Antologi Cerpen Jurnalis Kaltim Aku Membunuhnya Karena Aku Mencintainya/Jingga

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
Jingga
oleh Try Lestari Soemargono


SEMBILAN bulan yang lalu Va, masih berkeliaran di jalan selepas senja. Senyum tipisnya sanggup menghentikan langkah lelaki manapun . Mengajaknya berbincang, pergi dan kemudian bercinta. Semakin malam, kawasan tepian yang menyajikan jagung bakar manis, kopi susu kental dan tebaran wajah ranum tak menyurutkan gairah cinta semalam. Va yang suka berpakaian hitam, akan tenggelam dalam tawa tanpa makna dengan teman-temannya.

Tapi malam itu Va akan menjadi milik Jati. Tak akan lagi ada transaksi menghasilkan rupiah. Va menjadi istri syah Jati, pengusaha berduit asal Surabaya.

“Bapak tidak menyesal mengawini saya?” Va bertanya ragu.

“Saya akan menyesal jika tidak kawin denganmu,” Jati tertawa. Va kelihatan bingung. Hampir lima bulan Va bersama Jati, tetapi lelaki separuh baya itu tak pernah menyentuhnya. Paling ahnya memeluk, mencium keningnya. Selepas itu, Jati akan membawanya memutari kota Samarinda, mendengarkan musik di Pub Alamanda Hotel mesra, dan memulangkan Va ke rumah kontrakan sederhana jika batas malam berganti pagi.

“Kamu manis, siapa namamu?”itu kalimat pertama dari Jati, ketika pertama kali bertemu Va di Tepian. Saat itu Jati menikmati jagung bakar bersama Hendra, kawan bisnisnya di Samarinda. Jati memang pecinta jagung bakar, dan daerah tepian di Samarinda adalah tempat yang paling nyaman untuk menikmati jagung bakar sambil menatap mahakam dalam riak gelombang kecil yang di naungi bulan.

“Saya Va.” Va seperti biasa, tersenyum.

“Singkat sekali? Punya arti tersendiri?” Jati mencoba berakrab dengan wanita dua puluh satu tahun itu.

“Ah, Wiliam shakespiere mengatakan apa arti sebuah nama. Saya tidak suka menyebut nama lengkap, karena setiap orang yang mendengarnya akan mengulang, dan merasa heran. Panggil saja, Va.” Va enggan menyebutkan nama lengkapnya.

Dan kemudian daya tarik Va seperti tidak terbendung. Jati meminta nomor phone selulernya, dan memberi nomor pribadinya. Komunikasi terus bergulir, sampai pada akhirnya Jati menawarkan sesuatu yang tak pernah di duga Va.

“Menikahlah denganku, Va. Tinggalkan Samarinda, hidup denganku di Surabaya.” Jati menatap Va dengan pandangan berharap. Va ternganga. Sesaat kemudiania tersenyum menggoda.


“Istri keberapa nih? Tiga, atau empat?”

“Kamu tahu, istirku sudah meninggal tiga belas taun yang lalu.” Jati menatap wajah Va lembut. “Kamu akan menikah dengan duda keren.” Tawa halus Jati terdengar lagi.

Va tertawa keras.

“Jangan menggodaku seperti itu, ganteng.” Va mengelus wajah Jati. “Aku tak tahu siapa ayahku. Kata ibu sih, orang Thailan yang tak pernah menikahi ibuku. Ibu meninggal dalam sakit tanpa obat.dua tahun aku menjadi istri simpanan pejabat yang telah mati akrena serangan jantung, setahun aku menjadi istri kontrakan dari lelaki Korea, bertahun-tahun aku bisnis cinta sejak berusia tujuh belas tahun. Adakah lelaki yang sudi menjadikanku istri sahnya, dari hukum agama dan Negara? Menikahi seorang mesti tahu dulu bibit, bebet, bobot.” Va masih terpingkal, menutup kerawanan hatinya.

