Antologi Cerpen Jurnalis Kaltim Aku Membunuhnya Karena Aku Mencintainya/Bulan Luka
Bulan Luka oleh Akhmad Zailani |
BAR itu masih ramai. Falling in love-nya Kenny G masih mengalun lembut. Musik yang komunikatif, dengan irama yang lancar mengalir dari belaian suara saksofon yang menghibur rasa. Itu cukup membuat pengunjung bar itu hanyut terbawa irama, di antara siraman dry ice tipis lampu bar yang menyebar ke segenap ruangan.
“Turun mas?”
Aku menggeleng
Bau-bau alkohol menikam hidung. Asap-asap rokok mengabut mata. Bau parfum wanita itu pun mulai mengusik hidungku. Wanita yang mengenakan rok span super mini yang ketat, dengan baju berbelahan dada sangat rendah berwarna pink. Dua bukit putih menyembul keluar. Tanpa kutang.
“Kok diam, mas,” suara wanita yang sedang menemaniku minum
Aku menatapnya.
Mata-mata merah.
Menor.
Alkohol
Ah.
Wanita menor itu lalu mengambil sebatang rokok. Diletakkannya rokok di antara kedua bibirnya yang merah basah. Karena gincu dan alkohol. Tangannya lalu memunggut korek merk Zippo.
Ting cress … wanita bermata merah karena alkohol itu menghembuskannya perlahan. Asap rokok kembali mengabut. Meraba-raba pupil mata.
Mata-mata merah.
Menor.
Alkohol.
Ah.
“Minum lagi, mas?” tawar wanita itu genit.
Kali ini aku mengangguk.
Wanita itu tersenyum. Lalu memanggil pelayan bar.
Sesaat. Dua saat. Dua botol bir hitam lagi.
Ah.
Aku melirik arloji. Malam masih panjang. Aku menarik napas. Betapa, ah, betapa aku merasa asing dengan diriku sendiri. Apakah telah terjadi perubahan pada diriku? Dan perubahan itu pulalah yang lalu mendatangkan keasingan? Ah, aku tidak mengerti. Kembali aku menghela napas. Panjang.
Lagu berganti
Silhoutte-nya Kenny G!
“Apa sih yang dipikirkan, mas? Kok tidak seperti biasanya mas jadi pendiam begini”.
Aku masih diam.
“Mas datang ke sini’kan untuk bersenang-senang …,” kembali wanita menor itu mengoceh. “Ayolah, mas …,” wanita itu kembali menenggak bir hitam lagi.
Aku membuang puntung rokok di asbak. Menuang bir hitam ke gelas. Lalu menenggaknya dan alkohol mulai menggigiti tubuh.
Merah.
Aku mengambil rokok.
Ting cress …
Asap kembali mengepul.
Bau alkohol menyergap hidung.
Juga bau parfum wanita itu.
Kesenangan? Bukankah itu yang selama ini aku cari? Suara hatiku sendiri berkata. “Akuteringat istriku …,’’ ujarku pelan.
Wanita itu tertawa.
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Mas lucu,’’ wanita itu kembali tertawa. “Pada saat sekarang dan di tempat ini mendadak mas teringat dengan istri mas?”
“Aku sudah terlalu banyak membohongi istriku”.
“Mas merasa bersalah dan menyesal?”
Aku mengangguk.
“Minum mas …”.
Bau alkohol kembali memeluk hidung.
“Aku tidak tahu. Entah istriku sedang ngapain sekarang di rumah. Aku telah berkali-kali membohonginya. Ada rapat di kantor, ada pertemuan di luar kota, ada lembur dan berbagai alasan lainnya,” aku mengacak rambutku. Aku memandang wanita itu, yang duduk dengan kaki berjuntai dalam pose yang sangatmerangsang. Tapi saat ini yang ada dibenakku adalah istriku. Istriku yang sederhana. Istriku yang penurut. Istriku ..
“Sudahlah mas …,” wanita itu menggenggam tanganku.
Alkohol mulai membakar tubuh kami.
Aku mengisap dalam-dalam asap rokokku dan menghembuskannya perlahan.
“Tak usah terlalu dipikirkan mas …,” ujar wanita itu menghibur. Adalah memang tugas dia menghibur tamu. Dia telah melakukannya dengan baik. Di manapun juga. Ya, di manapun juga bila aku sedang membutuhkan kehangatan, yang ditukar dengan rupiah.
