Cerita Dubes Morgenthau/Bab 19
BAB XIX
PERTARUNGAN BAGI TIGA RIBU WARGA SIPIL
Pada tanggal 2 Mei 1915, Enver mengirimkan utusannya ke Kedubes Amerika, mengirimkan pesan yang ia minta kepadaku untuk diteruskan ke pemerintah Prancis dan Inggris. Sekitar sepekan sebelum kunjungan tersebut, Sekutu mendarat di jazirah Gallipoli. Mereka menyatakan bahwa serangan AL oleh mereka sendiri tak dapat menghancurkan pertahanan dan membuka jalan menuju Konstantinopel, dan mereka kini mengadopsi rencana alternatif pengerahan sejumlah besar pasukan, didukung oleh meriam kapal perang mereka. Ribuan orang Australia dan Selandia Baru mengerahkan diri mereka sendiri di ujung jazirah tersebut, dan kehebohan terjadi di Konstantinopel nyaris sebesar yang disebabkan oleh kemunculan armada dua bulan sebelumnya.
Enver kini memberitahuku bahwa kapal-kapal sekutu membombardir dalam cara yang tak terelakkan, dan menghiraukan aturan internasional yang dijelaskan dengan baik bahwa bombardemen semacam itu seharusnya hanya ditujukan terhadap tempat-tempat berbenteng. Ia berujar, rudal-rudal Inggris dan prancis berjatuhan dimana-mana, menghancurkan desa-desa Muslim yang tak terlindungi dan menewaskan ratusan orang tak bersenjata yang tak bersalah. Enver membujukku untuk memberitahu pemerintah Sekutu bahwa tindakan tersebut harus secepatnya dihentikan. Ia memutuskan untuk mengumpulkan seluruh warga Inggris dan Prancis yang kala itu tinggal di Konstantinopel, menempatkan mereka ke jazirah Gallipoli dan menyebarkan mereka di desa-desa dan kota-kota Muslim. Armada Sekutu kemudian melemparkan proyektil mereka tak hanya terhadap Muslim yang damai dan tak terlindungi, namun terhadap warga negara mereka sendiri. Ini adalah gagasan ancaman yang dibuat oleh Enver, dikomunikasikan oleh Dubes Amerika ke pemerintah Inggris dan Prancis, yang kemudian mengakhiri "kejahatan" jenis ini, aku diberi beberapa hari untuk memberikan pemberitahuan tersebut ke London dan Paris.
Pada waktu itu, sekitar 3.000 warga Inggris dan Prancis tinggal di Konstantinopel. Kebanyakan berasal dari kelas yang dikenal sebagai Levantine; nyaris semuanya lahir di Turki dan dalam banyak kasus keluarga mereka telah menetap di negara tersebut selama dua generasi atau lebih. Pembalasan terhadap kewarganegaraan Eropa mereka nyaris satu-satunya kontak mereka dengan negara dari yang mereka tinggalkan. Umumnya, mereka yang dikumpulkan di kota-kota besar adalah pria dan wanita Turki berkebangsaan dan berkewarganegaraan Inggris, namun yang tak dapat berbahasa Inggris, Prancis menjadi bahasa lazim dari Levantine. Kebanyakan tak pernah menginjakkan kaki di Inggris, atau negara Eropa lainnya. Mereka hanya memiliki satu tempat tinggal, dan itu adalah Turki. Fakta bahwa Levantine biasanya mempertahankan kewarganegaraan di negara asal mnereka kini nampak menjadikannya bahan yang layak untuk pentamengan Turki. Selain Levantine, sejumlah besar orang Inggris dan Prancis yang kala itu tinggal di Konstantinopel mengabdi sebagai guru di sekolah-sekolah, misionaris dan pelaku usaha penting dan peniaga. Pemerintah Utsmaniyah kini berencana untuk mengumpulkan seluruh kalangan tersebut, baik orang yang langsung maupun orang yang kurang terhubung dengan Britania Raya dan Prancis, dan menempatkan mereka di posisi-posisi rentan di jazirah Gallipoli sebagai target untuk armada Sekutu.
Biasanya, pertanyaan pertamaku kala aku menerima informasi mengejutkan tersebut adalah kapan kapal-kapal perang benar-benar membombardir kota-kota yang kurang pertahanan. Jika mereka membunuhi pria, wanita dan anak-anak tak bersenjata dalam gaya tak terelakkan tersebut, tindakan pembalasan semacam ini yang kini dicetuskan oleh Enver yang akan memungkinkan memiliki beberapa pembenaran. Namun, hal ini menunjukkanku ketakjuban bahwa Inggris dan Prancis dapat melakukan kebarbaran semacam itu. Aku kemudian menerima banyak keluhan dari kejadian ini dari para pejabat Turki yang, pada penyelidikannya, menunjukkan bahwa itu tidak benar. Hanya sedikit kala di hadapan Dr. Meyer, asisten pertama untuk Suleyman Nouman, Kepala Staf Medis, menunjukkanku bahwa armada Inggris telah membombardir rumah sakit Turki dan membantai 1.000 orang tak bersalah. Kala aku melirik persoalan tersebut, bangunan tersebut hanya rusak ringan, dan hanya satu orang yang tewas. Aku kini menduga bahwa kisah terbaru dari kebarbaran Sekutu dimajukan atas dasar melebih-lebihkan yang serupa. Sehingga aku menemukan bahwa ini adalah kasusnya. Armada Sekutu tak membombardir desa-desa Muslim secara keseluruhan. Sejumlah kapal perang Inggris telah ditempatkan di Teluk Saros, sebuah bagian dari Laut Ægea, di sisi barat jaziarah, dan dari titik penting ini, mereka melemparkan rudal ke kota Gallipoli. Seluruh "pembombardiran" kota yang terdampak terbatas pada satu kota ini. Dalam hal ini, AL Inggris tak melanggar aturan perang beradab, karena Gallipoli telah lama mengevakuasi penduduk sipilnya, dan Turki mendirikan markas besar militer di banyak rumah, yang sebetulnya menjadi obyek serangan Sekutu. Aku tentunya mengetahui tak ada aturan perang yang melarang serangan terhadap markas besar militer. Kala cerita pembunuhan sipil pria, wanita dan anak-anak yang dilebih-lebihkan tersebar, nyaris seluruh warga sipil telah lama pergi, korban yang timbul dari bombardemen tersebut seharusnya terdiri dari pasukan bersenjata kekaisaran.
