Permainan Tradisional Betawi/Layangan Singgang
Layangan singgang merupakan permainan rakyat tradisional Betawi yang tumbuh dari gagasan masyarakat membangun sebuah benda seperti pesawat terbang. Alkisah dulu, ada seorang Belanda bernama Umar Babu yang datang ke Jakarta dengan pesawat untuk memukau massa yang berkumpul di Lapangan Gambir. Layang-layang besar yang bisa mengarungi udara ini juga merupakan simbol dari tarian Doger, salah satu tarian khas Betawi. Biasanya permainan ini dilakukan setelah masyarakat memotong tanaman padi kala panen. Alat yang dibutuhkan adalah bambu, kertas lilin, minyak lilin, benang rami dan kaleng. Bambu yang biasa disebut arku banyak ditemukan di kebun. Arku dijemur di bawah sinar matahari setelah dibelah. Kertas yang diminyaki dapat dipilih sesuai dengan warna favorit Anda. Kertas penyerap harus dilapisi dengan minyak lilin agar kuat dan tidak mudah sobek terkena angin atau hujan. Panjang benang rami biasanya tidak lebih dari 1 tikel (3.000 meter). Benang ini dianggap paling tebal dan berkualitas tinggi, terutama dalam kompetisi layangan singgang. Benang digulung dalam toples supaya tidak bertebaran. Permainan ini dimainkan oleh dua orang, satu dengan gulungan benang dan satu lagi dengan layang-layang yang siap diterbangkan. Jarak antara dua orang harus cukup besar supaya layang-layang dapat naik dengan cepat tertiup angin saat pemain melepaskannya. Saat layang-layang mulai terbang, pemain menarik dan merentangkan tali dari bawah agar layang-layang tersebut terbang dengan cepat. Untuk menurunkan layang-layang, pemain perlu melakukannya secara perlahan agar tidak sembarang menukik ke segala arah.[1]