Armenia yang Terampas/Bab 11
BAB XI
“ISHIM YOK; KEIFIM TCHOK!”
Aku melemparkan jauh pisau tersebut dan berdiri. Para zaptieh kemudian menemukanku. Aku mundur untuk apapun yang terjadi, dan tak lari dari mereka.
Aku berkata kepada mereka bahwa aku keluar dari kota; agar aku ingin bergabung dengan beberapa orang-orangku; bahwa jika mereka tak akan mencederaiku aku tak akan memberikan perlawanan apapun kepada mereka. Aku masih memiliki tiga lira, atau tiga pound, yang diberikan oleh nyonya Turki baik kepadaku, namun aku tahu jik aku memberikannya kepada mereka, mereka hanya akan mencariku untuk lainnya dan kemudian, mungkin, membunuhku. Sehingga, aku berkata kepada mereka bahwa aku akan memberi mereka uang dari orang-orangku jika mereka akan menempatkanku pada rombongan yang tak dibunuh.
“Mungkin semuanya akan dibunuh; mungkin tidak semua. Kami tak tahu. Datanglah dengan kami. Berikan uang kepada kami dan aku akan membiarkanmu hidup,” ujar salah satu dari mereka kepadaku.
Aku berjalan dengan mereka pada jalan-jalan kecil, sampai kami melihat kedatangan rombongan pengungsi yang panjang. Ketika para zaptieh berhenti, dan dari apa yang mereka katakan satu sama lain yang aku ketahui mereka dikirim dari desa pada jalan kecil di belakang kami untuk bergabung dengan para pengawal yang mengawal rombongan tersebut.
Kemudian, rombongan tersebut mendekat. Para zaptieh berkata bahwa aku harus berada di dekat depan barisan tersebut, dan bahwa mereka akan datang setelahnya dan memburuku, dan bahwa aku harus memiliki uang atau mereka akan mengambilku dan membunuhku. Mereka mendatangiku beberapa jam kemudian, dan aku memberikan tiga lira kepada mereka, dan mereka memegang janji mereka dan tak menjamahku lagi.
Rombongan pengungsi yang bergabung denganku berasal dari Erzeroum dan kota-kota kecil di distrik tersebut. Hatiku bergembira ketika kamu menyaksikan beberapa pria Armenia di antara mereka. Ini adalah pertama kalinya aku melihat pria dari orang-orangku selama ini, dan aku sangat bahagia karena wanitanya masih dapat bersama dengan suami dan ayahnya. Ketika aku ditempatkan di rombongan tersebut oleh para zaptieh, wanita pertama yang melihatku memegangi tanganku. Mereka berpikir bahwa aku adalah salah satu gadis dari rombongan mereka sendiri yang diculik semalam sebelumnya. Ketika aku berkata kepada mereka bahwa aku kabur dari Diyarbekir, mereka senang kepadaku, dan seorang wanita yang kehilangan putrinya yang berusia enam belas tahun dari orang-orang Turki berkata bahwa aku dapat mengambil tempat putrinya dan berkirab dengannya. Putri kecil lainnya, yang berusia enam tahun, masih bersama dengannya.
Terdapat dua ribu, atau lebih sedikit, dalam rombongan ini. Mereka semua terdiri dari 40.000 keluarga Armenia yang dideportasi dari Erzeroum dan desa-desa terdekat. Erzeroum berjarak 150 mil dari utara Diyarbekir, namun orang-orang yang dikirim ke Diyarbekir berada pada dua arah. Beberapa datang melewati Erzindjan dan Malatia. Mereka berjalan nyaris 300 mil. Yang lainnya datang melewati Khnuss dan Bitlis, dan berjalan 250 mil. Para penyintas dari kedua rombongan tersebut mencapai Diyarbekir setidaknya pada saat yang sama dengan orang-orang yang datang dari Bitlis yang singgah selama berhari-hari di kota-kota sepanjang rute.
