Lompat ke isi

Cerita Dubes Morgenthau/Bab 27

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas


BAB XXVII

"AKU SEHARUSNYA TAK MELAKUKAN APAPUN TERHADAP ORANG-ORANG ARMENIA"

UJAR DUBES JERMAN

Aku tersadar bahwa tak ada fase pertanyaan Armenia yang berkembang lebih terminati ketimbang ini: Apakah Jerman memiliki suatu bagian di dalamnya? Apakah Kaiser bertanggung jawab atas penjagalan seluruh golongan tersebut? Apakah Jerman menyukainya, apa yang sebetulnya mereka rasakan, atau apakah mereka menentang penindasan? Dalam empat tahun terakhir, Jerman bertanggung jawab atas banyak laman terkelam dalam sejarah, apakah negara tersebut bertanggung jawab terhadap peristiwa terkelam yang tak dipertanyakan sepenuhnya?

Aku menganggap sebagian besar orang akan menganggap pernyataan para pemimpin Turki mengingatkan pada filsafat perang Jerman. Mari aku ulangi perkataan yang dipakai oleh Enver dan orang Turki lainnya kala membahas pembantaian Armenia: "Orang-orang Armenia mengantarkan nasib ini pada diri mereka sendiri." "Mereka memiliki peringatan jelas dari apa yang akan terjadi pada mereka." "Kami berjuang untuk keberadaan kebangsaan kami." "Kami membenarkan pengerahan cara apapun yang akan mengakhirinya." "Kami tak memiliki waktu untuk memisahkan orang tak bersalah dari kesalahan." "Satu-satu hal yang kami pikirkan adalah menang perang."

Kalimat-kalimat tersebut terdengar familiar, bukankah begitu? Sehingga, aku menulis lagi seluruh wawancara dengan Enver, memakai kata Belgia menggantikan Armenia, menempatkan perkataan dalam mulut jenderal Jerman menggantikan Enver, dan mereka harus nyaris mencurahkan sepenuhnya sikap Jerman terhadap orang-orang yang terdampak. Namun ajaran Prusia lebih mendalam ketimbang ini. Terdapat satu unsur soal peristiwa Armenia yang baru—bahwa itu tak berunsur Turki sepenuhnya. Sepanjang berabad-abad, Turki memperlakukan buruk warga Armenia mereka dan seluruh warga lainnya dengan tindakan barbar. Sehingga, metode mereka selalu kejam, kaku dan tidak ilmiah. Mereka memukuli kepala orang Armenia dengan tongkat, dan penggambaran tak menyenangkan ini merupakan indikasi penuh akan metode primitif dan berulang yang diterapkan oleh mereka terhadap persoalan Armenia. Mereka memahami pemakaian pembunuhan, namun bukan pembunuhan sebagai seni rupa murni. Namun, kejadian Armenia tahun 1915 dan 1916 sepenuhnya membuktikan mentalitas baru. Konsep barunya adalah deportasi. Dalam lima ratus tahun, Turki menciptakan beragam cara penyiksaan fisik warga Kristen mereka, yang sebelumnya tak pernah dilakukan dalam pemikiran mereka untuk membawa pergi mereka dari rumah mereka, di tempat mereka bermukim selama beberapa ribu tahun, dan mengirim mereka ratusan mil ke gurun. Dimana Turki mendapatkan gagasan ini? Aku lantas menyatakan bagaimana, pada 1914, tepat sebelum Perang Eropa, Pemerintah tak menggerakkan lebih dari 100.000 orang Yunani dari rumah-rumah yang telah lama ditinggali oleh mereka di sepanjang kawasan Asiatik pada pulau-pulau tertentu di Ægea. Aku juga diberitahu bahwa Laksamana Usedom, salah satu pakar AL Jerman besar di Turki, berujar padaku bahwa Jerman menyarankan deportasi ini kepada Turki. Namun seluruh titik penting adalah bahwa gagasan mendeportasi orang-orang secara keseluruhan ini, pada zaman modern, bersifat Jermanik. Orang manapun yang membaca sastra Pan-Jerman sangat akrab dengan hal ini. Keantusiasan bagi dunia Jerman benar-benar direncanakan, sebagai bagian dari program mereka, mengusir orang-orang Prancis dari belahan Prancis tertentu, orang-orang Belgia dari Belgia, orang-orang Polandia dari Polandia, orang-orang Slavia dari Rusia dan penduduk asli lainnya dari wilayah yang ditinggali oleh mereka selama ribuan tahun, dan menyediakan tempat-tempat yang dikosongkan terhadap orang-orang Jerman. Namun, sulit memastikan bahwa Jerman memajukan ini sebagai kebijakan negara. Mereka sebetulnya memakainya dalam empat tahun terakhir. Mereka memindahkan ribuan Belgia dan Prancis dari kampung halaman mereka. Austria-Hungaria membantai sebagian besar penduduk Serbia dan memindahkan ribuan anak-anak Serbia ke wilayah mereka sendiri, ditujukan untuk membesarkan mereka sebagai warga kekaisaran yang setia. Tujuan tindak memindahkan orang-orang yang menetap tak kami ketahui hingga akhir perang, namun ini dilakukan secara khusus.

