Aku Harus Bagaimana?
Premis
[sunting]Seorang perempuan yang sering datang kepada sahabat lelakinya untuk menceritakan segala bentuk ketidakadilan yang merundung hatinya oleh sebab perbuatan lelaki yang dianggap sebagai kekasihnya namun kerap kali menyakiti perasaannya. Kemudian sahabat lelakinya itu dengan sukarela menjadi laut tempat untuknya membuang kesedihan.
Aktor
[sunting]- Gledis
- Bram
Lokasi
[sunting]Kedai Kopi Batas di Kota Makassar
Naskah
[sunting]Kopi di gelasku sudah hampir tandas. Di bawah remang-remang cahaya mungil di kedai, aku terperanjat tepat ketika mataku sempurna menatap wajahmu, yang tetiba saja tersesat ke dalam kedai batas kota ini.
Langkahmu patah-patah, berat, bagai ada dua bandul yang menahan kakimu di sana. Wajahmu kusut dan licak oleh air mata. Ini adalah pemandangan yang sama untuk kesekian kalinya di kedai ini. Kau selalu datang menemuiku dalam keadaan lusuh, juga dengan masalah yang tetap sama.
Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku berdiri menyambutmu, kemudian bilang silakan duduk dan berbicaralah setelah air mata itu tak memasung kata-katamu lagi. Aku kembali berkutat dengan buku yang baru kubeli tadi sore, tepat sebelum senja berpamitan di bibir laut sana.
Kopi yang teronggok di atas meja, tenang dalam gelas. Warnanya pekat dengan aroma yang selalu khas, sesekali kusesap meningkahi perjalananku dalam buku di setiap halamannya.
"Dia pergi lagi." Tiba-tiba kau bertutur meski sesenggukan mengantar kalimatmu. Sepertinya itu berat sekali.
Aku menarik napas sangat dalam. "Akhirnya kalimatmu lolos juga," ujarku sembari meletakkan buku itu di atas meja tepat di sisi gelas kopiku. "Maafkan aku yang selalu merepotkanmu." Ucapmu sambil mengusap mutiara bening yang masih menggulung satu dua butir di pipimu.
"Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa," timpalku dengan tatapan paling kasihan padamu. "Mungkin juga esok-lusa, kejadian seperti ini akan menjadi rutinitas bagiku." Lanjutku sambil tertawa kecil, berharap agar badai sedih di wajahmu cepat berlalu.
Wajahmu kontan berubah. Kau pun hendak tertawa dalam sedihmu mendengar celetukanku. "Lepaskan saja, tak usah ditahan-tahan begitu." Ujarku sengaja menggoda.
Kepalamu terangkat seolah kaget. Tatapanmu tajam kepadaku. Aku merasakan ada yang berubah begitu cepat.
"Kau menyuruhku meninggalkannya?" intonasi yang mengantar kalimatmu itu kini terasa berbeda. Seolah ada kemarahan di dalam sana.
Aku hampir terlonjak dari kursiku. Kata-katamu singkat namun cukup untuk menikam perasaan. Namun, aku cukup paham apa maksudmu.
"Oi' jangan salah paham begitu. Aku tak memintamu meninggalkannya. Maksud dari kalimatku tadi hanya sekadar memberimu saran agar melepaskan tawamu, tak usah ditahan-tahan. Itu saja. Tidak lebih tidak kurang!" tandasku meluruskan kesalahpahaman ini.
Kau masih diam dan menatapku misterius. Baiklah. Nampaknya ini memang bukan waktu yang tepat untuk segala bentuk kalimat-kalimat yang tak lengkap. Aku menarik napas lalu membuangnya perlahan-lahan.
"Jangan salah paham begitu. Aku tak menyuruhmu meninggalkan lelakimu yang saat ini telah meninggalkanmu duluan. Bahkan sudah berulang-ulang kali kau dibuat seperti itu. Dan sekarang mungkin saja dia sedang bersenang-senang dengan perempuan lain entah di mana." Aku merasa tersinggung hingga sangat perlu mengeluarkan kalimat sepanjang ini.
Kau masih hendak mengangkat wajahmu dan seperti ada yang ingin kau ucapkan dengan tegas. Meski urung, kalimatmu itu sungguh-sungguh aku tahu. Aku tahu apa yang ingin kau katakan.
“Baiklah.” Ujarku kemudian mengambil jeda dan menurunkan intonasiku. “Baiklah. Aku mungkin salah soal dia sedang bersama perempuan lain di luar sana. Aku akui itu. Tapi aku tak bermaksud menjelek-jelekkan dia di hadapanmu. Aku hanya tak ingin kau terus-terusan diperlakukan secara tak adil seperti ini.” Pungkasku namun dengan nada yang tetap rendah tapi juga tak benar-benar membuat deru napasku kembali normal. Aku masih menahan sesuatu di dadaku yang entah itu harus kusebut apa.