Satu-satunya tempat Armenia di Erzeroum yang dimiliki ketika mereka dikumpulkan untuk deportasi adalah Badvelli baik, Robert Stapleton, wakil konsul Amerika, yang rumahnya berada di New York City. Dr. Stapleton mengambil semua gadis Armenia yang ia dapat ke rumahnya di Erzeroum, dan ketika pasukan Turki mendatangi mereka, ia menunjukkan bendera Amerika kepada pasukan Turki di pintunya, dan memerintahkan mereka untuk pergi. Terdapat banyak ibu dalam rombongan ini ketika ia bergabung dengannya yang menggembirakan putri-putri mereka memiliki orang-orang yang ditinggalkan di bawah perlindungan Dr. Stapleton, dan mereka takjub jika mereka masih selamat.
Beberapa bulan kemudian, aku mengetahui bahwa Badvelli Amerika baik tersebut menjaga mereka semua dengan selamat sampai pasukan Rusia datang ke Erzeroum dan membawa mereka di bawah naungan mereka.
Terdapat sekitar 75.000 pria, wanita dan anak-anak dalam rombongan yang berjalan menuju ke Erzindjan. Hanya 500 orang yang mencapai Diyarbekir. Semuanya adalah gadis termuda dan tercantik yang diculik oleh orang-orang Kurdi atau zaptieh dan diberikan kepada orang-orang Turki di sepanjang perjalanan. Anak-anak gadis di bawah sepuluh tahun semuanya telah dibunuh, jika mereka tak kuat dan cantik, atau dijual ke orang-orang Turki, yang menyimpan mereka untuk dibesarkan sebagai Muslim pada harem mereka atau mengirim mereka ke Konstantinopel dijual ke harem-harem orang Turki kaya disana. Banyak wanita muda yang tak diculik yang menjemput ajal. Seluruh nenek dan wanita yang sakit ditinggalkan di pinggri jalan, atau dibunuh seketika. Sehingga, hanya 500 orang yang bertahan.
Dari rombongan lainnya, yang berjumlah 50.000 orang, dan yang kebanyakan datang dari kota-kota kecil dekat Erzeroum, dengan banyak keluarga kaya, yang meliputi para guru, bankir, peniaga dan orang profesional dari kota itu sendiri di antara mereka, hanya 1.500 yang tersisa—sekitar 300 pria, pikirku.
Ketika rombongan berbeda mengakui satu sama lain di kemah luar Diyarbekir, mereka sangat berbahagia, dan mereka diijinkan untuk menggerakkan kemah mereka bersama. Mereka masih di luar Diyarbekir selama sebelas hari, karena seluruh orang dari mereka telah merampas uangnya dan seluruh barang berharganya, sehingga mereka dapat menyiap Wali untuk membiarkan mereka singgah di dalam kota.
Sepanjang malam ketika mereka berkemah di luar Diyarbekir, pasukan Turki datang dari kota tersebut untuk mengambil para gadis, dan para prajurit datang untuk meminjam para gadis dan wanita muda dalam jumlah kecil. Mereka tak memiliki makanan kecuali satu potong roti untuk setiap orang, setiap hari lainnya, yang dikirim oleh Wali, dan terkadang beberapa hal yang para misionaris Amerika di kota tersebut putuskan untuk menyeludupkannya dengan menyuap para pengangkut air Turki.
Pada malam hari, ketika aku bersembunyi di bebatuan, mereka berkata kepada kami akan dibawa lagi pada pagi hari, kali ini ke Ourfa. Kami memohon kepada para perwira Turki untuk membiarkan mereka singgah lebih lama lagi, karena banyak dari kami yang menderita pembengkakan kaki, yang makin lama makin sakit, bahkan sampai pecah, dalam persinggahan mereka selama sebelas hari. Kami meminta ijin menunggu sampai kaki kami kembali pulih, namun pasukan Turki tak menghiraukannya.
Sehingga mereka memulai pada awal pagi, dan kini aku bersama dengan mereka, dan sebelum aku melakukan perjalanan panjang menuju Ourfa, 200 mil jauhnya menuju gurun Arab—aku menderita nasib yang lebih keras dengan diambil lagi di sepanjang perjalanan.
Untuk kali pertama sejak aku diambil dari rumahku pada pagi Minggu Paskah, beberapa pekan sebelumnya, aku menyadari, ketika aku bergabung dengan rombongan dalam perjalanan menuju Ourfa, di tempat orang-orangku dibawa—orang-orang yang diperbolehkan untuk hidup. para prajurit yang datang keke kamp-kamp pengungsian dari Diyarbekir berkata kepada para pengasingan bahwa semuanya yang mencapai Aleppo, sebuah kota besar di jalur kereta api Damaskus, dibawa dari sana ke distrik Der-el-Zor, di selatan Efrat, dan ditempatkan untuk membangun jalan-jalan militer melalui gurun. Karena hanya sedikit pria yang mencapai kesana, wanita kuat lah yang dipakai.