Aku kini membahas situasi pada masa itu dengan Tuan Ernest Weyl, yang umum diakui sebagai warga Prancis utama di Konstantinopel, dan dengan Tuan Hoffman Philip, Penasehat Kedubes, dan kemudian memutuskan agar aku akan pergi langsung ke Sublime Porte dan mengecam Enver.
Dewan Menteri berkumpul pada waktu itu, namun Enver tak hadir. Tindakannya lebih demonstratif ketimbang biasanya. Kala ia menjelaskan serangan armada Inggris, ia menjadi sangat murka. Tidak seperti sikap tenang Enver yang sangat kukenal.
"Inggris pengecut!" ujarnya. "Mereka telah lama berniat untuk merebut Dardanelles, dan kami terlalu berlebihan bagi mereka! Dan lihat apa tindakan balasan yang diambil oleh mereka. Kapal-kapal mereka memasuki teluk luar, di tempat meriam-meriam mereka tak dapat mencapai mereka, dan menembaki perbukitan di desa-desa kecil kami, menewaskan orang tua, wanita, dan anak-anak tak bersalah, dan membombardir rumah-rumah sakit kami. Apa Anda pikir kami akan membiarkan mereka melakukan itu? Dan apa yang kami lakukan? Meriam-meriam kami tak dapat mencapai perbukitan, sehingga kami tak dapat menghampiri mereka dalam pertempuran. Jika kami dapat, kami akan mengeluarkan mereka, seperti yang kami lakukan di selat sebulan sebelumnya. Kami tak memiliki armada untuk dikirim ke Inggris untuk membombardir kota-kota tak berbenteng mereka seperti halnya mereka membombardir kami. Shingga kami memutuskan untuk memindahkan seluruh orang Inggris dan Prancis yang dapat ditemukan oleh kami ke Gallipoli. Mari kita bunuh warga mereka sendiri beserta mereka."
Aku berujar kepadanya bahwa, dengan menyatakan keadaan yang ia katakan pada mereka, ia memiliki dasar untuk murka. Namun aku menyerukan perhatiannya pada fakta bahwa ia salah; bahwa ia menuduh Sekutu dengan kejahatan yang tak dilakukan oleh mereka.
"Ini tentang hal paling barbar yang pernah kau renungkan," ujarku. "Inggris memiliki hak penuh untuk menyerang markas besar militer seperti Gallipoli."
Namun argumenku tak pernah mengubah Enver. Ia menjadi yakin bahwa ia tak memutuskan langkah tersebut sebagai dorongan untuk melindungi warganya sendiri, namun ia dan para rekannya secara membabi buta melampiaskan amarah mereka. Fakta bahwa orang-orang Australia dan Selandia Baru berhasil melakukan pendaratan menumbuhkan banyak insting barbar mereka. Enver menyebutkan pendaratan tersebut dalam perbincangan kami. Melalui sorotannya, dan ujaran bahwa ia akan mendorong Prancis dan Inggris ke laut, aku melihat bahwa ini yang menyebabkan sorotan lebihnya. Seperti yang aku katakan sebelumnya, Turki bersifat primitif dalam hal psikologi untuk menjawab pendaratan Inggris di Gallipoli dengan membunuh ratusan orang Inggris tak tertolong yang berada dalam kekuasaannya akan menjadikannya sangat logis. Akibat perbincangan ini, ia hanya menerima sedikit konsesi. Enver sepakat untuk menunda deportasi sampai Kamis—pada hari Minggu; untuk mengkecualikan wanita dan anak-anak dari perintah tersebut, dan tak mengambil orang Inggris dan Prancis yang kala itu berhubungan dengan lembaga-lembaga Amerika.
"Seluruh hal lain akan terjadi," adalah kata terakhirnya, "Selain itu," tambahnya, "kami tak mampu bersiap terhadap kapal-kapal selam musuh di Marmora yang mentorpedo kendaraan-kendaraan yang kami kirim ke Dardanelles. Di masa mendatang, kamu harus menempatkan sedikit orang Inggris dan Prancis di setiap kapal yang kami kirim sebagai perlindungan pada prajurit kami sendiri."
