Ayah Sang Petani

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Ayah Sang Petani[sunting]

Sinopsis[sunting]

Abdan anak seorang petani desa yang tidak berkecukupan berusaha mengikuti tuntutan dari Ayahnya, namun dalam batin Abdan punya tujuannya sendiri. Terjadi pertentangan konflik batin antara Ayah dan anak. Bisakah Abdan dengan ego kuatnya dapat luluh dengan keinginan Ayahnya?

Lakon[sunting]

  1. Abdan
  2. Ayah
  3. Ibu

Lokasi[sunting]

Di pelosok kampung

Cerita[sunting]

Bimbang[sunting]

Aku bernama Abdan. Aku hanya seorang anak yang berasal dari pelosok kampung, jauh dari riuh keramaian kota. Aku hanya anak tunggal yang hidup serba pas-pasan. Orang tuaku bukan orang yang berada, hanya orang biasa yang berharap anaknya sukses di masa depan. Ayahku hanya seorang petani. Sehari-hari kami hidup dari kebun yang ayah kerjakan. Sedangkan ibuku hanya seorang ibu rumah tangga. Ya terkadang untuk membantu ekonomi keluarga, ibu sering membuat jajanan kampung untuk dijual disekitaran kampung saja.

Sejak kecil, aku selalu diajarkan untuk tidak minder dengan keadaan kelurga kami. Ya walau pada kenyataanya aku sering iri dengan teman-teman yang keinginannya selalu dipenuhi oleh orang tuanya, namun aku sadar keadaan orang tua ku yang begitu adanya.

Saat SD, aku bersekolah di SD yang berada dekat dengan rumah. Ya yang Namanya sekolah di kampung ya apa adanya sajalah, yang penting sekolah. Masa SD ku dilalui dengan banyak suka duka, namun itu menjadi motivasi tersendiri untuk memicu semangat belajarku. Waktu kian berlalu, dan setelah lulus SD aku diberikan pilihan oleh orang tuaku, terutama ayah yang sangat ingin aku tetap bersekolah. Memang sekolah setingkat SMP tidak ada di kampungku. Jika ingin sekolah maka harus merantau keluar dari kampung.

Malam hari setelah acara perpisahan di SD, saat itu aku sedang duduk di depan teras rumah. Lalu ayah datang bersama ibu sambil membawa gorengan ubi hasil kebun ayah.

“Dann.. kamu mau lanjut sekolah kemana? Kamu harus tetap sekolah ya” tanya ayah.

“Gatau yah, kalo mau sekolah kan harus merantau keluar dari kampung, pasti biayanya mahal. Apa aku bantu ayah saja di kebun?” jawab ku.

Dengan lantang ayah berkata “tidak usah dan!, kamu jangan seperti ayah yang tidak berpindidikan, kamu anak satu-satunya ayah dan ibu, kamu harus sukses”.

Sedikit kaget dengan perkataan ayah yang seperti itu. Keinginan ku memang ingin melanjutkan sekolah, namun melihat kondisi kelurga sekarang, rasanya pesimis bisa melanjutkan sekolah. “Ya ikuti sajalah keinginan orang tua” ucapku dalam hati.

Aku kembali bertanya, “Ayah maunya aku melanjutkan sekolah di SMP mana? SMP yang paling dekat ada dekat rumah tante. Apa aku harus di SMP situ dan tinggal dengan tante yah?”

“Gausah di SMP itu, lagian kalo tinggal di rumah tante malah akan nyusahin tante mu. Mending cari tempat lain saja.” Saut ibu.

Ayah dengan suara lembut “Abdan mau ga kalo melanjutkan di pesantren? Disitu juga sekolah formal seperti SMP nya. Dan kalo di pesantren kan tidak nyusahin siapa-siapa.” Aku tersentak kaget. Mendengar kata pesantren yang terbayang di kepalaku hanyalah tempat anak-anak nakal yang orang tua mereka tidak sanggup mendidik mereka lagi. Tanpa sadar aku mengiyakan pendapat ayahku. “iyaa yah” dengan suara pelan ku menjawabnya.