Namun selalu ada harapan yang datang. Kebanyakan orang Armenia memiliki teman di Amerika, para putra dan saudara meninggalkan daerah kami untuk pergi ke Amerika Serikat yang menakjubkan. Kami berdoa sepanjang malam agar Amerika akan datang menolong sebelum semuanya tiada. Terdapat rumor-rumor bahwa ketika pertolongan datang; orang-orang baik di Amerika Serikat mengirim uang dan makanan dan pakaian dan berusaha untuk memohon kepada pasukan Turki agar lebih berbelas kasihan. Ini adalah harapan yang dipegang ribuan orang yang masih hidup.
Ketika aku bergabung dengan rombongan tersebut, aku hanya dapat bergerak sangat lambat, karena kakiku membengkak. Ketika mereka datang ke bebatuan tempat aku ditemukan, orang-orang yang kakinya patah sangat kesakitan untuk berjalan di antara mereka, karena perlintasannya sangat sempir dan bebatuannya tajam. Selama lebih dari satu mil, kami berjalan di sepanjang daerah berbatu—kemudian kami datang ke tempat terbuka lagi. Aku memiliki sepasang sandal, dengan kulit di bagian bawah, yang aku ambil dari rumah orang Jerman. Aku memberikannya kepada wanita yang memintaku untuk berkirab dengannya, karena kakinya sendiri berdarah. Tak ada orang lain di rombongan tersebut yang memiliki sepatu atau alas kaki atau penutup apapun untuk kaki mereka, kecuali karpet-karpet yang beberapa dapat menggelarnya dari pakaian mereka.
Di luar Diyarbekir, beberapa pengungsi memperdagangkan renda yang mereka ambil dengan membalutnya pada tubuh mereka, pada keledai dan araba (kereta kerbau). Mereka berkata bahwa kami dapat menggunakannya sampai kami mencapai Ourfa. Pada araba, mereka menyembunyikan banyak potongan roti kecil yang mereka ambil untuk pembagian khusus mereka di Diyarbekir, berharap untuk tersedia ketika terjadi kelaparan di perjalanan. Namun ketika kami mencapai bebatuan yang perlintasannya sangat sempit, terdapat masalah besar untuk menggerakkan araba.
Beberapa penduduk desa Turki dari sisi lain dayang ke bebatuan tersebut, dan ketika mereka menyaksikan permasalahn para pengungsi dengan araba mereka, mereka bertanya kepada para zaptieh yang mengawal mereka soal kenapa mereka tak memiliki keledai dan gerobak. Para zaptieh berkata kepada mereka bahwa jika mereka akan memberikan beberapa uang untuk dibagi di kalangan pengawal yang mereka dapat mengambilnya.
Sehingga para penduduk desa membayar uang kepada para zaptieh dan kemudian menuju ke bagian belakang kami dan mengambil hewan-hewan dan gerobak-gerobak mereka. Mereka tak mengijinkan kami untuk mengambil barang yang dimasukkan dalam gerobak tersebut, dan potongan-potongan roti, dengan berkata bahwa mereka membawa segala hal yang ditempatkan di gerobak-gerobak dari para zaptieh.
Pada salah satu gerobak, terdapat dua gadis kembar kecil, berusia sembilan tahun, yang ibunya tiada di Diyarbekir. Mereka diasuh oleh bibi mereka, yang tiga kali menyuap para prajurit untuk membiarkan mereka sendiri, sampai ia tak dapat menyuap lagi. Ia menyembunyikan mereka dalam araba-nya, berpikir bahwa ia dapat menyelamatkan mereka dan mencegah mereka dari lelah berjalan. Para penduduk desa yang mengambil gerobaknya menolak untuk membiarkannya mengambil mereka. Ia berkata bahwa mereka dayang dengan gerobak tersebut.