Kala aku kembali ke kedubes kami, aku mendapati bahwa kabar usulan deportasi telah diterbitkan. Keterkejutan dan kekhawatiran langsung timbul tak tertandingi, bahkan di kota dengan penuh sensasi. Orang-orang Eropa, yang tinggal bertahun-tahun di Levant, nampak menguras emosinya, terutama dalam sikap yang takut dan ngeri, dan kini, dengan tak lagi memiliki perlindungan dari kedubes-kedubes mereka, kekhawatiran mereka meningkat. Segerombolan orang-orang yang terhentak mulai mengerumuni Kedubes. Dari tangisan dan kesedihan mereka, seseorang akan menganggap bahwa mereka langsung diusir dan ditembak, dan terdapat kemungkinan penyelamatan nampak susah untuk dilakukan kepada mereka. Sehingga sepanjang waktu, mereka menganggap bahwa aku harus mengambil tindakan individual. Seseorang tak dapat pergi karena ia memiliki keluarga yang bergantung dengannya. Yang lainnya memiliki anak yang sakit. Yang lainnya sendiri sedang sakit. Ruanganku dipenuhi para ibu yang gelisah, membujukku untuk memberikan pengecualian bagi putra dan istri mereka, yang membutuhkan perlakuan istimewa untuk suami mereka. Mereka membuat segala jenis saran yang tak memungkinkan: aku harus mengundurkan diri dari jabatan dubesku sebagai bentuk protes; aku harus mengancam Turki agar berperang dengan Amerika Serikat! Mereka mengerumuni istriku, yang menjalani waktu berjam-jam menyimak kisah mereka dan menenangkan mereka. Di seluruh keriuhan massal ini, terdapat banyak orang yang menghadapi keadaan tersebut dengan lebih berani.
Sehari usai aku berbincang dengan Enver, Bedri, Prefek Kepolisian, mulai menangkapi beberapa korban.
Keesokan paginya, seseorang yang menghubungiku membuat apa yang kemudian biasanya nampak menjadi saran yang jelas. Pengunjungi tersebut adalah orang Jerman. Ia berujar kepadaku bahwa Jerman akan sangat menderita dalam reputasi jika Turki tak menjalankan rencana mereka; dunia tak akan mungkin menyatakan bahwa Jerman tak memperalat seluruh skema tersebut. Ia berkata bahwa aku harus memanggil dubes-dubes Jerman dan Austria. Ia yakin bahwa mereka akan mendukungku dalam permohonanku untuk perlakuan terkini. Kala aku membuat banding kepada Wangenheim beberapa kali atas perantaraan warga asing, tanpa keberhasilan, aku sulit memikirkannya sesambil membujuk kerjasamanya dalam keadaan ini. Selain itu, rencana pemakaian orang tak bersenjata sebagai tameng pelindung dalam perang merupakan cara Jerman familiar yang aku tak sepenuhnya yakin bahwa Staf Jerman tak memperalat Turki. Namun, aku memutuskan untuk mengadopsi nasehat pengunjuung Jermanku dan meminta bantuan Wangenheim. Aku harus memutuskan agar aku melakukannya agar harapan terkabul, namun setidaknya aku hanya memikirkan kejelasan terhadap Wangenheim untuk memberikannya kesempatan untuk menolong.
Aku memanggilnya pada sore pukul sepuluh dan singgah dengannya sampai pukul sebelas. Aku menjalani sebagian besar jam ini dalam upaya tak membuahkan hasil untuk kepentinganku dalam persoalan pihak tak bersenjata tersebut. Wangenheim berkata bahwa intinya adalah ia tak akan membantuku. "Itu sebetulnya dibenarkan," ujarnya, "agar Turki mendirikan kamp konsentrasi di Gallipoli. Mereka juga dibenarkan untuk menempatkan warga Inggris dan Prancis tak bersenjata di kendaraan-kendaraan mereka dan sehingga mengamankan mereka dari serangan". Kala aku berulang kali berupaya menyatakan hal tersebut, Wangenheim akan mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Menurut catatan perbincanganku, Dubes Jerman tersebut membahas nyaris setiap hal kecuali orang yang aku panggil.
"Tindakan Turki tersebut akan sangat mencederai Jerman —" ujarku.
"Apa kau tau bahwa apa yang dilakukan oleh prajurit Inggris di Gaba Tepe kala tak memiliki makan dan minum?" jawabnya. "Mereka membuat serangan untuk merebut sumur dan merampasnya. Inggris mengerahkan kapal-kapalnya untuk mencegah para prajuritnya dari penarikan —"
"Namun soal usaha Gallipoli ini," aku menyela. "orang-orang Jerman sendiri di Konstantinopel berujar bahwa Jerman harus menghentikannya —"
"Sekutu mendaratkan 45.000 pasukan di jazirah tersebut," jawab Wangenheim, "dan 10.000 pasukan tewas. Dalam beberapa hari, mereka harus menyerang sisanya dan menghancurkan mereka."
Kala aku berniat untuk mengalihkan subyek tersebut dari sudut yang lain, pakar diplomatik handal tersebut mulai membahas Rumania dan kemungkinan pengerahan amunisi dengan cara negara tersebut.
"Jurutulismu Bryan," ujarnya, "telah mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan bahwa negara tersebut tak akan netral pada Amerika Serikat untuk enggan menjual amunisi kepada Sekutu. Sehingga kami memakai argumen yang sama tersebut dengan Rumania; jika negara tersebut tak netral untuk tak menjual amunisi, negara tersebut tentunya tak netral untuk menolak membawanya!"
