Lompat ke isi

Cerita Dubes Morgenthau/Bab 15

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas


BAB XV

DJEMAL, SI PEMBUAT KETEGANGAN MARKUS ANTONIUS — UPAYA JERMAN PERTAMA UNTUK MERAIH PERDAMAIAN JERMAN

Pada awal November, 1914, stasiun kereta api di Haidar Pasha menjadi tempat unjuk rasa besar. Djemal, Menteri Kelautan, salah satu dari tiga sosok yang kala itu paling berkuasa di Kekaisaran Turki, pergi untuk mengambil komando Satuan Darat Turki Keempat, yang bermarkas besar di Suriah. Seluruh anggota Kabinet dan tokoh penting lain di Konstantinopel berkumpul untuk memberikan gerombolan yang datang dengan perasaan antusias. Mereka menyambutnya sebagai "Juruselamat Mesir," dan Djemal sendiri, tepat sebelum keretanya datang, membuat deklarasi terbukanya: "Aku tak akan kembali ke Konstantinopel sampai aku merebut Mesir!"

Seluruh penampilan tersebut nampak padaku sebagai sesuatu yang bombastis. Buktinya, mereka menyerukan untuk memikirkan anggota ketiga triwira berdarah lainnya yang, nyaris dua ribu tahun sebelumnya, meninggalkan wilayah asalnya untuk menjadi diktator tertinggi dari Timur. Dan Djemal memiliki banyak sifat yang umum dengan Markus Antonius. Seperti pendahulu Romawinya, kehidupan pribadinya bersfat boros. Layaknya Antonius, ia adalah tukang taruhan, menjalani banyak waktu luangnya pada meja kartu di Cercle d'Orient. Sifat lainnya yang ia miliki sesuai dengan orator Romawi besar tersebut adalah kesombongannya. Dunia Turki nampak tak beraturan pada masa Djemal, layaknya Republik Romawi yang bubar pada masa Antonius. Djemal meyakini bahwa ia dapat membuat dirinya sendiri menjadi pewaris salah satu provinsinya atau lebih dan mungkin mendirikan sebuah dinasti. Ia tertarik pada ekspedisi militer yang kini ia mulai yang akan membuatnya tak hanya penakluk provinsi menonjol di Turki, namun juga salah satu sosok berkuasa di dunia. Setelah itu, di Suriah, ia memerintah secara independen layaknya baron perompak abad pertengahan — yang dalam penjelasan lain yang diingat olehnya; ia menjadi sejenis sub-sultan, memegang istananya sendiri, memiliki selamlik miliknya sendiri, mengeluarkan perintahnya sendiri, bebas memilih jenis kehakimannya sendiri, dan seringkali tak selaras dengan otoritas di Konstantinopel.

Sambutan para rekan Djemal yang menyertai keberangkatannya tak sepenuhnya diminati. Fakta tersebut menyatakan bahwa sebagian besar dari mereka sangat berbangga untuk melihatnya pergi. Ia telah menjadi duri pada pihak Talaat dan Enver pada beberapa waktu, dan mereka sepenuhnya menyatakan bahwa ia harus memegang sifat angkuh dan keras kepala melawan Suriha, Armenia dan unsur non-Muslim lainnya di provinsi-provinsi Mediterania. Djemal bukanlah pria populer di Konstantinopel. Anggota triwira lainnya, selain memiliki kualitas yang kurang diinginkan, memiliki perlakuan atraktif tertentu — Talaat, yang memiliki sifat baik secara spontan dan kejantanannya yang kasar, Enver, yang memiliki sifat berani dan berkepribadian anggun — namun terdapat sedikit tentang Djemal yang menyenangkan. Seorang dokter Amerika yang mengkhususkan diri dalam kajian fisiognomi menemukan bahwa Djemal sebagai sosok yang menghasut. Ia berujar kepadaku bahwa ia tak pernah melihat wajah yang sangat memadukan kekejaman dengan kekuatan dan penjamahan besar. Seperti halnya riwayatnya yang ditunjukkan, Enver dapat berlaku kejam dan berlumuran darah, karena wajahnya benar-benar mencitrakan jiwa mendalam tersebut. Matanya hitam dan berkaca-kaca; ketajamannya, kecepatannya dan ketahanannya yang mereka tunjukkan dari satu obyek ke lainnya, nampak mengambil segala hal dengan sedikit lirikan bak petir, menyiratkan kelicikan, tanpa belas kasiham, dan keegoisan pada tingkat tertinggi. Bahkan tawanya, yang memperlihatkan seluruh gigi putihnya, tak menyenangkan dan mirip hewan. Rambut hitamnya dan jenggot hitamnya, berseberangan dengan wajah pucatnya, hanya meninggikan penekanan ini. Mula-mula, sosok Djemal nampak sebagai sesuai yang insignifikan — ia memiliki tubuh yang pendek, nyaris kekar, dan agak bungkuk. Namun, seperti halnya ia mulai bergerak, ini membuktikan bahwa raganya penuh tenaga. Kala ia menggoyang tangannya, mencengkerammu dengan cengkerapan seperti catok dan melirikmu dengan mata jelalatan dan tajam, unsur pribadi sosok tersebut menjadi mengesankan.