Wanita tersebut menggila, dan berteriak kencang. Ia menyerang para penduduk desa dengan tangannya. Seorang pria Armenia berada di dekatnya, dan ia beserta beberapa waktu merangseki orang Turki tersebut, yang sendirian. Tiga zaptieh pasang badan, namun wanita dan pria tersebut bersikukuh, dan para zaptieh turun tangan untuk membantu para penduduk desa. Mereka berkata kepadanya untuk membiarkan bibi tersebut memiliki dua gadis kecil tersebut.
Walau terdapat sekitar 2.000 pengungsi dalam rombongan tersebut, aku hanya dapat menghitung sebelas zaptieh yang dikirim sebagai pengawal. Banyak pria yang dapat dimanfaatkan oleh orang-orang Turki di Diyarbekir dikirim ke utara, dan suplai pengawalan untuk para pengungsi sangat sedikit. Terdapat zaptieh lainnya yang tak dapat mencegah orang Turki untuk mengambil gadis-gadis kecil.
Di desa berikutnya, para zaptieh memerintahkan agar mereka mendapatkan pertolongan lebih jika mereka menikmati segel lisensi di antara mereka sepanjang perjalanan. Di desa tersebut, mereka menghentikan kami dan mengadakan perbincangan panjang dengan Mudir, atau kepala desa. Tak lama usai Mudir sepakat, ia didampingi oleh dua puluh atau tiga puluh orang Turki yang nampak sangat kejam yang pernah aku lihat. Setiap serdadu tersebut membawa senjata api dan mengenakan busana wol merah, lambang otoritas kepolisian.
Ketika kami datang, orang-orang Turki dikirim ke kami oleh para zaptieh sebagai pengawal tambahan.
Pada hari kedua usai perjalanan, kami bertemu rombongan prajurit Turki, yang terdiri dari sekelompok araba yang nampaknya ditutup dengan sangat baik, seperti yang dipakai oleh orang-orang kaya untuk melakukan perjalanan di daerah pedalaman Turki. Dalam araba-araba tersebut, terdapat empat puluh hanum, atau istri-istri Turki, yang menyertai perjalanan para prajurit tersebut ke Erzeroum, untuk menemani para suami tersebut, yang menjadi perwira militer tingkat tinggi dengan pasukan di benteng militer besar disana. Mereka datang dari Damaskus, Beirut dan Aleppo.
Ketika rombongan kami dihampiri, araba-araba dari para hanum tersebut berhenti, dan para prajurit tersebut memerintahkan pengawal kami untuk juga menghentikan kami. Kemudian, kami menyaksikan beberapa araba ditempatkan oleh para gadis Armenia muda, dari usia delapan sampai dua belas tahun, semuanya sangat manis dan berpenampilan halus, sebagaimana mereka merupakan para putri keluarga kaya. Beberapa dari mereka melambaikan tangan kecil mereka dari balik tirai, dan itu merupakan cara kami menemukan mereka. Dari enam sampai sepuluh orang ditempatkan dalam setiap araba mereka, dan setiap araba hanum menyembunyikan lainnya.
Para gadis kecil berkata kepada kami bahwa mereka berasal dari Ourfa dan Aleppo. Orangtua dan kerabat mereka semuanya dibunuh, dan mereka diserahkan ke para hanum yang mereka memahami bahwa tujuan untuk menempatkan sebagian dari mereka ke sekolah-sekolah Muslim di Erzeroum, sehingga mereka dapat memberikan mereka untuk dijual ketika mereka telah dibesarkan. Yang lainnya dijadikan oleh para hanum sebagai pelayan atau dijual ke para teman di kalangan Turki kaya.
Para hanum turun dari araba mereka dan menanyai para zaptieh kami soal apakah ada anak gadis paling cantik di antara kami. Para zaptieh tak ingin memberikan anak gadis yang ditinggalkan kepada para istri Turki tersebut, yang mereka anggap akan membawa mereka tanpa membayar mereka. Sehingga, mereka berujar tak ada. Namun salah satu hanum melihat gadis kecil yang dibopong ibunya, dan memintanya untuk menyerahkannya. Ketika ia melihat gadis kecil tersebut lebih dekat, ia melihat bahwa ia cantik, dan memerintahkan salah satu prajurit untuk membawanya ke gerobaknya.
Ibu anak tersebut menjadi tertekan, dan ketika hanoum, dengan prajurit di dekatnya, menyerahkan tangannya pada gadis kecil tersebut untuk menariknya, sang ibu kehilangan akalnya dan menghantamnya.