"Iya. Tidak apa-apa kok," ujarmu dengan nada yang biasa saja setelah tatapan aneh itu tenggelam ke dalam bola matamu yang indah.
Aku tercenung sebentar sebelum mampu melanjutkan kalimatku agar betul-betul tak membuatmu berprasangka buruk lagi padaku. Aku bukan lelaki yang suka menadah bola muntah. Tapi melihat fakta ini, bagai bongkahan permata indah yang tak ternilai harganya disia-siakan begitu saja. Aduh, sungguh membuat kepalaku jadi pening dan hatiku serasa cenat-cenut. Bangsat!
"Bukankah kau kemari untuk bercerita panjanag lebar tentang lelaki dan perasaanmu yang sama bodohnya itu?" Aku berupaya kembali membuat ekspresi datar seolah aku tak terlalu peduli dengan perasaannya.
Tatapanmu kini menyedihkan. Lalu sepersekian detik balik menusuk perasaanku lagi. Padahal Aku benar-benar tak sejahat itu.
"Baiklah." Ujarmu kembali membuka kalimat. "Apa kau masih bersedia mendengar ceritaku?" matamu nanar menatap ke arahku.
"Tentu saja," sambutku sedikit membuka perhatian padamu. "Bukankah aku ini memang pelampiasanmu sejak dulu!? Jadi lanjut saja, tak usah membuat suasana jadi kikuk begini," kali ini aku sudah memasang senyuman terbaik.
Kau terdiam sebentar mencerna kata-kataku yang barangkali akan membuatmu terluka jika saja tak kubarengi dengan senyumanku yang selalu kau sebut unik dan tak ada duanya.
"Kau berhentilah menyakiti dirimu sendiri kalau begitu," ujarmu sambil menarik napas yang berat dengan tatapan tajam ke arah yang lain. Entahlah apalagi yang sedang mengacaukan pikiranmu tentangku. Dan kali ini, giliranku yang harus mencerna kata-katamu dalam diam. "Jika kau tak mau mendengarku berceloteh, tidak apa-apa, biarkan aku sendirian di sini!" pungkasmu lalu ekspresimu kembali berubah. Seolah aku benar-benar tak penting berada di sini.
Aku makin bingung dengan sikapmu itu.
"Kau tak perlu repot-repot mendengarkan apa yang kukatakan. Kau juga tak perlu menghabisakn waktumu dengan percuma di sini." Lanjutmu dengan ekspresi yang tetap sama. Kau terus mengoceh seolah tak ada yang salah pada dirimu.
Sementara aku. Lihatlah. Bagaimana bisa aku meninggalkanmu, sedangkan kau sendiri yang datang menemuiku. Ditambah akulah yang duluan datang dan memesan tempat ini. "Bagaimana mungkin! Kan aku duluan yang duduk di sini," ujarku dengan intonasi yang datar.
"Ya sudah, kau pergi saja dari sini, gampang kan!?"
Oh Tuhan. Sepertinya aku benar-benar ingin menjerit kesal. Lihatlah kalimatmu itu. Kau berbicara dengan lugas tanpa perlu merasa bersalah. Benar-benar manusia aneh.
Dasar perempuan. Memang benar apa kata orang-orang di luar sana. Perempuan itu memang membingungkan. Jangankan kita para lelaki. Bahkan boleh jadi, satu waktu mereka pun akan merasa kebingungan sendiri dengan dirinya yang seperti itu.
"Kau mengusirku?" tanyaku namun dengan nada dua oktaf lebih tinggi.
Mendengar kalimatku dengan intonasi yang begitu, kau justru tak menjawab, hanya melengos saja lalu langsung berkemas untuk bersiap-siap pergi. Namun sebelum kau benar-benar hendak berdiri, dalam dadaku tiba-tiba saja semacam ada sembilu yang menyayat-nyayat perasaanku.
"Baiklah. Aku yang pergi!" tegasku padamu sambil langsung mengemasi barang-barangku di atas meja. Aku berdiri meraih tas gendongku. Baru saja dua langkah ingin minggat dari tempat dudukku, kau langsung menarik lenganku dan mengeluarkan kata-kata yang kejam. Ya, itu kejam sekali bahkan.
"Kau benar-benar akan pergi?" tanyamu dengan mata berkaca-kaca. "Astaga, kau kejam sekali padaku. Jahat. Jahat sekali!" ujarmu dengan nada yang rendah kemudian disusul oleh suara isak yang tertahan.
Kau kontan menunduk lalu meremas-remas jejarimu sendiri sambil menahan sesak di dadamu. Aku benar-benar kebingungan, bagaimana bisa kalimat-kalimat jahat semacam itu tak pernah ada habisnya kau produksi.
