Ulang Tahun Nawang

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
(Dialihkan dari Cerpen Ulang Tahun Nawang)

KATA PENGANTAR[sunting]

Salam, nama saya Dewi Cholidatul. Saya adalah seorang penulis buku anak yang tinggal di Bandung. Saya menulis buku anak sambil menemani aktivitas dua anak saya yang sedang belajar secara mandiri (homeschooling). Cerpen ini saya persembahkan untuk anak-anak yang memasuki masa pra-remaja yang sedang mencari jati diri dengan segala perasaan yang mereka miliki. Percaya, kalian istimewa.


PREMIS[sunting]

Nawang adalah seorang anak perempuan berusian 12 tahun. Dia anak yang tampak pendiam dan canggung. Namun, dia bermimpi ingin akrab dengan banyak teman. Selama ini, dia hanya memiliki satu teman sekaligus tetangganya, Wibi. Demi mewujudkan mimpinya, Nawang ingin mengundang teman-temannya ke pesta ulang tahunnya. Ia ingin mentraktir teman-temannya di sebuah tempat gaul, seperti warung mi atau ramen ala Korea. Sayangnya, Ayah dan Bunda tidak mendukung idenya, karena harganya terlalu mahal. Dia mencoba segala cara untuk mendapatkan uang dan bisa merayakan ulang tahunnya di warung kekinian tersebut.


SETTING[sunting]

Setting tempat ini mengambil lokasi di seputaran kota Bandung, terutama di Taman Saparua, sekolah, dan rumah.

Nawang dibesarkan di sebuah keluarga urban, dengan percampuran berbagai budaya. Di dalam darahnya, mengalir keturunan Tionghoa yang didapat dari Oma, Jawa dari Mbah Kung, serta Sunda dari keluarga ibunya. Hal ini membuat berbagai tradisi masih dirayakan dan berkelindan dalam kehidupan sehari-hari.


ISI CERITA[sunting]

Ulang Tahun Nawang

Oleh: Dewi Cholidatul

birthday gift by Juliescribbles

Nawang menatap barisan angka yang berjajar rapi pada kalender di sudut  meja belajar. Tangan kirinya membetulkan letak kacamata yang merosot. Sementara telunjuk kanannya menghitung barisan angka sebelum tanggal lahirnya. Sepuluh hari lagi.

“Hampir mau ku kagetin,” Kepala Wibi menyembul bersamaan dengan pintu yang terbuka.

Wibi menjawil pipi tembam Nawang tanpa memperhatikan dengusan kesalnya. Nawang tak suka Wibi masuk tanpa mengetuk.

“Sedang apa sih?” Wibi bertanya.

“Rahasia,” jawab Nawang sedikit sewot.

“Aku tahu. Kamu pasti sedang memikirkan ulang tahun kamu kan?” kata Wibi menebak.

“Sok tahu,” Nawang tak mau kalah.

Nih, tanggalnya dilingkari. Ai dari tadi Matamu ke situ terus,” kata Wibi penuh kemenangan.

Wibi adalah tetangga Nawang. Rumahnya bersebelahan dengan rumah Nawang di sebuah komplek perumahan di pinggiran kota Bandung. Tidak itu saja, mereka bersekolah di tempat yang sama. Mereka bahkan berada di kelas dan bangku yang sama. Tak urung, mereka sangat dekat, hingga Nawang merasa tak bisa menyembunyikan apapun darinya.

“Apa rencanamu?” Wibi bertanya.

Nawang termangu. Sebetulnya, Nawang sudah punya rencana. Nawang berencana mengundang teman-teman sekolahnya untuk merayakan ulang tahunnya. Ia ingin mentraktir di sebuah warung makan ala Korea, tak jauh dari sekolahnya.

Sejujurnya, ia ingin diterima dan memiliki banyak teman. Ia ingin terlibat pembicaraan seru tentang pita rambut paling keren, model rambut paling mutakhir, bintang idola, atau menari bersama dan diunggah di media sosial. Mungkin juga memakai baju atau pita rambut yang sama?