“tak ada rumah megah yang dijanjikan dan jutaan uang di Bank. Janji mereka isapan jempol, mereka hanya ingin tubuhku, curhat ketika ada masalah dengan istri..! Ah, enakan hidup tanpa ikatan.” Va tertawa namun terdengar sumbang.

“Va manis, aku lelaki tak pandai berkata. Jika lamaranku tidak kau tolak, maka takdirmu akan berubah. Kamu tidak ingin hidup terus begini, kan?’ jati menyentuh jemari Va. Ada getaran halus mengalir.

“Bapak, saya tidur dengan banyak lelaki.” Va membiarkan jemarinya di dalam genggaman Jati.

“Aku tidak peduli. Ketika kau sudah menjadi istriku, kamu adalah milikku, tanpa satu lelakipun bias menyentuhmu lagi.”

Va menatap Jati takjub, antara percaya dan tidak.

“Bulan depan kita menikah, lupakan kehidupan dulu, jalani masa depanmu, Va sayang. Surabaya akan menjadi kotamu. Hm?”

Sembilan bulan yang lalu Va masih duduk di tepian mencari mangsa, menawarkan cinta sesaat dan menggenggam rupiah. Kulitnya yang putih selalu terbalut dalam baju warna hitam, seperti hatinya yang sesungguhnya gelisah. Jati dating menawarkan cinta abadi, menyuntingnya. Sekarang ia telah menjadi nyonya Jati, bukan lagi Va. Setiap orang yang bertemu dengannya akan menyapa; Nyonya Jati Perwira. Menebar senyum, dan mengangguk hormat.

“Ini hadiah untukmu, Jingga cintaku,” Jati mengecup bibir Va pagi ini. Sebuah restauran elegan bernuansa jingga akan dibuka siang ini, menawarkan makanan khas Kalimantan. Atas nama Va, seperti juga butik yang telah dibuka dua minggu lalu.

“Kamu suka, Jingga?” Jati memeluknya.


“Bapak, aku va. Aku bukan Jingga.” Va membiarkan tubuh mungilnya dipeluk Jati. Ini untuk kesekian kali Va mengingkari. Ia Va, bukan Jingga!

“Jingga sayang, Jingga cintaku…” Jati semakin erat memeluknya, menciumnya. Va melihat kedua mata Jati menebar saying.Mengaca. Ah…! Lelaki ini telah mengubahnya menjadi Jingga, istrinya yang telah mati bersama bayinya saat melahirkan. Jingga yang amat dicintainya. Jingga yang selalu berpakaianwarna jingga sesuai namanya. Jingga yang teramat mirip dengan Va, bagai pinang di belah dua…!

Tiga hari setelah pernikahan, Jati memberikan beberapa cd berisikan rekaman kegiatan sehari-hari Jingga yang selalu di handicam Jati. Membuang baju-baju hitam Va, menggantinya denganwarna jingga, warna yang dibenci Va. Jati mengubah Va seperti Jingga. Seluruhnya. Inikah sebab, mengapa Jati begitu menginginkannya? Menghidupkan kembali diri Jingga melalui Va?

“Jingga sayang, aku telah memenuhi keinginanmu untuk membuka restaurant dan butik. Engkau bahagia?”

Va tidak menyahut. Sesungguhnya ia ingin menjadi Va, bukan harus berperan seperti Jingga. Jingga yang lembut dan bertutur halus, Jingga yang punya kebiasaan menidur kan Jati dengan nyanyian cinta, Jingga yang mendapatkan siksaan saat akan bercinta karena Jati mempunyai kelainan.

Ah!

“Engkau bahagia Jingga?” Jati mengecup kening Va. Kening yang masih memar karena pukulan Jati semalam. Selalu begitu. Punggung yang kebiruan, pinggang memar, atau pipi yang memerah. Va sudah kehabisan air mata.