Sehingga, usai pertemuan penting, aku tak heran mendengar bahwa Djemal adalah orang yang menjadi pembantaian dan pembunuhan yudisial menjadi seluruh bagian dari kerja harian. Seperti seluruh Turki Muda, ia berlatar belakang sederhana. Ia bergabung dengan Komite Persatuan dan Kemajuan pada hari-hari awal, dan kekuatan pribadinya, serta rasa pantang menyerahnya, dengan cepat menjadikannya salah satu pemimpin. Setelah pembunuhan Nazim, Djemal menjadi Gubernur Militer Konstantinopel, tugas utamanya dalam jabatan tersebut dilucuti dari para lawan kekuasaan pemerintah.Tugas penting ini ditunjukkan olehnya dengan keterampilan besar, dan pemerintahan teror yang dihasilkan sebagian besar adalah hasil kerja Djemal. Kemudian, Djemal menjadi anggota Kabinet, namun ia tak dapat bekerja secara tentram dengan para rekannya. Ia seringkali menjadi pembuat ketegangan. Pada masa sebelum keretakan dengan Entente, ia lebih dikenal sebagai orang yang memiliki kegemaran akan Prancis. Kala yang dirasakan oleh Djemal menghibur Entente, ia membuat sedikit upaya untuk membongkar kebenciannya terhadap Jerman. Ia dikatakan akan bersumpah kepada mereka kala mereka berada — dalam bahasa Turki, sebetulnya; dan ia menjadi salah satu dari sedikit pejabat Turki penting yang tak pernah berada di bawah pengaruh mereka. Fakta bahwa Djemal mewakili agar penekanan tersebut dengan cepat meraih peningkatan dalam kebijakan Turki — Pan-Turkisme. Ia terpikat pada kalangan-kalangan di negara Utsmaniyah — Arab, Yunani, Armenia, Sirkasia, Yahudi. Ini merupakan keputusannya untuk men-Turkifikasi seluruh kekaisaran. Ambisi pribadinya membawanya ke dalam konflik berkelanjutan dengan Enver dan Talaat, yang berujar kepadaku beberapa kali bahwa mereka tak dapat mengendalikannya. Seperti yang aku katakan, ini menjadi alasan bahwa mereka berharap untuk melihatnya pergi — agar mereka tak benar0benar mengharapkannya untuk merebut Terusan Suez dan mengusir Inggris dari Mesir. Secara kebetulan, pelantikannya menandakan akan adanya organisasi tersebut di Turki. Sebagai Menteri Kelautan, tempat sebenarnya Djemal berada di Departemen AL; alih-alih bekerja di tempat resminya, kepala AL tersebut dikirim untuk memimpin AD pada pasir membakar Suriah dan Sinai.

