Lompat ke isi

Cinta Si Teh Telur

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
(Dialihkan dari CINTA SI TEH TELUR)

Penulis oleh Uncle Uncu

Mengocok teh telur adalah sebuah perjalanan. Perjalanan ada dua, yaitu ke dalam dan keluar. Perjalanan ke dalam adalah memulai dari hati

“Pagi Da,” kata Uncu kepada pemilik kadai lontong padang dengan nama gerobak Uda Alif. Gerobak merah, atapnya unik ada empat gonjong menjulang. Gonjong tersebut mengingatkanku cerita Rumah Gadang kampung halaman Ki Tere. Bentuk atapnya menyerupai tanduk kerbau.  

“Oh buyuang. Mari-mari duduk,” kata Uda Alif sambil mengibaskan tangannya ke dalam kepada Uncu. Aku melihat tirai layar terbuat dari bahan baliho. Menunjukkan gambar Rumah Gadang Pagaruyuang dan menu andalan untuk para pelanggan setianya. Makanan yang terkenalnya, yaitu Ketupat Sayur, Soto Padang, Ketan Pisang, Lupi Padang, dan Teh Talua. Kami duduk di satu buah meja makan muat untuk 6 orang.

Pilo ka Padang, yuang?” tanya Uda Alif kepada Uncu untuk mendapatkan kabarnya kapan pergi ke Padang.

Beko seh lah Da. Jiko lah babini,” jawab Uncu.

Uda Alif cuma tertawa lalu melanjutkan menyiapkan pesanan Soto Padang pelanggan yang di sebelah pamanku. Uncu memesankan aku Ketan Pisang dan dirinya memilih Ketupat Sayur Padang. Untuk minumannya Aku memilih susu hangat dan Uncu lebih suka dengan Teh Talua.

Jika berjalan sepuluh menit dari tempat dudukku, maka aku akan sampai ke Gedung Pemerintahan Jawa Barat. Daerah ini adalah tempat kebiasaan aktivitas Uncu untuk lari pagi. Mulainya dari gerobak Uda Alif, lalu lari ke Gasibu, dan titik selanjutnya adalah gedung yang memiliki tusuk sate di atapnya. Setelah sampai Gedung Sate maka dia akan kembali lagi ke kedai Uda Alif. Akhir pekan adalah waktu kebiasaannya.

Uda Alif memberikan segelas susu hangat kepadaku. Beberapa menit kemudian, Ketan Pisangku telah hadir di atas meja. Olahan pisang dilumuri tepung telah digoreng. Itu tampak membuat daging pisang menjadi crispy saat disantap. Teman dari pisang ini adalah nasi ketan dengan taburan daging kelapa di atasnya. Gigitan pertama pada pisang terasa kriuk. Selanjutnya, rasa hangat dan manis isi daging pisang membuat lidahku tidak berhenti untuk mengemutnya. Nasi ketan putih rasanya asin menambah kegurihan pipiku menjadi lesung. Apalagi ditambah dengan serbuk kelapa yang membuat gigiku tidak berhenti untuk terus mengunyah. Sedangkan punya Uncu masih diproses. Teh Talua memang lama untuk dibuatnya.

“Pelajaran pertama hari ini apa Kaisah?” tanya Uncu.

“Bahasa Inggris,” jawabku.

“Bagus. Semoga diserap ilmunya dengan baik. Karena bahasa itu sangat penting dalam dunia kepenulisan,” kata Uncu.

“Iyah Uncu,” kataku sambil mengunyah pisang goreng buatan Uda Alif.

Kadai Uda Alif di samping jalan raya membuat suara kendaraan lalu lalang terdengar nyaring. Juga banyak orang-orang berjalan melewati gerobak yang kami tempati. Sempat terdengar ada pembicaraan tentang korupsi, merdeka belajar, isu gempuran barang China, konspirasi virus dunia, BBM naik, dan lainnya selama kami menyantap makanan.

