Anjat Istimewa Kakek
Premis
[sunting]Haris bersiap menyambut kedatangan Kakek dan Mikel sepupunya. Kakek membawa anjat kerajinan tangan khas Suku Dayak untuk dijual pada pameran perdagangan. Mikel ikut menemani Kakek sekaligus ingin membeli sepatu baru. Sayangnya uang tabungan Mikel tidak cukup. Kakek berjanji menambah uang Mikel bila anjat laku terjual. Haris terharu melihat kegigihan Mikel dan Kakek. Apakah anjat Kakek habis terjual? Dan apakah Mikel bisa membeli sepatu impiannya?
Penokohan
[sunting]- Haris, anak usia 12 tahun, murid kelas 6 SD.
- Mikel, anak usia 12 tahun, murid Kelas 6 SD.
- Kakek usia 60 tahun, suku Dayak.
- Ayah usia 37 tahun
- Ibu usia 35 tahun
Lokasi
[sunting]Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur
Cerita Pendek
[sunting]Menanti Kedatangan
[sunting]Hari yang sibuk sekali. Sejak pagi Haris membantu ayah membereskan rumah dan merapikan kamar untuk tamu istimewa. Sesekali Haris juga membantu ibu menyiapkan hidangan di dapur. Meski lelah Haris tetap semangat. Ia tak sabar ingin bertemu Kakek dan Mikel sepupunya yang akan datang berkunjung.
Kakek mendapat undangan untuk mengikuti pameran perdagangan di Samarinda, ibu kota Provinsi Kalimantan Timur. Itu lah sebabnya Kakek rela menempuh perjalanan jauh selama sehari semalam dari Kabupaten Mahakam Ulu menggunakan kapal pedalaman atau Long boat. Dengan sigap Mikel membantu Kakek membawa barang-barang. Yang dinanti pun tiba. Haris memeluk Kakek dan Mikel bergantian setibanya mereka di rumah.
“Cucu Kakek sudah besar,” kata Kakek sambil mengusap kepala Haris membuat anak usia 12 tahun itu tersipu.
“Hei, kamu juga sudah besar,” goda Haris saat memeluk Mikel yang juga berusia 12 tahun.
Ibu mengandeng Kakek masuk ke rumah. Sedangkan Ayah membantu membawa barang-barang Kakek.
“Kau tidak ikut membantu?” tanya Mikel sambil menepuk bahu Haris.
Haris tersenyum kikuk lalu mengikuti Mikel membawa karung berukuran besar.
Ternyata tidak berat seperti yang dibayangkan Haris. Pantas saja Mikel kuat membawanya. Tapi apa isi karung-karung ini, ya? Tanya Haris dalam hati. Sebelum beristirahat, Kakek membuka sebuah karung. Ternyata isinya anjat-anjat dengan beragam motif anyaman. Anjat adalah tas tradisional suku Dayak berbentuk bulat seperti tabung, terbuat dari anyaman rotan. Cara menggunakannya seperti memakai ransel.
Menurut Kakek, anjat sudah dibuat sejak zaman nenek moyang dan digunakan sebagai keperluan rumah tangga. Sekitar tahun 1970-an saat kediaman Kakek mulai dikunjungi wisatawan dalam negeri, anjat mulai dijual sebagai cenderamata. Hingga saat ini kerajinan menganyam rotan menjadi anjat terus ditekuni untuk menambah penghasilan keluarga.
Nama-nama Anjat Kakek
[sunting]Bila dilihat sekilas, semua motif anjat terlihat sama. Terdiri warna hitam dan warna putih yang berasal dari warna asli rotan. Namun bila diperhatikan lagi secara terliti, ternyata motif anjat berbeda-beda. Perajin anjat meniru pola flora dan fauna menjadi motif anyaman anjat. Kakek mulai bercerita, setiap anjat memiliki nama-nama yang berbeda sesuai dengan pola anyaman. Pertama anjat bepedu. Nama motif anyamannya adalah motif nama jenis giwang, motif kupu-kupu ukuran besar, dan motif kumpulan sarang laba-laba.