Para penulis Jerman tertentu mencetuskan penerapan kebijakan ini pada orang-orang Armenia. Menurut Paris Temps, Paul Rohrbach "dalam konferensi yang diadakan di Berlin, beberapa waktu lalu, merekomendasi agar Armenia harus dievakuasi dari orang-orang Armenia. Mereka harus disingkirkan ke arah Mesopotamia dan tempat-tempat mereka harus diambil oleh orang-orang Turki, dalam rangka agar Armenia harus terbebas dari segala pengaruh Rusia dan Mesopotamia dapat disediakan para petani yang kini berkurang." Tujuan dari semua ini betul-betul terbukti. Jerman membangun jalan kereta api Bagdad di sepanjang gurun Mesopotamia. Ini adalah penjelasan khas dalam pencapaian Kekaisaran Jerman baru yang besar, yang terbentang dari Hamburg sampai Teluk Persia. Namun jalur kereta api tersebut tak pernah berhasil tanpa adanya pengembangan penduduk industrial dan hemat untuk menyantapinya. Turki malas tak pernah menjadi kolonis semacam itu. Namun Armenia terdiri dari jenis orang yang usahanya dibutuhkan. Ini sepenuhnya sesuai dengan knsep kenegarawanan Jerman untuk menyingkirkan orang-orang di tanah di tempat mereka telah huni selama berabad-abad dan membawa mereka dengan paksa ke gurun panas mematikan. Fakta yang sebenarnya bahwa mereka selalu tinggal di iklim sedang tak menjadi penghalang di mata Pan-Jerman. Aku mendapati bahwa Jerman menyemai penyiaran gagasan tersebut selama bertahun-tahun. Aku bahkan mendapati bahwa pihak-pihak Jerman telah mengajarkan tindakan tersebut di Timur. "Aku ingat pemberian ceramah oleh serang profesor Jerman terkenal," ujar seorang Armenia padaku. "Titik utamanya adalah bahwa sepanjang sejarah mereka, Turki membuat kekeliruan besar dalam terlalu berbelas kasihan terhadap penduduk non-Turki. Satu-satunya cara mengamankan kemakmuran kekaisaran, menurut pembicara tersebut, adalah bertindak tanpa sentimentalitas terhadap seluruh warga negara dan ras di Turki yang tak patuh dengan rencana-rencana Turki."

Para Pan-Jermanis tercatat dalam persoalan Armenia. Aku harus mengisi diriku dengan mengutip kata-kata penulis "Mittel-Europa," Friedrich Naumann, yang diyakini merupakan pencetus gagasan Pan-Jerman terhandal. Dalam karyanya tentang Asia, Naumann, yang mengawali hidup sebagai rohaniwan Kristen, sepakat dalam penjelasan menonjol soal pembantaian Armenia 1895-96. Aku hanya perlu mengutip beberapa perkataan yang menunjukkan sikap kebijakan kenegaraan Jerman soal keburukan semacam itu: "jika kami harus turun tangan terhadap peristiwa yang sebenarnya merupakan pembantaian kekerasan terhadap 80.000 sampai 100.000 orang Armenia," tulis Naumann, "kami dapat memajukan satu opini—mereka harus benar-benar dikecam dengan seluruh kemurkaan dan mengerahkan para pembunuh dan penyelidik kami. Kami menjamah banyak pembantaian terhadap sejumlah besar orang, dan lebih buruk ketimbang hal yang ditimbulkan oleh Charlemagne terhadap orang-orang Saxon. Siksaan yang dijelaskan oleh Lepsius telah melampaui segala hal yang pernah diketahui oleh kami. Apa yang kemudian melarang kami dari menjatuhkan Turki dan berujar kepadanya: 'Bawa mereka pergi, bangsat!'? Satu-satunya hal yang melarang kami, karena Turki menjawab: 'Aku juga, aku berjuang demi keberadaanku!'—dan sehingga, kami mempercayainya. Kami yakin, walau isyarat barbarisme Muslim berdarah berkembang pada mereka, bahwa Turki mempertahankan diri mereka sendiri secara sah, dan sbelum hal lainnya kami lihat dalam persoalan Armenia dan pembantaian Armenia, persoalan kebijakan dalam negeri Turki, sebetulnya peristiwa memilukan yang dialami kekaisaran besar, yang tak dicetuskan untuk membiarkan dirinya mati tanpa membuat upaya terakhir untuk menyelamatkan dirinya dengan pertumpahan darah. Seluruh kekuatan besar, kecuali Jerman, mengadopsi kebijakan yang ditujukan untuk menghimpun keadaan perkaran sebenarnya di Turki. Selaras dengan itu, kami menuntut agar menarik hak asasi manusia, atau kemanusiaan, atau peradaban, atau kebebasan politik—dalam satu kata, sesuatu hal yang akan membuat mereka setara dengan Turki. Meskipun sedikit negara turunan Romawi kuno yang dapat mentoleransi agama Nasrani, sedikit yang dapat dilakukan Kekaisaran Turki, ayng sebetulnya merupakan penerus politik Kekaisaran Romawi timur, mentoleransi perwakilan manapun dari warga Kristen barat-nya yang merdeka. Marabahaya bagi Turkey dalam persoalan Armenia adalah kepunahan. Karena alasan itu, negara tersebut bertindak bak negara Asiatik yang barbar. Negara tersebut menghancurkan orang-orang Armenia agar mereka tak akan dapat menjadikan diri mereka sendiri sebagai unsur politik untuk masa menonjol. Tindakan mengerikan, tentunya, merupakan tindakan keinginan politik, memalukan dalam penjelasannya, namun masih merupakan potongan sejarah politik, dalam perilaku Asiatik . . . . Meskipun Kristen Jerman merasa tak senang dengan kenyataan yang menyertainya, ia tak melakukannya selain untuk menyembuhkan luka-luka yang sejauh ini ia dapat, dan kemudian persoalan tersebut lekas dituntaskan mereka. Selama jangka panjang, kebijakan kami di Timur telah ditentukan: kami memasuki kelompok yang melindungi Turki, bahwa kenyataan bahwa mereka harus mempertimbangkan keputusan kami. . . . Kami tak melarang orang Kristen manapun dari merawat para korban kejahatan mengerikan tersebut, dari mengambil anak-anak dan merawat orang-orang dewasa. Semoga Tuhan memberkati tindakan baik tersebut selayaknya seluruh tindak keyakinan lainnya. Hanya saja mereka harus memperhatikan agar kepedulian tak mengambil bentuk tindakan politik yang nampaknya bersinggungan dengan kebijakan Jerman kami. Internasionalis, yang menjadi aliran pemikiran Inggris, berkirab dengan orang-orang Armenia. Nasionalis, yang tak berniat mengorbankan masa depan Jerman untuk Inggris, harus, pada persoalan kebijakan luar negeri, mengikuti pemikiran yang dipegang oleh Bismarck, bahkan jika ini tak berbelas kasihan dalam sentimennya. . . . Kebijakan nasional: itu merupakan alasan moral menonjol soal kenapa kami harus, selaku negarawan, menunjukkan perbedaan diri mereka sendiri dengan penderitaan orang-orang Kristen Turki, namun luka yang timbul pada perasaan kemanusiaan kami. . . . Itu adalah tugas kami, yang kami harus akui dan sadari di hadapan Tuhan dan di hadapan manusia. Jika karena alasan ini kami harus mengutamakan keberadaan negara Turki, kami melakukannya dalam kepentingan diri kami sendiri, karena apa yang berada dalam pikirankami adalah masa depan agung kami . . . . Di satu sisi menjelankan tugas negara kami selaku bangsa, di sisi lain tugas kami selaku manusia. Sehingga, kala ada waktu dalam konflik penugasan, kami dapat memilih jalan tengah. Itu adalah seluruh hak dari titik pendirian manusia, namun kadangkala hak dalam esensi moral. Contohnya, kala dalam seluruh keadaan analog, kami harus benar-benar tau soal sisi yang mengerahkan tugas moral terbesar dan paling berpengaruh. Sesekali, kami membuat pilihan semacam itu yang tak seharusnya kami warisi. William II telah terpilih. Ia menjadi teman Siltan, karena ia memikirkan Jerman independen yang lebih besar."