Oh, Tuhan. Sebegitu anehnyakah perempuan? Bukankah beberapa detik lalu seolah tanpa perasaan, dia dengan tegas mengusirku pergi? Lantas sekarang dia malah menahan langkahku dan lalu menudingku dengan narasi yang tidak-tidak. Bukankah saat ini akulah yang pantas bertutur demikian? Bukankah dia yang selalu kejam selama ini? Selalu datang padaku hanya ketika dirinya tersakiti oleh lelaki haramnya itu dan terus-terusan menuntut untuk ditenangkan dalam posisiku sebagai pendengar yang baik.
Oh Tuhan. Ini kejam sekali. Mana bisa aku menahan drama sinting seperti ini dalam jangka waktu yang lama.
"Asmara ini benar-benar teramat kekanak-kanakan?" aku mendesis kesal namun juga tak bisa berbuat apa-apa.
Coba lihat. Aku disuruh menunggu, aku menunggu. Aku disuruh pergi, aku pergi. Namun kemudian aku ditahan lantas dituding macam-macam.
Desing mesin penggiling kopi bersahut-sahutan meningkahi rasa kikuk di dadaku. Perempuan di hadapanku ini pun demikian. Butuh waktu lama untuk bisa melanjutkan perbincangan yang seharusnya dibahas sejak tadi. Hanya karena pertengkaran kecil itulah sehingga lengang mengambil alih situasi. Semuanya terjeda tepat setelah aku duduk kembali ke kursiku semula dan deru napas perempuan di sebelahku membuat dadanya naik turun.
"Kau kejam sekali, Bram...," ujarmu, masih dalam keadaan sukar mengatur napas juga dengan isi kepalamu yang tiada hentinya menyalahkanku. Padahal, aku sama sekali tak ikut mengambil peran dalam cerita cintamu yang kekanak-kanakan itu.
"Jika hanya itu yang ingin kau katakan, kenapa kau tak membiarkanku pergi sejak tadi?" timpalku menyela kalimatmu.
"Bukan..." kalimatmu tercegat oleh isak dan deru napas yang tak karuan.
"Bukan apanya? Kau jelas-jelas mempermainkan perasaanku!" tegasku sambil menatapmu dengan penuh kebingungan.
Kalimatku mungkin terdengar kasar, tetapi yang menikam relungku itu jauh lebih kasar, sakit, dan juga pedih. "Sial. Kenapa pula aku mengatakan ini padanya," desisku setengah mati mengutuk diriku sendiri.
"Astaga, Bram." Ujarmu sekali lagi dengan nada dan kalimat yang tak usai. Lalu sejurus dengan itu kau malah memasang senyum jahat di bibirmu.
Kau tahu, saat itu kau bagai penyihir yang kejam. Bedanya, kau terlihat begitu cantik dan... Astaga, senyummu itu entah terbuat dari apa. Kau memang sedang tersenyum jahat, tapi itu jelas tetap menawan. Tak sedikit pun mengurangi kemewahanmu. Aku hampir saja salah tingkah karena telah lalai menjaga kalimatku yang saat ini sudah terlanjur mendarat di telingamu, mengungkapkan perasaan yang sudah setengah mati kusembunyikan selama ini.
Pada peristiwa berulang-ulang kali kau datang padaku dalam keadaan menangis teriris, selama itu pula aku mampu menahan perasaan ini. Perasaan yang sebenarnya iba melihatmu terus-terusan ditikam oleh belati pengkhianatan.
Rasa iba di dadaku amatlah besar merengkuh sedihmu, tapi rasa yang lain muncul belakangan, menyelinap tanpa pernah kusadari kapan ia datang. Entah ia jatuh atau tumbuh, aku tak pernah tahu. Yang jelas rasa yang lain itu lebih dari sekadar iba dan bahkan lebih besar lagi ingin melindungimu. Termasuk ingin membuatmu bahagia. "Astaga, betapa celakanya perasaan ini."
"Bram..."
Aku sengaja tak menyeru panggilanmu yang kedua itu, tapi yang ketiganya aku menoleh padamu tanpa kusadari.
"Bram. Apa kau menyukaiku?" tepat aku menoleh padamu kau mengembuskan kalimat sihirmu yang hampir membuatku terjengkang dari kursiku.
Aduh. Apa yang harus kulakukan. Aku tak bisa berkata-kata dalam jangka beberapa detik. Semua kalimatku mati. Semua yang kutahu telah hilang seketika di kepalaku kecuali kamu. Ini buruk. Bahaya. Aku harus pergi. Dalam kepalaku berpikir cepat.
"Maaf Gledis. Sepertinya memang sejak tadi aku tak perlu duduk di sini. Kau benar, aku semestinya pergi meninggalkanmu sejak tadi dan tak perlu repot-repot mendengar kau mengoceh tentang lelakimu yang bajingan itu." Kalimatku kini benar-benar sarkas mengantar langkahku. Kau kontan terlihat kecewa sekaligus kebingungan dalam waktu yang bersamaan.
"Maafkan aku. Sungguh kau harus memaafkan keputusanku."
TAMAT.
Note
[sunting]Penulis dapat dihubungi lewat akun instagramnya https://www.instagram.com/aji_sukman/