Kelompok kedua adalah anjat senemtapiit dengan tambahan motif yang lebih beragam. Selain juga menggunakan motif tersebut di atas, anjat jenis ini juga dibuat dengan motif bunga pohon nagaaq, motif daun rotan, dan motif sisik trenggiling.
Kakek juga ahli membuat anjat polos dengan anyaman renggang, anjat polos dengan anyaman rapat, dan anjat polos dengan perpaduan anyaman renggang dan rapat.
“Warnanya hitam anjat berasal dari tinta ya, Kek?” tanya Haris membuat Kakek tersenyum.
“Pewarna hitam pada anjat diperoleh dari daun tanaman jerikng, buka dari tinta,” jawab Kakek.
“Kenapa tidak ditambahkan warna lain?” sambung Haris lagi.
“Mungkin nanti di tangan kalian sebagai penerus warisan budaya, kerajinan anjat rotan bisa dibuat lebih menarik dengan tampilan warna-warni yang indah, tahan lama, dan aman bagi lingkungan,” jawab Kakek.
“Kakek dan perajin rotan lainnya saat ini masih meneruskan tradisi mewarnai helaian benang rotan dengan bahan alam yang ada,” sambungnya.
Saatnya Berkeliling Kota
[sunting]Setelah berisitirahat Ayah mengajak Kakek berkeliling kota sekaligus mengunjungi tempat pameran perdagangan atau expo akan dilaksanakan. “Horeee!” Mikel bersorak senang. Ini adalah pengalaman pertama Mikel ke kota. Selama ini Mikel hanya melihat foto dan video pusat perbelanjaan yang dikirim oleh Haris melalui gawai android.
“Kita tidak berbelanja, lo,” goda Haris mengingatkan.
“Wah, padahal aku sudah membawa uang tabungan untuk membeli sepatu baru,” keluh Mikel membuat Haris tertawa.
“Tenang, nanti aku akan menemanimu membeli sepatu,” bisik Haris. Mikel mengangguk sambil tersenyum.
Selama perjalanan, Kakek banyak bertanya tentang kondisi kota yang banyak berubah. Rupanya Kakek sudah beberapa kali berkunjung ke Samarinda. Ibu menjelaskan bertambahnya pembangunan jembatan, hotel, dan pusat perbelanjaan membuat kota mengalami banyak perubahan.
Ayah memarkir kendaraan di kompleks perbelanjaan Citra Niaga yang dikenal sebagai pusat penjualan cinderamata khas Kaltim. Anjat dan tas manik dengan beragam ukuran menarik perhatian. Dengan mata berbinar Kakek mengunjungi kios-kios dan menanyakan harga barang-barang yang dijual.
Sementara itu Haris dan Mikel sibuk mengamati toko-toko yang berjejer di seberang jalan. Ada toko buku, toko pakaian, toko sepatu, serta pedagang kaki lima yang menjual kacamata dan jam tangan.
“Lihat ada toko sepatu. Ayo, kita ke sana!” ajak Mikel.
Haris menyusul Mikel yang melangkah cepat. Mikel memperhatikan satu per satu deretan sepatu di etalase.
“Ayo, kita masuk! Kau bisa mencobanya kalau mau!” ajak Haris.
Mikel melihat daftar harga yang tertera pada label sepatu. Wajahnya telihat lesu, “Harganya mahal sekali. Uangku tidak cukup.”
Keduanya pun kembali menyusul Kakek, Ayah, dan Ibu.
“Kalian dari mana?” tanya Kakek melihat kedua cucunya berlari tergesa.
“Toko sepatu, Kek,” jawab Haris.
“Sepertinya aku tidak jadi membeli sapatu baru, Kek. Uang tabunganku tidak cukup,” suara Mikel terdengar memelas.
“Kita harus menjual anjat-anjat ini, Mikel. Setelah itu Kakek akan menambah kekurangan uangmu,” hibur Kakek.