Sehingga, ekspedisi Djemal mewakili upaya paling spektakuler Turki untuk mengerahkan kekuatan militernya melawan Sekutu. Kala Djemal bergerak keluar dari stasiun, seluruh masyarakat Turki merasa bahwa kesempatan bersejarah telah datang. Turki dalam kurang dari seabad telah kehilangan sebagian besar wilayah kekuasaannya, dan tak ada yang lebih melukai kebanggaan nasional selain pendudukan Mesir oleh Inggris. Semuanya pada penduduka tersebut, kedaulatan Turki telah diakui. Tak lama kemudian, Turki menyatakan perang terhadap Britania Raya. Namun Inggris mengakhiri pergesekatan tersebut dan resmi mengambil alih provinsi besar tersebut. Ekspedisi Djemal adalah jawaban Turki terhadap tindakan Inggris tersebut. Tujuan nyata dari perang tersebut, ujar rakyat Turki, adalah untuk merestorasi seluruh kekaisaran wangsa Osman, dan perebutan besar Mesir tersebut adalah langkah pertamanya. Turki juga mengetahui bahwa, di bawah pemerintahan Inggris, Mesir telah menjadi wilayah yang makmur dan, sehingga, akan menyediakan harta karun kekayaan besar untuk penakluknya. tak heran bahwa rombongan rakyat Turki mengikuti keberangkatan Djemal.

Pada sekitaran waktu yang sama, Enver pergi untuk mengkomandoi usaha militer besar Turki lainnya — serangan terhadap Rusia melalui Kaukasus. Disitu juga provinsi-provinsi Turki "ditebus." Usai perang tahun 1878, Turki mempermasalahkan perebutan wilayah-wilayah kaya tertentu oleh Rusia di antara Laut Kaspia dan Laut Hita, yang utamanya dihuni oleh orang-orang Armenia, dan ini merupakan negara yang kini diusulkan oleh Enver untuk direbut kembali. Namun, Enver tak berniat untuk menghiraukannya. Ia bergerak cepat dan tak teramati. Dengan keberangkatan dua orang tersebut, perang kini terjadi.

Disampign usaha militer tersebut, persiapan serupa perang lainnya kini sedang dilakukan di Konstantinopel. Pada masa itu — pada paruh akhir tahun 1914 — karakteristik luarnya tak menyatakan hal apapun selain perang, sehingga kini mendadak tempat tersebut menjadi markas besar perdamaian. Armada Inggris sontak mengancam Dardanelles. Pada setiap hari, pasukan Turki melewati jalan-jalan raya. Sehingga, kegiatan tersebut utamanya tak menarik perhatian Kedubes Jerman. Wangenheim memikirkan satu hal dan dari hanya satu hal tersebut; Jerman penyantap api tersebut mendadak menjadi sosok perdamaian. Baginya kini mengetahui bahwa jasa terbesar yang diberikan oleh dubes Jerman yang dapat diberikan kepada kaisarnya akan mengakhiri perang dalam rangka agar menyelamatkan Jerman dari kewalahan dan bahkan dari keruntuhan; untruk mewujudkan penetapan yang akan memberikan kembali tanah airnya dalam masyarakat bangsa-bangsa.

Pada November, Wangenheim mulai membahas masalah tersebut. Ia berujar kepadaku bahwa ini adalah bagian dari sistem Jerman tak hanya untuk sepenuhnya bersiap untuk perang namun juga untuk perdamaian. "Seorang jenderal bijak, kala ia memulai kampanyenya, selalu menangani rencananya untuk penarikan, dalam kasus ia dikalahkan," ujar Dubes Jerman. "Prinsip ini hanya menerapkan hal yang sama kepada negara yang memulai perang. Tak satu hal tertentu tentang perang — dan bahwa itu harus diakhiri beberapa kali. Sehingga, kala kami merencanakan perang, kami juga harus mengadakan kampanye untuk perdamaian."