Aspek-aspek konyol dari argumen tersebut ditujukan kepada Wangenheim, namun aku mengingatnya bahwa aku disitu membahas nyawa antara 2.000 dan 3.000 orang tak bersenjata. Kala aku menyinggung masalah itu lagi, Wangenheim menjawab bahwa Amerika Serikat tak aakn menerima Jerman sebagai juru damai saat ini, karena mereka sangat bersahabat dengan Entente. Ia memutuskan untuk memberiku seluruh penjelasan kesuksesan Jerman terkini di karpatia dan kabar terbaru tentang keadaan Italia.
"Kami lebih baik menyerang Italia ketimbang menjadikannya sekutu kami," ujarnya.
Di kesempatan lain, semua ini sangat menghiburku, namun tidak pada masa berikutnya. Ini sangat nampak bahwa Wangenheim tak aakn membahas usulan deportasi, ketimbang berujar bahwa turki dibenarkan. Pernyataannya bahwa mereka berencana mendirikan "kamp konsentrasi" di Gallipoli membongkar seluruh sikapnya. Sepanjang waktu itu, Turki belum mendirikan kamp konsentrasi untuk musuh asing di tempat manapun. Aku terlebih dulu menasehati mereka untuk tak mendirikan kamp semacam itu, sehingga jauh dari kesuksesan. Di sisi lain, Jerman memprotes bahwa Turki "terlalu lembek" dan mendorong pendirian kamp semacam itu di dalam negeri. Pemakaian kata "kamp konsentrasi di Gallipoli" oleh Wangenheim menunjukkan bahwa pandangan Jernam setidaknya disahkan dan bahwa aku kalah dalam pertaruhanku untuk warga asing. Kamp interniran merupakan tempat penekanan dalam keadaan paling diinginkan, namun, selain Jerman atau Turki, siapa pihak yang memaklumkan pemberian hak tersebut di medan tempur? Dengan segera mereka menyatakan bahwa Inggris dan Prancis harus mengumpulkan musuh asing mereka, mengkirab mereka ke garis depan, dan menempatkan mereka di kamp tanah tak bertuan, tertuju pada tembakan kedua pasukan. Itu adalah jenis "kamp konsentrasi" yang Turki dan Jernam kini tujukan untuk didirikan untuk pemukim asing Konstantinopel—selama perbincanganku dengan Wangenlieim tak meninggalkan keraguan dalam pikiranku bahwa Jernam adalah pihak yang merencanakannya.
Mereka khawatir serangan darat di Dardanelles akan berhasil, sebagaimana mereka mengkhawatirkan serangan laut akan sukses, dan mereka siap untuk memakai senjata apapun, bahkan nyawa ribuan orang tak bersenjata, dalam upaya mereka untuk menjadikannya kegagalan.
Perbincanganku dengan Wangenheim tak membuahkan hasil, sejauh mengurutkan dukunganku yang disoroti, namun menyulitkan keputusanku untuk membatalkan usaha ini. Aku juga memanggil Pallavicini, Dubes Austria. Ia sempat menyatakan bahwa ulusan deportasi tersebut "tak berperikemanusiaan."
"Aku akan mengambil persoalan tersebut dengan Wazir Agung," ujarnya, "dan memandang jika aku tak dapat menghentikannya."
"Namun kau tau bahwa itu tak sepenuhnya berguna," jawabku. "Wazir Agung tak memiliki kekuasaan—ia hanya kepala figur. Hanya satu orang yang dapat menghentikannya, itu adalah Enver."
Pallavicini memiliki sensibilitas yang sangat kuat dan lebih percaya diri ketimbang Wangenheim, dan aku tak memiliki keraguan bahwa ia sepenuhnya setia dalam keinginannya untuk mencegah kejahatan tersebut. Namun, ia adalah diplomat aliran Austria lama. Tak ada di matanya yang sangat penting sebagai etiket diplomatik. Sebagai perwakilan kaisarnya, ia dituntut harus melakukan seluruh negosiasi dengan Wazir Agung, yang juga pada masa itu menjadi Menteri Urusan Luar Negeri. Ia tak pernah membahas persoalan negara dengan Talaat dan Enver. Sehingga, ia hanya memiliki hubungan resmi terbatas dengan sosok tersebut, penguasa Turki sebenarnya. Dan di mata Pallavicini, menyelamatkan 3.000 nyawa bukan alasan kenapa ia harus mengingkari cara tradisional dari perbincangan diplomatik.
"Aku harus menjalankannya seturut aturan dalam persoalan ini," ujarnya. Dan, dalam kebaikan hatinya, ia berbicara kepada Saïd Halim. Mengikuti contohnya, Wangenheim juga berujar kepada Wazir Agung. Namun, dalam kasus Wangenheim, protes tersebut benar-benar ditujukan untuk catatan resmi.
"Anda dapat membodohi beberapa orang," aku berujar kepada Dubes Jernam, "namun kau tau bahwa berbicara kepada Wazir Agung dalam persoalan ini nyaris seperti halnya berteriak ke udara."