“Bagaimana bu? Setuju kan kalo Abdan masuk pesantren. Untuk biayanya akan ayah usahakan, insyaallah pasti ada jalan?” tanya ayah kepada ibu.

“Terserah Abdan saja, kalo ibu setuju-setuju saja. Yang penting sekolahnya bener.” Jawab ibu.

“Baiklah, ayah dapat info kalo deket pinggiran ada pesantren yang bagus, nanti ayah coba cari informasi pendaftarannya” sambung ayah dengan tersenyum.

Setelah pembicaraan itu, aku menuju kamar untuk tidur. Masih terbayang “pesantren” di kepala ku. Bimbang rasanya juga akan meninggalkan ayah ibu di rumah, pasti saat aku di pesantren aku akan sangat merindukan mereka dan begitu juga sebaliknya.

Beberapa hari berlalu. Saat setelah makan malam, ayah kembali membahas pesantren. Aku berharap ayah melupakan hal tersebut, karna jujur saja aku belum siap untuk masuk pesantren.

“Abdan, ayah sudah mendaftarkanmu di pesantren. Minggu depan kamu masuk pondok ya” ayah sambil tersenyum.

“Haah.. minggu depan? Kenapa ayah ga bilang aku dulu?” aku terkejut.

“Iya minggu depan, ayah sengaja ga bilang kamu, biar ada kejutannya hahaha” jawab ayah.

Dalam hati aku berkata “Njiiirr, di pesantren aku mau ngapain ya? Pasti banyak anak-anak nakal”. “Hmm.. yaudah yah, aku ngikut ayah aja.” jawabku pelan.

Sehari sebelum keberangkatan ke pesantren, aku berkemas menyiapkan segala kebutuhan untuk di pesantren. Mulai dari pakaian, Al-quran, alat mandi dan sebagainya. Masih menghantui pikiran ku tentang “pesantren”. Ntah apa yang akan terjadi disana. Tapi bismillah saja, semoga ini jadi jalan terbaik bagiku dan keluargaku. Dan lama kemudian, ayah datang melihatku sedang berkemas.

“Sudah siap besok mau ke pondok? Barang-barangnya sudah semua kan?” tanya ayah.

“Aman yah, barangnya juga sudah siap semua” jawabku tanpa melihat wajah ayah.

Lalu ayah menghampiriku dan duduk disampingku.

“Semangat ya sekolahnya di pondok. Kamu harus sukses, bisa bahagian ayah ibu. Sukses dunia akhirat. Masalah uang kamu gausah pusing, insyaallah ayah bisa nyarinya buat kamu sekolah, sekolah saja yang bener.” kata ayah sambil menatap mataku.

Mendengar kata ayah, aku terharu. Sebegitu kuatnya ayah ingin aku masuk pesantren.

“Baik yah, laksanakan. Aku akan buat ayah jadi bosnya para petani di kampung kita, hehe..” jawabku sambil bercanda dengan ayahku.

“Iyaa deh, janji ya hahaha.., sudah sudah sekarang kamu tidur, besok pagi harus berangkat ke pondok, jaraknya juga lumayan.” Ayah bergegas keluar kamar.

“Baik yah, sebentar lagi aku tidur. Ini berkemasnya tinggal sedikit lagi.”

Selesai berkemas, aku berbaring menatap langit-langit rumah seraya berkata dalam hati “Njiiir, besok udah masuk pesantren, diapain ya disana. Ini malam terakhirku di rumah. Ya sudahlah semoga kuat sampai tamat. Bismillah saja”. Aku menutup mata dan tidur, walau masih terbayang tentang “pesantren” itu.