“Aku telah menghianati istriku!”.
Ada suara penyesalan yang keluar dari mulutku.
Dan asap-asap rokok mengabut mata.
Ah.
Awalnya adalah pertengkaran.
Lalu bar.
Alkohol.
Dan wanita.
Dan aku mendesah.
Adalah kebimbangan saat ini yang menyergapku. Mengikat dan membelenggu pikiranku.
Cerai?
Ah, tidak! Aku masih mencintai istriku. Tapi, tapi apa yang kulakukan saat ini? Apa yang telah kuperbuat? Apa bisa dikatakan aku masih mencintai istriku, sementara aku sendiri asyik bermesraan dengan wanita lain?
Aku telah mandul! Mandul sebagai seorang suami sejati. Suami yang benar-benar suami. Aku telah menghianati istriku. Aku … aku adalah suami yang berhianat!.
“Turun mas,” wanita itu menarik tanganku, mengajakku berdansa.
Aku mengikut.
Ada dekapan.
Ada mesra yang berpagut.
Musik mengalun lembut.
Aku mengikut.
Tanpa terasa musik hampir habis.
“Capek mas,” wanita itu mengajakku berhenti.
Kami kembali duduk.
Wanita itu menengguk bir hitam yang masih tersisa.
Dan aku kembali menyalakan rokok.
Asapnya mengepul.
Mengabuti pikiranku.
“Kau harus menikah lagi?” tergiang lagi suara ibuku.
“Tapi bagaimana dengan istriku?”
“Cerai!”.
“Atau jadikan dia istri pertama!”
Ah.
Aku kembali mengisap dalam-dalam asap rokokku. Atau jadikan dia istri pertama,” suara ibuku berdengung-dengung lagi di pikiranku.
“Tapi …”.
“Kamu anak tunggal. Kamulah penerus keturunan kita!”.
Ah.
Aku seperti seekor serigala tua ompong yang terkurung dalam kerangkeng besi dan seekor kelinci kecil mempermainkan aku dari luar kurungan!
Anak. Itulah yang mengusik kami, setelah sekian tahun menikah dan umur semakin senja. Kami merindukan anak.
Tanpa anak, malam jadi tak berbintang.
Meja makan hampa.
Dan ranjang terasa dingin.
Pernah istriku mengusulkan agar kami mengadopsi anak. Tapi ibuku melarang, darah daging yang jadi alasan.
Ah, aku adalah serigala ompong yang penurut!
Tidak!
“Aku ingin pulang. Aku rindu istriku …,” kataku.
“Mas …”.
Aku membayar minuman.
Juga wanita itu.
Lalu pergi.
“Aku rindu istriku …” suara hatiku.
Maka mobil kian kupercepat. Gas pun semakin kuinjak.
Mobil makin melaju.
Menembus malam.
Mencumbu aspal hitam jalanan.
“Kamu anak tunggal! Kamulah penerus keturuan kita!” suara ibuku kembali menghantui.
“Tidak! Aku rindu istriku …”.
“Atau jadikan dia istri pertama!”.
Mata-mata merah.
Menor.
Alkohol.
Ah.
“Bagaimana dengan istriku”
“Cerai!”
“Atau jadikan dia istri pertama!”
“Atau jadikan dia istri pertama!”
“Atau jadikan dia istri pertama!”
Suara-suara ibuku terus menghantui.
Mobil kian kupercepat.
Tak ada suara lagi.
Sunyi.
Sunyi.
Sunyi.
Pada suatu jalan lurus lain, berlawanan arah, tanpa kusadari sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi.
Akhirnya di persimpangan jalan tabrakan tak dapat dihindarkan lagi.
Seketika aku mendadak menjadi ringan.
Melayang.
Di bawah, di dalam mobil yang hancur nampak jasadku berlumuran darah. Tak bergerak.
Aku melayang.
Sementara di rumah, aku melihat istriku resah menanti kedatanganku.
Dia melangkah lalu membuka pintu. Ah, malam semakin renta. Dia kembali menutup pintu.
Aku melihat penampilannya kini berubah.
Dia mengenakan rok span super mini yang ketat dengan baju berbelahan dada sangat rendah, berwarna pink.
Dan dua bukit putih menyembul keluar. Tanpa kutang. *
- Samarinda, 20 Juni 1993