PEMANDANGAN URFA
Salah satu kota terbesar di Asia Kecil
RELIK PEMBANTAIAN ARMENIA DI ERZINGAN
Mementos semacam itu ditemukan di seluruh belahan Armenia
UPACARA PEMAKAMAN BARON VON WANGENHEIM
Dubes Jerman untuk Turki. Mr. Morgenthau (berbusana sore) berjalan dengan Enver Pasha. Tepat di depan mereka adalah Talaat Pasha

Itulah filsafat kenegaraan Jerman yang diterapkan pada orang-orang Armenia, dan aku juga memiliki kesempatan mengamati praktek Jerman. Kemudian, laporan awal mencapai Konstantinopel, ini membuatku memutuskan mengambil cara paling memungkinkan dalam menghentikan pengerahan yang dilakukan pada para perwakilan diplomatik seluruh negara untuk membuat permohonan bersama kepada Pemerintah Utsmaniyah. Aku mendatangkan persoalan ini pada Wangenheim pada paruh akhir Maret. Antipatinya terhadap Armenia menjadi makin nampak. Ia mulai mengecamnya dalam hal-hal yang tak terukur. Layaknya Talaat dan Enver, ia memandang peristiwa Van sebagai pemberontakan tak terprovokasi, dan, dalam pandangannya, seperti halnya mereka, orang-orang Armenia singkatnya melakukan tindak pengkhianatan.

"Aku akan membantu Zionis," ujarnya, dengan berpikir bahwa pernyataan tersebut akan dikabulkan secara pribadi padaku, "namun aku harus tak melakukan apapun untuk orang-orang Armenia."

Wangenheim nampak memandang persoalan Armenia sebagai persoalan yang utamanya berdampak pada Amerika Serikat. Perbincanganku dalam perantaraan mereka nampak menciptakan penekanan, dalam pikiran Jermaniknya, bahwa belas kasih apapun menunjukkan orang-orang itu menjadi beralih ke Pemerintah Amerika. Dan pada kesempatan itu, ia tak memutuskan untuk melakukan hal apapun yang akan membiarkan orang-orang Amerika.

"Amerika Serikat nampaknya merupakan satu-satunya negara yang mengambil banyak kepentingan terhadap orang-orang Armenia," ujarnya. "Para misionarismu merupakan teman-teman mereka dan orang-orangnya menjadikan diri mereka sendiri selaku penjaga mereka. Sehingga, seluruh pertanyaan yang membantu mereka menjadi persoalan Amerika. Lntas, dapatkah kamu mengharapkanku untuk melakukan hal apapun sepanjang Amerika Serikat menjual amunisi kepada musuh-musuh Jerman? Tuan Bryan telah menerbitkan catatannya, berujar bahwa negara tersebut akan tidaklah netral bila menjual munisi kepada Inggris dan Prancis. Sepanjang pemerintahmu mempertahankan sikap itu, kami tak dapat melakukan apapun untuk orang-orang Armenia."

mungkin tak ada orang selain logikawan Jerman yang mengaitkan hubungan antara penjualan bahan perang kami ke Sekutu dan serangan Turki pada ratusan ribu wanita dan anak-anak Armenia. Namun itu merupakan perjuangan yang aku buat terhadap Wangenheim pada masa itu. Aku giat berujar padanya, namun ia menghiraukan permohonanku untuk berbelas kasih pada orang-orang Armenia dengan merujuk pada pemakaian rudal Amerika di Dardanelles. Sikap dingin timbul di antara kami tak lama setelahnya, akibat penolakanku untuk memberikannya "perhatian" untuk menghentikan deportasi warga sipil Prancis dan Inggris ke semenanjung Gallipoli. Setelah kami berbincang lewat telepon, kala ia membujukku untuk menghubungi Washington agar ia tak mencampuri Turki dalam persoalan ini, kunjungan kami satu sama lain terhenti selama beberapa pekan.

