Lompat ke isi

Tiko dan Sindu

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Kategori

[sunting]

Cerita Pendek Anak

Penulis

[sunting]

Budi Saputra. Menulis cerpen, puisi, artikel, cerita anak, cerita rakyat, resensi, feature, dan esai. Karyanya dimuat di berbagai media massa seperti Padang Ekspres, Kompas, Suara Merdeka, dan Koran Tempo. Selain itu, ia sering memenangi lomba menulis tingkat daerah dan nasional. Pada tahun 2012, ia diundang ke festival internasional Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) bersama 14 penulis Indonesia terpilih lainnya.

Premis

[sunting]

Sebagai orang baru, Tiko dan Sindu menjadi inspirasi lahirnya sebuah kampung hidroponik. Sebuah makam dengan nama nisan Maria, menjadi saksi atas perjuangan mereka bersekolah dan menjual sayur hidroponik.

Lakon

[sunting]
  1. Tiko
  2. Sindu

Tema

[sunting]

Literasi yang meliputi numerasi, sains, finansial, budaya dan kewarganegaraan.

Latar

[sunting]

Sebuah kampung yang dikenal banyak orang sebagai kampung hidroponik.

Cerita pendek

[sunting]

Pada malam ketiga di kampung itu, Tiko pun bermimpi. Tiko melihat sayur-sayur segar terbakar di dekat pemakaman. Tapi dalam waktu singkat, api yang membakar sayur-sayur itu padam oleh air. Tiko lalu melihat ayahnya memegang sayur sambil tersenyum. Senyuman ayahnya itu, persis seperti senyuman saat membangunkan Tiko pada pagi harinya.     

Pada pagi yang cerah itu, sungguh Tiko tak menyangka. Tiko melihat ayahnya memisahkan botol-botol bekas dari karung. Dari botol-botol bekas itu, ayahnya pun mulai bertanam sayur.  

Melihat ayahnya bekerja, Tiko pun tak tinggal diam. Dengan matahari bersinar sangat terik, dan udara terasa sejuk, Tiko pun membantu ayahnya  menanam bibit sayur. Tiko mengetahui nama-nama sayur dari ayah. Ada yang namanya kangkung, selada, dan sawi.  Dengan tangan berlumur tanah, perhatian Tiko tertuju pada seekor cacing besar. Kepada ayahnya, Tiko pun bertanya tentang cacing itu.

“Ayah, cacing ini apa ikut ditanam dalam pot?” Tanya Tiko yang terlihat memasukkan tanah ke dalam pot yang terbuat dari botol bekas.

“Sebaiknya tak usah, Tiko. Lepaskan saja cacing itu. Kasihan ia nanti terperangkap dalam pot.” Balas sang ayah yang yakin bibit sayur itu akan tumbuh subur.

“Untuk sementara, kita hanya bisa menanam sayur memakai botol bekas, Tiko. Doakan ayah dapat rezeki melimpah, dan bisa bertanam sayur hidroponik lagi.”

Tiko pun menganggukkan kepala tanda mengerti. Tiko lalu teringat kebun sayur hidroponik ayahnya yang terbakar. Padahal, ayahnya memulai bertanam sayur hidroponik baru dua puluh hari. Kebun sederhana yang terbuat dari pipa itu, tak sempat memberikan hasil panen yang melimpah.

“Apa nama sayur di pipa ini, Ayah?” Begitulah awalnya Tiko bertanya tentang sayur hidroponik.

“Ini namanya sayur hidroponik, Tiko. Tak perlu tanah. Hanya memakai pipa, air, bibit sayur, dan cairan nutrisi. Sekitar 30 hingga 40 hari sejak bertanam, sayur sudah bisa dipanen. Rasanya tak kalah enak dibanding sayur yang ditanam di tanah.”

“Wah, hebat ya, Ayah. Sayur bisa tumbuh di dalam pipa tanpa tanah.”

“Ya, itulah kemajuan teknologi dalam pertanian, Tiko. Kita tinggal pelajari ilmunya. Bisa melalui buku dan video di internet. Sayur hidroponik aman dari bahan kimia yang bernama pestisida.”      

