Alih Generasi

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
Ilustrasi Cerita Pendek Alih Generasi

Kategori[sunting]

Cerita pendek anak

Pengantar[sunting]

Penulis[sunting]

Penulis bernama lengkap R. Ananta Kusuma Wibawa. Alumnus S1, Fakultas Hukum, Universitas Surabaya (Ubaya) Surabaya, tahun 1995. Berprofesi sebagai seorang advokat dan sejak tahun 2010, sering menjadi tenaga ahli fungsional dalam progam-program penyusunan kebijakan publik di berbagai instansi pemerintah daerah di Provinsi Jawa Timur.

Email: akwibawa88@gmail.com

Premis[sunting]

Semasa menanti jadwal serah terima tugas di sebuah pabrik rokok di Kota Besar Surabaya, Sundstro, si mesin hitung junior, memperoleh petuah-petuah berharga dari para seniornya yang telah banyak makan asam garam. Peran teknologi sebagai produk budaya manusia menjadi topik interaksi fiktif antar perangkat teknologi  dengan fungsi yang sama, namun berbeda zaman. Dibalut dramatisasi sejarah dan nilai moral.

Tema[sunting]

Literasi Budaya dan Kewarganegaraan

Sasaran[sunting]

Anak usia 10-13 tahun

Tokoh[sunting]

  • Sundstro Si Mesin Hitung Junior
  • Marcho Si Mesin Hitung Senior
  • Abah Kus Si Sempoa

Lokasi[sunting]

Pabrik Rokok “Angka Keramat” di Kota Besar Surabaya, Provinsi Jawa Timur.

Cerita Pendek[sunting]

Dini Hari, Awal Lembaran Baru[sunting]

Jam dinding berdentang dua belas kali, menandakan pergantian hari telah terjadi. Kalender yang tergeletak di meja tulis, menunjukkan hari Selasa, tanggal 11 April, tahun 1950. Hari istimewa bagi Sundstro yang telah berada di tempat itu sejak sepuluh jam sebelumnya.

Djalan Tundjungan, Surabaja, sekitar tahun 1950-an.

Dia adalah sebuah mesin hitung baru yang akan mulai bertugas hari ini di Pabrik Rokok “Angka Keramat” yang berlokasi di Kota Besar Surabaya, Jawa Timur. Sore sebelumnya, dia tiba di sana bersama sejumlah perangkat kantor lainnya. Dia ditempatkan di salah satu meja di ruang direktur.

Sebagaimana lazimnya setiap perangkat yang akan memulai tugas baru, dia pun merasakan ketegangan dalam hatinya. Itulah yang membuatnya tidak bisa tidur semalam.

“Aah, kau masih terjaga rupanya.” Terdengar olehnya suara dari arah meja yang berada di seberangnya.

“Selamat pagi, senior,” sapa Sundstro dengan hormat. Di seberangnya, tampak sosok perangkat mesin hitung lama yang akan digantikannya.

“Selamat pagi,” balas sang senior sambil menguap. “Wah, calon penggantiku bercakap dengan bahasa yang baik dan benar.”

“Apa maksudnya, senior?”

“Kini sudah pukul 12.30 dini hari, orang-orang biasanya menyebut tengah malam. Parahnya lagi, sebelum waktu menginjak pukul 06.00 pagi, akan selalu disebut malam hari,” jelas sang senior.

“Ya, benar,” balas Sundstro dengan tersenyum. “Ibu-ibu yang melihat anaknya terbangun pada pukul 02.00 pagi, akan menyuruh anaknya tidur lagi dengan alasan hari masih malam.”

Sang senior mengangguk. “Padahal, selewat pukul 12.00, sudah terjadi pergantian waktu setengah hari. Entah dari malam ke pagi, atau dari siang ke sore. Salammu sudah benar. Itu membuatku lega dan ...Ah, Siapa namamu?”

“Oops, maaf, senior.” Sundstro merasa bersalah. “Seharusnya saya mengenalkan diri lebih dahulu. Nama saya Sundstro, dibaca “Sundstru...”

“Terdengar seperti nama Swedia?” potong sang senior dengan nada menyelidik.

Ilustrasi Sundstro. Nama panjang, Underwood Sundstrand. Mesin hitung elektromekanik, dilengkapi gulungan lembar cetak. Produksi Perusahaan Underwood Elliot Fisher di Amerika Serikat

“Benar, Lengkapnya, Underwood Sundstrand. Jenis produksi saya 8120P. Saya adalah hasil produksi tahun 1940 dari Perusahaan Underwood Elliot Fisher di Amerika Serikat. Produk serupa saya diciptakan Gustav David Sundstrand, putra seorang imigran Swedia yang telah menjadi warga negara Amerika Serikat,” terang Sundstro.