Selama ini, Nawang dianggap sebagai anak yang pendiam. Padahal, jika sudah mengenalnya, ia berbicara lumayan banyak. Hobi membaca buku dan melukis membuatnya tampak tenggelam di dunianya sendiri. Padahal, ia tak pernah keberatan kalau ada yang menyapa atau bahkan menanyainya.

Alhasil, Nawang hanya mempunyai satu teman, Wibi. Tak ada yang salah dengan Wibi. Dia adalah sahabat terbaik. Namun, hobi dan kesukaan yang berbeda membuat obrolan nggak nyambung. Wibi suka sekali melakukan olahraga ekstrem. Hampir setiap sore, hari-harinya dipenuhi dengan latihan memanjat di papan panjat buatan. Di akhir pekan, Wibi pergi ke tebing alam yang berjajar di sekitar Citatah, Gunung Parang, Gua Pawon, dan beberapa tempat lainnya.

Saat itu tiba, Nawang hanya menonton sambil menggambar di buku sketsanya. Tak jarang dia menjadi tempat penitipan barang.

Nawang sering ikut kegiatan Wibi karena ayah bekerja di kantor, sementara Bunda sibuk bekerja di salon rias pengantin. Mengekor pada Wibi adalah pilihan yang lebih baik, daripada bengong sendiri di rumah.

Memakai baju kembar dengan Wibi? Jangan harap! Ia lebih suka memakai baju kedodoran milik kakaknya, Mas Atma. Mengharapkan Wibi memakai pita rambut kembar dengannya? Jangan mimpi! Rambut Mas Atma bahkan lebih gondrong dibandingkan rambut Wibi.

“Eh, malah ngalamun,” kata Wibi.

“Aku pengin menraktir teman-teman makan di Ramen Ramon,” kata Nawang.

“Hah? Itu tempat nongkrong barudak SMP dan SMA itu kan?” Mata Wibi membola.

“Nggak semua anak gede kok. Aku pernah lihat Zeta dan gengnya duduk di sana,” Nawang menimpali.

“Itu karena dia nunggu jemputan,” Wibi menangkis.

Nggak ada tulisannya khusus untuk anak SMP dan SMA juga kan?” kata Nawang tak mau kalah.

Oke, oke. Apa Om dan Tante sudah setuju?” kata Wibi, akhirnya.

“Aku berencana survei harga dan menu dulu, sepulang sekolah. Ikut?” kata Nawang.

Nawang terlonjak senang saat Wibi mengangguk. Mereka segera keluar kamar dan berangkat ke sekolah.

***

Nawang keluar dari Ramen Ramon. Ia menggenggam selebaran daftar menu. Langkahnya melambat.

“Serius mau mengajak teman-teman makan di sini?” kata Wibi setelah berhasil menyusul Nawang.

Daftar Menu Ramen ala Korea

Sejujurnya, Nawang juga tak yakin Ayah dan Bunda akan setuju. Harga yang ditawarkan warung itu antara Rp20.000 hingga Rp40.000. Nawang mulai menghitung. Ada dua puluh teman di kelasnya. Jika mereka memesan makanan paling murah saja, Nawang setidaknya harus mempunyai uang Rp400.000. Namun, jika mereka memesan makanan paling mahal, maka Nawang harus menyediakan uang dua kali lipatnya. Harga tersebut belum termasuk minuman yang harganya tak jauh berbeda dengan harga makanan.

Sesampai di rumah, Nawang langsung mengutarakan keinginannya kepada Ayah dan Bunda.

“Itu makanan apa sih?” tanya Bunda.

Nawang tahu Ayah dan Bunda akan mudah luluh jika membawa-bawa tradisi keluarga. Apalagi, tradisi dari keluarga Nainai yang merupakan keturunan tionghoa. Hidangan mi panjang umur adalah makanan wajib di setiap hari ulang tahun.

“Mi. Sesuai tradisi keluarga kita, Bun,” kata Nawang, kemudian.

“Kalau memang pengin mi, kenapa nggak minta Nainai datang saja? Kebetulan Ayah juga kangen mi buatan Nainai,” Ayah bersemangat.