Namun, ada satu anggota korps diplomatik yang bekerja menyeluruh atas perantara warga asing yang terancam. Itu adalah M. Koloucheff, Perwakilan Bulgaria. Kala ia mendengar penjalinan Turki-Jerman terbaru tersebut, ia langsung menghampiriku dengan tawaran bantuan. Ia tak mengusulkan untuk menjalankan waktunya dengan protes kepada Wazir Agung, namun mengumumkan niatnya pergi langsung ke sumber otoritas, Enver sendiri. Koloucheff merupakan sosok paling penting pada waktu itu, karena Bulgaria kala itu bersikap netral dan kedua belah pihak memperebutkan dukungannya.
Sementara itu, Bedri dan bawahannya sibuk menangkapi beberapa orang Inggris dan Prancis. Deportasi direncanakan untuk dilakukan Kamis pagi. Pada Rabu, kabar tersebut menimbulkan keterkejutan. Seluruh warga asing di Konstantinopel nampak berkumpul di Kedubes Amerika. Sejumlah wanita menangis dan orang-orang berkumpul di depan dan di samping gedung. Lebih dari tiga ratus orang menerima akses pribadi ke kantorku, menggantungkan nasib pada Dubes dan stafnya. Kebanyakan nyaris nampak berpikir bahwa aku sendiri menggantungkan nasib mereka di tanganku. Dalam rasa sakit dalam jiwa mereka, beberapa orang bahkan mengecamku, menganggap bahwa aku tak mengeluarkan seluruh kekuatanku atas perantaraan mereka. Kala aku meninggalkan kantorku dan melewati balai, aku nyaris dikepung oleh sejumlah perkataan teror dan bujukan para ibu dan istri. Rasa gelisah tersebut menyeruak. Aku memakai telepon, memanggil Enver, dan menawarkan wawancara.
Ia menjawab bahwa ia akan senang menerimaku pada hari Kamis. Namun, pada kali ini, para tahanan akan siap digerakkan menuju Gallipoli.
"Tidak," jawabku, "aku harus melihatmu siang ini."
Enver membuat segala jenis pemastian. Ia sedang sibuk. Ia menentukan penjadwalan sepanjang hari itu.
"Aku menganggamu ingin melihatku soal Inggris dan Prancis," ujarnya. "Jika itu dilakukan, aku dapat membicarakan kepadamu sekarang bahwa ini tak akan berguna. Pikiran kami telah mutlak. Perintah dikeluarkan kepada kepolisian untuk mengumpulkan mereka semua malam ini dan membawa mereka sampai pada pagi hari."
Aku masih menganggap bahwa aku harus melihatnya siang ini dan ia masih berniat untuk menghalangi wawancara tersebut.
"Seluruh waktuku terpakai," ujarnya. "Dewan Menteri berkumpul pukul empat dan pertemuan tersebut akan menjadi hal yang sangat penting. Aku tak dapat absen sendiri."
Diwarnai oleh pikiran kerumunan wanita yang membanjiri seluruh kedubes, aku memutuskan sikap yang belum dilakukan sebelumnya.
"Aku tak harus menolak wawancara," jawabku. "Aku harus datang ke ruang kabinet pukul empat. Jika kau menolak untuk menerimaku, aku harus pergi ke ruang dewan dan membahas persoalan tersebut dengan seluruh Kabinet. Aku harus berkepentingan untuk mengetahui apakah Kabinet Turki akan menolak untuk menerima Dubes Amerika."
Aku nampak nyaris dapat mendengar desahan Enver di telepon. Aku anggap beberapa perwakilan dari negara manapun yang bertanggung jawab memiliki kesempatan semacam itu untuk dilakukan oleh mereka.
"Jika kau akan mendatangiku di Sublime Porte pukul 3:30," jawabnya, setelah berdiam sekian lama, "Aku harus memutuskan untuk melihatmu."
Kala aku sampai ke Sublime Porte, aku berujar bahwa Perwakilan Bulgaria mengadakan pertemuan dengan Enver. Biasanya, aku bisa menunggu, karena aku mengetahui apa yang dibahas oleh dua orang tersebut. Kini, M. Koloucheff datang. Wajahnya tertekan dan cemas, yang dengan jelas membongkar cobaan yang baru saja ia lewati.
"Ini sangat tak berpengharapan," ia berujar kepadaku. "Tak ada yang akan menggerakkan Enver: ia benar-benar memutuskan bahwa hal ini harus dilakukan. Aku tak dapat mengharapkan keberhasilanmu, karena kamu tak akan mendapatkannya."
Pertemuan yang menyusul antara Enver dan diriku adalah hal paling berkenang yang aku miliki pada masa itu. Aku membahas nasib warga asing selama nyaris sejam. Aku mendapati Enver dalam salah satu sikap tersopannya namun berperasaan lebih mendasar. Ia berujar kepadaku bahwa sebelum aku memulai bahwa ini tak berguna untuk diperbincangkan—persoalan tersebut menjadi masalah tertutup. Namun, aku menyatakan soal pengaitannya dengan perlakuan Turki terhadap musuh-musuh mereka yang dibuat di dunia luar. "Catatanmu dalam persoalan ini lebih menonjol ketimbang pihak cendekiawan lainnya," ujarku. "Anda tak menempatkan mereka ke dalam kamp konsentrasi, Anda membiarkan mereka singgah disini dan meneruskan usaha biasa mereka, tepat sebelumnya. Anda melakukannya dalam tekanan kuat untuk melakukan hal lain. Kenapa Anda menghancurkan segala dampak baik yang dihasilkan lewat pemakaian kesalahan fatal yang dicetuskan oleh Anda?"