“Oh, aku paham. Kau memang terlahir dari karya orang Swedia. Karenanya, kamu diberi nama seperti mereka.” Sang senior mengangguk-angguk. ”Siapa yang paling tua dari jenismu?”

“Saya adalah yang pertama diberi tipe produksi 8120P. Kalau moyang saya hasil produksi tahun 1914,” jawab Sundstro.

“Wah, kau benar-benar generasi baru!” seru sang senior. “Perkenalkan, namaku Marchant Model EB9. Kau boleh panggil aku Marcho. Aku diproduksi tahun 1930 oleh Perusahaan Marchant Calculating Machine di Oakland, California, Amerika Serikat. Tidak seperti kamu, aku tidak dilengkapi dengan lembar kertas cetak. Biasanya, orang akan menulis hasil perhitunganku di lembar-lembar kertas.”

Ilustrasi Marcho. Nama panjang, Marchant Model EB9. Produksi Perusahaan Marchant Calculating Machine di Oakland, California, Amerika Serikat.

“Benar, senior Marcho. Hasil perhitungan saya akan langsung tercetak di gulungan kertas cetak. Sehingga orang tidak perlu menulis tangan,” sahut Sundstro.

“Kau jauh lebih unggul. Selain itu, masih memegang teguh prinsip akurasi dan kejujuran. Kita adalah produk ilmu pasti yang tidak berbohong. Satu tambah satu sama dengan dua. Pagi adalah pagi, malam adalah malam,” urai Marcho.

“Ya, namanya juga ilmu pasti, senior Marcho. Sudah tentu memberikan kepastian dan tidak berbohong,” respons Sundstro.

Petuah Para Senior[sunting]

“Jika kau bisa langsung mencetak hasil perhitunganmu, seharusnya bebanmu lebih berat daripada kami.” Terdengar suara tegas dari sebuah rak.

“Ya, benar itu!” balas Marcho. “Perkenalkan, ini adalah Abah Kus. Perangkat sempoa. Dia senior kita jauh dan telah bertugas lebih lama dariku.”

“Selamat pagi, Abah.”

“Selamat pagi, Sundstro.”

Ilustrasi Abah Kus yang merupakan perangkat sempoa Cina (Chinese Abacus).

“Mengapa tadi Abah bilang begitu?”

Abah Kus tersenyum. “Seperti Marcho bilang, kita tidak pernah berbohong dalam berhitung. Tetapi aku dan Marcho tidak dilengkapi kemampuan mencetak hasil perhitungan kami. Manusia yang tidak jujur akan memanipulasi hasil perhitungan kami dalam tulisan mereka di atas kertas. Ingat, hasil cetakanmu dapat membahayakan keselamatanmu.”

Sundstro terhenyak mendengar penuturan Abah Kus.

“Jika perhitungan yang kau cetak ternyata tidak sesuai dengan rencana orang yang hendak melakukan manipulasi atau korupsi, mereka harus ulangi hitungannya agar sesuai dan bisa dicetak di kertas cetakmu," imbuh Abah Kus.

"Padahal, itu tidak mungkin," sela Marcho.

Abah Kus mengangguk. "Peraturan pabrik kini mengharuskan perhitungan akuntansi dilakukan langsung di hadapan mitra kerja atau pengawas. Jadi, setiap kesalahan akan langsung tercetak dan dapat langsung dievaluasi. Sudah jelas, para manipulator dan koruptor tidak menyukaimu. Mereka akan selalu mencari cara untuk menyingkirkanmu. Bila perlu menghancurkan fisikmu."

“Aduh, benar juga. Tidak mudah menjadi produk teknologi yang jujur,” keluh Sundstro.

“Setuju,” sahut Marcho. “Tetapi ingatlah bahwa kita ada sebagai hasil budaya manusia. Yaitu, budaya menyelesaikan masalah. Sebagai ciptaan Tuhan, manusia diberi akal budi untuk bekal tugas mereka mengelola kehidupan di bumi. Manusia menggunakan akal budinya untuk mencari jalan keluar setiap menghadapi masalah. Karenanya, teknologi dihasilkan manusia untuk membantu mereka menyelesaikan masalah."

“Tugas mengelola bumi diberikan Tuhan sebagai bentuk pengabdian atau ibadah manusia kepada-Nya,” sahut Sundstro yang mulai menyadari penjelasan Marcho."