Terdapat orang Jerman berepngaruh tertentu di Konstantinopel yang tak menerima sudut pandang Wangenheim. Aku lantas merujuk kepada Paul Weitz, yang selama tiga puluh tahun menjadi koresponden Frankfurter Zeitung, yang mungkin lebih memahami perkara di Timur Dekat ketimbang orang Jerman lainnya. Meskipun Wangenheim menyoroti Weitz terhadap informasi tersebut, ia tak selalu mengambil nasehatnya. Weitz tak menerima sikap kekaisaran ortodoks tersebut terhadap Armenia, karena ia yakin bahwa penolakan Jerman secara efektif untuk campur tangan menghindarkan tanah airnya dari luka berkelanjutan. Weitz menyatakan pendangannya kepada Wangenheim, namun ia kurang tergerak. Weitz berujar kepadaku soal hal ini sendiri, pada Januari 1916, beberapa pekan sebelum aku meninggalkan Turki. Aku mengutip perkataannya sendiri mengenai persoalan ini:

"Aku ingat bahwa kau berkata kepadaku pada mulanya," ujar Weitz, "soal kekeliruan yang dilakukan oleh Jerman dalam persoalan Armenia. Aku sepenuhnya sepakat denganmu. Namun kala aku menyatakan pandangan ini pada Wangenheim, ia mengusirku dua kali dari ruangan!"

Orang Jerman lain yang menentang kejahatan tersebut adalah Neurath, Penasehat Kedubes Jerman. Kemarahannya mencapai titik pada ujarannya bahwa Talaat dan Enver menjadi nyaris tak diplomatik. Namun, ia berujar padaku bahwa ia gagal untuk mempengaruhi mereka.

"Mereka tak tergerak dan memutuskan untuk memajukan pengerahan mereka saat ini," ujar Neurath.

Sebetulnya, tak ada orang Jerman yang dapat membuat penekanan besar terhadap Pemerintah Turki sepanjang Dubes Jerman enggan ikut campur. Dan, kala waktunya tiba, ini makin dan makin membuktikan bahwa Wangenheim tak memiliki keinginan untuk menghentikan deportasi. Namun, ia nampak berharap untuk menjalin lagi hubungan persahabatan denganku, dan kemudian mengirim pihak ketiga untuk menanyai kenapa aku tak pernah datang untuk melihatnya. Aku tak tau seberapa lama keanehan ini akan berlanjut tak memiliki pengaruh pribadi besar terhadapnya. Pada bulan Juni, Letkol Leipzig, Atase Militer Jerman, meninggal dalam keadaan sangat tragis dan misterius di stasiun kereta api di Lule Bourgas. Ia dibunuh akibat tembakan revolver. Satu cerita berujar bahwa senjata tersebut tak sengaja meletus, cerita lainnya menyatakan bahwa Kolonel tersebut bunuh diri, sementara cerita lainnya menyatakan bahwa Turki membunuhnya, mengiranya sebagai Liman von Sanders. Leipzig adalah salah satu teman dekat Wangenheim. Pada masa muda, mereka menjadi perwira dalam resimen yang sama. Di Konstantinopel, mereka nyaris tak terpisahkan. Aku langsung menghubungi Dubes tersebut untuk menyampaikan bela sungkawa. Aku mendapatinya sangat sedih dan tertekan. Ia berujar padaku bahwa ia berhati kacau, bahwa ia nyaris lunglai, dan bahwa ia mengajukan cuti beberapa pekan. Aku memahami bahwa ini tak sekadar kematian kameradnya yang merasuki pikiran Wangenheim. Para misionaris Jerman membanjiri Jerman dengan laporan soal orang-orang Armenia dan menyerukan agar Pemerintah menghentikan pembantaian. Sehingga, karena Wangenheim merasa sangat terbebani dan gelisah kala itu, ia memberikan banyak isyarat bahwa ia masih merupakan militeris Jerman sama yang keras hati. Beberapa hari setelah itu, kala ia kembali mengunjungiku, ia bertanya:

"Dimana pasukan Kitchener?

"Mereka hendak menyerahkan Belgia sekarang," ujarnya. "Jerman berniat membangun armada kapal selam dengan radius besar. Pada perang berikutnya, aku harus dapat sepenuhnya memblokade Inggris. Sehingga, kami tak membutuhkan Belgia untuk pangkalan kapal selamnya. Kami harus mengembalikannya ke Belgia, menukarnya dengan Kongo."

ia kemudian membuat permohonan lain atas perantaraan orang-orang Kristen tertindas. Lagi-lagi, kami membahas persoalan tersebut sepanjang waktu.

"Orang-orang Armenia," ujar Wangenheim, "menunjukkan diri mereka sendiri dalam perang ini menjadi musuh Turki. Ini sangat nampak bahwa dua bangsa itu tak pernah dapat hidup bersama di negara yang sama. Orang-orang Armenia seharusnya memindahkan beberapa orang dari mereka ke Amerika Serikat, dan kami orang-orang Jerman akan mengirimkan beberapa orang ke Polandia dan di tempat mereka mengirimkan Yahudi Polandia ke provinsi-provinsi Armenia—dengan itu, kami akan berjanji untuk menurunkan skema Zionis kami."