Di samping Uncu ada seorang pria dewasa umur sudah 40 tahun lebih. Dia mengenakan kemeja dan kacamata bening. Terdapat merek Highback. Sedangkan di sampingku ada seorang pria. Tampaknya, dia adalah seorang musafir. Dari perawakannya, banyak barang bawaannya untuk melakukan perjalanan sangat jauh. Itu terlihat dari syal merek Wauya, sepatu yang dikenakan, dan tas yang besar meninggi.

“Oh Kaisah namanya. Keren mau jadi penulis,” puji Uda Alif.

“Menjadi penulis itu seperti mengocok Teh Talua,” tambahnya. Aku bingung maksudnya.

“Kok menulis sama dengan mengocok Teh Talua?” tanyaku kepada Uda Alif untuk memintanya menjelaskan lebih jauh lagi. Uncu dan dua pengunjung lainnya penasaran apa yang ingin dijelaskan oleh Uda Alif.

“Baik begini Kaisah,” kata Uda Alif sambil memegang gelas berisi telur bebek yang telah dipisahkan putih telurnya.

“Mengocok itu adalah sebuah perjalanan. Perjalanan ada dua, yaitu perjalanan ke dalam (inner journey) dan keluar. Seperti Uda Alif lakukan sekarang. Saat ini Uda lagi proses mengocok dari dalam,” katanya sambil mengaduk ke arah dalam telur.

Inner journey kata lain adalah shake from the heart (mengocok dari hati). Sebelum mengocok, bisa kita pancing pertanyaan penting, yaitu ‘WHY’ atau kenapa. Apa alasan terdalam, fundamental, dan paling menggetarkan jiwa kita ketika ingin mengocok. Langkah selanjutnya menemukan rasa, guncangan, dan tekstur. Hal-hal itu adalah fondasi,” kata Uda Alif yang telah mempertunjukkan aktrasi mengocok telur yang berubah-ubah. Dari cepat lalu lambat. Dari hanya naik turun lalu memutar sendok.

“Sama seperti menulis. Menulislah dari hati karena semua tulisan yang ditulis dari hati terdalam internal akan menemukan topik. Bahasa hati kita tuliskan. Dia bisa menyentuh hati banyak orang, melintasi banyak batas (suku, bahasa, geografis dan lainnya). Itu juga terjadi pada Teh Talua buatan Uda. Diterima masyarakat dari berbagai daerah,” kata Uda Alif sambil memberikan pesanan Teh Talua pertama milik musafir itu. “Ini Mas Agus,” ucap Uda Alif kepada pemuda berasal dari Lumajang, Jawa Timur.

“Kalau mau menulis keep asking yourself. Jika kita telah menemukan alasan yang kuat. Kita akan menemukan energi yang kuat. Cara terus menulis adalah menemukan siapa atau apa yang mengetuk pintu hati kita,” penjelasannya yang mulai mendalam kepadaku.

“Menulis berasal dari proses internal yaitu menemukan niat. Itu dilakukan dengan pertanyaan ‘WHAT’. Apa yang ingin kita dapatkan? Temukan itu yang membuat kita tidak pernah capek dan bosan untuk mengejarnya. Yaitu, cinta dan benci. Itu semua berakar dari hati. Menemukan ikatan kuat di hati kita. Itu yang akan menjadi topik di sebuah tulisan,” tambahnya untuk memahami arti APA.

“Bagaimana menuliskannya? Yaitu pentingnya kekuatan riset. Kapan waktunya menulis? Yaitu dimulai hari ini. Menulis setiap hari mempersiapkan otot menulis kita untuk menjadi semakin kuat dan terbiasa. Seperti Uda Alif lakukan. Mengocok terus Teh Talua tiap hari. Sehingga lihat sendiri, udah seperti atlet panco belum?” gurauan Uda Alif sambil memberi urat pada area lengan kanannya kepada kami.