Tiko kini jelas membayangkan sayur hidroponik ada lagi di tempat tinggal barunya. Dan tentang mimpinya itu, Tiko jelas tak berkata apa-apa kepada ayahnya. Tiko tahu, bahwa pemakaman memang terletak di bawah sebuah bukit. Tak jauh dari rumah kayu yang kini ditempatinya. Meski menempati  rumah yang lebih besar, namun Tiko tetap  saja rindu dengan  rumahnya yang terbakar di kejauhan sana. Tentu banyak kenangan di dalamnya. Betapa Tiko kini membayangkan  semua yang terbakar. Termasuk tas, pakaian, dan sepatu sekolahnya.

***

Namun kegembiraan tiba-tiba menghampiri Tiko pada hari itu. Kegiatan menanam bibit sayur ternyata memiliki arti menanam persahabatan. Pada awalnya, Tiko melihat sebuah mobil berwarna putih. Sambil mengintip di jendela, Tiko memperhatikan seorang anak laki-laki dari kota turun dari mobil itu.

Dan entah kenapa, Tiko langsung merasa anak laki-laki itu akan menjadi sahabatnya. Tiko terus memperhatikan, hingga anak laki-laki itu memasuki pagar rumah yang terbuat dari kayu.

“Perkenalkan namaku Sindu. Aku senang berkenalan  denganmu, Tiko.” Begitulah awal persahabatan yang terjalin pada sore itu. Tiko tak menyangka,  Sindu tiba-tiba datang  duluan ke rumah untuk berkenalan dan membawa buah-buahan.

Sindu sendiri  adalah anak yatim piatu sejak ia dilahirkan ke dunia. Sebuah keluarga yang baik hati, akhirnya merawat dan membesarkan Sindu.  

Meski sama-sama telah kehilangan ibu kandung, tak membuat Tiko dan Sindu patah semangat. Mereka ternyata sama-sama punya cita-cita yang mulia. Menjadi seorang dokter yang bisa membantu orang banyak untuk sembuh dari sakit.

***

Hari demi hari pun berganti. Persahabatan Tiko dan Sindu tak ubahnya seperti kisah pada buku bacaan. Mereka sama-sama suka berkebun,  dan sama-sama suka berpetualang.

Sementara itu, sayur dalam pot botol-botol bekas telah berhasil dipanen. Tiko melihat ayahnya menepati janji. Bertanam sayur hidroponik lagi. Dari uang hasil berjualan botol bekas dan sayur, dibelilah alat dan bahan untuk bertanam sayur hidroponik.

Maka di suatu pagi, kesibukan terlihat di belakang rumah Tiko. Tidak saja Tiko dan ayahnya sibuk bekerja menyambung pipa. Tapi Sindu pun juga ikut bekerja dan rajin bertanya.

Keakraban pun terjalin dengan cepat antara Tiko dan Sindu. Pekerjaan menyambung pipa sayur hidroponik menjadi pembicaraan yang menarik.  Rasa ingin tahu Tiko dan Sindu sangat tinggi tentang sayur hidroponik. Dari sekian banyak pertanyaan yang mereka ajukan, semua dijawab dengan jelas dan mudah dimengerti. Ayah Tiko begitu senang melihat suasana di kebun sebagai tempat belajar.  

“Aku senang dengan sayur hidroponik ini, Tiko. Di internet pun banyak video cara bertanamnya.”

“Sama. Aku juga senang, Sindu. Ayahku banyak menguasai ilmunya. Kita pun bisa belajar. Asalkan ada kemauan.”

“Setuju. Aku setuju denganmu.”

Percakapan Tiko dan Sindu ternyata berlangsung hingga sambungan pipa selesai. Kini di depan mereka ada sebuah kebun sayur hidroponik sederhana. Dari dalam saluran pipa, terlihat benih sayur sawi dan selada yang baru saja ditanam.  

