Antologi Cerpen Jurnalis Kaltim Aku Membunuhnya Karena Aku Mencintainya/Lelaki Kedua
Lelaki Kedua oleh Try Lestari Soemariyono |
Tak ada permainan cinta untuk malam ini!
MESTINYA ada desah nafas hangat tertahan yang menghuni kamar bernuansa lembut, wangi melati dan mawar milik Mariana.
Mestinya ada gelisah indah yang tercinta, membelai kulit dengan getar getar bernada asmara, merenguk dalam ulang tahun perkawinan tiga tahun yang telah berjalan.
Tetapi…ah, dalam balutan gaun tipis kuning gading itu, Mariana terlihat kaku dipelukan Yusak Hudiyono, lelaki yang dinikahinya tiga tahun lalu.
Separuh perjalanan malam memakan waktu yang begitu panjang. Dentang dua belas dari jam dinding, menjadi musik yang paling menjemukan. Mariana gelisah. Benar-benar gelisah. Desah nafas halus milik Yusak di telinganya, menyadarkannya pada galau kalbunya.
Lelaki ini begitu baik, mengapa harus ditinggalkan?
“ Martabat dan masa depan, mengalahkan cinta, Mar.” suara parau milik ibunya mengiang di telinga Mariana. Mariana yang mungil, tak bisa
melawan takdir.
“ Takdirku adalah dicintai, bukan mencintai. Engkau harus percaya pada ibu.”
Suara wanita kurus itu kembali mengiang, menusuk hati dan perasaannya, membawanya terseret dalam ketidakpastian.
Benarkah takdir tak bisa dirubah?
Mariana menggeleng dalam kepiluan.
Sejarah hidupnya adalah takdir yang telah dijalaninya. Dan esok ia akan merubah takdir itu!
Terlambatkah?
Waktu tidak pernah kembali, manis.
“ Mar, betapa aku begitu mencintaimu… “Yusak berucap halus. “Engkau selalu sanggup
membuatku kangen…” jemarinya perlahan menelusup pada tengkuk putih Mariana, mengusap lembut. Sesungguhnya Mariana tak berdaya. Yusak
selalu sanggup menyeretnya dalam laut asmara cinta, menenggelamkannya dalam nuansa panas menyala. Namun malam ini, Mariana harus berani
menolak. Ayolah Mariana, tantang mata itu, katakan : “tidak!”
“Esok ulang tahun perkawinan kita yang ketiga. Hadiah apa yang engkau inginkan?” suara Yusak semakin dekat pada telinga Mariana. Ia tidak menyadari mata itu menyorot, siap memberontak.
“ Katakan sayang…, katakan. Kita ke Balilagi?”
“ Aku ingin berpisah, bapak.”
Desah nafas itu hilang tiba-tiba. Sunyi kembali bersemedi. Detak jantung Mariana tercipta bagai musik tak beraturan. Sesungguhnya wanita
berkulit putih itu terkejut dengan kalimat yang diucapkannya tadi. Begitu tiba-tiba. Atau mungkin sudah terencana sejak tiga tahun yang lalu, dan baru tercetus setelah keberanian itu muncul malam ini?
Entahlah!
“ Aku ingin berpisah. Itu hadiah yang Mar inginkan.” Suara Mariana terdengar makin jelas tanpa ada sedikitpun keraguan. Matanya tajam
menatap mata lelaki limapuluh dua tahun itu.
Dalam remang cahaya, Yusak melihat kilatan mata itu begitu menantang. Begitu serius, bukan lelucon
iseng sebagai hadiah ulang tahun perkawinan mereka.
“ Mengapa, Mar? Yusak mencium bibir mungil itu
“ Aku tidak mencintai Bapak” Mariana mencoba menghindar untuk pertama kalinya.
“Hanya itu?”
“Ya. Sejak malam pengantin.”
“Mengapa?” Yusak menghela nafas, mencoba menenangkan perasaannya. Sekali lagi diciumnya bibir Mariana. Tapi ia tak mendapatkan kehangatan seperti biasa, sebab Mariana bangkit berdiri, menyalakan lampu dan duduk menjauh darinya.
Astaga, betapa pucatnya wajah itu!
“Engkau tak bahagia?”
Mariana tak menjawab.
“ Apakah aku terlalu menekan dan menyakitimu?”
Diam.
“Katakanlah, Mar. Apakah aku selama ini begitu membuatmu menderita?
Masih tak ada jawaban.
“Atau karena ada lelaki lain dalam hidupmu?”
Masih membisu
“Aku hanya ingin berpisah dari bapak”
Suara itu terdengar serak.
Kerongkongannya serasa kemarau.” Mar perlu jawaban, bukan pertanyaan.”
“Apakah jawaban itu harus malam ini?”
Mariana mengangguk.
