Lompat ke isi

Aku, Ayah, dan Lihaga

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
Keindahan Pulau Lihaga Tampak dari Jauh
Pulau Lihaga Terlihat Indah dengan Dermaga Kecilnya










Pengantar

[sunting]

Aku, Ayah, dan Lihaga, sebuah cerpen karya Ali Muakhir yang didedikasikan untuk Pulau Lihaga yang beberapa waktu lalu dikunjunginya. Sebuah pulau kecil yang indah di Sulawesi Utara. Ali Muakhir sendiri selama ini dikenal sebagai penulis cerita anak, content writer, dan influencer. Selain menulis cerpen, Ali Muakhir banyak menerbitkan buku anak. Mendapatkan banyak penghargaan di bidang literasi. Mensyiarkan literasi anak melalui Forum Penulis Bacaan Anak PABERLAND.

Premis

[sunting]

Seorang anak perempuan kelas 5 SD yang terpaksa meninggalkan kehidupan mapannya di Jakarta dan pidah di pulau kecil yang sepi. Ia terpaksa pindah karena Ayahnya bangkrut setelah dianggap lalai mengelola limbah pabrik plastik yang mencemari lingkungan.

Sinopsis

[sunting]

Seorang anak perempuan kelas 5 SD bernama Fa yang terpaksa meninggalkan rumah, kawan-kawan, dan kehidupan mapannya di Jakarta dan harus tinggal bersama ibu serta keluarga pamannya di Pulau Lihaga, sebuah pulau kecil di Sulawesi Utara.

Orangtua Fa bangkrut. Pabrik plastik yang ada di Bekasi dinilai lalai hingga mencemari lingkungan. Orangtua Fa pun dituntut ganti rugi. Semua hartanya dijual.

Awal-awal tinggal di Pulau Lihaga, Fa tidak betah karena di sana sepi, tidak ada mal, tempat main seperti di Jakarta, dan jauh dari mana-mana. Belum lagi di sana tidak boleh ada sampah plastik atau buang sampah sembarangan karena akan mencemari lingkungan.

Apa yang kemudian Fa lakukan? Apa dia betah tinggal di Ligaha? Mengingat budaya hidup di Jakarta dan di Lihaga sangat berbeda?

Lakon

[sunting]
  1. Fa (Anak perempuan kelas 5 SD)
  2. Rani (Anak perempuan kelas 5 SD)
  3. Kedua orangtua Fa
  4. Kedua orangtua Rani (Om Fadli dan Tante Ani)

Lokasi

[sunting]

Pulau Lihaga, salah satu pulau indah yang ada di Sulawesi Utara

Cerita Pendek

[sunting]
Dermaga di Pulau Lihaga
Dermaga di Pulau Lihaga

Aku

[sunting]

Tidak terasa, sudah hampir sembilan bulan aku tinggal di Pulau Lihaga. Salah satu pulau kecil di Sulawesi Utara. Tepatnya di Likupang Barat, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Pulau seluas 8 hektar yang hanya dihuni keluarga Om Fadli, adik ayahku.

Pulau Lihaga saat ini menjadi satu-satunya harta tersisa milik Ayah. Pabrik plastik Ayah di Bekasi ditutup. Ayah dianggap lalai dalam mengelola limbah plastik hingga mencemari warga sekitar. Ayah menjual semua aset di Bekasi dan di Jakarta, termasuk rumah yang kami tinggali untuk ganti rugi, makanya aku dan ibu pindah ke Pulau Lihaga.

“Setelah semua masalah Ayah selesai, Ayah akan susul kalian,” kata Ayah sebelum aku dan ibu terbang dari Bandara Soekarno-Hatta Banten menuju Bandara Sam Ratulangi Manado.

Pulau Lihaga jauh dari mana-mana. Bahkan untuk menuju pulau ini harus menyeberang naik kapal atau speed boat kurang lebih 30 menit dari Pelabuhan Serei, Likupang Barat.

Beruntung, aku di sini tidak kekurangan listrik. Listrik cukup melimpah walau dari tenaga surya. Signal internet pun lancar karena ada perusahaan jaringan internet pasang tower di sini.  Ayah sepertinya sudah menyiapkan pulau ini menjadi tempat tinggal yang nyaman.

Awal-awal pindah dulu aku tidak betah.  Di sini sepi, tidak ada mal, dan jauh dari mana-mana. Beda sekali dengan Jakarta. Temanku hanya Rani, anak Om Fadli yang seusia denganku.

Akan tetapi, setelah merasakan kebersihan Pulau Lihaga aku jadi betah. Terlebih aku masih bisa melanjutkan sekolah di SD GMIM Serei. Sekolah Dasar yang terdekat dari Pulau Lihaga. Aku dan Rani sama-sama kelas 5 di sana.

