“Kapal, Tunggu Aku!” (Mengejar Pesawat Terbang)

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
Tellet bersama temannya pemeran dalam cerita ini.

Deskripsi Singkat[sunting]

Tellet merupakan siswa kelas satu sekolah dasar. Tellet memiliki empat sahabat yaitu Budi, Buyung, Jopar dan Kacop. Sepulang sekolah mereka mengambil buah jambu yang tumbuh  di pinggir jalan.

Karena terlalu asyik bermain Tellet lupa waktu dan terlambat pergi ke ladang membantu Ibunya untuk mengambil lengkuas. Di saat tengah bekerja di ladang. Tellet melihat Pesawat terbang melintas di langit. Tellet ingin sekali bisa naik Pesawat Terbang. Ibunya memberi nasehat kepada Tellet bagaimana kelak dia bisa naik pesawat.  

Lakon[sunting]

  1. Tellet (Tokoh utama)
  2. Sahabat Tellet ( Budi, Buyung, Jopar, Kacop)
  3. Ibu Tellet
  4.  Adik Tellet

Lokasi[sunting]

Halaman belakang sekolah, pinggir jalan dan ladang

Tellet bersama teman-temannya sedang mengambil buah bunga pangkas.

Bel pulang sekolah telah berbunyi. Aktivitas belajar di kelas Tellet berakhir. Murid-murid kelas satu bersorak gembira begitu juga dengan Tellet . Mereka langsung memasukkan semua buku ke dalam tas.

“Siapkan, Tellet!” kata Ibu Guru Ratih.

“Iya, Bu!” jawab Tellet sambil tertawa senang.

“Siap, grak! Kepada ibu guru kita, hormaaat, grak!!!”

“Selamat siang, Buuu!” serentak mereka memberi salam kepada Ibu guru Ratih.


Sebelum mereka keluar kelas, Ibu Guru Ratih mengingatkan agar anak-anak mengerjakan pekerjaan rumah. Belajar membuat garis-garis, serta tidak lupa untuk menghafal nama-nama huruf. Mereka pun serempak menjawab, “Iya, Bu.”


Satu-persatu mereka keluar dan menyalami Ibu Guru Ratih. Walaupun murid kelas satu ini terkesan nakal-nakal, tetapi kepada guru mereka sangat hormat. Pada waktu itu, kelas satu dan kelas dua pulang lebih dulu karena mereka belajar hanya sampai pukul sebelas siang, sementara kelas tiga sampai kelas enam mereka pulang pukul satu siang.


Sepulang sekolah, mereka tidak langsung pulang ke rumah. Si Tellet dan empat orang temannya berjalan  menuju halaman belakang sekolah untuk mengambil buah bunga pangkas. Bunga pangkas adalah sejenis bunga yang memiliki buah berbentuk bulat sebesar manik-manik dan berwarna kuning. Buah bunga pangkas ini, oleh Si Tellet dan teman-temannya akan dijadikan peluru untuk ketapel yang terbuat dari karet gelang.


Sesampai di halaman belakang sekolah, Si Tellet dan Si Jupar langsung memanjat pohon bunga pangkas. Ketiga temannya yang lain menunggu di bawah untuk mengumpulkan buahnya. Untuk soal memanjat, Si Tellet dan Si Juparlah jagonya. Mereka bisa memanjat seperti tupai yang lincah dan cepat. Mereka juga bisa berayun-ayun di dahan pohon bunga pangkas layaknya seekor kera.


“Jangan ambil yang terlalu matang, nanti pelurunya tidak keras!”teriak Si Buyung dari bawah.

“Jangan asal menyuruh saja, ini badanku sudah habis digigit semut merah,” kata Si Tellet kesal.


Walaupun nada suara mereka keras dan sering berselisih paham, namun persahabatan mereka begitu kompak dan saling menyayangi. Buah bunga pangkas yang mereka ambil sudah terkumpul banyak. Lalu mereka masukan ke kantong celana masing-masing.


“Ayo, kita pulang!Ini sudah cukup banyak,” kata Si Buyung.

“Iya, ini buahnya sudah banyak” jawab Budi.


Mereka pun pulang, Di tengah perjalanan mereka menemukan sebatang pohon jambu kelutuk yang tumbuh liar di pinggir jalan. Pohon itu berbuah lebat hanya saja buahnya belum kelihatan ada yang matang.


“Itu ada satu yang sudah matang,” teriak Si Kacop.

“Ayo kita tembak, mana peluru tadi?”tanya Si Jopar.


Mereka langsung mengeluarkan semua buah bunga pangkas tadi dari kantong celana masing-masing. Kemudian, mereka tumpahkan semua di atas tanah. Tanpa komando, mereka langsung berbaris di bawah pohon jambu untuk menjatuhkan buah jambu yang matang tadi.


“Siapa yang bisa menjatuhkan buah jambu itu, dialah yang akan jadi komandan kita,” kata Si Tellet sambil melirik kepada teman-temannya.

“Setuju!”jawab teman-temannya serentak sambil terus menembaki buah jambu tadi dengan ketapel.