Namun Wangenheim memahami waktu itu akan beberapa hal yang lebih dari sekadar prinsip filsafat ini. Jerman memiliki alasan pasti untuk berkeinginan mengakhiri pertikaian, dan Wangenheim membahasnya dengan terus terang dan sinis. Ia berujar bahwa Jerman hanya bersiap untuk perang singkat, karena negara tersebut berharap untuk mengalahkan Prancis dan Rusia dalam dua kampanye singkat, yang berlangsung tak lebih dari enam bulan. Secara jelas, rencana tersebut telah gagal dan hanya sedikit kemungkinan Jerman akan menang perang. Wangenheim mengujarkannya kepadaku dalam sangat banyak kata. Ia menambahkan, Jerman akan membuat kesalahan besar jika ia bertarung pada titik kewalahan, karena pertikaian semacam itu akan menandakan kehilangan permanen terhadap koloni-koloninya, laut perdagangannya, dan seluruh status ekonomi dan komersialnya. "Jika kami tak dapat merebut Paris dalam tiga puluh hari, kami terpukul," ujar Wangenheim kepadaku pada bulan Agustus, dan walau sikapnya berubah usai pertempuran Marne, ia tak membuat upaya untuk menguak fakta bahwa kampanye penyerobotan besar tersebut telah dipatahkan, bahwa seluruh rakyat Jerman kini tak dapat melihat masa mendatang sampai kewalahan berperang, dan bahwa semua yang mereka dapat rebut dari situasi yang ada akan menjadi penarikan pertempuran. "Kami membuat kekeliruan kali ini," ujar Wangenheim, "tidak dalam pengantaran suplai untuk perjuangan pertahanan; namun, ini adalah kesalahan yang tak boleh kami ulang; kali ini, kami harus menyetor tembaga dan kapas yang dibutuhkan selama lima tahun."

KEDUBES INGGRIS
Gedung ini dan beberapa gedung lain memberikan perlindungan kepada Tuan Morgenthau kala Turki ikut perang. Pada suatu kali, Dubes Amerika mewakili sepuluh negara di Sublime Porte
ROBERT COLLEGE DI KONSTANTINOPEL
Didirikan oleh Amerika pada lebih dari lima puluh tahun lampau. Lembaga pendidikan terbaik di Turki dan teman banyak pemimpin intelektual Balkan menerima pendidikan mereka

Wangenheim memiliki alasan lain untuk mengharapkan perdamaian langsung, dan ini adalah alasan yang sangat menyoroti ketidakmaluan diplomasi Jerman. Persiapan yang dibuat oleh Turki untuk merebut Mesir membuat dubes Jerman makin terusik dan cemas. Kepentingan dan tenaga yang diwujudkan Turki dalam usaha ini tentunya memberikannya perhatian. Biasanya, aku mula-mula berpikir bahwa Wangenheim khawatir Turki akan kalah. Sehingga, ia meyakinkanku bahwa ketakutan sebenarnya adalah kemenangan sekutunya. Wangenheim menjelaskan, kampanye kemenangan Turki di Mesir dapat bercampur tangan secara serius dengan rencana-rencana Jerman. Agar Turki merebut Mesir, biasanya Turki akan memutuskannya di meja perdamaian terhadap pengembalian provinsi besar tersebut dan akan menarik Jerman untuk mendukungnya atas klaim ini. Namun Jerman saat itut ak memiliki niat untuk mempromosikan pendirian kembali Kekaisaran Turki. Pada masa itu, negara tersebut berharap untuk mencapai kesepahaman dengan Inggris, dasar yang menjadi suatu hal dalam ranah pembagian kepentingan di dunia Timur. Jerman lebih ingin merebut Mesopotamia sebagai bagian tak terpisahkan dari skema Hamburg-Bagdad buatannya. Sebagai balasannya, negara tersebut bersiap untuk memberikannya dukungan terhadap aneksasi Mesir oleh Inggris. Sehingga, ini menjadi rencana Jerman pada masa itu bahwa Jerman dan Inggris harus membagi dua wilayah kekuasaan paling menonjol di Turki. Ini adalah salah satu proposal yang diajukan oleh Jerman untuk mengedepankan konferensi perdamaian yang kini direncanakan oleh Wangenheim, dan perebutan Mesir oleh Turki jelas-jelas akan menimbulkan komplikasi terhadap hal yang memajukan rencana tersebut. Perihal moralitas sikap Jerman terhadap sekutunya, Turki, ini benar-benar dibutuhkan untuk ditanggapi. Seluruh hal tersebtu adalah seluruh potongan dengan kebijakan "realisme" Jerman dalam hubungan luar negeri.