“ Ah, Mar. Aku tak bisa memberi jawaban tanpa kamu memberikan alasan. Lagi pula, tak ada keputusan yang diambil dengan tergesa. Aku
berjanji, jika alasan itu sudah kau utarakan, maka aku akan menjawabnya.”
Mariana menunduk. Sorot matanya tidak setajam tadi.
“ Sudah pukul dua belas lewat. Engkau tidurlah.” Yusak meraih piyama lalu memakainya.”
Aku ke ruang kerja dulu. Besok kita akan bicara lagi, hm?”
Ah… lelaki ini begitu baik, mengapa harus ditinggalkan?
“Bapak…”
Langkah Yusak terhenti. Ia berpalingmenatap raut mungil mariana yang semakin
memucat. Tak ada pancaran cinta sama sekali di sana … mata melamun yang acapkali bernuansa takut, kaku dan menyiratkan kepasrahan.
“Terimakasih untuk kebaikan bapak selama ini.”
“ Mar sayang..” Yusak berbalik, mendekat dan mengusap rambut legam panjang itu. Betapa ia mencintai Mariana! Menyayangi sepenuh hati dan jiwanya, menghargai dan menghormati wanita yang belum memberinya keturunan itu. Ia tak peduli. Cintanya pada Mar tak terbatas. Kalau Mar ingin berpisah tanpa alasan, ia tak akan pernah melepas wanita ini. Tetapi kalau Mar tak pernah merasa bahagia selama hidup bersamanya
dalam tiga tahun ini, ia akan merelakan Mariana pergi.
“ Kamu lelah, Tidurlah” Yusak mengusap punggung Mariana. Sesaat kemudian ia menghilang menuju kamar kerja membiarkan Mariana
menangis dalam diam.
***
Tiada yang bisa merubah masa lalu seseorang.
JIKA ada kisah cinta yang merana dan memilukan, menjadi album yang tersimpan rapat dalam kalbu terdalam, tanpa harus dibuka-buka
lagi. Mariana memang telah menyimpan rapat cintanya pada Topo, lelaki sederhana tamatan SMP.
Tapi ah, cinta saja tak pernah cukup untuk merajut kehidupan di masa mendatang. Derajat kehidupan selalu ditentukan oleh materi dan pendidikan.
Setidaknya itu yang selalu dikatakan ibunya pada Mariana. Sekali lagi, Mariana tak berhak mencintai. Ia hanya berhak dicintai.
“ Aku percaya pada takdir Mar. Tidak saat ini kita bersatu, barangkali sepuluh atau duapuluh tahun lagi kita bersama. Tak ada cinta, jika tak ada restu dari orang tua.” Kalimat terakhir yang diucapkan Topo, menjelang keberangkatan Mariana menuju negeri jiran, Malaysia. Ibu Mar yang janda, lebih rela anaknya menjadi tenaga babu, demi mendapatkan penghasilan, daripada mengawinkan Mar dengan Topo.
“Kehidupan tak akan pernah berubah kalau kau kawin dengan orang susah juga, Mar, Ibu mana yang inginkan anaknya menderita.” Suara itu menelusup ke gendang telinga Mariana.
Setuju atau tidak, pada akhirnya Mariana yang elok meninggalkan Indonesia untuk menjadi pembantu rumah tangga melalui agen tak jelas yang mendatangi ibunya pada suatu senja yang basah.
“ Ibu mencintai, Mar. Tak usahlah memberi kabar jika kau telah sampai di sana. Pintar-pintar menjaga diri, buat majikanmu menyayangimu. Dua tahun tidak terlalu lama untuk mengumpulkan uang membangun warung seperti yang kita impikan. Banyak bawa uang ya, jika pulang nanti…”
Mereka berpisah.
Diusianya yang ranum, tujuh belas, Marina harus mampu menjalani kehidupan yang panjang. Duhai ibu, membuang penderitaan,
ataukah menambah penderitaan dengan membiarkannya bekerja di negeri orang? Ibu mana yang inginkan anaknya menderita?
Oh! Mestinya permainan nasib memihak Mariana. Bukankah ia selalu patuh pada kehendak ibunya? Bukankah ia selalu patuh pada kehendak majikannya? Bukankah ia selalu patuh pada siapa saja, tanpa sekalipun berontak, mengubur seluruh hasrat dan keinginannya untuk bisa berkata-kata jika memmang ia tak ingin? Mariana terkurung pada nasib.
“Babu goblok! Kamu bisa apa hah?” Veronika, majikannya yang berdarah Tionghoa itu kerap memakinya.
Kecemburuan acap kali menjadi pemicu sumpah serapah jika suaminya yang pelaut itu datang dan memberi oleh-oleh pada Mar. Toh gadis itu tak ambil hati dengan kegalakan Veronika. Masih dalam batas wajar.