Sudah hampir setengah jam mereka berada di bawah pohon jambu tadi dan terus menembakinya, namun buah jambu itu tidak juga jatuh. Walaupun begitu, mereka pantang menyerah.


“ Peluru kita sudah mau habis kawan-kawan,” kata Si Jopar.

“Jangan kita menyerah, jangan juga putus asa. Kalau kita bekerja sama, semua pasti bisa kita taklukkan,”jawab Si Tellet menghibur teman-temannya.


Peluru mereka tinggal sepuluh biji. Tiba-tiba tembakan Si Buyung mengenai sasaran dan akhirnya jambu tadi jatuh. Mereka langsung bersorak gembira, Si Buyung langsung berlari untuk mengambilnya.


“Sesuai perjanjian, kaulah yang akan menjadi komandan kami Buyung,” kata Si Jopar.

“Tidak begitu kawan-kawan, Kita sama-sama berjuang untuk menjatuhkan buah jambu ini, jadi tidak ada yang menjadi komandan. kita adalah sahabat,”jawab Si Buyung tandas.


Mereka semua berpandangan dan saling tersenyum, lalu mereka memakan buah jambu tadi bersama-sama. Setelah itu, mereka semua pulang ke rumah masing-masing.


Walaupun mereka sangat lelah dan lapar, namun mereka senang dan bergembira, karena dapat bermain bersama. Begitulah Si Tellet dan teman-temannya, kehidupan mereka belum terjamah oleh handphone, dunia internet, dan tidak pernah kenal dengan yang namanya game online.


Pukul dua belas Siang, Si Tellet tiba di rumahnya. Perutnya sudah sangat lapar. Dibukanya periuk di atas tungku batu yang ada di dapur, ternyata nasinya sudah tidak ada. Dia lupa jika nasi untuk makan siangnya, dibawa Ibunya ke ladang. Si Tellet segera menyimpan tasnya dan mengganti bajunya, kemudian langsung berlari menuju ladang.

Ibunya sengaja membawa makan siangnya ke ladang agar pulang sekolah Si Tellet langsung menuju ladang dan tidak bermain-main dahulu dengan teman-temannya.


Tak Berapa lama, tibalah Si Tellet di ladang. Ibu dan adik-adiknya tengah beristirahat di dalam gubuk. Ibunya sedang memasak air di tungku batu menggunakan kayu bakar, sedangkan adik-adiknya sedang asyik bermain tanah. Mereka membuat patung-patungan sama seperti yang dilakukan orang ketika berada di pantai dengan bermain pasir.


“Lama sekali kamu pulang, Tellet?”Biasanya kan kalian pulang jam sebelas dari sekolah,” tanya Ibunya .

“Kami tadi mengambil jambu, Bu ! Bermain sebentar setelah pulang sekolah,”jawab Si Tellet.


“Jambu siapa yang kalian ambil? Jangan biasakan mencuri, dan jangan biasakan juga pulang sekolah langsung bermain,” tegur Ibunya.

“Kami tidak mencuri, Bu ! Jambu yang kami ambil itu,jambu yang tumbuh di pinggir jalan dan tidak ada pemiliknya. Aku janji, tidak akan bermain-main lagi sepulang sekolah, Bu,” ujar Tellet menunduk.

“Mari kita makan, cuci tangan kalian!” kata Ibunya kemudian.


Mereka menggunakan tungku yang disusun dari tiga batu padas berbentuk segitiga dan kayu bakar untuk memasak nasi di ladang. Nasi yang sudah matang ditempatkan di pinggir tungku agar tetap hangat karena bara api di bawah tungku masih menyala. Ibu Tellet telah merebus terong hijau yang nanti akan ditumbuk dalam sebuah tempurung kelapa. Tumbukan terong hijau dicampur dengan kincung, ditambah perasan asam dan cabai rawit. Itulah yang akan jadi lauk nasi mereka. Sederhana, tetapi enak rasanya. Tak Hanya itu, Ibu Tellet juga menyiapkan ikan asin yang dibakar, dengan tambahan sayur daun ubi rebus.


Si Tellet makan dengan lahapnya, perutnya sudah lapar karena lelah bermain dengan teman-temannya sejak pulang sekolah tadi.

Tiba-tiba langit bergemuruh, suaranya sangat kuat seperti badai topan. Adik Si Tellet terperanjat, langsung bersembunyi dibalik punggung Ibunya. Nasi yang dimakannya tumpah berserakan.


“Apa itu, Bu ?” tanya adik Si Tellet dengan wajah bingung.

“Kalian jangan takut, itu kapal atau disebut dengan pesawat terbang”jawab Ibunya sambil tersenyum.

“Tidak memangsa  manusia itu, Bu?” tanya adiknya lagi dengan wajah penasaran.

“Bagaimana pula mau memangsa manusia, pesawat terbang itu alat transportasi dan alat angkutan. Ada pesawat yang membawa manusia sebagai penumpang, ada juga yang membawa barang,” jawab Ibunya sambil mengusap-usap kepala anak bungsunya itu.