***

Lihaga

[sunting]

Selain menjadi tempat tinggal, Pulau Lihaga juga menjadi tempat wisata. Ada penginapan dan restoran hijau yang dikelola Om Fadli. Penginapan dan Restoran yang hanya menyediakan bahan makanan dari alam.

Cara menyediakannya pun dengan daun pisang, daun jati atau daun sukun yang tumbuh subur di Pulau Lihaga. Selesai makan, sampah ditimbun ke dalam drum-drum bekas wadah aspal untuk dijadikan kompos.

Sementara Om Fadli mengelola wisata, Tante Ani, istri Om Fadli membuat tempe. Tante Ani membungkus tempe-tempe buatannya dengan daun sukun. “Senyawa aktif daun sukun bisa membuat tempe lebih awet,” cerita Tante Ani waktu aku tanya alasannya. “Mutu tempe juga jauh lebih baik daripada dibungkus plastik,” sambungnya.

Selain tempe, Tante Ani membuat lontong. Lontong buatan Tante Ani sangat khas karena dibungkus dengan daun jati.

“Daun jati itu menyehatkan,” ujar Tante Ani waktu aku ikut belajar membungkus lontong beberapa waktu lalu. “Daun jati mengandung senyawa antioksidan seperti saponin, tanin, dan quercetin yang bisa nurunin kadar kolesterol,” lanjutnya seperti seorang ahli tanaman yang sedang menjelaskan manfaat tanaman.

Aku yang mendengarnya hanya tersenyum mengangguk.

Pantas, lontong buatan Tante Ani banyak yang suka dan cukup dikenal. Beberapa penjual Lontong Sayur Cakalang, salah satu makanan khas Manado, menjadi langganannya. Setiap pagi Tante Ani pergi bareng aku dan Rani mengantar lontong pesanan sambil menjual tempe di pasar.

Sepulang sekolah aku dan Rani biasanya menemani wisatawan yang ingin snorkeling melihat keindahan terumbu karang dan ikan-ikan cantik di beberapa tempat di sekitar Pulau Lihaga.

***

Aku, Ayah, dan Lihaga
Aku, Ayah, dan Lihaga

Ayah

[sunting]

Seperti sore ini, aku dan Rani mengantar sebuah keluarga kecil yang sudah siap snorkeling. Sepasang orangtua dengan sepasang anak perempuan kembar yang usianya tidak jauh denganku. Namanya Moana dan Moani.

Melihat mereka begitu bahagia aku jadi ingat Ayah. Aku sudah sangat kangen. Meski pun sering berkabar melalui video call, tetap saja rasanya beda.

Aku sudah membayangkan, kalau Ayah datang aku bakal peluk erat-erat dan bilang terima kasih. Tinggal di Pulau Lihaga membuat aku ngerti pentingnya hidup minim sampah. Tinggal di Pulau Lihaga membuat aku makin ngerti bahayanya sampah bagi kehidupan laut, terutama sampah plastik.

“Tahun 2019 negara kita masuk urutan kedua penyumbang sampah plastik terbesar di dunia, lho,” kata Om Fadli waktu aku baru datang beberapa hari dan membiarkan sampah plastik yang aku bawa tertumpuk begitu saja di atas meja.

Aku salah tingkah sekaligus sebal mendengarnya.  

“Setiap tahun negara kita menyumbang 3,21 Juta metrik ton sampah plastik. Sebaiknya, mulai sekarang hindari sampah plastik,” kata Om Fadli lagi sambil mengemasi sampah plastik dari atas meja.

Awalnya aku tidak suka dihardik begitu rupa oleh Om Fadli. Akan tetapi, setelah Rani menyodorkan video pendek seekor kura-kura yang kesakitan karena makan sedotan, aku mulai paham dan memaklumi kekesalan Om Fadli.

“Sampah plastik itu kata Papa sebagian besar dibuang ke laut. Akibatnya laut kotor, terumbu karang rusak, biota laut makan sampah, dan mati. Seperti kura-kura itu,” ujar Rani sambil senyum menenangkan aku.

Rani sempat cerita, dulu Pulau Lihaga dan laut di sekitarnya juga banyak sampah. Selama beberapa minggu Om Fadli dan para pekerjanya membersihkannya. Sampahnya sampai berton-ton banyaknya.

Warga terdekat dari Pulau Lihaga juga diajari Om Fadli ­untuk mengurangi sampah, terutama sampah plastik dan tidak membuangnya ke laut supaya ikut menjaga kebersihan laut.

Pantas, dari Pelabuhan Serai hingga Pulau Lihaga lautnya jernih, bahkan dari atas kapal terlihat terumbu karang dan ikan-ikan berseliweran.

“Aku boleh kasih makan ikan nggak?” tanya Moana tiba-tiba ketika kapal yang membawa kami ditambatkan di salah satu spot snorkeling sekitar Pulau Lihaga.