Prajurit tersebut langsung menahan wanita tersebut dan menanyai hanum tersebut, “Apa yang harus aku lakukan dengannya?” Hanum tersebut berkata, “Kalian punya minyak untuk membakarnya?” Prajurit tersebut berkata, “Aku tak memikirkannya.” Kemudian, hanum tersebut melepaskan tangannya dan prajurit tersebut memberikannya pistol miliknya. Wanita Turki tersebut mendatangi ibunya dan menembakinya dengan tangannya sendiri. Ia kemudian memegang tangan gadis kecil tersebut dan membawanya ke araba. Gadis kecil tersebut ingin mencium ibunya, namun hanum tersebut menyentaknya.
Salah satu orang dari rombongan kami adalah istri Abouhayatian Agha, cendekiawan besar asal Van, yang kabur, ketika pembantaian dimulai, ke Diyarbekir. Suaminya adalah teman Djevdet Bey. Ketika para prajurit menghampiri orang-orang Armenia di Van, sehingga Puan Abouhayatian berkata kepadanya, suaminya mendatangi Djevdet Bey dan bersikeras kepadanya. Jawabannya, yang kini terkenal di seluruh belahan Turki, adalah: “Ishim yok; Keifim tchok,” yang artinya, “Aku tak bekerja untuk melakukannya, aku memiliki banyak kesenangan!” Setelah itu, ketika prajurit reguler datang untuk menjagal orang-orang Armenia, ia berkata kepada satu sama lain:
“Ishim yok; keifim tchok!”
Sepanjang waktu yang sama ketika aku berjalan, lebih dari 400,000 orang-orangku telah melangkah—beberapa dari mereka berjalan ribuan mil atau lebih untuk mencapai kesana. Dan di antara mereka, para penyintas tunggal dari jutaan orang yang dideportasi dari rumah-rumah mereka, orang-orang yang masih hidup hilang di gurun, di tempat yang tidak ada roti atau makanan.
Tuhan mengabulkan permintaanku untuk kembali ke gurun tersebut, ketika melarikan diri, dengan uang dan makanan untuk orang-orangku yang masih hidup!
Ketika kami berkemah di dekat sebuah desa pada malam hari, para zaptieh kami akan mengundang gendarme desa dan teman-temannya untuk datang, dan mereka akan menjual wanita muda kepada mereka selama semalaman itu. Ibu atau kerabat lain dari wanita muda tak dapat menentang, karena jika mereka melakukannya, para zaptieh akan membunuh mereka. Terkadang, terdapat orang-orang Turki berkelas tinggi di beberapa desa, dan mereka akan mengambil anak gadis dan membeli mereka. Mereka akan membayari para pengawal kami untuk anak-anak yang disukai mereka dan mengambilnya dari genggaman ibunya. Anak-anak tersebut kini diajarkan untuk menjadi Muslim, dan, jika mereka bertumbuh besar, dipekerjakan di ladang. Beberapa dari mereka juga dijadikan gundik.
Tiga bayi lahir pada hari-hari pertama perjalanan ini. Para ibu tak diijinkan untuk berrehat sepanjang perjalanan, sebelum maupun setelahnya. Mereka dikawal dengan rombongan tersebut sampai anak-anak tersebut lahir. Terkadang, pria akan membawa sang ibu ke jalanan kecil. Namun, ketika para zaptieh melihat mereka melakukannya, mereka akan menempatkan mereka kembali. Mereka akan berkata bahwa wanita tersebut tak aakn dilayani karena ia mengirim orang tak percaya ke dunia.
Peristiwa-peristiwa tersebut seringkali amat menggembirakan para zaptieh. Ketika salah satu dari mereka mendapati seorang bayi akan lahir, ia akan memanggil para kameradnya, dan mereka akan berjalan di dekat wanita malang tersebut, menjaganya pada kakinya sampai menit terakhir. Kemudian, mereka akan berdiri mendekatinya dan tertawa dan bercanda. Ketika bayi tersebut lahir, sang ibu memegangi kakinya dan berjalan. Jika ia tak dapat berjalan, para zaptieh akan meninggalkannya di jalan dan mmenggerakkan rombongan.