***

Pada hari-hari berikutnya, hanyalah persahabatan penuh warna. Dari kebun hidroponik sederhana milik Ayah Tiko, ternyata membuat keluarga Sindu ikut terinspirasi. Awalnya hanya keluarga Tiko dan Sindu yang ikut bertanam sayur hidroponik. Namun lama-kelamaan, penduduk kampung pun juga ikut bertanam sayur hidroponik.

“Seru juga ya, Tiko. Banyak akhirnya yang menjadi petani sayur hidroponik.” Kata Sindu sambil mengayuh  sepeda menuju sebuah bukit untuk berpetualang.

“Betul. Aku tak menyangka akan berkembang seperti ini, Sindu.”

“Sekarang malah memakai dua cara aku lihat. Ada yang memakai aliran listrik, dan ada juga yang tidak.”

Tiko yang dibonceng Sindu terlihat begitu senang. Ditambah pula di sepanjang perjalanan, ia banyak melihat penduduk bertanam sayur hidroponik.  

Bukit yang dituju Tiko dan Sindu terletak di tepi pantai. Di bawah bukit itu, terdapat pemakaman yang berjumlah ratusan makam. Pemakaman itu bukanlah hal menakutkan  bagi mereka. Tiap hari, mereka melalui pemakaman itu sebagai jalan pintas menuju sekolah. Itu artinya, juga sebagai jalan bagi mereka saat membawa sayur hidroponik pesanan menuju sebuah warung.   

“Tarok saja sepeda di bawah pohon dan kunci. Tak usah takut kehilangan, Sindu.” Begitulah Tiko memberi usul sebelum mendaki bukit yang lumayan rendah itu. Sindu tentu percaya kata-kata Tiko. Bermain sepeda lalu menaiki bukit adalah pengalaman pertama. Apalagi dari atas bukit bisa melihat lautan, bandara, dan ratusan makam di kaki bukit.  

Petualangan itu kini terasa begitu nyata. Lihatlah, Tiko dan Sindu benar-benar menikmati persahabatan mereka. Bagi Tiko, ini adalah penghibur hatinya. Tempat tinggal yang baru ternyata memiliki bukit yang istimewa. Bisa melihat indahnya ciptaan Tuhan dari ketinggian.

Tapi saat melihat ratusan makam dari atas bukit, membuat hati Tiko kadang bersedih. Tiko teringat  ibunya. Andai saja makam  ibunya di sana, tentu Tiko bisa tiap hari mengunjungi makam itu dan berdoa. Tapi kenyataan, makam ibunya sangatlah jauh. Butuh perjalanan menaiki kapal untuk mencapai sebuah kampung yang memiliki banyak sawah dan ladang.

Kepada Sindu, Tiko pun menyampaikan kerinduan pada ibunya. Sindu pun membalas. “Sama, aku juga rindu. Kamu pernah melihat wajah ibumu, sedangkan aku tak pernah. Aku lahir ke dunia, tapi saat itu juga ibuku telah tiada. Bagaimana ya bentuk wajah ibu dan ayahku?”

Telah beberapa kali Sindu bermain di pemakaman bersama Tiko. Maka entah kenapa,  ada hal yang aneh yang sering dilakukannya. Setiap ke pemakaman, Sindu sering kali berdiri dan membaca nama di sebuah makam. Bahkan Sindu  mengeraskan suaranya hingga bisa didengar dengan jelas oleh Tiko.

“Maria. Maria.”  

“Apa maksudmu Maria itu, Sindu.” Tanya Tiko yang awalnya kaget mendengar Sindu membaca nama itu.

Nama di nisan ini Maria. Tapi tak ada tanggal meninggalnya. Hanya tahun. Sama dengan tahun lahirku.

“Nah, berarti sudah 12 tahun makam itu di sini.” Sela Tiko yang juga asyik membaca nama di nisan makam lain.  

 

***

Hari-hari berikutnya adalah tentang perubahan cuaca. Setelah panen sayur dan membagikannya sebagai wujud rasa syukur, hujan  lebat pun  turun seharian. Hujan lebat itu ternyata membuat kampung terendam banjir.  Walau kampung terendam banjir, namun ternyata tak berpengaruh terhadap kebun sayur hidroponik.      