Nyaman[sunting]

Tibalah esok hari dimana aku harus berangkat. Selesai sarapan, aku langsung berpamitan kepada ibu untuk berangkat ke pesantren. Tangis haru air mata ibu menangis mengantarkan ku. Wajar saja, ibu akan bertemu dengan ku 7 bulan lagi setelah ini. Memang pesantren tempatku itu setiap 7 bulan sekali ada jadwal boleh keluar jalan-jalan dan orang tua menjenguk. Selesai berpamitan dengan ibu, ayah bersiap dengan meminjam motor tetangga untuk mengantarkan ku terminal. Sesampainya di terminal, ternyata bus tujuan daerah pesantren sudah siap. Setelah ayah membelikan karcis bus, ayah berpesan sambil memegang bahuku.

“Abdan anak ku.. kamu sebentar lagi akan ke Pesantren. Belajar yang bener ya. Jangan malu dengan ayah mu ini yang hanya seorang petani di kampung. Semoga sukses dunia akhirat ya. Katanya kemaren mau jadiin ayah bos petani di kampung” ayah sambil tertawa.

“Insyaallah ayah. Ayah ibu doakan saja aku. Ayah ibu sehat-sehat ya di kampung” jawabku dengan nada sedih.

Aku pun masuk ke bus. Melihat ayah mengantarkan ku dengan penuh harapan, menjadi semangat tersendiri bagiku. “Ya jalani saja, toh ini yang ayah inginkan”. Kataku dalam hati.

Tanpa sadar aku tertidur di bus. Saat sadar ternyata aku sudah hampir sampai di terminal tujuan ku. Tepat jam 1 siang bus pun sampai di terminal. Aku turun dan langsung menuju Pesantren. Jarak terminal dan Pesantren tidak terlalu jauh, ya sekitar 10 menit berjalan kaki. Sebelum sampai Pesantren, aku mampir sebentar untuk istirahat makan bekal dari ibu dan sholat zuhur.

Setelah selesai aku langsung menuju pondok. Ternyata sudah banyak orang yang datang. Selesai melakukan registrasi, aku langsung di antar ke asrama. Saat masuk asrama, terlihat banyak santri lain yang sudah berkemas pakaian mereka di lemari. Aku juga langsung berkemas. Melihat keadaan itu, dalam hati aku berkata “Ini yang namanya pesantren, tidak terlalu buruk sih. Tapi aku harus mandiri, semuanya harus dilakukan sendiri”.

Saat malam hari, ada acara ramah tamah dengan santri-santri lain. Ya aku ikut sekedarnya saja, karena memang tidak ada yang ku kenal disini. Setalah acara tersebut selesai dan waktunya tidur, aku berbaring dan menatap langit-langit kamar asrama.

“Kemaren malem aku masih di rumah, sekarang sudah di pondok. Jadi kangen ayah ibu di rumah”. Ucapku dalam hati. Tak lama kemudian aku pun tertidur.

Keesokan harinya, aku mulai mengikuti kegiatan seperti umumnya. Aku pun mulai menjalakan kehidupanku sebagai “santri”. Rasa rindu dengan ayah ibu terus tumbuh seiring waktu. Kadang aku menangis di kamar mandi rindu ayah ibu. Tapi aku harus kuat menjalaninya.

Sesal[sunting]

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Sudah 7 bulan aku di Pesantren dan kini saatnya waktu orang tua menjenguk. Dari pagi aku menunggu ayah ibu untuk menjenguk, namun tak kunjung datang.

“Kok ayah ga datang ya? Apa lupa dengan aku?” kataku pelan dan sedih.

Tak lama kemudian, namaku di panggil pengurus, katanya orang tuaku datang menjenguk. Aku langsung berlari keluar menuju ayah dan ibu. Sambil menagis aku memeluk mereka untuk melepas rindu.

“Gimana di pondok? Sehat saja kan? Gaada masalah kan?” tanya ayah.

“Aman yah, semuanya berjalan lancar. Alhamdulillah” jawab ku.