Aku menggeleng, “Selain nggak boleh pegang dan injak terumbu karang, waktu snorkeling juga nggak boleh kasih makan ikan,” jawabku sambil senyum.

“Kenapa Kak?”

Ikan itu binatang yang cepat beradaptasi dengan sumber makanan di sekitarnya. Memberi makan ikan berarti mengubah pola makannya. “Terus beberapa makanan yang diberikan kadang mengandung zat yang bisa merusak habitat ikan. Makanya nggak boleh,” lanjutku lagi seramah mungkin.

Moana mengangguk-angguk seperti burung pelatuk lalu memasukan kembali tambler berisi remah-remah roti yang dibawanya ke dalam tas.

“Kalian sudah siap?” tanyaku beberapa saat kemudian.

Moana dan Moani mengiyakan.

Sebelum turun ke laut, aku pastikan kacamata dan alat bantu pernapasan atau scuba diving mask yang dipakai Moana dan Moani terpasang dengan benar. Setelah siap, kami sama-sama turun menikmati pemandangan bawah laut. Sementara itu Rani menemani kedua orangtua mereka.

Selama snorkeling, aku lihat Moana dan Moani bahagia sekali. Mereka senang melihat berbagai biota laut yang berwarna-warni indah. Bahkan ketika Moana menemukan sarang ikan badut, dengan lincahnya dia bergaya untuk kufoto. Moani pun tidak kalah lincahnya.

Aku tidak bisa membayangkan, seandainya sampah masih ada di sini, pasti pemandangan bawah laut tidak akan seindah ini. Mungkin akan terlihat keruh, gelap, bau, tidak ada biota laut, dan gersang seperti kota mati.

Sekarang aku tidak pernah lagi menggunakan kantong plastik. Kalau belanja bawa totebag. Kalau sekolah atau pergi bawa bekal, camilan, dan air sendiri. Bawa sendok dan sedotan yang bisa dipakai berulang kali. Tidak menambah koleksi baju seperti waktu tinggal di Jakarta dulu.

Gaya hidup Rani dan keluarganya yang sudah minim sampah, mau tidak mau mendorongku untuk mengikutinya, termasuk menerapkan konsep 5 R, Refuse, Reduce, Reuse, Recycle, dan Rot dalam melestarikan lingkungan.

Tidak terasa hampir satu jam aku dan Rani menemani mereka snorkeling. Sebelum kembali ke kapal, mereka berempat berfoto bersama di salah satu terumbu karang yang dipenuhi bintang laut berwarna biru. Melihat kebahagiaan mereka, lagi-lagi membuat aku ingat Ayah.

Karena hari makin sore, kami kembali ke penginapan untuk istirahat. Mereka akan berada di Pulau Lihaga hingga besok siang, jadi masih bisa menikmati keindahan Pulau Lihaga.

Sebelum kapal berlabuh di dermaga, dari kejauhan aku lihat seorang laki-laki melambaikan tangan di tepi dermaga. Meski wajahnya tidak secerah dulu aku yakin, itu adalah Ayah.

“Ayah!!!” tanpa sadar aku teriak kencang begitu kapal menepi. Membuat Rani, Moana, Moani, dan kedua orangtunya tersentak. Mungkin mereka kaget. Sekuat tenaga aku melompat dari kapal dan menghambur ke pelukan Ayah. Tak peduli aku masih mengenakan baju snorkeling yang kuyup.

“Fa!”

“Ayah! Fa kangen …” tanpa sadar air mataku mengalir.

“Ayah juga kangen, Sayang,” kata Ayah pelan sambil menciumi kepalaku yang basah.

Ibu yang menemani Ayah menungguku di dermaga kemudian mengajak aku dan Ayah pulang. Sepanjang jalan tak kubiarkan tanganku lepas dari pinggang Ayah.

“Masalah Ayah di Jakarta sudah selesai. Ayah tidak akan jauh-jauh lagi dari kamu, Nak,” kata Ayah lagi.

“Serius?”

Ayah mengangguk, “Kamu betah di sini?” tanyanya kemudian.

“Betah banget.”

Ayah kembali mencium kepalaku. Aku pun makin mengeratkan lingkaran tanganku. Aku benar-benar tidak ingin membiarkan Ayah jauh-jauh lagi dari aku dan ibuku. Aku ingin cerita banyak tentang laut yang telah mengubahku. Ingin cerita betapa menyenangkannya hidup tanpa plastik. Ingin cerita betapa bahagianya menjadi seseorang yang hidup minim sampah. Demi laut dan isinya. Demi aku, Ayah, dan Lihaga.

Ada sebuah pertanyaan yang ingin kutanyakan sebetulnya, kenapa Ayah ke sini tanpa memberi kabar? Akan tetapi, pertanyaan itu mendadak lenyap. Kalian tahu jawabannya?

***