Namun Enver menyatakan bahwa armada Sekutu membombardir kota tak berbenteng, menewaskan wanita, anak-anak dan melukai orang-orang.
"Kami memperingatkan mereka melalui Anda agar mereka tak harus melakukannya," ujarnya, "namun mereka tak berhenti."
Sebetulnya, pernyataan ini tak benar, namun aku tak dapat menyatakan kepada Enver bahwa ia salah. Ia mengekspresikan apresiasi besar untuk semua yang aku telah lakukan, dan menyesal karena keterkejutanku bahwa ia tak dapat menerima nasehatku. Aku berujar kepadanya bahwa warga asing yang dinyatakan yang aku ancam untuk diserahkan ke pihak Inggris dan Prancis.
"Tak ada yang akan sangat selaras dengan kami," jawabnya dengan cepat. "Satu-satunya kesulitan yang kami miliki denganmu adalah kala kamu datang dan memajukan kami dengan perkara Inggris dan Prancis."
Aku bertanya kepadanya soal apakah aku telah memberikannya nasehat yang membuat mereka memasuki ketegangan. Ia menjawab bahwa mereka tak pernah membuat kesalahpahaman dalam mengikuti saranku.
"Sebaiknya, ambil nasehatku juga dalam kasus ini," jawabku. "Anda akan menemukan kemudian bahwa kau tak membuat kesalahan dengan melakukannya. Aku berujar kepadamu bahwa ini adalah opini positifku bahwa kabinetmu melakukan kesalahan mengerikan dengan membuat langkah tersebut."
"Namun aku memberikan perintah untuk dampak tersebut," jawab Enver. "Aku tak dapat membiarkan mereka. Jika aku lakukan, seluruh pengaruhku pada tentara akan lenyap. Kala memberikan perintah, aku tak akan mengubahnya, Istriku sendiri membujukku untuk mengkecualikan para pelayanku dari penugasan militer dan aku tolak. Wazir Agung mendorong pengecualian bagi jurutulisnya, dan aku menolaknya, karena aku tak memberikan perintah. Aku tak pernah menarik perintah dan aku seharusnya tak melakukannya dalam kasus ini. Jika Anda dapat menunjukkanku beberapa cara agar perintah tersebut dapat ditarik dan orang-orangmu tetap selamat, aku harus menyimak."
Aku menemukan salah satu perilaku paling mencolok dalam sifat Turki: keengganannya untuk berkompromi dan tawar menawar Permintaan Enver untuk saran yang kini memberikanku kesempatan untuk bermain pada sifat tersebut.
"Baiklah," ujarku. "Aku memikirkan yang aku bisa. Aku harus berpikir bahwa kau masih dapat menarik perintahmu tanpa mengirim seluruh warga Prancis dan Inggris. Jika kamu hanya mengirim sedikit, kau masih akan memenangkan poinmu. Kau masih dapat mengutamakan disiplin dalam tentaramu, dan sejumlah kecil orang tersebut akan menjadi sangat bergantung pada armada Sekutu kala dikirim secara keseluruhan."
Aku memandang bahwa Enver nyaris menerima saran tersebut selaras dengan dilemanya.
"Berapa banyak yang akan kau kirim kepadaku?" tanyanya dengan cepat. Ia mengambil kesempatan tersebut dengan pernyataan ini yang aku tau bahwa aku menekankan penekanan ini.
"Aku akan menyarankan agar kamu mengambil dua puluh orang Inggris dan dua puluh orang Prancis—empat puluh orang secara keseluruhan."
"Bagaimana kalau lima puluh," ujarnya.
"Baiklah—kiuta tak ingin menawar lebih dari sepuluh orang," jawabku. "Namun Anda harus membuat keputusan lain. Persilahkan aku untuk mengurusi lima puluh orang yang didatangkan."
Perjanjian ini menimbulkan ketegangan, dan kini sikap Enver mulai nampak lagi.
"Tidak, Tuan Dubes," jawabnya. "Anda mencegahku dari membuat kesalahan siang ini; kini aku mencegahmu dari membuat yang satu ini. Jika kau memilih lima puluh orang yang dibawa, kau singkatnya akan menghasilkan lima puluh musuh. Aku pikir terlalu banyak darimu untuk membiarkanmu melakukannya. Aku akan menghargaimu bahwa aku adalah temanmu yang sebenarnya. Dapatkah kamu membuat beberapa saran lainnya?"
"Kenapa tak mengambil yang termuda." Mereka dapat bertahan dalam keadaan yang lebih bugar."
"Itu adil," jawab Enver. Ia berujar bahwa Bedri, yang berada di gedung pada kesempatan itu, akan memilih "para korban." Ini menyebabkanku mengalami beberapa ketidakmudahan. Aku tau bahwa modifikasi Enver dari perintahnya akan ditolak Bedri, yang membenci warga asing yang telah ditunjukkan sendiri pada banyak kesempatan, dan bahwa kepala kepolisian tersebut akan melakukan hal terbaik untuk mendapatkan beberapa cara menyingkirkannya. Sehingga aku membujuk Enver untuk mendatangi Bedri dan memberikannya perintah barunya dalam naunganku. Bedri datang, dan, seperti yang aku duga, ia tak seuka penyusunan baru tersebut secara keseluruhan. Kemudian, ia mendengar bahwa ia hanya mengambil lima puluh orang dan orang-orang termuda yang ia ambil dan mulai berjalan keluar masuk ruangan tersebut.