Kemudian ayah menyuruh bersiap untuk keluar membeli keperluan pondok. Di Pesantren ku ini setiap 7 bulan sekali boleh di jenguk dan di ajak keluar jalan-jalan. Setelah aku bersiap, aku ayah, dan ibu pun keluar jalan-jalan. Ya walau sekedar hanya di pasar saja, aku sudah sangat bahagia karena bisa keluar jalan-jalan, karena di pondok sangat terisolasi dari dunia luar. Tak lama berjalan-jalan, aku melihat sebuah toko pakaian muslim. Dengan semangat aku mengajak ayah menuju toko tersebut. Sesampainya di toko tersebut, aku melihat baju koko yang bagus sekali dan aku sangat menginginkanya.

“Ayah, aku mau baju koko itu, boleh ya yah” pintaku dengan sedikit memaksa.

Sambil terseyum ayah menjawab “Ayah ga bawa uang yang cukup, kamu taukan ayah hanya seorang petani. Baju koko itu kan harganya mahal dan.. lain kali saja ya”.

“Coba dulu di tawar yah, pasti bisa. Baju koko itu bagus yah. Temen-temenku di pondok punya koko kaya itu yah” pinta ku dengan memaksa.

Sambil tersenyum dan melihat ibu ayah berkata “Ayo kita beli jajanan disana, kelihatanya enak”.

Aku kesal dengan ayah, keinginan ku tidak di penuhi. Ya apalah daya, ayah hanya seorang petani.

Sore pun tiba, waktu kembali tiba. Agak kesal karena ayah tidak membelikannya baju koko itu. Ya sudahlah, mungkin lain kali aku bisa membelinya sendiri dari tabunganku. Setelah tiba di pondok, aku pun berpamitan ke ayah ibu untuk kembali ke pondok. Lalu ayah ibu pun langsung pulang. Rasa kesal masih terbayang karena baju koko itu. “Masa aku minta itu saja ayah gamau beliin sih, padahal aku sangat kepengen baju koko itu. Dasar ayah petani” ucapku dalam hati.

Sebulan setelah hari menjenguk itu, aku di panggil oleh salah seorang ustadz pagi-pagi sekali.

“Kenapa stadz? Saya ada salah apa sampai ustadz memanggil?” tanyaku.

“Kamu ikut saya ya,” jawab ustadz.

“Kemana stadz?” kembali aku bertanya.

“Ikut saja dulu” jawab ustadz dengan singkat.

Aku pun ikut ustadz dengan motor keluar area pesantren. Aku bingung mau dibawa kemana, tapi ya sudahlah ikut saja, mungkin ustadz perlu bantuan di luar. Tak lama kemudian, ustadz dan aku tiba di rumah sakit. Aku semakin bingung kenapa aku dibawa kesini, perasaan aku ga sakit dan sehat saja sekarang.

“kenapa kita ke rumah sakit stadz?” tanya ku heran.

“Maaf ya sebelumnya, tadi pagi tadi saya dapat kabar ayahmu masuk rumah sakit. Dan informasi sekarang ayah kamu sudah meninggal. Kamu yang kuat ya” jawab ustadz sambil memegang tangan ku.

Terkejut tiada tara mendengar hal tersebut. Badanku terasa lemas semua. Terasa dunia ini kosong tanpa tujuan lagi. “Ayah meninggal? Yang bener saja, kemarin pas jenguk masih sehat kok. Cobaan apalagi ini ya allah?” ucapku dalam hati.

Air mataku tak tertahan mendengar berita itu. Ustadz langsung merangkulku masuk menuju rumah sakit dan langsung ke ruangan ayah dimana ayah meninggal. Sesampainya di ruangan itu, aku melihat ayah sudah terbaring kaku dan memucat. Disebalah ayah ada ibu yang sedang menangis sedih sambil memeluk ayah. Aku langsung berlari menuju ibu.

“Ibuuuu… ayah kenapa? Kenapa bisa beginiii…?” tanya ku sambil menangis.

Ibu hanya menangis tidak bisa menjawab pertanyaanku. Tangis ku semakin keras “Ayaahhh.. ayaahh.. kenapa pergi duluuu..”