“Apa kau percaya, Sundstro, dalam ajaran agama manusia, dikisahkan bahwa pada hari perhitungan mereka di akhirat, setiap perangkat teknologi yang pernah digunakan manusia akan dihadirkan Tuhan untuk bersaksi bagi setiap perbuatan mereka?” tanya Abah Kus.

“Jadi, meskipun aku dihancurkan oleh para manipulator dan koruptor, akan ada saatnya bagiku untuk membalas perlakuan mereka di hadapan Tuhan?” tanya Sundstro.

“Benar!” tegas Marcho dan Abah Kus sambil tertawa bersama. Sundstro pun tersenyum kecut.

Perkampungan Cina di Tjantian, Soerabaia, sekitar tahun 1910.

Sejarah Perusahaan[sunting]

Situasi di Roode Brug (Jembatan Merah) menuju Handelstraat (Jalan Niaga), Soerabaija, sekitar tahun 1931.

“Pemilik pabrik ini, seorang keturunan Tionghoa yang jujur dan pekerja keras. Aku sudah mendampinginya sejak dia masih pedagang kelontong keliling dengan menaiki sepeda,” ujar Abah Kus. Pada tahun 1913, dia dan istrinya berhasil mengembangkan pabrik rokok di Surabaya yang dapat memberi lapangan kerja bagi banyak orang.

Tanggal 18 Desember 1930. Para tokoh pergerakan nasional dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Maskoen, Gatot Mangkoepradja, Ir.Soekarno, dan Soepriadinata. beserta para pembelanya, Mr. Sastro Moeljono, Mr. Sartono dan Mr. Soejoedi di Landraad (Pengadilan Negeri) Bandoeng.

“Dia banyak membantu perjuangan pergerakan bangsa Indonesia,” timpal Marcho. Aku mulai bertugas pada tahun 1935. Seorang keturunan Indo-Belanda yang bersimpati padanya, menawarkan diriku dengan hanya mengganti setengah harga beli saja.

“Benar,” dukung Abah Kus. ”Sejak tahun 1928, pemerintah Hindia Belanda berusaha menindas setiap kegiatan pergerakan oleh orang-orang Indonesia yang ingin merdeka dari penjajahan. Pernah sekali, pada awal tahun 1932, dia meminjamkan gedung teater miliknya kepada Ir. Sukarno dan kawan-kawannya dari Partai Nasional Indonesia (PNI) untuk mengadakan rapat kecil. Padahal, Sukarno dan beberapa kawannya baru dibebaskan dari tahanan pemerintah Hindia Belanda di penjara Sukamiskin, Bandung, pada tanggal 31 Desember 1931.”

“Sukarno yang kini jadi Presiden?” tanya Sundstro penasaran.

“Betul,” jawab Abah Kus.

“Pemilik pabrik tidak takut ditangkap Belanda?”

“Dia anggap sepi peringatan dari beberapa pejabat di Kantor Besar Kepolisian Hindia Belanda di Surabaya. Dia bicara dengan mereka dan memberi salam tempel,” sela Marcho yang tersenyum lebar.

Kedatangan pasukan Jepang di Surabaya pada bulan Maret 1942.

“Aah, diberi uang suap, maksudnya,” balas Sundstro.

“Strategi perjuangan,” Abah Kus meluruskan. "Pada tahun 1941, dia sudah memiliki kurang lebih seribu tiga ratus pekerja. Luar biasa, tidak?”

“Tentu. Dengan pekerja sebanyak itu, dia jelas menjadi orang penting!” seru Sundstro.

“Makanya, saat tentara Jepang masuk Surabaya pada tahun 1942, dia diminta bekerja sama dengan Jepang. Dia menolak dan ditangkap oleh Jepang. Perusahannya dirampas. Sebagai keturunan Tionghoa, dia dituduh mendukung Republik Tiongkok yang sedang berperang melawan Jepang,” jelas Abah Kus.

“Bagaimana kelanjutan pabrik ini,” tanya Sundstro.

“Dibantu oleh beberapa pekerjanya, sebagian keluarganya ada yang mampu menyelamatkan sisa-sisa harta dan alat usaha. Aku dan Abah Kus termasuk yang ikut diselamatkan,” jawab Marcho.

“Benar," ucap Abah Kus. “Pada tanggal 17 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa hari kemudian, pemilik pabrik ini dibebaskan dari tahanan Jepang dan berkumpul kembali dengan keluarganya. Baru, pada tahun 1949, pabrik ini kembali dirintis.”