Lagipula Veronika tak pernah telat memberikan gaji pada Mar. Satu-satunya yang membuat Mariana resah dan gelisah adalah jika Go Sie Chiang, adik Veronika yang pengusaha tanah itu datang. Ia begitu bernafsu memandang Mar, seperti hendak menerkam. Mar takut, kalau-kalau ia diperkosa, seperti yang dialami Nida. Tak ada satupun yang bisa membela Nida, ia bahkan dituduh mencuri oleh majikannya ketika mencoba melarikan diri. Mar tak tahu bagaimana nasib Nida selanjutnya. Yang ia tahu, Nida kehilangan hak untuk membela diri.
Dimanapun, majikan adalah sang penguasa yang bisa mengendalikan babunya. Ketika babu mulai bekerja, ketika itu pula ia harus kehilangan hak untuk tawar-menawar, bersuara, memilih, bahkan kehilangan gaji. Demikian juga dengan Mar yang elok wajah, tapi tidak untuk nasibnya. Mar berusaha melarikan diri ketika Go Sie Chiang mencoba merenggut kehormatannya suatu malam yang sunyi, ketika majikannya tidak berada di rumah.
Dalam kepiluan nasib yang mempermainkannya, Mar harus kembali pasrah. Ia tak lagi berkata, menjerit, melawan, ketika tubuh besar itu menghimpitnya, memaksa dan mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya.
Ah, malam hanya dapat menyimpan kebisuannya, tanpa bisa
membela.
Dalam kepiluan, ia meminta berhenti dan akan pulang ke tanah kelahirannya, Indonesia. Tapi …, hah, ia justru dituntut mengembalikan gaji, karena kontrak yang ditandatangani oleh agennya menyebutkan ketentuan-ketentuan yang tidak dipahami Mar. Habislah sudah. Ijazah SD-nya tak mampu menaikan derajat akan kemanusiaan yang acap didengung-dengungkan. Siapa yang dapat membela wahai, sang nasib?
***
Langit masih pucat, ketika Mariana terbangun dari tidurnya. Ia tak mendapati Yusak di sampingnya.
Sudah empat hari Yusak pergi ke Tarakan, mengurus pekerjaan. Empat hari pula lelaki itu tak menelponnya, sejak malam ulang tahun perkawinan yang dingin. Sesungguhnya Mar gelisah. Tapi ia merasa gengsi untuk menghubungi lelaki itu. Yusak belum memberikan jawaban atas permintaan
pisahnya.
Tiga tahun perkawinannya dengan lelaki paruh baya itu, sesungguhnya tak sekalipun Yusak menyakiti Mar. Ia tegas dan berwibawa. Sebagai kapala keluarga, ia bertanggung jawab. Sebagai pimpinan di sebuah perusahaan kecil yang bergerak di bidang jasa, ia bijaksana. Yusaklah yang telah merubah hidup Mariana. Menawarkan cinta dan kehidupan normal seperti yang diimpikan banyak wanita. Mempunyai rumah, berkecukupan, disayang dan dimanja. Tetapi…ah, haruskah ada satu cinta saja dalam rumah tanpa berbalas?
Sungguh, Mar tak pernah cinta pada lelaki duda tanpa anak yang ditinggal mati istrinya itu.
Mariana duduk di bibir ranjang. Diusapnya perlahan bibirnya. Ada kehangatan yang membekas pada ciuman panjang Topo seminggu yang lalu. Hm...cintanya itu sekarang telah menjadi orang kantoran berdasi. Ia begitu gagah, simpatik, terpelajar dan masih sendiri!
“Menikahlah denganku, Mar. Engkau masih cinta aku?” Topo menggenggam jari Mar, ketika makan siang di sebuah cafe di kawasan Mall
Lembuswana, saat bertemu kembali siang itu setelah bertahun tahun terpisah.
“Engkau cinta aku, kan? Mar, dengar, aku bukan lagi Topo lulusan SMP tanpa pekerjaan.
Aku seorang sarjana, menduduki posisi cukup penting di kantorku. Mar...Mar sayang, menikahlah denganku.”