Lagi-lagi, meskipun aku berujar dengan sikap tak lazim, Dubes tersebut enggan membantu orang-orang Armenia.

Selain itu, pada 4 Juli, Wangenheim mengirimkan nota protes resmi. Ia tak berujar kepada Talaat atau Enver, orang-orang yang memiliki otoritas, namun kepada Wazir Agung, yang sebetulnya merupakan bayangan. Peristiwa tersebut memiliki sifat yang sama denagn protes proforma-nya melawan pengiriman warga sipil Prancis dan Inggris ke Gallipoli, untuk dijadikan target armada Sekutu. Satu-satunya tujuannya adalah untuk menempatkan Jerman secara resmi pada catatan. Mungkin hipokrisis dari protes ini lebih nampak padaku ketimbang pihak lainnya, karena, pada kesempatan kala Wangenheim melayangkan protes yang disebutkan tersebut, ia memberikanku alasan kenapa Jerman tak dapat benar-benar mengambil langkah efektif untuk mengakhiri pembantaian. Tak lama usai wawancara, Wangenheim menerima cuti dan pergi ke Jerman.

Ketiadaan perasaan yang ditujukan Wangenheim dirinya kepada Humann. Ia merupakan sosok yang tak bungkam terhadap orang-orang Armenia selaku atase AL Jerman di Konstantinopel. Sosok ini umum dipandang sebagai pria berpengaruh besar. Posisinya di Konstantinopel selaras dengan Boy-Ed di Amerika Serikat. Seorang diplomat Jerman sempat berujar padaku bahwa Humann lebih Turki ketimbang Enver atau Talaat. Disamping reputasinya, aku berniat untuk menyoroti pengaruhnya. Aku mendatanginya utamanya karena ia merupakan teman Enver, dan numumnya dipandang sebagai jaringan penghubung penting antara Kedubes Jerman dan otoritas militer Turki. Humann adalah emisaris pribadi Kaiser, yang menjalin komunikasi dengan Berlin dan tanpa ragu ia menunjukkan sikap kekuatan pemerintahan di Jerman. Ia membahas persoalan Armenia dengan sangat terus terang dan brutal.

"Aku tinggal di Turki sepanjang sebagian besar masa hidupku," ia berujar padaku, "dan aku tau orang-orang Armenia. Aku juga mengetahui bahwa Armenia dan Turki tak dapat hidup bersama di negara ini. Salah satu ras harus pergi. Dan aku tak menyalahkan Turki atas apa yang mereka lakukan kepada orang-orang Armenia. Aku pikir bahwa mereka sepenuhnya dibenarkan. Golongan yang lebih lemah harus mengalah. Armenia ingin berpisah dengan Turki. Mereka melawan Turki dan Jerman dalam perang ini, dan sehingga mereka tak berhak untuk berada disini. Aku juga berpikir bahwa Wangenheim terlalu jauh dalam membuat protes; setidaknya aku takkan melakukannya.

Aku merasa ngeri terhadap sentimen semacam itu, namun Humann datang dengan melecehkan orang Armenia dan menyangkali Turki dari segala kesalahan.

"Ini adalah masalah keselamatan," jawabnya; "Turki melindungi diri mereka sendiri, dan, dari sudut pandang ini, mereka sepenuhnya membenarkan apa yang mereka lakukan. Kami mendapati 7.000 meriam di Kadikeuy yang berasal dari orang-orang Armenia. Mula-mula, Enver ingin memperlakukan orang-orang Armenia dengan sangat menengah, dan empat bulan lalu, ia memutuskan agar mereka diberi kesempatan lain untuk menunjukkan kesetiaan mereka. Namun usai apa yang mereka lakukan di Van, ia mengerahkan pasukannya, yang menyatakan bahwa mereka seharusnya melindungi wilayah belakangnya. Komite memutuskan deportasi dan Enver sepakat. Seluruh orang Armenia bekerja untuk penghancuran kekuatan Turki—dan satu-satunya hal yang dilakukan adalah mendeportasi mereka. Enver sebetulnya merupakan pria yang berhati sangat baik. ia sendiri bahkan enggan menepuk nyamuk! Namun kala peristiwa tersebut disampaikan untuk mempertahankan gagasan yang diyakini olehnya, ia akan melakukannya tanpa takut dan ragu. Selain itu, Turki Muda yang menggerakkan orang-orang Armenia sebetulnya adalah persoalan perlindungan diri. Komite hanya kuat di Konstantinopel dan beberapa kota besar lainnya. Di tempat lainnya, masyarakatnya merupakan 'Turki Tua' yang kuat. Dan orang-orang Turki tua tersebut semuanya bersifat fanatik. Turki Tua tak selaras dengan pemerintahan saat ini, dan sehingga Komite telah melakukan segala hal dalam kekuatan mereka untuk melindungi diri mereka sendiri. Namun tak berpikir bahwa penderaan apapun akan terjadi pada Kristen lainnya. Turki manapun dapat dengan muda mengambil tiga Armenia di antara seribu Turki!"