Betapa ia lelah dalam menjalani hidup. Tersenyum memberikan cinta palsu pada setiap lelaki yang membawanya pergi untuk mendapatkan rupiah, membiarkan hatinya tersayat ketika tetangga kiri kanan rumah kontrakannya mencibir dan meludah saat ia pulang selepas subuh. Dan kini, ketika semua orang menganggukan kepala sebagai tanda hormat akan statusnya sebagai istri Jati, memanjakannya dalam harta yang berlimpah, kebahagiaan tak seutuhnya berpihak pada Va.

“Jingga sayang, kamu sakit?” suara Jati menepis lamunan Va.

Va menggeleng. Memberikan senyumnya pada Jati.

“Kita berangkat sekarang?” Jingga menawarkan. Jati mengangguk. Mengusap pipi Va perlahan. Va sedikit meringis, pipi yang memerah karena Jati menamparnya semalam.

“Pagi ini kamu sangat cantik.” Jati menggandeng tangan Va menuju mobilnya.

                                                                       ***

MALL Tunjungan sore hari.

“Gina…!”

Va menghentikan langkah. Suara itu amat dikenalnya. Suara Emi, teman seperjuangannya dulu dalam mempertahankan hidup dengan menawarkan cinta semalam.

“Gina…, hai.., kamu Gina?”

“Emi..,” Va memeluk Emi. “Apa kabar?”

“Baik. Baik sekali. Kamu menghilang, dulu katanyasudah menjadi nyonya kaya di sini, Surabaya.” Emi tertawa. “Duh, kamu memang kelihatan lain, tapi.. agak kurusan. Sengaja diet?”

Va ikut tertawa. “Kamu sendirian?” mata Va mencari-cari seseorang, tidak menanggapi pertanyaan Emi.

“Sejak kapan aku punya uang untuk membayar hotel dan terbang?’ Emi cekikikan. “Biasa, cukong kayu pengen membuang sedikit duitnya, memanjakanku shooping dan menjenguk kota orang. Tuh, dia lagi ambil duit di ATM.” Emi menunjuk dengan mata seorang lelaki botak berperut buncit.

“Nasib kamu bagus banget Gin. Banyakn uang, dikawini secara syah, dihormati.., kawan-kawan setiap hari membicarakan kamu. Mereka bilang, karena namamu yang aneh, kamu beruntung.” Emi terus berkomentar. “Hm, mana suami kamu?”

“Jingga… “ Jati telah berdiri di samping Va. “Lama sekali, aku menunggu kamu di bawah.”

“Jingga?” Emi keheranan. Ditatapnya Jati dengan tanda Tanya. “Bukannya kamu Gina? Vagina..?” Emi menggantungkan kalimatnya.

Va mengangguk.

Aku mempunyai panggilan kesayangan. Jingga. Nama yang cantik, bukan?” Va menggandeng suaminya. “Main kerumahku ya Em. Kamu masih lama di sini,kan?” Va memberikan kartu namanya. Senyumnya masih mengembang.

“Ah Gin, esok aku sudah balik. Istri cukong sialan itu menyusul. Aku mah gak mau rebut. Yang jelas, uangnya sudah pindah ke rekeningku.” Emi berbisik.
“Kamu tahukan, Mala anakku mesti bayar uang sekolah. Cukup aku aja deh yang gini, Mala mesti jadi sarjana.” Emi mengedipkan matanya. “Doakan aku ketemu jodoh yang baik ya, aku sudah capek hidup begini.”

Va mengangguk. Dipeluknya Emi sekali lagi sebagai salam perpisahan. Kemudian tangannya menggenggam tanga Jati, menuntun menuju tempay parker. Sesaat ditatapnya lelaki paruh baya itu. Digelengkannya kepala lemah. Ia tak sanggup melarikan diri, tapi jugatak sanggup hidup bersama. Jati menyakitinya, tetapi juga membuatnya bahagia.

                                                                 ***