“Betul Da Alif,” sahut Mas Agus yang ingin menimpali penjelasan Uda Alif.

“Di masa lalu, banyak sejarawan yang menggali sejarah dari tulisan. Apalagi tulisan perjalanan,” kata Mas Agus yang hobinya telah mengunjungi berbagai negara. Dia juga sempat menunjukkan foto dirinya saat berada di Afghanistan.

“Tulisan perjalanan punya peran penting dalam perjalanan manusia. Banyak cerita peradaban dunia terekam dalam buku perjalanan. Makna dari pengalaman yang kita sudah alami hanya didapatkan saat menulis,” penjelasannya tidak terasa membuatku telah menghabiskan setengah porsi Ketan Pisang. Namun, aku tetap menyimak penjelasan apa lagi yang akan ia berikan padaku.

“Aku selalu membuat jadwal mau kemana untuk memudahkan perjalanan. Apalagi dalam hal menulis. Namun, pernah kejadian juga tidak sesuai ekspektasi. Tapi, itu tidak masalah. Ternyata itu malah membuat cerita perjalananku menjadi menarik. Seperti nyasar, kendaraan ditumpangi mogok, dan harus memutar arah lain karena wilayah konflik,” panjang cerita Mas Agus ceritakan pengalaman perjalanannya mengelilingi dunia.

“Di perjalanan. Aku telah menemukan makna proses kontemplasi, renungan, dan menemukan hal-hal baru yang kita dapati dalam sebuah perjalanan sebelumnya,” katanya. Aku pun ingin bertanya, “Apa saja persiapan untuk menulis perjalanan?”

“Dalam menulis perjalanan. Hanya ada tiga paling penting untuk dipahami. Perjalanan memerlukan waktu yang panjang. Karena tulisan perjalanan mengandalkan banyak aksi dalam tulisan. Aksi dari si penulis di perjalanan, itu sangat penting. Karena tulisan perjalanan harus membagikan pengalaman,” kata Mas Agus. Sedangkan Uda Alif telah menyiapkan pesanan Teh Talua buat Uncu.

“Selanjutnya, Kaisah harus dapat menemukan kedalaman dalam menulis. Bisa jadi perjalanan memakan waktu enam bulan, satu tahun, bahkan lebih. Banyak cerita yang kita alami ingin dibagikan. Tapi, kita harus memilih cerita-cerita mana yang bisa dimasukkan, memiliki benang merah yang sama, dan mengurutkan ceritanya. Supaya tidak memusingkan buat pembaca, dan tertarik mengikuti alurnya,” poin kedua yang disampaikan Mas Agus.

“Terakhir, pastikan Kaisah memiliki banyak pertanyaan besar yang harus dijawab. Tidak hanya sekedar membagikan pengalaman di perjalanan. Tetapi, pasti ada pertanyaan yang sangat besar. Pasti ada proses perubahan dalam diri kita. Baik gagasan, pemikiran, ataupun perubahan fisik dan spiritual. Pertanyaan apa sih yang mau Kaisah jawab dan bagaimana Kaisah menunjukkan kepada para pembaca. Semula tidak tahu menjadi tahu. Prasangka menjadi objektif dalam melihat realitas. Proses perubahan dan proses pengetahuan harus diwujudkan dalam cerita-cerita dalam tulisan,” penutup penjelasan Mas Agus. Berbarengan Ketan Pisangku telah habis.

“Tapi, jangan lupa Kaisah bahwa tema yang rumit harus disederhanakan,” kata seseorang di samping Uncu ingin bergabung menambahkan penjelasan Mas Agus.

“Maksudnya menyederhanakan tema yang rumit bagaimana Om Henry?” tanyaku berusaha akrab mengetahui namanya. Dia tersenyum setelah aku mengetahui namanya. Identitasnya aku kenali dari dadanya ada gantungan kartu pengenal diri.