Humann bukanlah satu-satunya orang Jerman penting yang menyatakan sentimen tersebut. Intimidasi mulai sampai padaku dari banyak sumber yang "mencairkan"ku atas perantara Armenia yang membuatku lebih dan lebih tak populer dalam ranah pejabat Jerman. Suatu hari pada bulan Oktober, Neurath, Penasehat Jerman, memanggil dan menunjukkanku telegram yang ia terima dari Jawatan Luar Negeri Jerman. Pesan tersebut berisi informasi bahwa Earl Crewe dan Earl Cromer membahas soal Armenia di Dewan Bangsawan, melayangkan tanggung jawab pembantaian terhadap Jerman, dan menyatakan bahwa mereka menerima informasi mereka dari saksi mata Amerika. Telegram tersebut juga merujuk pada artikel dalam Westminster Gazette, yang berujar bahwa para konsul Jerman di tempat tertentu menyulut dan bahkan mendalangi serangan tersebut, dan terutama yang disebut Resler dari Aleppo. Neurath berujar bahwa pemerintahannya telah memerintahkannya untuk melakuka penyangkalan atas dakwaan dari Dubes Amerika di Konstantinopel. Aku enggan membuat penyangkalan semacam itu, berujar bahwa aku tak merasa dipanggil untuk memutuskan secara resmi apakah Turki atau Jerman yang bersalah atas kejahatan tersebut.

Sehingga, di setiap tempat dalam lingkup diplomatik, ada yang nampak pada dakwaan bahwa Dubes Amerika bertanggung jawab atas penerbitan luas soal pembantaian Armenia yang diterima di Eropa dan Amerika Serikat. Aku tak ragu berujar bahwa mereka benar mengenai hal tersebut. Pada Desember, putraku, Henry Morgenthau, Jr., melakukan kunjungan ke semenanjung Gallipoli. Di sana, ia dihibur oleh Jenderal Liman von Sanders dan perwira Jerman lain. Ia dibawa ke markas besar Jerman kala seorang pejabat mendatanginya dan berujar:

"Ini adalah artikel-artikel paling penting soal pertanyaan Armenia yang ditulis oleh ayahmu di surat-surat kabar Amerika."

"Ayahku tak menulis artikel," jawab putraku.

"Oh," ujar pejabat tersebut, "hanya karena namanya tak ditandatangani pada artikel-artikel tersebut bukan berarti bahwa ia tak menulisnya!"

Von Sanders juga berujar soal kejadian tersebut.

"Ayahmu membuat kekeliruan besar," ujarnya, "memberikan fakta-fakta soal apa yang dilakukan Turki terhadap orang-orang Armenia. Itu benar-benar bukan tugasnya."

Kala serangan jenis ini tak membuat tekanan padaku, Jerman memutuskan untuk menyatakan ancaman. Pada awal musim gugur, Dr. Nossig datang dari Berlin ke Konstantinopel. Dr. Nossig adalah Yahudi Jerman, dan datang ke Turki untuk membuktikan pekerjaan melawan Zionis. Setelah ia berbincang denganku selama beberapa menit, menyatakan kegiatan Yahudi-nya, aku kemudian mendapati bahwa ia merupakan agen politik Jerman. ia mendatangiku sebanyak dua kali. Kali pertama berbincang soal hal tak berarti, tujuan pemanggilan tersebut nampak untuk mendorong pengakuanku dan merasuki diriku terhadap tindakan baikku. Kali kedua, usai membahas banyak topik, ia langsung tertuju pada titik tersebut. Ia menggerakkan kursinya untuk mendekatiku dan mulai berbincang dalam perilaku yang sangat bersahabat dan percaya diri.

"Tuan Dubes," ujarku, "kita sama-sama Yahudi dan aku ingin berbincang kepadaku selaku seorang Yahudi kepada Yahudi lain. Aku berharap agar kau tak akan tawar menawar jika aku memutuskan untuk memberikanmu nasehat kecil. Kau sangat aktif dalam kepentingan Armenia dan aku tak berpikir kau menyadari bagaimana kau menjadi sangat tak populer, untuk alasan ini, dengan otoritas disini. Pada kenyataannya, aku berpikir bahwa aku memutuskan untuk menyatakan padamu bahwa Pemerintah Turki membujuk pemanggilanmu. Protes-protesmu terhadap Armenia tak akan berguna. Jerman tak akan ikut campur terhadap mereka dan kau hanya mencurahkan kesempatanmu untuk ketidakgunaan dan menerima resiko karirmu akan berakhir secara memalukan."

"Apakah kau memberikanku nasehat ini," tanyaku, "karena kau memiliki kepentingan sebenarnya dalam kesejahteraan pribadiku?"

"Tentunya," jawabnya; "seluruh Yahudi kita bangga akan apa yang kau lakukan dan kami akan benci untuk melihat karirmu berakhir dengan bencana."

"Kemudian kau kembali ke Kedubes Jerman," ujarku, "dan memberitahu Wangenheim apa yang aku katakan—pergi dan memanggilku. Jika aku mengalami kemartiran, aku tak dapat memikirkan kepentingan baik yang dikorbankan. Pada kenyataannya, aku akan menyambutnya karena aku tak dapat memikirkan kehormatan yang lebih besar untuk menyebut bahwa aku, orang Yahudi, menjalankan segala kekuatanku untuk menyelamatkan nyawa ratusan ribu orang Kristen."

Dr. Nossig meninggalkan kantorku dan aku tak pernah melihatnya sejak itu. Pada kesempatan berikutnya, aku menemui Enver untuk berujar kepadanya bahwa ada rumor bahwa Pemerintah Utsmaniyah mempertimbangkan penarikanku. Ia sangat empatik dalam mengecam seluruh cerita sebagai kepalsuan. "Kami tak akan disalahkan membuat kekeliruan konyol semacam itu," ujarnya. Sehingga tak ada keraguan menonjol bahwa upaya untuk mengintimidasiku telah disampaikan di Kedubes Jernam.