"Tidak, tidak, ini tak akan pernah dilakukan!" ujarnya. "Aku tak menginginkan yang termuda, aku harus mengambil orang-orang penting!"
Namun Enver terdorong pada penyusunan tersebut dan memberikan perintah kepada Bedri agar hanya mengambil orang termuda. Bedri sangat nampak memerlukan hiburan, sehingga aku membujuknya untuk datang denganku ke Kedubes Amerika. Disana, kami akan diberi teh dan menyusul segala detil. Undangan tersebut memiliki dampak cepat yang akan sulit dipahami pemikiran orang-orang Amerika. Orang Amerika akan menganggapnya seperti tak menakjubkan untuk dilihat secara terbuka beriringan dengan seorang dubes, atau untuk mengambil teh di kedubes. Namun ini adalah kekhasan yang tak pernah datang dari fungsioner kecil, seperti Prefek Kepolisian, di ibukota. Kemungkinan, aku mengurungkan martabat kantorku dalam memperlebar undanganku ke Bedri; Pallavicini mungkin akan sangat memikirkannya; namun ini tentunya terbayarkan, karena hal tersebut membuat Bedri lebih melunak ketimbang hal lainnya yang dilakukan olehnya.
Kala kami datang ke Kedubes, kami mendapati kerumunan masih berada disana, menunggu hasil pertimbanganku. Kala aku berujar kepada para pengepung bahwa hanya lima puluh orang yang dibawa dan yang termuda, mereka nampak terpana sejenak. Mereka mula-mula tak dapat memahaminya. Mereka yakin bahwa aku dapat mengeluarkan beberapa modifikasi perintah tersebut, namun tidak ada yang seperti itu. Kemudian, kala kebenaran terbit di antara mereka, aku mendapati diriku di tengah kerumunan yang nampak berubah menjadi gila, kejadian tersebut timbul dari kesedihan, namun dari kegembiraan. Para wanita, yang air matanya mengalir turun pada wajah mereka, kemudian berlutut, memegangi kedua tanganku, dan menciumnya. Pria dewasa, meskipun sangat menentangku, kemudian merangkulku dan mencium kedua pipiku. Selama beberapa menit, aku melewati kerumunan tersebut, diwarnai dengan unjuk rasa untuk menunjukkan rasa syukur, namun akhirnya aku berhasil menerobosnya dan menempatkan diriku dan Bedri di ruang dalam.
"Dapatkah aku mendapati sedikit sosok terkenal?" tanyanya.
"Aku hanya memberikanmu nsatu," jawabku.
"Dapatkah aku mendapatkan tiga?" tanyanya lagi.
"Anda dapat memiliki semua yang berada di bawah jumlah lima puluh," jawabku.
Namun itu tak dikabulkannya, karena tak ada orang menonjol yang berada di bawah batas umur. Bedri benar0benar menyorotiku pada Messieurs Weyl, Rey, dan Dr. Frew. Namun, aku memiliki satu "orang terkemuka" di lengan bajuku yang aku hendak akui. Dr. Wigram, seorang rohaniwan Anglikan, salah satu sosok paling terkemuka di koloni luar negeri, telah memohon kepadaku, membujuk agar ia dapat diijinkan untuk dibawa dengan para sandera dan menghibur kepada mereka lewat agama yang dapat diberikan kepada mereka. Aku tau bahwa tidak ada yang akan menyoroti Dr. Wigram selain dijadikan sebagai contoh tujuan Bedri terhadap sosok "terkemuka."
"Dr. Wigram adalah satu-satunya sosok terkemuka yang dapat kau ambil," ujarku kepadanya Bedri. Shingga ia menerimanya sebagai sosok terbaik yang dapat ia ambil pada barisan tersebut.
Tuan Hoffman Philip, Penasehat Kedubes Amerika—kemudian Perwakilan Amerika untuk Kolombia—menyatakan keinginan untuk menyertai para sandera, sehingga aku mengharapkannya untuk menenangkan mereka. Perwujudan jiwa kemanusiaan murni tersebut tidak dikutik Tuan Philip. Meskipun tidak dalam keadaan kesehatan yang baik, ia kembali ke Konstantinopel setelah Turki ikut perang, dalam rangka agar ia dapat mendampingiku dalam jasa pembinaan bagi pemukim asing. Meskipun sepanjang masa itu ia menyimpan simpati bagi orang yang kurang beruntung, sakit, dan miskin, yang merupakan kebiasaan dalam sifatnya. Meskipun itu merupakan hal tak biasa untuk perwakilan kedubes untuk melakukan usaha mengerikan semacam itu, Tuan Philip sangat memohon agar akhirnya aku memberikan perhatianku. Aku juga memberikan ijin bagi Tuan Arthur Ruhl dari Collier's dan Tuan Henry West Suydam, dari Brooklyn Eagle, untuk menyertai rombongan.