Mariana tak bisa lagi berkata. Perlahan mata itu membasah. Ia tak tahu dengan perasaannya sendiri. Mungkin sedih. Atau bahagia. Bercampur jadi satu dalam kegelisahan yang seringkali dirasakannya, tapi kali ini berbeda. Topo sayang...Topo sayangku...! betapa aku mencintaimu! Bunyi ponsel di genggaman Mariana siang itu mengakhiri pertemuan dengan Topo tanpa sempat menyatakan perasaannya sendiri. Ia melihat nama Yusak tertera di layar ponselnya. Bagai cinderella ia tergesa meninggalkan Topo yang termangu. Mariana harus kembali pulang ke rumah, Yusak telah menunggunya. Tetapi cinta dan ciuman itu membekas, hingga memaksanya untuk berani mengambil sikap, kembali pada cinta pertama; ia berhak untuk mencintai! Berani mengatakan ya, dan tidak. Hey...., bukankah selama menjadi istri Yusak, ia peroleh kebebasan untuk bersuara? Bersikap? Bukankah Yusak tak pernah sekalipun memaksakan kehendak? Tak pernah membuatnya menangis? Tidak! Tidak! Topo lebih dari segalanya... Tak ada lelaki kedua yang dicintai, selain Topo seorang! Dentang jam tujuh kali menyadarkan Mariana dari lamunan tentang seorang Topo dan ciuman hangat. Seperti kebiasaannya selama menjadi nyonya Yusak, diambilnya remote televisi, mencari saluran berita. Sesaat ia terpaku, saat seraut wajah wanita muncul dengan ekspresi pilu, memar dan tak berdaya. Lalu sorotan pada punggung yang bekas digosok, kulit kepala melepuh, lengan yang bilur bilur, tubuh ringkih pada kursi roda...! Mariana memejamkan matanya. Sepenggal berita tentang penyiksaan tenaga kerja wanita dalam empat hari berturut turut, menyesakkan dadanya. Menyadarkannya tentang kehidupan masa lalunya. Menyeretnya dalam kebersalahan diri, betapa ia lebih beruntung dari Nirmala Bonat, wanita malang itu. Mar tak pernah disiksa sekeji itu oleh majikannya, mesti harus kehilangan sesuatu yang amat berharga. Toh Yusak tak pernah mempersoalkan ketika ia menikmati malam pertama dengan raut ketakutan setengah mati, karena Mar tidak mengeluarkan darah perawannya. Yusak menghormatinya. Mengagungkannya. Mencintainya, meski ia hanyalah seorang bekas babu. Tubuh Mar tiba tiba berguncang. Jantungnya berpacu cepat. Sesaat ia limbung, dan sesaat kemudian ia bangun lagi. Getar hatinya meronta. Menghamburkan sesuatu yang aneh. Lalu tubuh itu lunglai. Tangisnya tak dapat dibendung. Seraut wajah telah membayang di pikirannya, seraut wajah suami tercinta, Yusak Hubiyono yang telah menyelamatkan hidupnya dari kasta yang paling rendah. Yang memberinya cinta pada saat tak seorangpun mempedulikan keberadaannya. Yang telah memberinya keleluasaan untuk bergerak, berpikir dan bertindak. Mar terus terisak, hingga tubuh mungilnya direngkuh oleh seseorang.
“Bapak...”
“Apakah aku telah melukai hatimu, Mar?” Yusak bertanya halus.
Ia begitu tenang. Membuat Mariana bersalah dan grogi sendiri.
“Semalam kamu tidur begitu nyenyak, aku tak tega membangunkanmu,” Yusak menyandarkan kepala itu di dadanya.
“Betapa aku mencintaimu, bapak...” Mar memeluk Yusak. Memeluknya erat. Menciumnya.
Betapa ia kangen akan kehadiran lelaki ini. Empat hari berpisah tanpa komunikasi sedikitpun, menyadarkannya, sesungguhnya ia sangat memerlukan dan bergantung pada suaminya.
“Aku tidak ingin berpisah. Aku cinta bapak.” Mariana berkata pelan, tetapi tegas.
Ditatapnya mata Yusak. Ada telaga cinta di sana yang tidak juga berubah, tetap penuh sayang dan menyejukkan.
Sesaat keheningan tercipta. Sunyi kembali bersemedi. Yusak membiarkan Mariana memeluknya. Lama.
Setelah Mariana tak lagi larutdalam perasaan melankolisnya, Yusak mengangkat dan menatap wajah Mariana. Menciumnya perlahan. Perlahan sekali, hingga Mariana bergetar.
“Tidak ada lelaki kedua bukan?” Yusak memberikan senyumnya, mencairkan suasana tak nyaman yang tercipta tadi.
“Lelaki kedua itu adalah bapak. Aku berhak mencintai bapak, hm?” Mariana membalas ciuman itu. “Aku ingin memberi seorang bidadari atau pangeran kecil pada bapak.” Mar berucap, membiarkan raut wajah Yusak dalam kebingungan.
Ia tak peduli. Yang ia pedulikan, betapa ia merasa tolol menyia-nyiakan cinta dan sayang Yusak yang tulus. Yang ia pedulikan, ia akan menolak ajakan kawin Topo, cintanya yang dirasakannya basi kini.
Langit pagi itu tak lagi memucat, tetapi dipenuhi biru cinta. Mariana telah merubah takdirnya, ia berhak mencintai. Cinta itu singgah pada Yusak Hudiono, lelaki kedua yang dicintainya, setelah Topo, bunga tidur masa lalunya.*
*