Wangenheim kembali ke Konstantinopel pada awal Oktober. Aku terkejut pada dakwaan yang dimajukan orang itu. Kala aku menulis buku harianku, "ia melihat citra sempurna Wotan." Wajahnya nyaris benar-benar berkedut. Ia memakai penutup hitam pada mata kanannya, dan ia nampak gugup dan tertekan secara tak lazim. ia berujar kepadaku bahwa ia telah menjalankan cuti pendek; bahwa ia memutuskan untuk menjalani sebagain besar waktunya di Berlin untuk menjalankan usaha. Beberapa hari usai kepulangannya, aku menemuinya pada perjalananku menuju Haskeuy. Ia berujar bahwa ia datang ke Kedubes Amerika dan kami berjalan bersama berbalik ke situ. Aku kini diujarkan oleh Talaat bahwa ia berniat mendeportasi seluruh orang Armenia yang tinggal di Turki dan pernyataan ini membuatku membuat permohonan terakhir kepada orang tersebut di Kontantinopel yang memiliki kekuatan untuk mengakhiri kengerian tersebut. Aku menempatkan Wangenheim ke lantai dua Kedubes. Disana, kami dapat sepenuhnya sendiri dan tak diinterupsi, dan disana, selama lebih dari sejam, duduk bersama pada meja teh, kami melakukan perbincangan terakhir kami soal permasalahan tersebut.

"Berlin menghubungiku," ujarnya, "bahwa Menlu-mu memberitahukan mereka bahwa kau berujar bahwa lebih banyak orang Armenia yang dibantai semenjak Bulgaria berada pada pihak kami."

"Tidak, aku tak memberitahukannya," jawabku. "aku mengakui bahwa aku mengirim sejumlah besar informasi ke Washington. Aku mengirim salinan-salinan setiap laporan dan setiap pernyataan kepada Kemenlu. Mereka mengamankannya disana, dan apapun yang terjadi padaku, buktinya sudah lengkap, dan rakyat Amerika tak terbuai pada laporan lisanmu untuk informasi mereka. Namun pernyataan yang dibuat olehmu tidaklah sangat akurat. Aku juga memberitahukan Tuan Lansing bahwa pengaruh apapun yang dipegang oleh Bulgaria untuk menghentikan pembantaian tersebut telah lenyap, kini negara tersebut menjadi sekutu Turki."

"Kita lagi-lagi membahas deportasi.

"Jerman tak bertanggung jawab atas kejadian tersebut," ujar Wangenheim.

"Kau dapat anggap itu sampai akhir waktu," jawabku "namun tak ada orang yang akan meyakininya. Dunia akan selalu menuntut tanggung jawab Jerman; kesalahan dari kejahatan tersebut akan menjadi warisanmu selamanya. Aku tau bahwa kau memberkaskan catatan protes. Namun, apa hasilnya? Kau tau bahwa aku melakukan protes semacam itu tak akan memiliki dampak. Aku tak mengklaim bahwa Jerman bertanggung jawab atas pembantaian tersebut dalam hal bahwa negara tersebut menyulutnya. Namun negara tersebut bertanggung jawab dalam hal bahwa ia memiliki kekuatan untuk menghentikannya atau tak memakainya. Dan ini bukan hanya Amerika dan musuh-musuhmu saat ini yang akan memintai tanggung jawab kepadamu. Rakyat Jerman akan suatu harimenyerukan pemerintahmu untuk mengaku.Kau adalah orang Kristen dan waktu akan datang kala rakyat Jerman akan menyadari bahwa kau membiarkan orang-orang Muslim menghancurkan golongan Kristen lainnya. Betapa konyolnya protesmu yang aku kirimkan informasi kepada Kemenlu-ku. Apa kau sadar bahwa kau dapat tetap menjaga rahasia kejahatan keji semacam itu? Janganlah ambil pemikiran memalukan bak burung unta seperti itu—janganlah berpikir bahwa dengan menghiraukan kau sendiri pada mereka, kau dapat mengambil sisa belahan dunia untuk melakukannya. Kejahatan-kejahatan tersebut bak tangisan menuju surga. Dapatkah kau pikir bahwa aku dapat mengetahui soal hal-hal seperti ini dan tak melaporkannya ke pemerintahanku? Dan jangan lupa bahwa para misionaris Jerman, serta Amerika, mengirimku informasi soal orang-orang Armenia."

"Semua yang kau katakan benar," jawab Dubes Jerman, "namun masalah besar yang bergesekan dengan kami adalah memenangkan perang ini. Turki telah menetapkan musuh-musuh asingnya; negara tersebut telah melakukannya di Dardanelles dan Gallipoli. Negara tersebut kini berniat untuk menetapkan urusan dalam negerinya. Mereka masih sangat khawatir bahwa Kapitulasi akan kembali diberlakukan pada mereka. Sehingga kami kembali mengambil tindakan ini, mereka berniat untuk menuntaskan masalah dalam negeri mereka dalam bentuk semacam itu yang akan membuat kecil kesempatan campur tangan apapun dari bangsa-bangsa asing. Talaat berujar padaku bahwa ia memutuskan untuk merampungkan tugas ini sebelum perdamaian dinyatakan. Di masa depan, kami tak berniat agar Rusia harus berada pada posisi yang diujarkan bahwa mereka memiliki hak untuk campur tangan terhadap persoalan Armenia karena terdapat sejumlah besar orang Armenia di Rusia yang terdampak oleh ketegangan para wakil agamawan mereka di Turki. Giers dipakai untuk menjalankan nya sepanjang waktu dan Turki tak ingin dubes manapun dari Rusia atau dari negara lain memiliki kesempatan semacam itu di masa depan. Ngomong-ngomong, orang-orang Armenia berada dalam keadaan yang sangat malang. Kau menghubungkan Konstantinopel dengan orang-orang Armenia kelas terdidik, dan kau mengambil penekananmu soal mereka dari orang-orang tersebut, namun seluruh orang Armenia tidaklah berjenis itu. Sehingga, aku memohon agar mereka diperlakukan buruk. Aku kirim orang untuk melakukan penyelidikan dan ia melapor bahwa keadaan terburuk tak dilakukan oleh para perwira Turki kecuali oleh para brigand."