Nyaris seringkali para zaptieh membunuhi para bayi. Dua bayi pertama yang lahir di dekatku diambil oleh mereka dari ibunya dan dilempar ke udara dan menangkapnya seperti bola. Mereka melakukannya sebanyak empat atau lima kami dan kemudian menjatuhkan mereka. Para ibu melihatnya, namun mereka tetap berjalan. Bayi ketiga tak dibunuh. Ia lahir pada sore hari, tepat setelah kami berkemah. Para zaptieh disibukkan dengan kuda-kuda mereka dan tak menghiraukan. Ia adalah anak laki-laki kecil yang manis. Ayahnya telah tiada. Ibunya sangat bahagia—dan sangat sedih, secara bersamaan—ketika ia mula-mula memeganginya di tangannya. Ia memohon kepada Tuhan untuk membiarkannya hidup, namun tak ada cara. Iamemiliki sedikit makanan untuk dirinya sendiri. Ia tak dapat merawatnya. Bayi kecil tersebut tiada akibat kelaparan di tangannya.
Ketika kami meninggalkan daerah tersebut di tempat kami mulai meminta air kepada para penduduk desa. Para zaptieh membawakan kantung-kantung air besar pada pelana mereka, namun mereka tak memberikannya kepada kami. Selama berhari-hari, kami berkirab tanpa setetes air untuk melegakan dahaga kami. kemudian mereka datang ke sekelompok rumah di tempat orang-orang Turki tinggal di sekitaran sumur, atau mata air. Orang-orang Turki seringkali akan menghalangi kami untuk pergi mendekati sumur, menuntut pembayaran untuk setiap pengambilan air. Para pria ditugaskan menjaga sumur-sumur dengan senjata api dan kayu untuk menjauhkan kami jika kami ingin mendekatinya.
Namun tidak ada satupun orang dalam rombongan kami yang memiliki hal apapun yang ditinggilkan untuk membayarkannya. Para wanita kami bergerak ke dekat rumah-rumah seberani mereka, dan berlutut dan memohon hanya untuk mendapatkan air. Terkadang, orang-orang Turki membiarkan mereka pergi ke sumur di tempat mereka mengetahui bahwa mereka tak mendapatkan apapun. Namun tidak selalu. Di satu tempat, seorang pria kepala, yang telah menjadi peziarah dan disebut Hadji, menuntut bahwa jika mereka tak dapat memberikannya uang atau karpet, mereka harus memberikannya tiga pria kuat yang dapat membantu mengairi ladang dari mata airnya.
Kami memohon kepada para pengawal kami, namun mereka tak mengambil bagian kami. Kami diberdirikan oleh orang-orang Turki, dan berkata bahwa jika mereka menginginkan air, mereka hendaknya harus membayarnya. Setidaknya tiga puluh orang dari rombongan kami tiada pada hari itu karena menginginkan air. Beberapa lidah wanita membengkak sehingga mereka tak dapat berbicara. Terdapat perbincangan mengenai mata air dalam suatu kerumunan, namun mereka mengetahui bahwa ini akan mengorbankan banyak nyawa, karena para zaptieh kami berdiri di dekatnya dengan senjata api mereka, dan mereka juga akan bertindak melawan kami dan kemungkinan menyebabkan pembantaian.
Pada akhirnya, Harutoune Yegarian, yang menjadi pelajar di Erzeroum, berkata bahwa ia akan mengorbankan dirinya sendiri. Ia bertanya apakah ada dua pria lainnya yangakan memberikan diri mereka sendiri. Dua pria yang istrinya telah tiada, dan yang tak memiliki putri, sempat berkata bahwa mereka bersedia. Banyak wanita memeluki mereka. Harutoune berdiri di dekatku, dan aku menangisinya. Ia melirikku.
“Janganlah menangis karena aku, gadis kecil,” ujarnya kepadaku.
“Setiap orang Armenia di dunia seharusnya senang untuk memberikan diri mereka sendiri untuk orang-orangnya.” Kemudian, ia menciumku, dan aku pikir ciumannya adalah ciuman Tuhan.
Tiga pria tersebut berkata bahwa merka akan singgah dan bekerja di ladang untuk orang-orang Turki, dan sehingga mereka mengantarkan air kepada kami—semua orang dari kami dapat minum dan membawanya.