“Om selama bekerja di dunia pemasaran. Selalu dituntut untuk menyampaikan data yang mudah dicerna oleh pembaca. Ini berlaku untuk Kaisah. Jangan sampai membuat tulisan untuk para pembaca malah menjadi pengen muntah sangking pusingnya informasi disampaikan. Yang harus diperhatikan adalah menemukan hubungan dengan pembaca,” kata Om Henry. Aku makin bingung maksudnya apa. Otakku sulit mencerna dan apakah aku mulai mual. Tidak-tidak. Aku melihat Uncu sedang menikmati Ketupat Sayur dengan enjoy dan menghiraukan pembicaraan yang terjadi di antara kami.

“Om dapat informasinya dari mana?” tanyaku padanya.

“Om dapatnya dari curhatan teman-teman di sosial media. Kadang Om memperhatikan perilaku orang Indonesia yang lucu-lucu. Suka ngomel. Jika melihat kelakuan orang lain tapi tidak sanggup menyampaikan secara langsung. Jadinya, ngedumel doang. Disana Om dapat ide untuk membuat tulisan-tulisan berasal dari yang kekesalan masyarakat. Terus, lama-lama jadi banyak tulisannya. Kalau sudah banyak. Rencana Om mau dikirim ke penerbit untuk jadi buku,” katanya.

“Waw keren. Cuma dari keluhan netizen bakal menjadi buku,” aku memujinya.

“Penjelasan Om masih pusing bagiku. Boleh jelasin yang ringan-ringan aja,” tanyaku.

“Okeh. Biasanya, yang ada di otak, itu yang ditulis. Ditambah lagi, jika tema relevan bertemu dengan penyampaian yang tidak rumit maka pasarnya lebih luas,” katanya yang sudah menjelaskan seperti orang marketing. Aku masih kecil untuk mengetahui dunia karir. Tapi, aku berusaha untuk menelan lebih dalam lagi apa yang disampaikan. Maka Aku lontarkan pertanyaan selanjutnya.

“Kalau ingin menemukan temanya, bagaimana?”

“Saat memilih tema. Jangan dulu memikirkan ‘apakah tema ini akan laku, unik, berbobot, dan sebagainya.’ Tapi, kembali kepada passionnya terhadap tema. Seperti Kaisah ketimpa hidayah mengambil temanya,” kata Om Henry.

“Jika Kaisah ingin menuliskan tema yang hangat di anak SMP atau berpolitik. Akan tetapi, Kaisah tidak tertarik dan memikirkan apakah laku di pasaran. Maka hasilnya tidak optimal juga,” tambahnya.

Baik, sampai sini aku mulai memahami sesuatu. Pertama untuk menulis tema, yaitu ada passion untuk topik tertentu. Harus memunculkan, “Aku pengen banget nyampein topik ini!” Itu jauh lebih penting. Setelah itu, baru memikirkan cara penyampaian dan sudut pandang.

“Kunci untuk mendapat tema, yaitu harus mengerti apa yang sedang ditonton, didengar, ditertawakan oleh target pembaca. Kaisah pinjam itu semua ke dalam tulisan nantinya,” lanjut pembahasan Om Henry.

“Kalau Om sendiri menyukai buku apa saja?” tanyaku.

“Baik ini adalah pertanyaan bagus Kaisah,” katanya yang antusias ingin meneruskan diskusi ini. Namun, dia meminum Teh Talua sebelum nanti menjawab pertanyaanku.

“Penulis favorit Om adalah Malcolm Gladwell - Canadian Journalist. Bukunya, yaitu ‘The Tipping Point, Outliers, What the Dog Saw, and Talking to Strangers’. Apa yang bikin semua buku menarik buat Om. Walaupun temanya sangat berat seperti sosiologi, tentang sukses, budaya, kejahatan, trendi, dan lain-lain. Itu semua bisa ditarik dalam kehidupan kita. Mudah dipraktekkan. Gampang dilakukan. Itu membuat tulisannya selalu relevan. Jadi, tema yang ingin ditulis agar menarik maka temukan titik temu dengan kebutuhan, kekhawatiran, rasa penasaran, dan haus informasi pembaca. Jika itu ada, maka akan menjadi menarik,” penjelasan penutup dari Om Henry.

