, nggak punya hp”ejek Tias pada Rena. Rena hanya memberengut, sedikit lagi kalau dipancing terus kurasa Rena akan menangis. Aku sebenarnya juga tak punya hp, tapi aku lebih beruntung dari Rena karena mama masih sering meminjamkan hpnya di rumah, yang mana berarti aku bebas menggunakannya. Aku bisa menggulir tiktok sepuasku. Kami kemudian berpisah jalan, aku berjalan lurus menuju rumah, sedangkan Rena dan Tias berbelok. Aku bisa membayangkan apalagi yang akan diucapkan Tias kepada Rena.

“Selamat siang”kuberi salam dengan sedikit berteriak saat memasuki rumah.

“Siang Tami sayang”jawab Mama. Mama sedang berdiri di depan meja makan. Menata makan siang. Tadi sebelum ke sekolah mama mengatakan akan memasak makanan enak hari ini karena kedatangan kakek. Aku tentu senang dengan bagian makanan enak, biasanya makanan enak tersedia kalau ada acara besar, seperti ulang tahun dan di hari raya atau apabila keluarga datang dari kampung. Tepat seperti kedatangan kakek kali ini.  Lauk pauk siang ini tampak menggiurkan. Aku menarik satu potong ayam goreng yang tersaji. Mama menggerutu melihat tingkahku.

“Cuci tangan dan ganti baju dulu”nasihatnya. Aku tak mengindahkan. Tersedia aneka makanan yang aku tahu makanan kesukaan kakek, ada sayur sup, ayam goreng, sayur singkong, kerupuk, dan sambal yang tampak sangat menggiurkan. Kakek pernah datang setahun lalu, aku ingat kakek tak lagi mengambil ayam yang banyak. Katanya mengurangi karena sudah U, juga untuk menjaga kesehatan.

“Kakek kan nggak makan sebanyak ini, faktor U”lanjutku mengingatkan mama pada kata-kata kakek dulu. Aku tak terlalu suka kakek sebenarnya. Ia orang yang tak begitu menyenangkan untuk diajak berbicara, buatku ia membosankan. Belum lagi ia berbau balsem. Bayangkan tentang bau balsem dan jaket tebal pada cuaca panas. Mama sering sekali bercerita dengan kakek. Mendengarkan dengan antusias sambil mengudap pisang goreng juga kopi dan teh hangat saat sore hari. Topiknya tentang bapak dan masa kecil bapak. Saat itulah aku bisa sibuk dengan hp. Katanya aku tak punya rasa hormat. Aku bukannya tak punya rasa hormat, hanya saja rasa malasku untuk meladeni kakek sudah berada pada taraf tertinggi, itu karena ia selalu membawa buku kemanapun ia pergi. Membaca dan memaksakan matanya yang sudah kalah. Saat membaca, buku itu kira-kira hanya berjarak satu centi dari wajahnya. Cara membacanya selalu menarik sisi lain dari diriku keluar. Aku kadang emosi dengan kakek sebab ia seringkali mengabaikan apapun selain bukunya. Kopinya kadang dihinggapi lalat atau semut berkemurun. Suara mobil berhenti terdengar. Bapak dan kakek tiba. Aku bergerak dengan cepat menuju kamarku.

*****

“Ini buku untukmu, kakek yang menulisnya”kata kakek menyodorkan buku bersampul biru berjudul Vice Versa. Nama kakek sebagai penulis tertera, Bramantyo Wirjawan. Aku menerimanya, lalu meletakkan buku itu di atas meja. Sibuk kembali dengan hp mama setelah mengucapkan terima kasih. Kakek duduk di kursi sebelahku, membaca buku lagi. Aku yang mencium aroma balsem tak bisa bertahan lebih dari sepuluh menit. Segera kembali ke kamar beserta hp dan buku dari kakek. Sebelum bergerak menjauh aku sengaja mendekatkan buku yang sedang dibaca kakek ke wajahnya. Aku tertawa kecil sembari berlari masuk ke dalam rumah.

“Tami”sentak Mama sebab aku hampir menabraknya. Mama membawa dulang yang sepertinya untuk ritual sore mereka bercerita. Mama menggelang-gelengkan kepala melihatku yang sudah berlari ke kamar sambil tertawa.

*****

Kakek meninggal. Begitu kata Mama. Bapak mengurus surat izinku dari sekolah karena kami harus pulang ke kampung. Mengikuti seluruh prosesi pemakaman kakek juga adat-adatnya. Kami menaiki kapal feri yang akan membawa kami menyeberang ke kampung. Segalanya berjalan dengan cepat. Aku kebosanan di dalam kapal. Tak bisa berbuat apa-apa. Hp milik mama tak punya jaringan. Jadi lupakan Tiktok, aku juga belum sempat mendownload banyak video untuk kutonton karena perjalanan ini terlalu terburu-buru. Duduk termenung memandang lautan, sedangkan bapak dan mama sudah tertidur. Tadi bapak berbagi cerita tentang kakek kepadaku, kesedihan nyata di matanya.