Wangenheim kembali menyarankan agar orang-orang Armenia dibawa ke Amerika Serikat, dan sekali lagi kau memberikannya alasan kenapa ini tak akan diterapkan.

"Tak pernah terpikir seluruh keputusan tersebut," ujarku. "Mari kita lirik segala hal—kebutuhan militer, kebijakan negara, dan seluruh hal lain—dan mari kita lirik ini singkatnya sebagai masalah manusia. ingat bahwa kebanyakan orang yang diperlakukan dengan cara ini adalah pria tua, wanita tua, dan anak-anak yang tak tertolong. Kenapa kau tak dapat, sebagai umat manusia, melihat agar orang-orang tersebut dibiarkan hidup?"

"Pada keadaan urusan dalam negeri saat ini di Turki," jawab Wangenheim, "aku tak dapat campur tangan."

Aku lihat bahwa tak ada gunanya membahas persoalan ini lebih lanjut. Ia adalah pria yang tak bersimpati dan memalukan, dan aku berbalik darinya. Wangenheim pun hengkang. Kala ia melakukannya, ia terkesiap, kakinya mendadak melesat dari bawah. Aku melompat dan menangkapnya kala ia jatuh. Selama semenit, ia nampak benar-benar bingung. Ia melirikku dengan keadaan bingung, kemudian mendadak menahan dirinya sendiri dan berusaha tenang. Aku memegangi Dubes tersebut, menurunkannya dari tangga, dan membawanya ke kendaraannya. Pada waktu itu, ia nampak sadar dari rasa pusingnya dan ia sampai ke rumah dengan selamat. Dua hari setelahnya, kala duduk di meja makan malamnya, ia terkena stroke apopleksi. ia dinaikkan ke tangga menuju kasurnya, namun ia tak pernah kembali sadar. Pada 24 Oktober, aku dengan resmi diberitahukan bahwa Wangenheim telah meninggal. Dan sehingga pertemuan terakhirku dengan Wangenheim adalah kala Dubes tersebut duduk dikantorku di Kedubes Amerika, enggan memberikan pengaruh apapun untuk mencegah pembantaian suatu bangsa. Ia adalah seseorang, dan pemerintahannya adalah sebuah pemerintahan, yang dapat menghentikan kejahatan tersebut, namun, seperti yang diujarkan oleh Wangenheim kepadaku beberapa kali, "satu tujuan kami adalah menang perang."

Beberapa hari setelahnya, unsur-unsur diplomatik dan Turki resmi memberikan bela sungkawa mereka atas pembentukan sistem Prusia. Upacara pemakamannya diadakan di taman Kedubes Jerman di Pera. Gerbangnya dipenuhi dengan bunga-bunga. Seluruh orang yang hadir, selain keluarga dan para dubes dan para perwakilan Sultan, berdiri sepanjang upacara sederhana namun menawan tersebut. Kemudian, upacara pun dilakukan. Para pelaut Jerman meletakkan bier pada pundak mereka, pelaut Jerman lain membawa rangkaian bunga, dan seluruh anggota korps diplomatik dan pejabat Pemerintah Turki mengikutinya dengan berjalan kaki.

Wazir Agung memimpin prosesi tersebut. Aku berjalan di sepanjang perjalanan dengan Enver. Seluruh pejabat Goeben dan Breslau, beserta seluruh jenderal Jerman, berseragam lengkap, mengikuti. Seluruh orang Konstantinopel nampak mengerumuni jalan raya, dan nuansanya bak hari libur. Kami berjalan ke halaman Dolma Bagtche, Istana Sultan, lewat melalui gerbang yang dimasuki para dubes kala menjalankan tugas mereka. Di dok, sebuah kapal uap dikerahkan menunggu kedatangan kami, dan disitu berdiri Neurath, Penasehat Jerman, bersiap untuk menerima jasad pemimpinnya yang telah meninggal. Dipenuhi dengan bunga, petinya ditempatkan di perahu. Kala berlayar kembali ke aliran, Neurath, seorang Prusia enam kaki, berseragam militer, berpenutup kepala yang dirajut tali putih, berdiri tegak dan hening. Wangenheim dikebumikan di taman kedubes musim panas di Therapia, di samping kameradnya Kolonel Leipzig. Tak ada tempat peristirahatan terakhir yang akan lebih layak, karena ini berada pada ranah kesuksesan diplomatiknya, dan dari tempat ini yang, lebih dari dua tahun sebelumnya, ia mengarahkan Goeben dan Breslau secara nirkabel, dan dengan aman membawa mereka ke Konstantinopel, sehingga membuktikannya bahwa Turki harus berpihak pada Jerman, dan memberi jalan bagi setiap kemenangan dan setiap kengerian yang timbul usai peristiwa tersebut.