“Semua kebun sayur hidroponik di sini bebas banjir. Karena tinggi dari permukaan tanah. Itulah keunggulan menanam sayur hidroponik dibanding menanam sayur di tanah.”

Tiko menyimak dengan baik perkataan ayahnya. Seiring banjir telah surut keesokan  harinya, kecintaan Tiko semakin bertambah kepada kebun hidroponik. Tiko menjadi lebih rajin menjual sayur. Selain itu, Tiko menjadi rajin menabung. Menyisihkan uang jajan untuk bersedekah.

Tapi begitulah. Cuaca di kampung itu begitu cepat berubah. Dari  sering mendung, kemudian berganti panas terik lima hari berturut-turut.

Pada sore itu, Tiko sedang menunggu Sindu di dekat pemakaman.  Ketika asyik menunggu Sindu, Tiko melihat kepulan asap di atas bukit. Dari yang awalnya hanya kepulan kecil, namun dengan cepat berubah menjadi kepulan besar. Api  terlihat membakar pohon-pohon. Tiko pun mulai mengambil langkah seribu untuk mendekat ke arah bukit itu.

“Kebakaran. Kebakaran.”

Suara riuh tiba-tiba terdengar oleh Tiko. Orang-orang sibuk memadamkan api yang telah membesar itu.         

Tiko sungguh tak menyangka kebakaran itu terjadi. Napasnya kini jelas sesak setelah sibuk berlari kesana kemari. Hingga menjelang senja hari, kebakaran memang telah berhasil dipadamkan. Sindu hanya bisa terpana melihat puncak hingga bagian bawah bukit yang terbakar. Tapi mereka bersyukur. Kebun sayur hidroponik yang ada di bawah bukit selamat dan membuat orang-orang tercengang. Kebakaran yang sangat besar itu tak sampai membakar kebun milik penduduk itu.

***

Setelah kebakaran di bukit, ternyata membawa berkah tersendiri. Kampung itu menjadi dibicarakan banyak orang. Di mana-mana orang membicarakannya sebagai kampung hidroponik. Sayur hidroponik kampung itu sangat terkenal. Terkenal karena sayurnya sehat dan segar-segar.  Petaninya pun ramah-ramah. Termasuk  Ayah Tiko yang kini sukses dan menjadi orang dermawan. Selain menanam sayur hidroponik, Ayah Tiko juga menanam buah hidroponik seperti anggur, tomat, dan semangka.

Pada suatu pagi, Tiko mengajak Sindu mengantar pesanan sayur hidroponik.

“Ayo, Sindu. Kita antar  sayur ini sekarang. Lewat pemakaman saja biar cepat.”

Sindu tentu senang menerima ajakan Tiko pagi itu. Apalagi hari itu adalah hari libur sekolah.

Kini Tiko dan Sindu terlihat melintasi pemakaman. Di  tangan mereka terdapat beberapa ikat sayur hidroponik yang baru saja dipanen. Hati mereka tentu saja dalam keadaan berbahagia.

Sindu tiba-tiba mengajak  Tiko melewati jalan yang biasa mereka lalui. Tentu saja jalan itu akan membuat mereka berjumpa dengan makam yang bertuliskan  nama Maria.

Di saat puncak bukit terlihat menghitam. Dan di saat angin bertiup dengan pelan, tak ada seorang pun yang menyadari saat itu. Bahwa makam yang bertuliskan nama Maria itu, sebenarnya adalah makam ibu kandung Sindu yang meninggal 12 tahun yang lalu.  

Suasana pagi terlihat begitu sunyi. Dengan berlalunya langkah Tiko dan Sindu, seakan membuat penghuni makam itu ikut bahagia. Bahagia melihat mereka yang semangat mengejar cita-cita.

Keterangan

[sunting]

Karya ini diikutsertakan dalam kompetisi di Proyek Yuwana 2023.