“Bukan mi goreng seperti buatan Nainai, Yah. Mi yang  ini bumbunya ala Korea,” kata Nawang mulai tak sabar.

“Harganya gimana?” kata Bunda, kemudian.

Hati Nawang berdetak lebih kencang saat menyerahkan selebaran.

“Wow, lumayan juga, ya, harganya,” Bunda berkomentar.

“Jadi, gimana?” Suara Nawang menggantung.

Ayah dan Bunda saling berpandangan.  

“Bunda sih keberatan, Wang. Soalnya, mahal sekali,” kata Bunda berhati-hati.

Gimana kalau traktirannya sama teman dekat saja?” kata Ayah menyarankan.

“Wibi doang? Sama aja dengan nggak ulang tahun dong, Yah. Tiap hari juga makannya bareng Wibi,” kata Nawang cemberut.

Kening Nawang semakin berkerut saat mendengar usulan Bunda. Bunda mengusulkan untuk mengundang teman-teman ke rumah.

“Selain mi panjang umur, Bunda juga bisa masakin nasi kuning. Seperti tradisi dari keluarga Mbah Kung,” kata Bunda.

“Ih, Bunda mah nggak gaul. Mana ada anak zaman sekarang makan nasi kuning di hari ulang tahunnya?” kata Nawang mendongkol.

***

Nawang tidak bisa membujuk Ayah dan Bunda. Di akhir negosiasi, Ayah dan Bunda hanya setuju untuk memberikan uang Rp200.000 sebagai hadiah ulang tahunnya. Sisanya, Nawang bertekad akan mendapatkan sendiri. Tapi bagaimana caranya?

Pyar!

“Huh, kaget, tahu!” kata Wibi menjerit.

Tas ransel yang terselempang di pundak kiri Wibi merosot ke lantai. Wibi pasti akan mengajak Nawang latihan panjat, pikir Nawang. Namun, kali ini, Nawang berniat untuk menolak ajakannya. Dia masih pusing memikirkan kekurangan uang untuk mentraktir teman-teman.

“Kenapa dipecahin?” Wibi bertanya saat melihat pecahan tembikar di lantai kamar Nawang.

Bantuin ngitung dong,” kata Nawang.

Wibi pun segera membungkuk dan ikut memunguti uang receh yang berserak. Kedua tangan mereka cekatan mengelompokkan uang pecahan seribuan dan lima ratusan. Mulut mereka komat-kamit.

“Semuanya seratus lima puluh ribu,” kata Wibi menyudahi hitungannya.

Mulut Nawang mengerucut.

“Kenapa sih?” tanya Wibi lagi.

Nawang akhirnya menceritakan hasil pembicaraannya dengan Ayah dan Bunda. Termasuk rencana Nawang untuk mendapatkan uang untuk menutupi kekurangannya. Wibi ikut prihatin mendengarnya.

“Bagaimana kalau kamu buka jasa face atau body painting  di sekolah?” kata Wibi memberi ide.

“Ih, nggak mau. Nanti ketahuan dong uangnya untuk mentraktir mereka?” Nawang menolak.

“Buka lapak di taman Saparua?” kata Wibi.

Ide cerdas! Nawang setuju karena tak satupun teman memanjat Wibi adalah teman mereka di sekolah.

“Yuk,” kata Wibi, kembali menggendong tas ranselnya.

Nawang segera berdiri dan menyambar peralatan lukisnya. Kakinya setengah berlari mengejar Wibi yang lebih dulu keluar rumah.

***

Langit biru tanpa cela. Sinar matahari berjalan menjauhi puncak kepala. Tidak ada awan yang menghalangi sinarnya di Taman Saparua. Hanya dahan-dahan pohon trembesi yang berusaha meredam sengatannya. Dan, hembusan angin semilir menjadi penyejuk udara.

Kuas berbagai jenis dan ukuran, pewarna waja, eyeliner, kapas, pembersih, dan kipas angina kecil tertata rapi di sebuah meja portabel. Nawang menunggu. Hatinya diliputi perasaan canggung. Tak satu katapun keluar dari mulutnya saat orang-orang melintas di depannya. Ia terlalu malu untuk menawarkan jasanya.