“Selain untuk memperbaiki kesejahteraan keluarga pemilik, pabrik ini juga bertujuan mendukung pembangunan ekonomi bangsa Indonesia. Negara yang masih muda ini butuh memperbaiki kesejahteraan rakyatnya. Karenanya, kau harus bersungguh-sungguh menjalankan tugasmu,” nasihat Marcho.

“Siap, senior!” sambut Sundstro.

Serah Terima Tugas[sunting]

Abah Kus kembali bertutur, “Generasiku, sempoa, hadir sebagai penyempurna alat hitung manusia, pada masa lampau. Dahulu masih menggunakan metode tabel yang diguratkan pada tulang, batu, pohon, dan pasir. Itu digabungkan dengan biji-bijian tanaman runjung. Generasi Marcho hadir sebagai penyempurna mesin-mesin hitung, pada beberapa era, yang telah memperbaiki generasiku. Kini, kau hadir sebagai penyempurna generasi Marcho dan telah dilengkapi keunggulan kertas cetak.”

Marcho melanjutkan, ”Alih generasi akan terus berlangsung dalam tiap periode zaman pengabdian teknologi sebagai alat bantu manusia. Di situ akan ada tahap-tahap penyempurnaan. Demikian pula penugasan kita di pabrik ini.”

“Saya merasa terhormat dapat bertemu dengan anda semua. Apalagi dapat terlibat dalam proses alih generasi yang membanggakan ini,” respons Sundstro dengan takzim. Saya berjanji akan bersungguh-sungguh dalam bertugas.”

Ilustrasi pekerja wanita di pabrik rokok, sekitar tahun 1950-an.

Terdengar di luar ruangan, langkah orang-orang yang sedang berjalan di halaman. Ada pula suara orang-orang saling berbicara satu sama lain. Sundstro melirik ke arah jam dinding. Pukul 04.00 pagi.

“Para pekerja mulai berdatangan,” kata Abah Kus. Pukul 05.00 pagi, mereka akan sarapan di kantin pabrik. Jam kerja dimulai pukul 07.00.

Terdengar langkah-langkah kaki mendekati pintu ruang direktur. "Klik, klik, klik," seseorang membuka kunci pintu. Seiring pintu ruangan terbuka, seseorang menyalakan lampu. Dua orang keturunan Tionghoa, berusia paruh baya, memasuki ruang direktur.

Seseorang yang berbadan lebih kurus mengambil map di samping Sundstro dan membawa ke hadapan rekannya yang telah duduk di kursi direktur.

“Ini, pak direktur, berkas berita acara pergantian perangkat mesin hitung yang lama dan yang baru, ujar orang yang bertubuh lebih kurus seraya menyodorkan map.

Orang yang disebut direktur menerima map tersebut, membukanya dan memeriksanya sejenak. Dia berperawakan sedang dan berkacamata.

“Mana mesin hitung yang baru,” tanyanya

Yang ditanya menunjuk ke arah Sundstro. “Itu, pak. Di meja seberangnya adalah mesin hitung yang lama.”

Sambil memegang map, pak direktur berdiri dan berjalan mendekati Sundstro. Dia mengelus-elus dan menepuk-nepuk badan Sundstro.

“Sudah dicoba?” tanyanya.

“Kemarin sore sudah, pak. Contoh hasil cetakannya beserta keterangan, saya lampirkan di berkas berita acara. Tinggal bapak periksa.”

Sejenak pak direktur memeriksa kembali berkas tersebut. Lantas dia mengangguk-angguk puas. Ditandatanganinya berkas tersebut dan beserta mapnya diserahkan kembali kepada orang yang berbadan lebih kurus.

“Ayo kita temui orang-orang bagian akuntan. Saya mau sampaikan pengarahan tentang penggunaan mesin hitung ini,” ajak pak direktur. Keduanya terlihat melangkah meninggalkan ruangan.

“Selamat bertugas, junior. Kita telah resmi serah terima tugas. Aku akan pindah tugas di badan usaha yang lain. Abah Kus yang masih tetap tinggal di pabrik ini,” ujar Marcho

“Terima kasih, senior Marcho. Selamat bertugas di tempat yang baru,” balas Sundstro.

Marcho memandang ke arah Abah Kus, “Salam pengabdian, Abah Kus.”

“Pengabdian tiada akhir, Marcho,” balas Abah Kus. “Alih generasi pun adalah bagian dari pengabdian kita sebagai alat bantu manusia. Terima kasih atas pengabdianmu.”

Mereka semua saling melempar senyum. Tak terasa, air mata haru menetes dari mata mereka.


TAMAT

Keterangan[sunting]

Karya ini diikutsertakan dalam kompetisi di Proyek Yuwana 2023.