Pada akhirnya, Bedri memberikan lelucon kecilnya. Meskipun lima puluh orang tersebut diberitahu bahwa perahu menuju Gallipoli akan berangkat keesokan pagi pukul enam, ia, dengan polisinya, mendatangi rumah-rumah mereka pada tengah malam, dan membawa mereka semua keluar dari kasur. Kerumunan yang datang ke dok keesokan paginya melihat cuaca yang buruk dan merasa khawatir. Bedri ada disitu, mengawasi seluruh pengerjaannya, dan kala ia mendatangiku, ia membujukku lafi untuk memberikannya satu sosok "terkemuka" lagi. Pada utamanya, ia berperilaku sangat buruk, meskipun ia tak tega memberitahu para sandera bahwa pesawat-pesawat Inggris menjatuhkan bom-bom di Gallipoli! Dari dua puluh lima "warga Inggris" yang berkumpul disana, hanya dua orang yang lahir di Inggris, dan dari dua puluh lima "warga Prancis", hanya dua yang lahir di Prancis. Mereka membawa bekal yang terdiri dari makanan dan kebutuhan lainnya, para kerabat mereka yang berkumpul membawa bundel-bundel tambahan, dan Nyonya Morgenthau mengirim banyak bekal makanan ke kapal. Sebagian pemuda dengan keluarga mereka terdampak, namun mereka semua berdiri dengan berani.
Aku pulang ke Kedubes, dengan rasa lelah karena bekerja sepanjang beberapa hari terakhir dan tentunya tanpa humor khusus untuk penghormatan yang kini menungguiku. Bagiku hanya ada beberapa menit kala Yang Mulia, Dubes Jerman, diumumkan. Wangenheim membahas tempat-tempat umum untuk beberapa menit dan kemudian menyatakan niat sebenarnya dari panggilannya. Ia membujukku untuk menghubungi Washington bahwa ia telah "tertolong" dalam mengambil jumlah sandera Gallipoli dikurangi menjadi lima puluh! Dalam pandangan keadaan yang sebenarnya, permintaan tersebut sangat berbuah sehingga aku dapat menyatakan campur tanganku. Aku tau bahwa, dalam perjalanan untuk berbicara kepada Wazir Agung, Wangenheim telah menyatakan pertentangannya terhadap pemakaian masa depan, namun aku tak menginginkannya untuk memberlakukannya pada masa berikutnya.
"Ngomong-ngomong," ujar Wangenheim, "setidaknya pengiriman pesan kepada pemerintahanmu yang tidak memberikan ' hetz ' terhadap Turki dalam persoalan ini."
Kata Jerman "hetzen" artinya nyaris sama dengan "sic" dalam bahasa Inggris, dalam hal menyebut anjing.Aku enggan memberikan biaya kesehatan bersih kepada Wangenheim, dan berujar kepadanya. pada kenyataannya, aku secara khusus melapor kepada Washington bahwa ia enggan untuk membantuku. Satu atau dua hari setelahnya, Wangenheim menghubungiku lewat telepon dan mulai berbincang dengan nada tajam dan murka. Pemerintahannya mengkhawatirkan soal telegramku kepada Washington. Aku berujar kepadanya bahwa jika ia ingin memberikan bantuan dalam persoalan ini, ia harus benar-benar mengkhususkan dirinya sendiri dan melakukan suatu hal.
Para sandera memiliki waktu tak nyaman di Gallipoli, Mereka ditempatkan pada dua rumah kayu tanpa kasur dan tanpa makanan kecuali yang mereka bawa sendiri. Hari demi hari dan malam demi malam membuat anggapan bahwa tempat tak semestinya tersebut merupakan tempat umum di Turki. Meskipun Tuan Philip tak dibawa dengan mereka, mereka akan mengalami penderitaan serius. Usai ketidakberuntungan terjadi selama berhari-hari, aku mulai membujuk Enver lagi untuk memulangkan mereka kembali. Sir Edward Grey, Menteri Urusan Luar Negeri Inggris kala itu, meminta Kemenlu kami untuk mengirim pesan dengan permintaan agar aku menyampaikannya kepada Enver dan para menteri sejawatnya. Tujuannya adalah agar Pemerintah Inggris dapat memberikan mereka pertanggungjawaban pribadi untuk luka apapun pada para sandera tersebut. Aku menyampaikan pesan tersebut kepada Enver pada 9 Mei. Aku melihat Enver dengan banyak perasaan, namun pemberitahuan yang dimajukan oleh Sir Edward kini berdampak pada suatu hal yang sepenuhnya baru. Kala aku membaca telegram tersebut, wajahku mengerut, dan aku benar-benar kehilangan pengendalian diriku. Polesan Eropa yang Enver jatuhnya seperti topeng. Aku kini melihatnya bahwa ia benar-benar merupakan orang Turki yang kejam, haus darah.
"Mereka tak akan dipulangkan!" teriaknya. "Aku harus membiarkan mereka singgah disana sampai mereka membusuk!"
"Aku akan seperti melihat Inggris menjamahku!" lanjutnya.
Aku menyaksikan bahwa metode yang selalu dipakai olehku terhadap Enver, yang mendorong, adalah satu-satunya cara yang memungkinkan untuk menanganinya. Aku berniat untuk menenangkan Menteri tersebut pada saat itu. Setelah itu, ia terdiam.
"Namun jangan mengancamku lagi!" ujarnya.
Setelah menjalani sepekan di Gallipoli, rombongan dipulangkan. Turki memindahkan markas besar militer mereka dari Gallipoli dan sehingga armada Inggris berhenti untuk membombardirnya. Semuanya kembali dalam kondisi yang baik dan disambut di rumah dengan keantusiasan besar.