Aku memberi tisu padanya karena ada bekas Teh Talua di bibirnya. Dia seperti memiliki kumis berwarna krem dari tambahan bahan susu kental manis.

Aku sangat beruntung berada di sini. Kalau saja bukan gara-gara masakan gagal Uncu. Mungkin aku tidak akan bertemu Uda Alif, Mas Agus, dan Om Henry. Mereka adalah orang yang luar biasa.

Terdengar seseorang berteriak dari samping Om Henry. “Habis! Uda Alif, berapa semuanya?” kata pamanku. Uncu memang seperti itu. Kalau sedang makan melupakan alam sekitarnya. Fokus pada dunianya sendiri.

“Untuk kali ini Uda Alif yang traktir. Karena telah membawa ponakanmu kesini dan memberi kesan bahagia pagi ini,” kata Uda Alif.

“Wah, terima kasih Uda. Aku telah banyak berhutang budi. Nanti kalau aku sudah kaya. Aku akan bawa orang lebih banyak kesini untuk meramaikan gerobak Uda Alif,” kata Uncu berharap menjadi miliuner.

“Aamiin. Makanya cepat lulus kuliah, dah itu cari kerja, dan paling penting, yaitu capeak lah babini,” katanya memberi semangat sekaligus menyindir untuk segera menikah. Sedangkan Uncu hanya menggaruk kepala tanda tidak bisa menanggapi ucapan Uda Alif.

“Terima kasih Uda Alif,” kataku padanya.

“Sama-sama Kaisah. Semoga tercapai yah menjadi penulis. Apalagi bisa menulis tentang keliling dunia. Oh iya, jadi ingat. Bentar!” kata Uda Alif yang mencari sesuatu di laci gerobaknya. Dia mengeluarkan sebuah buku, yaitu Negeri 5 Menara.

“Ini biar menjadi penyemangat. Supaya bisa pergi ke lima negara juga, Kaisah,” kata Uda Alif.

“Wah terima kasih Uda,” kataku.

Mas Agus dan Om Henry pun menyodorkan sesuatu kepadaku, yaitu buku Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan dan Filosofi Teras.

“Ini buatku Mas Agus, Om Henry?” tanyaku.

“Wah… Rezeki anak sholehah,” puji Uncu.

“Tentu Kaisah. Semoga kita dapat bertemu lagi. Bahkan dapat melakukan perjalanan bersama keliling dunia kalau Kaisah sudah siap. Okeh!” kata Mas Agus sembari memberi isapan jempol padaku.

“Iya Kaisah. Buku ini juga bisa dipakai kalau Kaisah lagi overthinking dengan netizen, apalagi sama paman ini,” kata Om Henry sambari matanya melirik kepada seorang paman baju merah muda.

“Terima Kasih banyak Mas Agus dan Om Henry. Kalian akan ku kenang menjadi pahlawan dalam perjalanan ke penulisanku,” aku memujinya dan menyenyuminya. Mereka membalas senyumku.

Lalu kami keluar dari gerobak Uda Alif menuju ke sekolah. Kami berjalan dan dinaungi beberapa pohon. Aku melihat sebuah gedung berkubah di belakang gerobak Uda Alif. Aku harap ini adalah jalan istiqomah meraih impian. Kali ini aku harus berterima kasih kembali kepada seorang paman. Walaupun dia sangat nyebelin. Namun, jadi penasaran. Bakal terjadi apa lagi kalau aku terus bersamanya.

“Oh iya Kaisah. Di sekolah ada Bu Guru yang suka K-Pop?” tanya Uncu padaku.