“Aku Pikir tadi itu burung, aku lihat macam burung elang, Bu,” sela adik Si Tellet dengan wajah penuh keheranan.


Mereka langsung tertawa mendengar perkataan lucu adik Si Tellet. Setelah mereka selesai makan, Ibunya menyuruh mereka untuk membereskan piring dan kuali. Hari ini mereka akan mengambil lengkuas karena besok adalah hari Sabtu. Hari Sabtu merupakan hari pekan di kampung Si Tellet. Pada hari Sabtu pasar akan ramai, oleh orang-orang yang datang dari desa ke kota untuk menjual hasil pertanian atau hasil ternak mereka.Oleh karena itu pada hari Jumat, keluarga Si Tellet pun akan memanen hasil ladang yang akan mereka jual ke pasar.


Berbagai macam hasil pertanian yang dipanen dari ladang Si Tellet. Ada lengkuas, serai, kincung, kunyit, jahe, dan masih banyak lagi. Memanen tanaman di ladang tidaklah mudah.Seperti mengambil lengkuas. Mengambil lengkuas menjadi salah satu pekerjaan yang sangat melelahkan. Lengkuas ini diambil dengan menggunakan cangkul dan harus hati-hati. Jika tidak  hati-hati, maka umbi lengkuas bisa menjadi rusak.


Lengkuas yang telah diambil, kemudian dirapikan dengan memotong akar-akar kecil yang menempel di badan umbi lengkuas tersebut. Tahap selanjutnya, adalah membersihkan lengkuas itu dari tanah yang menempel. Sungguh proses yang cukup melelahkan.Setelah itu mereka harus menyusuri tebing-tebing curam membawa lengkuas tersebut ke rumah yang jaraknya lumayan jauh dari ladang.


Saat asyik mengambil lengkuas, tiba-tiba langit kembali bergemuruh, adik Si Tellet langsung melompat. Dia sangat terkejut.


“Kapalnya lewat lagi,” teriak adik Si Tellet.

“Ayo kita panggil,” kata Si Tellet.

“Kapaaaaal! Tunggu kami!” teriak si Tellet dan adiknya.


Mereka berteriak-teriak dengan sangat kencang memanggil kapal itu sambil berloncat-loncat gembira.


“Cepat kalian ambil lengkuas itu!” tegur Ibunya.

“Kami lagi memanggil kapal, Bu. Biar kami dibawa ikut,” jawab Si Tellet.

“Lah…, kalian ini bagaimana?”tanya Ibunya tertawa sambil memandang kedua anaknya.

“Sombong sekali sopir kapal itu,” kata Si Tellet dengan wajah kesal.

“Pesawat itu tidak bisa berhenti sembarangan. Dan sebutan untuk yang mengemudikan pesawat disebut Pilot. Pesawat itu akan berhenti dan mendarat di bandara. Bukan seperti mobil angkutan pedesaan yang beroperasi seminggu sekali di desa kita. Dan bisa berhenti di mana saja kalau ada penumpang yang akan naik,” jawab Ibunya.

“Naik kapal terbang itu mahal, Bu , ” tanya Si Tellet.

“Sangat mahal,” jawab Ibunya seraya mengusap kepala Si Tellet.


Sebenarnya Ibu Si Telet belum pernah sekalipun naik pesawat terbang. Mungkin Ibu Si Tellet juga tahu dari orang lain, atau mendengar berita dari radio transistor tua yang selalu dibawanya ke ladang untuk mendengarkan lagu-lagu yang disiarkan.


“Berarti kita tidak bisa naik kapal terbang Bu? Kita kan manusia susah. Kita hanya penjual lengkuas,” kata Si Tellet sambil menatap wajah Ibunya.

“Kenapa tidak bisa? Jika kalian rajin sekolah, rajin belajar, rajin berdoa, menghormati guru dan berbakti kepada orang tua. Kelak kalian akan menjadi manusia yang berhasil dan sukses. Kalian akan menjadi manusia yang berpangkat, punya pekerjaan bagus, dan menjadi manusia yang akan menjadi contoh untuk orang lain. Pastinya kalian akan bisa untuk naik pesawat. Oleh karena itu, sekolah harus benar, jangan banyak bermain ketika pulang sekolah,” kata Ibunya.

“Ibu doakan, nanti kau bisa naik pesawat Tellet,” ujarnya sambil mengusap-usap kepala Si Tellet.

“Iya, Bu, mulai sekarang aku akan rajin sekolah dan rajin belajar, ” jawab Si Tellet meyakinkan Ibunya.

Ibu Si Tellet sangat senang mendengarkan jawaban Tellet, adik-adiknya pun ikut tersenyum.


Demikianlah, pada saat itu.Anak-anak di Desa Bandar Selamat yang berada di Kabupaten Dairi meyebutkan pesawat adalah kapal terbang. Kalau ada pesawat terbang melintas di langit, anak-anak akan ramai berteriak sambil mengejarnya sampai mereka lelah. Di hati mereka tumbuh cita-cita, kelak mereka pun akan bisa terbang bersama pesawat itu.