Tak lama berselang, seorang pearwat datang dan berkata.

“Bu, mobil ambulance sudah siap untuk mengantar jenazah pulang ke rumah. Mari saya antar".

Aku dan ibu pun pergi menuju mobil ambulance untuk pulang membawa jenazah ayah. Pikiran ku kosong sambil menangis. Terasa dunia ini sangat hampa.

Sesampainya di rumah, ternyata sudah banyak orang di rumahku. Aku bertanya pada tetangga.

“Pak, ayah saya kenapa bisa meninggal? Setau saya ayah tidak ada riwayat penyakit”.

“Ayah kamu meninggal tadi pas sholat subuh. Pas sujud terakhir tidak bangun lagi. Pas dilihat sudah ngga sadar. Jadi langsung dibawa kerumah sakit” jawab tetanggaku.

Aku kaget, “subhanallah ayah.. wafatmu sungguh mulia, semoga balasan surga untukmu ayah” ucapku dalam hati.

Jenazah ayah pun langsung dimandikan, dikafankan, dan disholatkan di rumah. Tiba saatnya untuk mengantarkan ayah ke tempat peristirahatan yang terakhir. Aku tak pernah membayangkan akan sampai dititik ini. Meletakkan ayah dalam liang lahat, sungguh hal yang tak pernah terlintas di pikiranku.

Malam hari pun tiba setelah pemakaman ayah. Aku sedang duduk di teras dan merenung. Ibu melihatku dan bertanya.

“Nak.. kenapa? Sini masuk sebentar” ucap ibu. Ibu pun langsung masuk ke dalam rumah.

Aku bergegas menuju ibu. Aku melihat ibu memegang sebuah keresek hitam.

“Apa itu bu?” tanyaku penasaran.

“Ini baju koko yang kamu mau kemaren itu, ayahmu yang membelinya. Katanya mau di kasi ke kamu pas liburan pondok” jawab ibu sambil mengeluarkan baju koko tersebut. Sontak aku menagis lagi…

“Sudah jangan menangis lagi, ini baju koko mu” ucap ibu sambil memeluk ku.

Tak lama kemudian, datang seorang teman ayah yang juga seorang petani. Aku menyambut beliau, walaupun air mata masih menetes. Kami pun duduk di depan teras sambil bercerita. Beliau bercerita sedikit tentang ayah sebelum ayah meninggal.

“Dan, semenjak kamu masuk pondok, ayahmu semakin giat bertani di kebun. Ayahmu juga jadi sering solat 5 waktu di masjid” teman ayah bercerita.

“Ayahmu juga sering bersedekah. Ya walaupun ayah dan ibumu hidup serba apa adanya, tapi dari hasil kebun ayahmu, ayahmu sangat senang bersekah dengan hasil kebunnya. Ayahmu sering berbagi hasil kebunnya dengan orang miskin di kampung kita” lanjut cerita teman ayah.

Mendengar hal itu, aku sangat kagum dengan ayah. “Dengan segala kekurangan, ayah masih bisa bersedekah dengan hasil kebunnya. Mungkin ini menjadi alasan kemarin ayah belum bisa membelikan baju koko waktu itu” ucapku dalam hati.

Setelah mengobrol dengan dengan teman ayah, beliau pun pulang. Aku pun masuk ke rumah untuk beristirahat. Rasa kehilangan sangat terasa dengan meninggalnya ayah. Aku pun masuk ke kamar dan berbaring. Sambil mengingat-ingat kenangan bersama ayah.

Sambil melihat langit-langit rumah, aku tersadar suatu hal. Ayahku bukanlah sekedar petani di kebun, namun juga petani di akhirat. Dengan segala kebaikan yang dilakukan ayah didunia, saat ini pasti ayah sedang memanen pahala di akhirat sana. Ayah, terima kasih untuk segalanya.

Doaku selalu menyertaimu.