Pada paruh akhir 1914 dan paruh awal 1915, nyaris seluruh kalangan Jerman melirik perdamaian dan mereka mengembalikan Konstantinopel sebagai tempat paling menjanjikan yang dapat dipakai untuk memulai negosiasi perdamaian. Jerman memutuskan untuk memilih Presiden Wilson menjadi jurudamai. Sehingga, kami tak pernah pada suatu kesempatan memikirkan hal lainnya dalam persoalan ini. Satu-satunya kesempatan yang masih dianggap menjadi cara terbaik untuk mengerahkan Presiden. Negosiasi semacam itu akan sangat nampak dilakukan lewat salah satu dubes Amerika di Eropa. Sebetulnya, Jerman tak memiliki cara untuk mengakses dubes-dubes Amerika di ibukota-ibukota musuh besar, dan keadaan lainnya membuat negarawan Jerman beralih ke Dubes Amerika di Turki.

Pada kali ini, seorang diplomat Jerman muncul di Konstantinopel yang memiliki sifat yang lebih pada riwayat saat ini — Dr. Richard von Kühlmann, kelak Menlu. Pada lima tahun terakhir, Dr. Von Kühlmann nampak muncul dalam belahan dunia tertentu di tempat negosiasi diplomatik terpercaya penting dilakukan oleh Kekaisaran Jerman. Pangeran Lichnowsky menyebut kegiatannya di London pada 1913 dan 1914, dan ia dimajukan paling terdepan dalam perjanjian damai terkenal Brest-Litovsk. Tak lama usai perang dimulai, Dr. Von Kühlmann datang ke Konstantinopel selaku Penasehat Kedubes Jerman, menggantikan Von Mutius, yang dipanggil untuk bertugas dalam angkatan bersenjata. Untuk satu alasan, penunjukkannya sesuai, karena Kühlmann lahir di Konstantinopel, dan menjalani masa kecilnya disana, ayahnya merupakan presiden jalur kereta api Anatolia. Sehingga, ia mengetahui Turki seperti halnya satu-satunya orang yang tinggal dengan mereka selama beberapa tahun. Secara pribadi, ia menunjang penambahan kepentingan pada koloni diplomatik. Ia menekankanku bukan sebagai sosok agresif, namun sosok yang sangat menghibur. Ia nampak berharap untuk berteman dengan Kedubes Amerika dan ia menunjukkan hal tertentu untuk kami semua kala ia datang dari parit-parit dan memberikan kami banyak gambaran kehidupan di garis depan. Pada masa itu, kami semua sangat tertarik akan perang modern, dan penjelasan pertarungan parit oleh Kühlmann diulang beberapa kali pada siang dan sore. Topik perbincangan kesukaannya yang lain adalah Welt-Politik, dan tentang seluruh persoalan luar negeri yang ia berikan kepadaku sebagai pemberitahuan yang sangat baik. Pada masa itu, kami tak menganggap Von Kühlmann sebagai sosok penting, meskipun industri yang dimasukkan ke usahanya menerima perhatian setiap orang pada saat itu. Namun kemudian, ia mulai merasa bahwa ia memegang pengaruh kuat dalam sikap diamnya. Ia berujar sedikit, namun aku menyadari bahwa ia memahami segala hal dan memberikan seluruh jenis informasi dalam pikirannya. Ia nampaknya merupakan orang kepercayaan paling dekat dari Wangenheim, dan sosok yang bergantung pad Dubes tersebut karena kontaknya dengan Jawatan Luar Negeri Jerman. Menjelang pertengahan Desember, Von Kühlmann pergi ke Berlin. Disana, ia singgah selama sekitar dua pekan. Kala ia kembali, pada paruh awal Januari 1915, terdapat perubahan menonjol dalam atmosfer Kedubes Jerman. Menjelang waktu itu, Wangenheim membahas negosiasi perdamaian yang kurang lebih bersifat informal, namun kini ia menempatkan persoalan tersebut secara khusus. Aku datang agar Kühlmann berseru kepada Berlin untuk meminta seluruh penjelasan terbaru terhadap subyek tersebut, dan bahwa ia datang kembali dengan perintah agar Wangenheim harus dipindahkan sesekali. Dalam seluruh perbincanganku dengan Dubes Jerman soal perdamaian, Kühlmann selalu melayangkan latar belakangnya. Di satu konferensi paling penting yang dihadirinya meskipun ia sangat terlibat dalam seluruh perbincangan, namun sifatnya, seperti biasa, berlagak seperti bawahan dan penyimak yang sangat pendiam.