“Kamu lebih mirip jualan cat lukis daripada perias,” kata Wibi sambil tertawa.

Nawang mengerucutkan mulutnya.

“Kamu nggak bawa contoh foto-foto karyamu sebelumnya?” Wibi bertanya.

Nawang menggeleng. Sebersit ide menghampiri otak Nawang.

“Aku gambar wajahmu dulu ya? Sebagai contoh,” Nawang membujuk.

Ogah banget,” kata Wibi menolak mentah-mentah.  

“Nanti traktiranmu dua mangkuk, deh,” ujar Nawang.

“Hasilnya bagi dua, baru mau?” kata Wibi tak mau mengalah.

“Belum juga laku,” kata Nawang yang disambut tawa renah Wibi.

“Baiklah, baiklah,” kata Wibi sambil mencubit pipi Nawang.

Nawang segera membersihkan wajah Wibi dengan cairan pembersih dan kapas. Tangan kirinya menyambar kuas, sementara tangan kanannya mengelompokkan beberapa pewarna wajah yang akan digunakan. Hitam, jingga, kuning, putih, dan merah. Gambaran wajah harimau terekam jelas dalam imajinasinya.

Hasil karya Nawang di wajah Wibi membuat beberapa teman Wibi tertarik. Beberapa anak mendekat. Lalu, pengunjung lain ikut mengantre. Nawang semakin bersemangat. Beberapa orang mengajukan permintaan dengan memperlihatkan gambar dari telepon pintar mereka. Ada yang minta digambarkan kupu-kupu, kelinci, peri, bunga, jaring laba-laba, dan lainnya.

“Wang, ku tinggal latihan lagi ya,” Wibi berpamitan sambil menunjuk papan panjat.

Nawang mengacungkan jempol kanannya sekilas. Pandangannya tetap fokus pada kanvas wajah kliennya. Dalam hati, Nawang bersorak gembira. Ia sempat menghitung uang yang berhasil dikumpulkannya. Dua ratus lima puluh ribu rupiah! Mimpinya untuk mentraktir teman-temannya tampak semakin nyata.

Sayangnya, mimpi itu kembali menjauh saat suara sirine memekakkan telinga bertalu-talu. Sebuah truk bertulisan “Satuan Polisi Pamong Praja” memuntahkan puluhan petugas. Para petugas itu lantas menggiring para pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar taman. Lapak jasa rias wajah milik Nawang tak luput dari sasaran. Orang-orang yang mengantre pun lari tunggang langgang.

Nawang dibawa ke kantor keamanan bersama beberapa pedang kaki lima yang lain. Mereka dianggap menyalahi aturan karena berjualan di area fasilitas publik. Nawang juga dituduh akan mencorat-coret bangku taman.

“Pak, saya tidak mencorat-coret bangku taman, sumpah. Ini adalah alat make-up. Ini khusus digunakan di wajah atau badan,” kata Nawang ketakutan.

“Jadi kamu tukang tato keliling?” kata petugas itu memotong penjelasan Nawang.

“Bukaaan,” kata Nawang terbata.

Nawang tak tahu harus berbuat apa. Apalagi saat alat gambarnya dan uang hasil merias tadi disita sebagai barang bukti.

“Nawang.”

Nawang menoleh. Wibi datang bersama Ayah dan Bunda. Nawang langsung menghambur ke pelukan Wibi, sebelum ke pelukan kedua orang tuanya.

“Maaf ya. Aku nggak tahu kalau berjualan di area fasilitas umum nggak boleh,” kata Wibi.

Nawang mengangguk. Saat itu, air yang masih terbendung di kelopak matanya mengalir deras, seolah menemukan sungainya.

Ayah dan Bunda berbicara dengan beberapa petugas, setelah tangis Nawang reda. Mereka mengizinkan Nawang pulang setelah mengisi beberapa data.