Ketika kami mencapai kota Severeg, separuh jalan menuju Ourfa, kami tak memiliki air selama empat hari. Terdapat tiga sumur terbuka pada satu sisi Severeg, dan mereka membuat danau buatan, yang diisi kala kami datang.
Beberapa wanita kami mencemplungkan diri mereka sendiri ke danau dan tenggelam. Yang lainnya tak dapat menunggu sampai mereka mencapai danau, dan melompat ke sumur.
Sebagian besar orang melakukan ini. Mereka menyumbat sumur, dan orang-orang Turki, yang mendatangi kami, menarik mereka keluar. Mereka yang memegang esensi mereka berkerumun di sekitar orang-orang yang ditarik dan menjamah lidah mereka dari busana basah mereka. Setelah kami meninggalkan Severeg, demam menyerang rombongan kami. Setiap hari banyak orang tiada akibat hal tersebut. Para zaptieh mendekati kami dari jarak jauh, dan ketika pria atau wanita tergeletak ke belakang, mereka akan menembak mereka. Demam tersebut mengeringkan tenggorokan orang-orang yang menderitanya sehingga berdampak buruk ketika mereka mendatangkan kelompok kuda berikutnya di tempat adanya sumur. Orang-orang tersebut membidik senjata-senjata api Turki dan para zaptieh dan menghampiri mereka.
Setelah itu, para zaptieh mengkhawatirkan lebih banyak lagi penindasan terhadap kami, namun mereka diganjar hukuman di Sheitan Deressi, atau “Ngarai Setan,” yang mereka capai selama dua puluh tiga hari dari Diyarbekir.
Ketika setiap rombongan kami memasuki ngarai tersebut, para zaptieh meninggalkan kuda-kuda mereka dan memanjat ke atas kami dan menembaki kami. Kami terjebak sehingga kami tak dapat berbalik dan tak dapat kabur. Para zaptieh mengambil seluruh pria. Dari awal pagi sampai gelap, mereka terus menembak dari dinding-dinding ngarai. Pada setiap tembakan, seorang pria jatuh. Ketika sore datang, semuanya telah tewas atau luka berat.
Ketika malam tiba, para zaptieh turun dan mulai membantai para wanita dengan pisau dan bayonet mereka. Mereka mula-mula mengambil wanita tua, dan kemudian semuanya tiada. Ketika bulan menyinari ngarai tersebut, para zaptieh mengambil para wanita muda yang telah menikah—atau orang-orang yang telah menikah namun kini menjanda—dan menghibur diri mereka sendiri dengan memutilasi mereka. Mereka tak akan segera membantai mereka, namun akan memotong jari atau tangan, atau payudara mereka. Mereka merobek mata beberapa orang. Ketika fajar datang, hanya orang-orang yang bersembunyi di balik batu, atau kami yang muda dan dapat dijual ke orang-orang Turki, yang masih hidup. Pada keesokan harinya, aku menghitung, dan hanya ada 160 orang yang tersisa dari 2.000 orang yang meninggalkan Diyarbekir denganku. Aku mendengar bahwa lebih dari 300.000 orang-orangku dibantai di tempat tersebut pada masa pembantaian.
Kini, kami berjumlah sangat sedikit. Para zaptieh membuat kami berkirab lebih cepat. Karena mereka nyaris semuanya muda, mereka lebih kejam kepada kami. Aku senang pada pagi itu ketika aku menemukan bahwa wanita yang mengajakku berkirab dengannya masih hidup. Aku bersembunyi pada malam itu, dan juga menyelamatkan gadis kecilnya. Namun kegembiraanku kemudian menjadi kesedihan. Gadis kecil tersebut terserang demam pada hari itu. Pada keesokan harinya, ia tak dapat berjalan lagi. Ketika para zaptieh mengetahui bahwa ia terserang demam, mereka memerintahkan sang ibu untuk meninggalkannya di pinggir jalan. Sang ibu membaringkan gadis kecil tersebut, namun ia tak dapat meninggalkannya ketika gadis tersebut melepas tangannya dan menangis. Seorang zaptieh datang dengan menghunuskan bayonetnya, bersiap untuk membunuh sang ibu, dan aku menariknya dan menenangkannya. Setiap satu atau dua langkah, sang ibu menengok ke belakang sampai kami tak dapat melihat gadis kecilnya lagi.