Kakek mulai bercerita, di kampung harga anjat sangat murah. Semua warga kampung bisa menganyam rotan. Mereka lebih senang membuat anjat sendiri dari pada membeli. Anjat menjadi hal yang biasa. Selain itu wisatawan pun tak selalu datang untuk berbelanja anjat. Di Samarinda harga anjat cukup mahal. Meski demikian, orang-orang tetap membelinya untuk dijadikan oleh-olehdan cinderamata.
Kakek menjelaskan, selama ini ia dan perajin rotan banyak menjual anjat kepada pengepul dengan harga lebih murah. Nanti pengepul itulah yang menjual kembali anjat-anjat tadi dengan harga yang lebih mahal.
“Seharusnya Kakek bisa menjualnya langsung tanpa melalui pengepul,” protes Haris.
“Bagaimana caranya? Selama ini Kakek hanya bisa menjual anjat melalui kegiatan pameran perdagangan seperti yang akan Kakek lakukan nanti,” kata Kakek.
“Kakek bisa memanfaatkan teknologi. Berjualan online memanfaatkan fasilitas internet dan gawai android,” Haris menjelaskan.
Mikel mengangguk, “Iya, ya. Kenapa baru terpikir sekarang?”
“Memangnya kamu mengerti, Mikel?” tanya Kakek.
“Sedikit, sih. Ada Haris yang bisa membantu, Kek,” jawab Mikel cepat.
“Pertama, potret anjat lalu diberi keterangan harga, nomor rekening untuk pembayaran dan diunggah ke media sosial. Mudah, kan?” Haris menjelaskan.
Kakek mengangguk, “Sepertinya gampang, ya. Kakek harus mempelajarinya.”
“Nanti Mikel bantu, Kek. Jangan lupa komisinya, ya,” celetuk Mikel membuat semua tertawa.
Pameran Anjat
[sunting]Selanjutnya Ayah membawa mobilnya menuju gedung olahraga Sempaja, tempat pameran akan berlangsung selama tiga hari.
Dengan cekatan Kakek menata anjat di petak ruang untuk memamerkan produk kerajinan. Haris dan Mikel sibuk membantu.
Tidak hanya mereka, banyak peserta pameran dagang lain yang sibuk menata produk yang akan dijual. Ada yang menjual kerajinan manik, makanan beserta kudapan, pakaian, mainan, buku, dan sepatu.
Konsentrasi Mikel sedikit terganggu saat melihat tulisan diskon pada sepatu-sepatu yang ikut dipamerkan. Dalam hati Mikel berdoa, semoga anjat Kakek habis terjual agar ia mendapat tambahan uang untuk membeli sepatu. Sepasang sepatu sekolah miliknya sudah koyak, sudah tak bisa dijahit atau dilem lagi karena ukuran telapak kaki Mikel mulai membesar.
Saat yang dinanti pun tiba. Kakek mengenakan pakaian adat khas Suku Dayak dengan topi berhias bulu Burung Enggang. Orang-orang terkesan dengan penampilan dan keramahan Kakek saat menyambut pengunjung pameran yang mendatangi kios Kakek. Satu per satu anjat buatan Kakek terjual.
Haris yang menemani Kakek, ikut mendengarkan bagaimana proses pembuatan anjat ketika seorang pengunjung bertanya. Kakek menceritakan proses pembuatannya yang masih menggunakan alat dan bahan sederhana.
Diam-diam Haris memandang Kakek lekat-lekat. Ada perasaan haru sekaligus bangga melihat perjuangan Kakek mulai dari memanen rotan, membelahnya menjadi benang, mewarnai rontan, dan mulai menganyamnya menjadi anjat.
“Apakah kau bisa mengayam rotan?” tanya Haris pada Mikel yang sibuk menghitung uang hasil penjualan anjat.
“Bisa sedikit. Tapi belum terlalu mahir,” jawabnya santai.
“Kau kan, selalu bersama Kakek, seharusnya kau bisa membuat anjat. Nanti ajarkan padaku bagaimana cara menganyam,” sambung Haris serius.
Mikel mengerutkan kening menatap Haris.