Saat tiba disana, aku melihat bahwa rumah kakek penuh oleh orang-orang kampung. Banyak anak-anak sekolah yang berkumpul di sana. Ungkapan belasungkawa datang silih berganti. Peristiwa ini tak lagi tentang duka saja, namun juga sukacita karena ada banyak penghiburan yang berdatangan. Nyanyian pujian dari anak-anak di sini mengawali upacara pemakaman kakek, ada anak yang membacakan puisi untuk kakek tentang kakek semasa hidup di mata dia. Banyak yang berbincang tentang kebaikan kakek. Benar seharusnya memang hanya menceritakan yang baik-baik tentang si yang telah meninggal. Buat bapak tentulah itu lain. Rasa kehilangan yang ia rasakan tentu saja berbeda, tapi buatku kehilangan itu sekaligus menyadarkanku tentang hidup yang lain, hidup yang bersisian, hidup yang beririsan. Perasaanku seperti terasing disini, aku tak tahu apa yang terjadi dengan perasaanku. Seolah semuanya bertumbrukan dan menjadi satu kesatuan. Hanya terasa yang salah saja di hatiku.

Upacara pemakaman kakek baru saja selesai. Keluarga dan seluruh orang di kampung sedang makan bersama. Tadi bapak mencurahkan banyak hal dalam menceritakan riwayat hidup kakek. Kebersamaan keduanya, pentingnya belajar dan berusaha.

“Bapak mengajarkan saya arti hidup, kami lebih banyak berdua, namun diseluruh episode hidup saya tak pernah benar-benar hanya berdua.” Aku jadi tahu banyak hal tentang keduanya, lebih daripada yang sempat bapak bagi denganku pada saat di atas kapal saat menyebarangi lautan itu. Hatiku sepertinya berwarna persis birunya laut, terombang-ambing oleh kenyataan bahwa semuanya berbalik sekaligus. Tak ada yang sempurna dan dunia akan membawamu pada banyak hal menakjubkan seperti kakek yang pada akhirnya berakhir, namun meninggalkan sesuatu bukan hanya untuk desa ini tapi juga untuk kami keluarganya, secara khusus buatku.

*****

Pasca seminggu tepat dari hari kematian kakek kami pulang ke rumah, penyeberangan dengan feri. Di rumah kakek aku menemukan banyak sekali buku. Banyak anak-anak yang datang membaca di rumah atau sekadar meminjam buku. Mereka juga punya kecintaan yang sama pada buku. Jadi buku-buku itu dirawat dengan baik.

“Nak, Bapak ngantuk. Bapak tidur sedikit boleh ya?”izin Bapak. Aku mengangguk, mama sudah tertidur duluan. Lelah mengurus banyak hal bersama dengan mama-mama di kampung. Aku mengeluarkan buku yang pernah diberikan kakek waktu ia terakhir berkunjung ke rumah. Ternyata, aku membawanya dan menaruhnya di bagian dasar tas. Aku berusaha membacanya untuk membunuh kebosananku. Tulisan ini menenggelamkanku. Aku berpetualangan dari satu cerita ke cerita yang lain. Kadang kutemukan diriku sebagai karakter utama disatu dua cerpen yang ditulis kakek. Tentang aku sebelum aku hidup bersama dengan tiktok, hanya aku sebagai cucu yang disayanginya. Buku yang secara khusus ini sungguh berarti buatku. Aku menemukan diriku sebagai si karakter utama yang dicintai dan disayangi.

Aku tak tahu perubahan seperti apa yang terjadi padaku diriku. Kejujujuran kakek pada tulisannya dibuku ini memberiku sesuatu perasaan bernama jatuh cinta pada dunia yang ia cintai. Apalagi di halaman persembahan kakek menulis untuk cucuku tercinta semoga kamu akan jatuh cinta pada buku. Kakek tak menulis jatuh cinta pada buku ini, buku berjudul Vice Versa yang kubaca. Jadi aku yakin maksud kakek adalah tentang jatuh cinta pada aktivitas membaca. Kakek menggenapi kepergiannya tak hanya berarti penerimaan setiap anak di kampung untuk buku, namun juga lengkap denganku yang jatuh cinta pada buku pertamaku.  Seperti judul buku kumpulan cerpen kakek Vice Versa, akupun menemukan diriku pada sisi sebaliknya. Memang tak ada yang pernah tahu bahwa mati akan seperti apa. Memang pada hakikatnya kita mengharapkan kebaikan yang terbawa pergi bersama kematian.


TAMAT