Wangenheim kini memberitahukanku bahwa Januari 1915, akan menjadi waktu yang pas untuk mengakhiri perang. Italia tak ikut, meskipun terdapat setiap alasan untuk meyakini bahwa negara tersebut akan melakukannya pada musim semi. Bulgaria dan Rumania masih bertindak jauh, meskipun tak ada pihak yang mengharapkan agar sikap menunggu mereka akan berlangsung selamanya. Prancis dan Inggris bersiap utnuk permulaan "serangan musim semi," dan Jerman tak memiliki asuransi yang tak akan mensukseskannya. Sehingga, mereka sangat mengkhawatirkan tentara Jerman akan menemui bencana. Kapal-kapal perang Inggris dan Prancis berkumpul di Dardanelles; dan Staf Umum Jerman yang mengerahkan seluruh pakal militer dan angkatan laut di Konstantinopel meyakini bahwa armada Sekutu dapat mengerahkan perjalanan mereka dan merebut kota tersebut. Kebanyakan orang Turki pada masa itu terusik akan perang, dan Jerman selalu berpikir bahwa Turki dapat membuat perdamaian terpisah. Setelah itu, aku menemukan bahwa kala keadaan militer nampak buruk untuk Jerman, negara tersebut selalu memikirkan tentang perdamaian. Namun jika keadaan terkendali, negara tersebut langsung menjadi seperti perang lagi. Ini adalah kasus iblis yang memuakkan, iblis baik. Sehingga, seburuk Wangenheim menginginkan perdamaian pada Januari 1915, ia sangat nampak tak memikirkan perdamaian permanen. Rintangan terbesar menuju perdamaian pada waktu itu adalah fakta bahwa Jerman tak menunjukkan tanda bahwa negara tersebut menyesali kejahatannya, dan tak ada bukti menonjol dalam sikap Wangenheim pada saat ini. Jerman membuat tebakan buruk, secara keseluruhan. Apa yang Wangenheim dan pihak Jerman lain saksikan dalam keadaan tersebut adalah bahwa persediaan gandum, kapas, dan tembagai mereka tak cukup untuk perjuangan pertahanan. Dalam catatanku soal perbincanganku dengan Wangenheim, aku seringkali mendapatinya memakai peribahasa seperti "perang berikutnya," "waktu berikutnya," dan, dalam sorotan ke katalisme dunia besar lainnya ketimbang saat ini, ia menunjukkan sikap kelas junta-militer dominan. Jerman nampak menginginkan rekonsiliasi (jenis gencatan senjata) yang akan memberikan waktu kepada para jenderal dan pemimpin industrial mereka untuk mempersiapkan konflik berikutnya. Pada masa itu, nyaris empat tahun lampau, Jerman tergerak untuk melakukan jenis negosiasi damai yang sama yang negara tersebut nyatakan beberapa kali sejak itu dan dinyatakan saat ini. Rencana Wangenheim agar para perwakilan pihak yang berperang akan berkumpul di meja dan menyatakan hal-hal tentang prinsip "memberi dan mengambil." Ia berujar bahwa tak ada perasaan dalam menuntut agar setiap pihak memajukan penyelesaiannya.