***

Hari ulang tahun Nawang semakin dekat, tetapi mimpinya semakin menjauh. Namun, Nawang hanya setengah berbaring di kursi malas yang ada di kamarnya. Di pangkuatnya, sebuah buku cerita terbuka. Sementara tangan kanannya memilin rambut keritingnya yang belum disisir.

“Ya ampun, kenapa masih bermalas-malasan sih?” tanya Wibi gemas.

“Aku nggak ikut kamu latihan, ya. Aku malas,” kata Nawang.

Wibi mengabaikan ucapan Nawang. Ia menyerahkan selebaran berisi pengumuman pameran seni lukis khusus pelajar dan mahasiswa. Nawang menaikkan salah satu alisnya, meminta penjelasan.

“Ini di kampus Mas Atma. Kamu bisa buka lapak di sini. Mas Atma bisa mendaftarkanmu,” kata Wibi bersemangat.

Nawang menegakkan tubuhnya sebelum menjawab, “tanggalnya sudah lewat.”

Nggak, dong. Ini kan pas hari ulang tahunmu,” ujar Wibi.

“Lagian alat lukisku masih belum dikembalikan,” kata Nawang kembali merebahkan punggungnya ke kursi.  

“Jadi, apa rencanamu?” tanya Wibi lagi.

Ditanya seperti itu, Nawang mau tak mau ikut berpikir. Sejujurnya, dia tak punya rencana cadangan di ulang tahunnya.

“Ya, baiklah. Aku pakai uang celengan untuk membeli alat lukis baru. Yuk,” kata Nawang.

Yeay! Jung, siap-siap mun kitu. Ku temani,” kata Wibi sambil menarik lengan Nawang.

***

Mi goreng by Sharon Chen

Suasana rumah lengang sore itu. Sebetulnya, Nawang biasa melihat rumahnya sepi. Ayah dan Bunda bekerja di luar rumah, sementara dia hanyalah anak tunggal yang sering dititipkan di rumah Wibi.

Apakah Ayah sedang pergi? Nawang berusaha mengingat-ingat kembali sebelum ke kampus Mas Atma, pagi tadi. Ayah bilang tak bisa mengantar karena harus menjemput Nainai di Stasiun. Sementara Bunda harus bekerja merias pengantin.

“Ayah, Nainai, Nawang pulang…” kata Nawang sambil mengetuk pintu.

Tak ada jawaban. Nawang menoleh pada Wibi yang mengangkat bahu. Tangan kanan Nawang menarik gagang pintu dan mendorongnya. Ternyata, pintu tidak dikunci.

“Pantas saja gelap,” kata Nawang sambil meraik gorden yang menghalangi cahaya masuk dari jendela.

“Selamat ulang tahuuun.”

Jantung Nawang nyaris copot mendengar suara-suara dari ruang tengah. Badannya berbalik saat melihat wajah-wajah yang dikenalnya keluar dari ruang tengah. Bunda yang memegang nasi kuning, Ayah yang memegang sepiring mi buatan Nainai, serta Oma yang memegang kue ulang tahun, juga teman-teman sekolahnya. Nawang melebarkan senyumnya menjadi tawa.

“Kejuataaan,” kata Wibi saat Nawang menoleh kepadanya.

Ulang tahun kali ini sangat istimewa, pikir Nawang. Setelah makan nasi kuning dan mi panjang umur, ia bersenda tawa dengan teman-teman sekolahnya. Kali ini lebih akrab. Nawang bahkan diminta untuk melukis di wajah mereka.

Nawang tak menyangka hampir semua temannya menyukai karyanya. Beberapa di antara mereka bahkan bersedia menjadi asistennya dengan cara membersihkan wajah teman yang akan digambar. Ternyata, tak harus mentraktir di tempat yang gaul untuk bisa bergaul dengan teman-temannya.

Nasi Kuning by miss_yasmina

TAMAT


KETERANGAN:

Nainai = Nenek dari pihak ayah dalam bahasa mandarin.  

Barudak = sebutan untuk teman-teman (anak-anak) dalam bahasa Sunda.

Ngalamun = melamun dalam bahasa Sunda.

Jung, siap-siap mun kitu = Ayo, siap-siap, kalau begitu.