“Kita harus mewarisi keahlian Kakek membuat anjat. Karena kita adalah generasi penerus yang akan melestarikan budaya ini nanti,” sambung Haris.
“Kau membuatku terharu, Haris,” kata Mikel sambil mengangguk setuju.
“Apakah orang-orang di kampung masih memakai anjat?” tanya Haris.
Mikel mengangguk cepat, “Orang dewasa memakai anjat untuk pergi ke kebun. Anjat juga digunakan dalam upacara adat beliant dan kuangkai.”
“Kenapa tidak kau pakai ke sekolah?” goda Haris.
“Terkadang aku memakai anjat ke sekolah,” jawab Mikel.
Haris buru-buru mengangkat anjat berbentuk tabung bulat, “Bagaimana kau memasukkan buku?”
“Kakek membuatkan anjat khusus untuk ke sekolah. Bentuknya persegi panjang dan pipih sehingga aku bisa memasukkan buku dengan aman,” Mikel menjelaskan.
“Aku juga ingin memakai anjat ke sekolah,” tiba-tiba Haris ingin seperti Mikel.
“Bagaimana kalau kita bertukar tas? Pakai saja anjatku. Aku malah ingin memakai ransel sepertimu,” kata Mikel bersemangat.
Giliran Haris yang terkejut, keduanya pun tertawa.
Waktunya Mudik
[sunting]Pameran telah usai, anjat Kakek habis terjual. Mikel terlihat bahagia karena akhirnya bisa membeli sepatu impiannya. Ia juga mendapat hadiah ransel dari Haris.
“Aduh, aku lupa membawa anjat sekolah untuk ditukar dengan ranselmu,” sesal Mikel.
“Tenang. Kakek menyisakan satu anjat untuk Haris,” hibur Kakek.
“Tidak sama, Kek. Haris ingin anjat yang bisa dipakai untuk meletakkan buku. Bentuknya persegi panjang seperti punya Mikel di rumah,” protes Mikel.
“Sudah, tidak apa-apa. Anjat pemberian Kakek sudah cukup, kok. Yang terpenting aku bisa bertemu dan bermain denganmu,” kata Haris.
“Kamu baik sekali, Haris. Terima kasih,” Mikel memeluk sepupunya.
“Titip jaga Kakek, ya!” bisik Haris.
“Siap. Aku juga akan belajar menganyam rotan,” balas Mikel membuat Haris tersenyum senang.
Kakek memeluk Haris dan Mikel, "Kakek bangga pada kalian."
Setelah berpamitan pada Ayah, Kakek dan Mikel bergegas masuk ke kapal Long boat yang akan mengantar mereka mudik ke hulu Sungai Mahakam.
Mesin kapal terdengar memekakan telinga. Meski melaju pelan, makin lama kapal semakin menjauhi dermaga Pelabuhan Sungai Kunjang. Haris dan Mikel saling melambai. Hingga kapal tak telihat lagi.
Ayah merangkul Haris yang masih memeluk anjat pemberian Kakek.
"Saatnya pulang ke rumah," bisik Ayah.
Haris mengangguk pelan. Dalam hati Haris bertekat merawat anjat istimewa buatan Kakek.
Glosarium
[sunting]- Anjat = Kerajinan tangan khas Suku Dayak di Kalimantan Timur berupa tas punggung berbentuk seperti tabung, terbuat dari anyaman rotan.
- Belian = upaya pengobatan tradisional Suku Dayak dalam ritual upacara adat.
- Kuangkai = upacara adat kematian Suku Dayak.
- jerikng = pohon dengan nama ilmiah Phitecellobium dulce R. Benth
- Long boat = Kapal kayu berukuran besar dan panjang yang menjadi salah satu sarana trasnportasi di Sungai Mahakam.
Profil Penulis
[sunting]Dwi.dira adalah perempuan yang lahir dan besar di Samarinda, Kalimantan Timur. Hobi membaca membuatnya suka menulis. Ia sangat senang bila tulisannya bermanfaat bagi pembaca.