"Untuk kedua belah pihak menyatakan kepentingan mereka dalam kemajuan akan meruntuhkan segala hal," ujarnya, "Apa yang akan kami lakukan? Jerman, sebetulnya, akan membuat klaim-klaim yang pihak lain aakn anggap sebagai kekonyolan yang luar biasa. Entente akan menyatakan kepentingan yang akan menempatkan seluruh Jerman dalam kegundahan. Akibatnya, kedua belah pihak akan sangat murka kalau tak ada konferensi. Tidak—jika kami benar-benar ingin mengakhiri perang ini, kami harus gencatan senjata. Sakali kami berhenti bertikai, kami tak akan melakukannya lag. Sejarah tak memberikan contoh dalam perang besar terdapat gencatan senjata yang tak menghasilkan perdamaian. Ini akan terjadi pada kasus ini."

Sehingga, dari perbincangan Wangenheim, aku mendapati penebalan kepentingan-kepentingan Jerman. Persoalam Mesir dan Mesopotamia, yang direncanakan akan dimajukan, adalah salah satu diantaranya. Wangenheim sanget menekankan agar Jerman harus memiliki markas-markas AL di Belgia, yang dapat dipakai oleh AL-nya sepanjang waktu untuk mengancam Inggris dengan blokade dan sehingga selaras dengan "kebebasan kelautan." Jerman menginginkan hak penambangan batubara di tempat manapun. Tuntutan ini dipandang rancu karena Jerman selalu mendorong hak semacam itu pada masa damai. Negara tersebut dapat memberikan separuh Lorraine dan separuh Belgia—mungkin Brussels—kepada Prancis sebagai balasan atas pembayaran ganti rugi.

Wangenheim meminta agar aku harus menempatkan kasus Jerman ke hadapan Pemerintah Amerika. Suratku ke Washington tertanggal 11 Januari 1915. Negara tersebut ingin sepenuhnya keadaan dalam negerinya dibongkar kala itu dan memberikan alasan kenapa Jerman dan Turki ingin damai.

Bagian penting dari peristiwa ini adalah bahwa Jerman nampak menghiraukan Austria. Pallavicini, Dubes Austrian, tak mengetahui negosiasinya tertunda sampai ia sendiri memberitahukannya kepada mereka. Sehingga dalam menghiraukan sekutunya, Dubes Jerman tak memiliki ketidakhormatan pribadi. Ia memperlakukannya seperti Jawatan luar Negerinya memperlakukan Wina—tak setara, namun seperti halnya pelayan. Dunia perlu familiar dengan pengerahan militer dan diplomatik Jerman terhadap Austria-Hungaria, namun Wangenheim harus membuat pergerakan tersebut sangat penting kala mengupayakan negosiasi damai dan meninggalkannya dengan Pallavicini untuk mempelajarinya lewat pihak ketiga yang menunjukkan bahwa, jauh sebelum Januari 1915, Kekaisaran Austria-Hongaria telah berhenti menjadi negara independen.

Tak ada yang mendatangkan proposal ini, sebetulnya. Pemerintah kami enggan untuk mengambil tindakan, buktinya tak ada yang menganggap waktu itu sebagai kesempatan. Seperti halnya yang harus aku katakan, baik Jerman maupun Turki menarik persoalan ini setelah itu. Negosiasi menonjol tersebut berakhir pada paruh akhir Maret, kala Kühlmann meninggalkan Konstantinopel untuk menjadi Perwakilan di Den Haag. Ia datang dan menyatakan ucapan selamat tinggal di Kedubes Amerika, sesantai-santainya, semenghibur-hiburnya, dan seramah-ramahnya. Kata-kata terakhirnya, kala ia berjabat tangan denganku dan meninggalkan gedung, peristiwa berikutnya biasanya menyebabkanku meningat mereka:

"Kami harus damai dalam tiga bulan. Yang Mulia!"

Peristiwa kecil tersebut terjadi, dan perasaan bahagia ini dibuat, pada Maret 1915!